Dua Puluh Lima
SEPERTI yang aku perkirakan, Ara langsung merengek begitu terbangun. Aku lantas menghampiri ranjangnya untuk menenangkannya. Ara melepaskan tangannya dari genggaman Khalid dan menggapai ke arahku.
Khalid mengangkat kursinya untuk memberiku jalan. Dia berpindah ke sisi lain tempat tidur Ara.
"Mommy ada di sini, Sayang." Aku naik ke tempat tidur dan berbaring di sisi Ara. Aku mengusap kepalanya. "Mommy temenin tidur ya."
Ara tetap merengek dan mengguman tidak jelas. Dia pasti merasa tidak nyaman dengan jarum yang melekat di punggung tangannya. Perutnya yang luka dan dijahit membuatnya tidak bisa bergerak bebas. Kalau bisa menggantikannya, aku akan bertukar posisi dengan Ara. Untuk anak seaktif Ara, terikat di tempat tidur pastilah membuatnya sebal.
"Kalau Ara udah sembuh dan sehat, kita pergi makan es krim yang enak di mal ya," lanjutku membujuk untuk mengalihkan perhatian Ara dari ketidaknyamanan dan rasa sakit. "Ara juga boleh main sepuasnya di Timezone."
"Sama Om Jaz?" tanya Ara penuh harap dengan suara lemah. "Aku suka sama Om Jaz. Dia baik banget."
Jika kondisinya tidak seperti sekarang, aku akan memberikan penjelasan jika Om Jaz tidak harus ikut setiap kali kami ke mal. "Iya, sama Om Jaz, Sayang."
Detik berikutnya Ara merengek lagi. Aku kembali membujuk dengan menggumamkan lagu-lagu favorit Ara sambil mengusap-usap lengannya. Ara jarang sakit. Daya tahan tubuhnya bagus. Sesekali dia demam saat batuk atau pilek, tapi biasanya sakitnya itu akan sembuh dengan meminum obat berlogo lingkaran hijau yang dijual bebas tanpa resep dokter, yang aman untuk dikonsumsi anak-anak. Terakhir kali Ara bertemu dokter anak adalah saat dia harus diimunisasi booster ketika dia berusia 18 bulan, bukan karena dia sakit.
Ikatanku dengan Ara selalu kuat. Tapi rasa keibuan yang ada dalam diriku terasa mengalir deras, lebih banyak dari sebelumnya saat melihat kondisi Ara yang tidak berdaya seperti sekarang. Mungkin itu yang dirasakan semua ibu ketika anaknya sakit. Mungkin, ibuku tidak memiliki keterikatan padaku karena aku tumbuh sebagai anak yang sehat sehingga dia tak pernah merasa harus khawatir padaku. Walaupun tak ingin mengenang masa kecil, sesekali aku tetap teringat. Mungkin apa yang dikatakan Nenek bahwa aku belum berhasil menyembuhkan luka karena merasa ditinggalkan orangtuaku benar, karena setiap kali teringat berada di tengah-tengah perang kedua orangtua, aku akan memeluk Ara dan berjanji dalam hati bahwa dia tidak akan pernah berada dalam situasi itu.
Saat Ara kembali tertidur, aku menyadari jika sekarang sudah lewat tengah malam. Perlahan, aku turun dari ranjang supaya aku tidak membangunkan Ara karena bermaksud bicara dengan Khalid. Aku kembali ke sofa.
"Kamu bisa pulang istirahat," kataku. Supaya Khalid tidak merasa diusir, aku melanjutkan, "Besok, kamu bisa datang lagi."
Khalid menggeleng. "Aku tinggal di sini aja. Besok pagi baru aku ke kontrakan untuk mandi dan ganti pakaian, terus balik ke sini lagi. Kamu tidur aja. Biar aku yang jagain Ara. Nanti aku bangunin kalau Ara terjaga dan cari kamu. Ini hari yang panjang dan emosial. Kamu pasti cape banget."
Aku memang kelelahan secara fisik dan mental. Makanan terakhir masuk ke perutku adalah susu dan telur rebus yang diberikan petugas begitu aku selesai donor. Karena itu, aku tidak membantah Khalid. Aku butuh energi ekstra untuk besok. Ara pasti akan rewel seharian. Kalau aku ikutan tumbang karena kurang istirahat, aku hanya akan menjadi beban baru untuk Nenek, Mbak Kia, dan Ribka yang menemaniku menjaga Ara. Mbak Kia dan Ribka sudah pulang sebelum Khalid datang, sedangkan Nenek pulang saat izin mencari minuman. Dia mengirim pesan untuk pamit. Nenek pasti beranggapan bahwa meninggalkan aku dan Khalid berdua adalah cara yang tepat untuk membuat kami berdamai.
"Kalau kamu mau makan atau minum sesuatu sebelum tidur, aku bisa cariin," kata Khalid. Dia masih duduk di dekat tempat tidur Ara.
