Chapter 37

Di sebuah apartemen mewah seorang gadis dengan rambut melambai terterpa angin terlihat memandang gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Suasana begitu sunyi hanya terdengar suara angin yang menggelitik dan memberikan sensasi sejuk. Sungguh ketenangan yang seperti ini baru saja dapat ia rasakan. Namun, saat dirinya mencoba untuk menutup mata, ia merasakan pelukan dari seseorang yang tak lain adalah Chan.

"Di luar dingin, lebih baik kita di dalam," ajak Chan dan sang gadis menggeleng.

"Aku masih ingin menikmati udara di sekitar. Sudah lama aku tidak pernah bermain ke apartememu," tuturnya.

Jeans makin memeluknya dengan erat dan tersenyum, kemudian ia berkata, "kau bisa datang kapan pun kau mau. Tempat ini akan selalu terbuka untukmu Dahyun-ah," balasnya dengan suara yang lembut.

Dahyun terdiam, gadis ini merasa tidak nyaman. Hanya saja ia berusaha untuk menahannya. Hal ini membuat dahyun menyadari jika dirinya hanya bisa merasa nyaman jika berada di dekat Minho. Namun, melihat Minho yang mulai meragukan dirinya membuat kebencian Dahyun berkali-kali lipat. Belum lagi jika Chan tahu tentang dirinya yang ikut andil dalam pertarungan yang yang menyebabkan Woojin mati, mungkin Chan juga tidak akan mengampuninya. Pada akhirnya, kesimpulan yang dapat Dahyun lihat adalah baik Minho atau Chan, mereka tidak akan mentoleransi dirinya jika ia berbuat salah.

Ini sangat memuakkan bagi Dahyun, sebab mereka para sampah dan anak dari orang-orang yang berkuasa dengan mudah bertingkah sesuka hati, tapi tidak merasa bersalah. Sebesar apapun itu kesalahannya, mereka selalu punya alasan untuk membenarkannya dan selalu memiliki jalan untuk membereskannya dengan cara apapun, termasuk cara curang.

Perebutan yang bodoh antara Minho dan Chan memberikan dampak yang yang membuat Dahyun tak bisa hidup normal seperti gadis lain pada umumnya. Terutama hancurnya keluarga kecilnya yang membuat ayahnya harus bekerja dengan keras setelah ia di PHK dari perusahaannya dan semua itu adalah perbuatan dari ayah Chan. Lalu, dirinya dan keluarganya harus terusir keluar kota juga ada campur tangan dari kakek Minho.

Oleh karena itu, setelah bertahun-tahun lamanya Dahyun memutuskan untuk kembali dan mulai membalas satu persatu orang-orang yang menyakitinya.

"Aku akan bersamamu asalkan kau memenangkan pertandingan musim ini dan membuat Minho malu," ucap Dahyun yang membuat Chan terkejut.

Kenyataan yang ada dalam benak Chan adalah Dahyun lebih menyukai Minho dari pada dirinya dan itu hal yang tentunya tidak bisa Chan terima.

Ekspresinya terlihat kecewa dan Dahyun segera menyadarinya. "Aku hanya ingin melihatnya jatuh," imbuh Dahyun yang seolah berusaha untuk membuat Chan menyadari jika ia lebih menyukai Chan dari pada Minho.

"Kenapa kita tidak berhenti saja? Aku bisa dengan mudah mengalahkannya, tapi aku menginginkan kau untuk mengabaikannya," mohon Chan yang sangat lelah harus bermusuhan dengan Minho. Baginya, Dahyun sudah berada di sisinya itu sudah lebih dari cukup.

Dahyun seketika menunjukkan ekspresi marahnya. "Tidak bisa, ia sudah mengabaikan kita. Aku tidak bisa memaafkannya!" Air mata Dahyun pun jatuh dan lagi-lagi Chan tidak tega untuk membuat gadis di hadapannya ini sedih.

"Baiklah, aku akan mencoba membuatnya kembali sadar," janji Chan dan Dahyun begitu senang mendengarnya.

---***---

Percakapan dengan Yebin membuat Sinb termenung sepanjang jalan. Bahkan, ia enggan untuk pulang bersama atau sekedar datang ke akademi tempatnya mendapatkan pelajaran tambahan.

Sinb terus memandangi handphonenya yang tertera nama Minho. Ragu untuk menghubungi pria itu, ia sudah sangat berusaha untuk menekan segala emosinya dan semuanya berakhir seperti ini.

"Ternyata sulit untuk tak melihatmu," gumamnya yang menutup layar handphonenya kembali.

Ciiit

Sebuah mobil limousin berhenti di depannya. Beberapa pria berjas turun dan tiba-tiba saja sudah berada di hadapan Sinb.

"Nona, tuan ingin kami membawa anda," kata mereka yang segera mengangkat tubuh Sinb tanpa menunggu persetujuan gadis itu.

"Eh, apa yang kalian lakukan! Aku tidak mau! Turunkan aku!"

Sinb meronta, berharap mereka segera menurunkannya. Namun, sepertinya mereka tidak peduli dengan hal itu.

"Sialan kalian!" maki Sinb yang tidak ingin menyerah begitu saja. Ia berusaha untuk kabur, tapi tentu saja ia kalah telak. Badan para pria ini adalah kombinasi antara Chan dan Minho. Kokoh, besar dan tak tertandingi.

