Delapan Belas

AKU nggak tahu apa kamu butuh info ini, tapi aku merasa harus bilang kalau Khalid seakarang ada di Surabaya.

Aku membaca pesan yang dikirimkan Jazlan itu beberapa kali sebelum membalasnya.

Makasih infonya, Mas.

Jazlan tidak perlu tahu kalau Khalid malah sudah menyambangi restoran nenek dan ngobrol panjang lebar dengannya kemarin siang. Akhir pekanku yang seharusnya sempurna hancur berantakan karena kunjungan dadakan Khalid itu.

Nanti sore jangan langsung pulang ya. Aku tunggu di kafe rooftop, ada yang mau aku omongin.

Baik, Mas.

Aku harap Jazlan tidak mengajakku bertemu untuk membahas kehadiran Khalid. Cukup sekali saja aku harus membicarakan urusan pribadiku sama bos. Aku berusaha tidak memikirkan ajakan Jazlan untuk bertemu sepulang kantor, meskipun kesannya dia mengajak bertemu bukan untuk membicarakan urusan kantor.

Kami sering makan bersama, tapi biasanya bersama Ribka. Ataupun kalau hanya makan berdua, biasanya ajakan itu terjadi karena aku dan Jazlan kebetulan bertemu di lobi, atau setelah selesai rapat. Peristiwa makan bersama tidak pernah diawali melalui ajakan di pesan WA yang terkesan direncanakan.

Walaupun sudah mengonfirmasi bahwa Khalid tidak menginap di hotel ini, aku menghindari berada di ruang publik yang bisa diakses tamu hotel. Mungkin saja dia punya janji temu dengan Jazlan atau orang lain yang mengurus pembangunan hotel baru itu sehingga Khalid harus datang ke hotel. Aku penasaran dengan apa saja yang sudah diketahuinya tentang aku, tapi enggan bertemu apalagi ngobrol seperti yang dianjurkan Nenek.

Peristiwa perpisahan kami sudah cukup lama, tapi karena aku tidak punya hati sesuci malaikat, aku belum sepenuhnya lupa dengan mimpiku yang terpatahkan. Padahal impianku sangat simpel. Aku hanya butuh suami setia yang akan menemaniku membesarkan anak sampai akhirnya maut memisahkan kami. Sahabat yang saling memahami.

Mungkin aku salah karena terlalu percaya penilaianku yang sangat positif tentang Khalid, padahal sejatinya melabuhkan kepercayaan berlebihan pada manusia hanya akan berakhir mendapatkan kekecewaan.

Setelah jam kerja berakhir, aku naik ke kafe di rooftop untuk menunggu Jazlan. Dia tidak menyebutkan waktu persisnya kapan kami akan bertemu, dan aku sungkan memperjelas hal itu, jadi memutuskan menunggu sampai dia datang. Menunggu di rooftop tidak membosankan. Pemandangannya indah dan minuman serta camilannya enak. Aku juga bisa duduk sambil membuka laptop untuk membuang waktu.

Tapi aku ternyata tidak harus menunggu karena Jazlan sudah berada di kafe ketika aku tiba di sana. Dia menempati kursi paling sudut, di area outdoor, persis di sisi pagar kaca pembatas. Tampangnya serius menghadapi layar iPad.

Aku bergegas menghampirinya. Aku benar-benar tidak menyangka dia akan datang lebih dulu. Aku terbiasa disiplin dengan waktu dan tidak suka membuat orang lain menunggu. Biasanya aku menempatkan diri sebagai orang yang menunggu dalam suatu janji temu.

"Maaf saya terlambat, Mas," kataku berbasa basi saat sudah berada di depan Jazlan.

Bosku itu mengangkat kepala. Dia menunjuk satu-satunya kursi kosong di depannya. Tampaknya dia telah meminta pegawai kafe memindahkan kursi lain yang ada di meja itu karena biasanya satu meja diisi oleh empat kursi.

"Duduk, Sha. Aku yang terlalu cepat sih. Kebetulan tadi ketemu teman di sini, jadi sekalian aja nunggu kamu setelah dia pergi."

Aku mengambil tempat di depannya. "Seharusnya Mas kasih kabar biar saya langsung ke sini supaya Mas Jazlan nggak lama menunggu," ujarku masih tidak enak hati.

"Kan janjiannya setelah jam kantor. Yang mau aku omongin juga nggak ada hubungannya sama urusan kantor kok. Aku yang butuh waktu kamu, jadi sudah seharusnya aku yang menunggu."

Walaupun sudah menduga kalau kami tidak akan membahas urusan kantor, aku tetap tidak bisa menebak apa yang ingin dibicarakan Jazlan. Tadinya aku mengira dia ingin menawarkan bantuan untuk menghadapi Khalid, tapi menilik isi kalimatnya, dugaanku langsung gugur.

"Ada yang bisa saya bantu, Mas?" Aku tidak yakin orang seperti Jazlan membutuhkan bantuanku. Aku hanya melanjutkan basa basi supaya bisa sesantai dirinya. Akhir-akhir ini aku gampang tegang karena terintimidasi kehadiran Khalid di Surabaya. Dia semacam bom waktu yang bisa meledak kapan saja dan menghancurkan kehidupan damaiku bersama Ara.

