Dua Puluh Empat

HATI dan pikiran manusia berubah-ubah. Itu benar. Sejak bertemu kembali dengan Khalid, aku berusaha sekuat tenaga untuk menjaga supaya keberadaan Ara tidak dia ketahui. Sekarang, hanya lebih dari sebulan kemudian, aku memberi tahu Khalid tentang Ara dengan mulutku sendiri. Menyimpan rahasia ternyata sangat sulit. Atau mungkin takdir tidak menginginkan aku menyembunyikan keberadaan Ara dari ayahnya. Entahlah.

Yang aku sadari adalah, seorang Ibu akan menelan ego bulat-bulat, mengabaikan harga diri, dan rela melakukan apa pun demi anaknya. Aku sedang berada di fase itu. Tidak ada yang lebih penting daripada Ara. Aku mungkin tidak membutuhkan darah dari Khalid karena Ara mungkin saja tidak butuh lebih dari satu kantung darah, tapi aku lebih suka Khalid sudah ada di sini dan siap mendonorkan darah ketika Ara benar-benar membutuhkannya.

Ternyata, anak bukan hanya menjadi sumber kekuatan seorang Ibu, tetapi juga bisa menjadi sumber kelemahan. Ketika anak berada dalam posisi rentan, seorang Ibu lebih mengandalkan perasaan daripada logika ketika mengambil keputusan.

Aku menengadah ketika merasa bahuku dielus. Tatapan Nenek yang tampak prihatin membuatku merasa semakin tak berdaya. Aku bahkan tidak merasa seputus asa ini ketika menyadari bahwa pernikahanku berakhir. Waktu itu aku lebih merasa marah ketimbang rapuh. Dalam hati kecil, aku tahu bahwa aku bisa melanjutkan hidup tanpa Khalid. Memang benar bahwa mimpiku memiliki keluarga yang harmonis terempas, tapi kehilangan pasangan yang tidak setia bukanlah kiamat. Sekarang, tujuan hidupku adalah Ara. Aku tidak tahu dan tak berani membayangkan bagaimana menjalani hidup tanpa Ara. Aku tidak bisa. Memikirkannya saja sudah membuat hatiku terpilin. Sakit.

"Seharusnya Oma lebih hati-hati menyimpan pisau." Nenek duduk di sebelahku.

"Bukan salah Oma." Ini bukan saat yang tepat untuk saling menyalahkan. Tidak ada gunanya juga karena hanya membuang energi. Apa yang sudah terjadi tidak bisa dibatalkan. Dunia nyata tidak memiliki mesin waktu yang bisa dipakai untuk mengoreksi hal yang tidak diinginkan, tapi telanjur terjadi.

"Kalau Oma nggak menaruh pisau sembarangan, Ara nggak akan terluka. Anak seusia Ara sangat aktif dan belum sepenuhnya sadar akan bahaya benda tajam."

"Aku baru saja menghubungi Khalid." Aku mengalihkan percakapan sambil menyusut mata. Entah sudah berapa banyak air mataku yang tumpah hari ini. Aku menangis karena takut kehilangan Ara. Aku menangis karena lega saat dokter yang mengoperasi Ara mengatakan bahwa meskipun Ara kehilangan banyak darah, pisau yang menancap di perutnya tidak sampai melukai organ vital. Ara akan baik-baik saja setelah menerima donor darah. Butuh waktu untuk sembuh, tapi Ara akan sehat seperti sedia kala. Sekarang, aku mungkin menangis karena bisa membuat Khalid bersedia datang dan mendonorkan darah tanpa menanyakan banyak hal. Hari ini, aku menangis untuk mengekspresikan semua jenis perasaan. Ketakutan, kekhawatiran, ketakberdayaan, dan kelegaan. Aku adalah seorang ibu yang lemah, berbeda dengan karakter yang kutunjukkan di depan orang lain. "Dia akan datang secepatnya."

Nenek merangkulku. "Kamu melakukan hal yang benar dengan menghubungi Khalid."

Mungkin. Aku tidak yakin. Yang aku tahu, ke depan, hubunganku dengan Khalid akan tersambung kembali melalui Ara. Bukan hubungan personal antara kami berdua, tapi sebagai orangtua Ara. Aku tidak menginginkannya, tapi tidak punya pilihan.

"Aku melakukannya untuk Ara," gumamku pahit.

"Khalid pasti akan menanyakan kenapa kamu nggak ngasih tahu dia tentang Ara. Mungkin dia akan mengutarakan kekecewaannya dengan kata-kata yang nggak kamu sukai. Kalau itu terjadi, jangan merespons dengan kemarahan. Oma tahu kamu merasa paling berhak atas Ara karena kamu yang mengandung, melahirkan, dan merawat dia. Tapi walaupun nggak mau kamu akui, Khalid adalah ayah Ara. Dia juga punya hak dan kewajiban pada Ara. Hak dan kewajiban yang nggak bisa dia tunaikan karena nggak tahu kalau dia punya anak."

Aku tahu implikasi dari keputusanku meminta bantuan dari Khalid. Kami pasti akan membicarakan kenapa aku merahasiakan kehamilanku. Dalam kondisi sekarang, hal itu jadi tidak terlalu penting. Ara yang utama.

**

Khalid datang lebih cepat daripada yang aku perkirakan. Sepertinya dia langsung mencari tiket begitu hubungan telepon kami berakhir, dan beruntung mendapatkan kursi dalam penerbangan tercepat.

