Delapan
HARI ini Ara meminta rambutnya dikepang dua. Biasanya, rambutnya hanya diikat ekor kuda dan dihias pita. Dia tidak mau dikepang karena rambut ikalnya akan semakin ikal saat kepangannya dibuka. Jadi, kepang adalah pantangan Ara untuk model rambut.
Umur Ara memang masih masuk dalam kategori balita, tapi dia sudah bisa memilih dan menentukan gaya fesyen dan tatanan rambut yang diinginkannya. Hari ini dia berubah pikiran tentang rambut yang dikepang karena katanya, Niki cantik banget dengan rambut kepang dua yang diikat pita merah.
"Tapi Niki kulitnya putih sih," kata Ara sambil menggoyang-goyangkan kaki. Dia duduk di kursi, di depan cermin, sementara aku yang menjadi penata rambut, berdiri di belakangnya. Rambut tebal ikal Ara yang panjang kubagi dua sama banyak, lalu mulai mengepang di salah satu sisi. "Mirip kayak Mommy, tapi masih lebih putih Niki. Aku sama Eyang kulitnya nggak putih karena mandinya nggak bersih ya, Mom?"
Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Warna kulit Ara beda karena Tuhan memang ngasih warna yang beda-beda untuk setiap orang, Sayang. Bukan karena mandinya nggak bersih. Semua warna kulit itu cantik kok. Apa pun warna kulit kita nggak masalah karena warna kulit itu nggak sepenting hati kita, Sayang. Orang akan sayang sama kita kalau kita baik hati, bukan karena warna kulit kita terang atau gelap."
"Ooh...." Ara mengangguk-angguk. "Aku baik hati kok, Mom. Kemarin, waktu pensil warna Nisa patah, aku bantuin runcing. Aku juga minjemin krayon sama Niki."
"Wah, anak Mommy pinter banget," pujiku.
Hidung Ara mengembang bangga. "Kata Eyang, Mommy pinter banget. Masa Mommy-nya pinter, terus anaknya enggak? Oh iya, kata Nisa, papanya bisa sulap lho." Seperti biasa, topik percakapan Ara melompat-lompat tak tentu arah. "Papanya bisa mengubah sapu tangan jadi burung, terus kertas jadi uang gitu, Mom." Nada Ara terdengar takjub. "Berarti Nisa uangnya banyak banget ya? Kalau Mommy bisa sulap juga, Mommy nggak usah kerja di rumah Om Jaz lagi. Mommy sulap-sulapin aja semua kertas jadi uang supaya kita bisa punya banyak uang kayak Nisa. Nanti rumah kita isinya uang semua gitu. Kalau ada pengamen di restoran Eyang, dia bakalan aku kasih uang merah terus deh. Nanti deh aku tanyain sama Nisa, mungkin aja papanya mau ngajarin Mommy sulap."
Imajinasi anak seumur Ara belum dipengaruhi logika, jadi aku tidak ingin merusak kegembiraannya dengan mengatakan bahwa sulap hanyalah trik yang memanipulasi mata.
"Wah, papa Nisa keren banget ya?" Aku ikut memuji.
Ara semakin bersemangat. "Papa Nisa uangnya mungkin sama banyak dengan Om Jaz ya, Mom? Buktinya rumah Om Jaz bisa gede banget gitu."
Aku tertawa mendengar pertanyaan Ara. "Hotel tempat Mommy kerja itu bukan rumah Om Jaz, Sayang. Itu kantor. Om Jaz juga kerja di situ."
"Rumah itu tempat orang tinggal, Mom," bantah Ara. "Om Jaz kan tinggal di situ. Aku pernah ke kamar Om Jaz kok sama Tante Ribka. Kamarnya luuaaas banget." Ara mengembangkan kedua tangannya ke udara. "Ada kamar di dalam kamar gitu. Waktu itu Om Jaz ngasih aku buah aja karena katanya dia nggak punya es krim karena nggak tahu aku mau datang."
Yang dimaksud Ara pasti suite yang ditempati Jaz di hotel. Tidak salah juga sih, karena kamar itu sudah menjadi rumah kedua si Bos. Aku tidak membantah lagi.
"Mom, kok Om Jaz nggak punya anak sih? Kalau Om Jaz punya anak, aku kan bisa temenan sama anaknya. Bisa sekolah sama-sama kayak Niki dan Nisa gitu. Sekolah asyik kok. Nisa aja udah nggak nangis lagi kalau ditinggal mamanya."