"Nggak usah." Aku menunjuk kotak makanan yang ada di atas meja. "Makanan yang dibawa Mbak Kia belum sempat dimakan. Aku nggak lapar." Aku menepuk bantal dan meletakkan kepala. "Kamu bisa makan itu kalau lapar. Atau kamu bisa keluar kalau mau cari makanan atau minuman panas."
"Aku juga belum lapar."
Aku memejamkan mata, berkonsentrasi supaya bisa tidur.
**
Suara percakapan lamat-lamat masuk dalam pendengaranku saat akhirnya terjaga. Tadinya kupikir akan sulit pulas karena khawatir pada Ara, tapi ternyata aku bisa tidur nyenyak. Aku tetap memejamkan mata. Bukan untuk tidur lagi, tapi bermaksud menguping.
"... Om datang ke sini disuruh sama Tante Ribka ya?" Suara Ara terdengar lebih bertenaga daripada semalam. Syukurlah.
"Om datang karena pengin lihat dan jagain Ara," jawab Khalid dengan nada tenangnya yang familier. "Nggak apa-apa, kan?"
"Nggak apa-apa sih. Tapi Om harus izin sama Mommy dulu. Kalau Om belum kenal Mommy, berarti Om orang asing. Mommy nggak bicara sama orang asing. Aku juga dilarang bicara sama orang asing. Tapi karena Om teman Tante Ribka, terus aku sudah salim sama Om, berarti Om bukan orang asing. Om salim sama Mommy dulu, biar nggak jadi orang asing lagi."
Aku mengembuskan napas lega saat mendengar kalimat Ara yang panjang. Nadanya belum seriang dan seantusias biasa, tapi setidaknya Ara tidak merengek lagi.
"Om udah kenal mommy Ara sejak lama kok. Om sama mommy Ara bukan orang asing."
"Oohh... udah kenal sejak minggu lalu ya, Om?" Bagi Ara, minggu lalu sudah terhitung lama. Pemahaman Ara tentang waktu belum terlalu bagus.
"Bukan minggu lalu," ralat Khalid. "Om sama mommy Ara kenalnya udah lama banget. Sejak Ara belum lahir."
"Oohh... dulu banget ya, Om? Kata Bu Guru, dulu banget itu ada dinosaurus yang gede banget. Kalau napas keluar api. Om pernah ketemu dinosaurus?"
"Ehm...." Khalid diam sejenak. "Dinosaurus itu adanya ratusan sampai jutaan tahun yang lalu, Ara. Om juga belum lahir waktu itu. Di zaman dinosaurus, manusia belum ada."
"Kata siapa?" bantah Ara cepat. "Di film, manusia ada kok sama dinosaurus. Aku pernah lihat. Beneran, nggak bohong. Manusianya dikejar-kejar sama dinosaurus, disemburin api. Ada yang dimakan. Hih... ngeri banget deh."
"Eh... itu...." Khalid kehabisan kata-kata.
"Nanti deh aku tanya sama Om Jaz. Mungkin dia pernah ketemu sama dinosaurus. Om kenal sama Om Jaz? Dia suka ngajakin makan es krim dan nemenin main di Timezone."
"Om juga bisa nemenin makan es krim dan main di Timezone kok," sambut Khalid. "Kalau Ara sudah sembuh, kita bisa jalan-jalan ke mana saja yang Ara mau."
Aku bangkit dari sofa bed yang diperuntukkan bagi penunggu pasien. Setelah mengikat rambut sekadarnya, aku menghampiri tempat tidur Ara.
"Ara udah bangun, Sayang?"
Ara mengangguk. Dia menunjuk Khalid. "Om ini teman Tante Ribka, Mom. Dia bukan orang asing."
"Memang bukan orang asing kok, Sayang," aku membenarkan. "Mommy udah kenal sejak lama." Aku menoleh pada Khalid. "Kamu bisa pulang istirahat."
Khalid tampak enggan, tapi tetap mengangguk. Dia bangkit dari duduknya. "Nanti aku datang lagi. Kamu perlu sesuatu? Nanti aku bawain kalau balik ke sini."
Aku menggeleng. "Nggak usah. Mbak Kia pasti bawa makanan untukku. Nggak lama lagi, dia dan Oma pasti sampai ke sini."
"Ooh... tapi kalau kamu butuh sesuatu, hubungi aku aja."
Aku hanya tersenyum tipis. Selain untuk kepentingan Ara, aku tidak akan meminta apa pun dari Khalid.
"Om pulang mandi dulu ya," pamit Khalid pada Ara. Dia mengusap kepala Ara. "Nanti Om datang lagi."
"Dadah, Om...!"
**
JANGAN NAGIH UPDATE-an ya. kalau pengin baca cepet, bisa baca di Karyakarsa aja Karena di sana udah lama tamat. Sejak awal di WP emang diniatin słów update sebagai pembeda dengan versi Karyakarsa yang berbayar. Tengkiuuu....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top