"Nona sebaiknya diam, jika tidak ... kami akan melakukan sesuatu yang lebih buruk dari ini," ancam salah satu diantara mereka yang tentunya membuat Sinb seketika diam.

Seberani apa pun dirinya, ia jelas tidak akan berani untuk melawan beberapa orang yang sangat terlatih dan dengan penampilan yang menakutkan ini.

Duduk dengan ketegangan yang tak terkira. Tebakan demi tebakan memenuhi otaknya, membuatnya terus berpikir tentang siapa? Tujuan dari semua ini dan juga kenapa harus dirinya yang mengalami.

Seolah seperti terpacu dengan waktu, jantungnya terus berdetak kencang tidak dapat terbendung. Namun, dirinya tak bisa mengatakan sepatah kata pun. Hanya dengan melihat kaca mobil yang menampilkan sekitar, membuatnya teralihkan dengan keinginan di dasar jiwanya yang sangat ingin berteriak kencang untuk mencari pertolongan.

Herannya juga, keempat pria asing ini pun tidak berbicara. Menunjukkan profesionalitas tiada duanya, bahkan mereka tidak perlu repot-repot menggunakan teropong untuk menutupi wajah. Seolah apa pun yang mereka perbuat, itu tidak akan menjadi pelanggaran sampai harus dibawah ke kantor polisi.

Sinb yang masih saja belum bisa mengontrol amarahnya, memilih memejamkan matanya. Ia sebenarnya tidak bisa sesantai ini, tapi ia juga tidak bisa berbuat apa pun. Tas berisi handphone yang ia bawa, juga telah disita. Sekarang, mungkin dirinya hanya bisa pasrah pada takdir sialan yang selalu mengitarinya saat ini.

Enam puluh menit telah berlalu, ketika mobil tiba-tiba berhenti dan mata Sinb yang terpejam pun terbuka. Ia menatap sekeliling halaman rumah yang nampak lapang dengan garasi mobil dengan berbagai merek. Tata letak yang cukup familiar baginya.

"Ini seperti rumah Minho?" gumamnya, tapi saat ia melihat pintu dan beberapa kursi di sekitar taman sepertinya berbeda dari sebelumnya.

"Turun!" perintah penuh herarki yang ditunjukkan pria yang telah berani menculiknya membuat Sinb lagi-lagi marah, tapi mau bagaimana lagi. Ia harus segera turun jika masih sayang dengan nyawanya.

"Apa ini rumah Minho?" tanyanya tanpa sadar dan seperti biasa para pria ini tak menjawabnya.

Namun, saat tiba-tiba pintu utama menuju rumah terbuka, tampak seorang wanita berjalan mendekat. "Hyeri eonni!" pekik Sinb yang sebenarnya ingin mengadu dan sekaligus merasa lega dengan apa yang ia lihat. Membuatnya yakin jika ini bukan penculikan yang akan membahayakan nyawanya.

"Lepaskan dia, aku sudah mengatakan untuk tak kasar padanya," tegur Hyeri pada para pengawalnya.

Mereka berempat menunduk. "Maafkan kami nona," jawab mereka serempak.

"Eonni, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa harus sampai membawaku dengan paksa? Kalau seandainya eonni meneleponku dan memintaku kemari, aku pasti datang," kata Sinb dengan sungguh-sungguh.

Meskipun ia memiliki hubungan yang rumit dengan Minho, ia tidak akan melibatkan Hyeri dalam hal ini. Jadi, jika Hyeri meminta bantuannya, jika ia bisa melakukannya. Maka, Sinb akan melakukannya dengan sepenuh hati.

Hyeri menghela napas, kemudian berjalan lebih dekat dan merangkul Sinb. "Masalahnya, aku tidak ingin ayah tahu. Minho sekarang dikurung ditempat ini karena ia hampir mati karena perkelahian dengan seseorang, sementara saat ini sedang ada pemilu dan ayah tidak ingin ada sekandal apa pun. Jadi, aku ingin kau datang dan menghiburnya," terangnya yang membuat Sinb terkejut.

"Apa? Hampir mati? Babak belur? Apa ia bertengkar dengan Chan lagi?" Pertanyaan datang bertubi-tubi, semua ini karena rasa panik yang muncul mengalahkan semua kekesalannya kepada Minho.

"Ya, rumah ini memang nampak seperti rumah utama, tapi ini adalah tempat isolasi yang lumayan jauh dari kota. Ayah kali ini benar-benar marah besar, Minho sangat memprihatinkan dengan memar dimana-mana. Seharian ia tak sadarkan diri, aku sampai harus memanggil beberapa dokter untuk merawatnya," lanjut Hyeri yang membuat Sinb semakin cemas.

"Dimana dia, eonni?" desak Sinb.

"Masuklah ke dalam," saran Hyeri dan tanpa menunggu Sinb pun masuk ke dalam.

Persetan dengan kekesalan, kekecewaan serta kebencian yang berhasil Minho berikan kepadanya. Yang ada dalam pikiran Sinb saat ini, ia ingin segera melihat Minho dan berharap jika tidak terjadi apa-apa kepadanya.

-Tbc-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top