"Ini hal yang udah cukup lama ingin aku bicarakan sama kamu sih, tapi waktunya terasa nggak pernah tepat aja. Apalagi setelah dengar pandangan kamu tentang rencana masa depan kamu. Tapi kalau menunda membicarakan hal ini, aku takut terlambat."

Aku menatap Jazlan waswas. Tidak, aku berusaha menghalau pikiran yang menyergap ketika mendengar dua kalimatnya yang terakhir. Aku pasti salah mengerti maksud kalimatnya. Kursi yang kududuki mendadak terasa seperti tumpukan kerikil tajam. Aku bergerak-gerak gelisah.

"Aku sudah lama suka sama kamu," lanjut Jazlan, mematahkan harapanku bahwa aku salah menduga apa yang ingin dia bicarakan. "Levelnya sudah sampai cinta. Kamu mungkin nggak tahu itu karena aku nggak menunjukkannya terang-terangan sebab kamu selalu terdengar skeptis saat bicara tentang kemungkinan untuk menjalin hubungan dengan laki-laki lain setelah bercerai. Apalagi kita sekantor. Suasananya pasti akan canggung saat aku nembak dan kamu menolak. Jadi aku pikir lebih baik menunggu momen yang tepat aja. Toh semakin lama kita bekerja dan menghabiskan waktu bersama, kamu juga akan lebih mengenal kepribadianku. Mungkin saja pandanganmu tentang menikah lagi akan berubah. Aku yakin kamu bukan tipe yang akan mengeneralisasi sifat laki-laki hanya dari pengalaman pernikahan kamu sebelumnya."

Aku terpaku. Aku lebih suka membahas tentang Khalid daripada membicarakan kemungkinan menjalin hubungan dengan Jazlan. Aku tidak pernah menangkap tanda-tanda yang menunjukkan kalau dia tertarik padaku. Aku pikir kedekatan kami yang lebih daripada sekadar atasan dan bawahan karena dia adalah sepupu Ribka.

"Kamu kelihatannya kaget banget." Jazlan tersenyum menatapku. "Sebenarnya aku bisa menunggu lebih lama untuk mengatakan hal ini karena kamu toh nggak ke mana-mana juga, tapi setelah kamu ketemu mantan kamu dan kamu kelihatan terganggu banget, aku mutusin untuk bilang ini. Aku bisa membantu melindungi kamu dan Ara kalau keputusan kamu sudah bulat untuk nggak berterus-terang tentang Ara padanya. Dia nggak mungkin mendekati kamu kalau tahu kamu sudah bersama orang lain. Apalagi posisi kami sebagai rekan bisnis."

"Saya... saya nggak tahu harus bilang apa," kataku setelah Jazlan terdiam menunggu responsku.

"Kamu nggak perlu jawab sekarang. Kamu juga nggak harus menerima. Aku tahu kamu belum punya perasaan apa pun sama aku. Tapi aku percaya cinta bisa menyusul kok. Aku juga tahu kalau Ara berada di urutan paling atas prioritas kamu. Aku sayang dia. Dia juga suka sama aku. Aku nggak tahu gimana menjadi seorang ayah yang sempurna karena nggak punya pengalaman, tapi aku akan berusaha sebaik mungkin untuk Ara."

Percakapan ini terasa terlalu absurd untuk bisa kuproses secara logis. Aku tidak tahu apa yang membuat Jazlan suka padaku. Aku tahu kalau secara fisik aku menarik. Tapi ada banyak perempuan cantik dengan spesifikasi lebih bagus daripada aku di Surabaya. Aku bukan tipe yang bisa bermanja-manja. Seperti kata Jazlan, aku cenderung skeptis. Terkadang bisa sinis. Aku pikir laki-laki lebih suka perempuan manis, manja, dan tergantung pada pasangannya. Sifat seperti itu membuat laki-laki merasa diperhatikan sekaligus dibutuhkan. Aku tidak memiliki spesifikasi seperti itu. Aku terbiasa mandiri.

"Seharusnya aku lebih sering berada di rooftop di waktu seperti ini." Jazlan mengalihkan percakapan dengan sengaja. "Pemandangannya bagus banget."

Aku ikut mengalihkan pandangan mengikuti arah kepalanya. Langit Jakarta tampak memerah. Matahari tertutup awan sehingga bulatannya tidak tampak. Tapi keengganannya tampil tidak mengurangi keindahan warna langit.

Seandainya percakapan kami tidak membahas tentang pernyataan perasaan Jazlan, aku pasti akan menikmati pemandangan dan semilir angin di puncak gedung hotel tempatku bekerja ini. Aku sudah bekerja di sini selama bertahun-tahun, tapi kehadiranku di kafe ini di saat senja seperti sekarang bisa dihitung dengan jari. Aku lebih sering berada di sini pada siang hari.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana udah tamat. Tengkiuu....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top