Aku meringis. "Kan Om Jaz belum nikah, Sayang. Orang harus nikah dulu sebelum punya anak." Aku berusaha menjelaskan sesederhana mungkin. "Setelah nikah, nanti istri Om Jaz akan melahirkan anak, seperti Mommy melahirkan Ara."
"Ooh... nikah yang kayak Kak Jemi itu ya, Mom? Yang kayak ulang tahun itu?"
Jemi adalah salah seorang pegawai di restoran Nenek. Ketika dia menikah, aku mengajak Ara ikut ke acara perjamuannya.
"Iya, nikah yang kayak Kak Jemi, Sayang."
"Dulu Mama nikah kayak Kak Jemi juga?"
"Ara mau pakai pita merah atau pink?" Aku berusaha mengalihkan perhatian Ara.
Seperti anak lain seumurnya yang penuh dengan rasa penasaran, Ara tentu saja pernah menanyakan tentang ayahnya. Kenapa anak lain punya ayah sedangkan dia tidak. Pertanyaan Ara dijawab Nenek saat aku masih berusaha mencari jawaban yang sesuai untuk anak seumurnya. Nenek mengatakan bahwa Ara juga punya ayah. Hanya saja ayahnya sedang bekerja di tempat yang jauh dan tidak bisa dihubungi karena di sana tidak ada sinyal telepon. Ayahnya akan pulang setelah pekerjaannya selesai, tapi belum tahu kapan. Waktu itu Ara cukup puas dengan jawaban yang diberikan Nenek.
"Merah aja, biar kembaran sama Niki." Ara menunjuk pita yang diinginkannya. "Kalau nanti Om Jaz nikah, aku ikutan ya, Mom. Pasti di acaranya ada es krim yang enak. Eyang pernah ngajak mampir di toko es krim waktu pulang sekolah, tapi es krimnya nggak enak. Aku nggak suka es krim yang ada rasa duriannya. Baunya eewwwhh banget. Aku maunya es krim cokelat atau vanila. Om Jaz kapan sih nikahnya? Nggak bisa hari Minggu nanti aja? Hari Minggu kan aku libur, jadi kalau ikutan, nggak usah bolos. Aku nggak mau bolos, nanti nggak bisa main sama teman-temanku."
Aku menghela napas panjang mendengar kalimat Ara yang panjang dan tidak jelas intinya itu.
"Nah, rambutnya udah selesai!" Kedua kepangan Ara kuatur di depan dadanya sehingga dia bisa melihatnya di cermin. "Anak Mommy cantik banget."
Ara mengamati bayangannya di cermin dengan saksama lalu tersenyum puas. "Hari ini rambut aku kembaran sama Niki."
Aku menuntunnya keluar kamar. "Sekarang kita sarapan ya. Mommy udah siapin bekal Ara."
"Bukan bekal nasi kan, Mom? Kalau bekal nasi, jangan Mommy yang nyiapin deh. Mukanya jelek, kayak monster. Bikin takut aja waktu buka kotaknya. Eyang jago bikin bekalku jadi cantik. Kemarin telur rebusnya mirip kelinci beneran. Sampai nggak tega mau dimakan."
Aku memang tidak berbakat membuat bekal cantik tematik seperti yang diinginkan Ara. Aku tidak pernah menyukai pelajaran seni dan prakarya. Berbeda dengan Nenek yang tekun menggunting nori untuk menghias bekal Ara bersama sayur dan buah.
"Hari ini bekalnya sandwich," jawabku. "Mommy yang bikin, tapi Oma kok yang menghias dan masukin dalam kotak bekal kamu."
Ara tertawa senang. "Hari ini bekalku pasti paling cantik. Kemarin juga gitu." Hanya sesaat, dia lalu mendesah. "Kalau Mommy nggak bisa bikin bekal cantik, mungkin Mommy juga nggak bisa belajar sulap. Mungkin Mommy cuman pinter matematika aja, nggak jago semuanya. Om Jaz pasti bisa belajar sulap. Nanti kalau ketemu aku tanyain deh. Kalau papa Nisa mau ngajarin Om Jaz sulap, uang sulapnya nanti dibagi sama kita. Om Jaz pasti mau kok. Dia kan baik hati dan suka ngasih aku hadiah."
Aku hanya bisa menatap Ara cemberut. Imejku sebagai ibu yang sempurna hancur berantakan hanya karena urusan menghias bekal ke sekolah.
**
Yang pengin baca cepet bisa ke Karyakarsa. Dan, kalau ada yang pengin ditanyain dan mau fast respons, bisa ke Instagram @titisanaria ya. Aku paling aktif di IG ketimbang medsos lain. Tengkiuuu...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top