Dia muncul bersama Nenek di ruang perawatan Ara. Ara memang sudah dipindahkan ke ruang rawat inap setelah kondisinya stabil. Sepertinya Khalid sengaja memilih Nenek untuk berkomunikasi dengannya setelah menerima teleponku. Itu memang cara termudah mendapatkan informasi tanpa harus berkonfrontasi. Nenek adalah wasit yang adil.

"Oma yang mengajak Khalid ke sini setelah dia selesai donor," ujar Nenek sebelum aku sempat mengatakan apa pun. Ucapannya itu membuktikan bahwa dia memang sudah bersama Khalid sejak laki-laki itu tiba di sini. Neneklah yang menemani Khalid menjalani serangkaian prosedur sebelum donor.

Aku hanya mengangguk dan memilih bergeser ke sofa ketika Khalid mendekati tempat tidur Ara. Aku membiarkannya mengambil alih kursi di sisi tempat tidur Ara yang sejak tadi kududuki.

Ara menempati kamar VIP yang lumayan luas. Kamar yang dikover oleh asuransi. Ketika membayar premi yang lumayan besar untuk asuransi swasta setiap bulan, aku melihat hal itu sebagai investasi dan perlindungan bagi Ara seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan padaku. Tak pernah terpikir jika aku akan mengklaim asuransi untuk perawatan Ara. Kalau boleh memilih, aku lebih suka membayar premi dan kehilangan sebagian uang karena tidak pernah mengklaim asuransi kesehatan yang sudah diporsikan, dan hangus jika tidak dimanfaatkan.

Aku sengaja mengalihkan perhatian pada ponsel supaya tidak perlu melihat Khalid menyentuh Ara. Aku yakin dia akan melakukannya. Dia mungkin sudah pernah memegang tangan atau mengusap kepala Ara saat mereka bertemu pertama kali di hotel, tapi arti sentuhan waktu itu dan kali ini pasti berbeda. Saat itu Khalid belum tahu kalau anak cerewet yang bersama Ribka adalah anaknya.

Aku tidak bisa mempertahankan sikap tak peduli dengan pura-pura sibuk dengan ponsel ketika mendengar suara isak yang jelas tidak berasal dari Ara karena dia sedang tidur. Nenek sudah berhenti menangis sejak dokter mengatakan bahwa kondisi Ara stabil dan dia akan baik-baik saja. Nenek masih menyalahkan diri karena keteledorannya menaruh pisau di tempat yang dijangkau Ara, tapi momen mengkhawatirkan dan bersimbah air mata sudah kami lalui.

Tanpa mengangkat kepala, aku mencuri pandang ke arah tempat tidur Ara. Aku melihat Khalid menggenggam dan mencium punggung tangan Ara yang tidak terhubung selang infus. Isak itu datang dari dia. Bahunya bergetar. Dia pasti berusaha menahan diri, tapi tidak bisa.

Aku tidak pernah melihatnya menangis sebelumnya. Di mataku, Khalid selalu tampak tenang. Aku pikir, kesedihan apa pun yang dirasakannya tidak akan diresponsnya dengan air mata.

Aku kembali menekuri ponsel, tapi tidak melihat apa pun di situ. Apakah aku bersalah karena dengan sengaja menyembunyikan Ara dari Khalid? Selama ini aku merasa keputusanku mendepak Khalid dari kehidupanku dan Ara sudah benar. Tidak ada keraguan akan hal itu. Bukan aku yang menghancurkan pernikahan kami. Kehilangan hak atas anak adalah harga yang harus Khalid bayar karena belum move on dari masa lalu padahal sudah punya istri.

Isak Khalid yang tidak tertahankan membuatku tidak nyaman. Sayangnya aku tidak bisa keluar dari ruang rawat Ara karena tidak mau meninggalkan anakku. Aku ingin berada di sini ketika Ara membuka mata. Aku adalah orang pertama yang akan cari ketika dia bangun. Aku tidak ingin Ara menangis ketika menyadari aku tidak ada. Menangis membuat otot perutnya yang terluka akan berkontraksi. Aku tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya perdarahan lagi. Ara sudah kehilangan cukup banyak darah karena pisau menancap cukup dalam di perutnya.

"Oma ke bawah ya." Nenek mengusap bahuku. "Mau cari teh panas." Tanpa menunggu jawabanku, dia lantas meninggalkan ruangan.

Aku mendesah pasrah. Aku lebih suka Nenek berada di sini. Dia menjadi semacam penengah antara aku dan Khalid. Aku tahu bahwa mencari teh panas hanya alasan untuk meninggalkanku bersama Khalid.

Dua puluh menit berikutnya terasa seperti seabad. Perlahan, Khalid akhirnya bisa menguasai diri. Dia sudah berhenti menangis, meskipun tidak bergerak sedikit pun dari tempat duduknya. Genggamannya di tangan Ara tidak lepas.

Aku duduk gelisah, mengantisipasi tumpahan kemarahan Khalid. Melihat reaksinya setelah bertemu dengan Ara, aku tahu dia ada berbagai emosi yang bercampur aduk dalam dirinya. Marah dan kecewa karena dia tidak tahu sudah punya anak, jelas termasuk di dalamnya. Tapi Khalid tidak mengatakan apa-apa. Hening menguasai ruang rawat Ara. Dengung AC yang halus jadi terdengar bising.

Aku tidak pernah membayangkan akan berada di ruangan yang sama dengan Khalid dan Ara. Peristiwa ini memang tidak akan terjadi kalau Ara tidak masuk rumah sakit. Ini adalah pembuktian bahwa takdir hanya bisa dijalani karena tak bisa dipilih.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. DI sana udah lama tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top