Chapter 23
Hi...Baru bisa up sekarang wkwk
Mungkin Uda telat kalau mau bahas kambek
SKZ - God Menu, Uda liat kan? Keren ya wkwk
Jang lupa buat dukung GF ya
Gfriend - Apple
Judul albumnya tu mengingatkanku pada ceritaku
Gnereid
Jadi, semoga kalian selalu diberikan kesehatan untuk bisa baca ceritaku wkwk
Happy Reading
😆😆😆
Mendung, saat kursi roda Sinb ia jalankan dengan sangat cepat. Air matanya masih menggenang, tapi ada yang lebih buruk dari itu semua yaitu hatinya yang sudah hancur. Entah semenjak kapan? Kehampaan ini selalu hadir memenuhi dirinya dan membuatnya selalu merasa murung.
"Semua baik-baik saja?" tanya Dongho dan Sinb tak menjawabnya, ia hanya berusaha mengusap air matanya dan Soyeon yang melihat itu, ia pasti sudah dapat menduga apa yang terjadi dianatra kedua temannya itu.
"Kalian menyelesaikannya dengan benar kan?" tanya Dongho lagi. Ia memberikan kesempatan keduanya untuk berbicara agar mereka dapat menyelesaikannya dan seharusnya Dongho tidak memaksakan diri untuk mengakui para remaja ini dapat berpikir lebih dewasa. Kenyataannya mereka masih sangat kekanakan dalam menyelesaikan masalahnya.
"Soyeon bawa Sinb masuk, biarkan aku menemui Minho," pinta Dongho yang tentu membuat Sinb memandangnya.
"Jangan coba-coba!" tekannya, memandang pamannya ini dengan tajam.
Dongho pun tertawa. "Baiklah, jadi kalian sudah menyelesaikan semuanya dengan dewasa," katanya yang Sinb tahu jika itu adalah ejekan yang tersirat. Sinb hanya berdecak dan lebih memilih untuk memandangi jalanan/
---***---
Tiga hari telah berlalu saat kediaman keluarga Kang sedikit ramai. Keramaian yang tentu membuat Sinb harus menutup telinganya dengan handset dan Hyunjin yang masih memiliki memar pun menutup telinganya dengan bantal. Percecokan yang selalu terjadi ketika kedua orang tua mereka bersama.
"Lihatlah mereka, putri yang terbaring karena tertusuk dan anak laki-laki yang juga babak belur. Sebenarnya apa yang kau lakukan untuk mendidik mereka? Setiap hari aku merasa mereka cukup menyedihkan!"
Suara Tiffany tentu membuat Sinb menghela napas. Sudah bukan rahasia umum jika ibunya itu sangat cerewet melebihi nenek-nenek. Apa lagi ketika ia merasa prihatin karena kedua anaknya yang masih berada di rumah karena terluka. Namun, kepanikannya ini justru membuat Sinb terkadang tidak betah saat di Amerika dulu.
"Sudahlah, kenapa kau mengajakku ribut pagi-pagi?" Itu adalah jawaban Kangin yang tentu kesal terus-terusan disalahkan oleh Tiffany. Sebenarnya ayahnya itu sudah cukup bersabar selama ini, tapi bukan berarti ia tidak memiliki kesalahan kepada Sinb dan Hyunjin.
Kesalahan terbesar Kangin adalah ia kurang bisa perhatian kepada anak-anaknya. Terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan hanya bisa menegur saat mereka melakukan kesalah.
clek
Hyunjin masuk ke kamar Sinb dengan wajah teramat kesal. Ia pun menjatuhkan dirinya di kasur kakaknya itu. Membuat Sinb yang tadinya sudah mulai tenang dengan mendengarkan lagu, segera menoleh.
"Apa yang kau lakukan di sini!" kesalnya dengan menendang-nendang Hyunjin. Sebab, kasurnya yang sudah kecil, semakin sesak karena tubuh Hyunjin yang besar dan tinggi itu.
"Aku tidak bisa tidur di kamar, mereka berisik sekali!" keluhnya dan memang benar, kamar Hyunjin lebih dekat dengan ruang makan membuatnya harus mendengar jelas percekcokan itu.
"Pergilah ke taman, kenapa haru ke kamarku!" Sinb tak terima dan sedang malas untuk berurusan dengan siapa pun.
"Tidak, aku mau masuk sekolah saja besok," ucapnya yang membuat Sinb menatapnya lebih sebal.
"Wah, dasar brengsek! Kau meninggalkanku seorang diri di neraka ini dan harus menghadapi mereka berdua?" tanyanya yang membuat Hyunjin tersenyum, meskipun nyeri di sekitar mukanya masih terasa. Ia sedikit gemas dan masih ingin menggoda kakak perempuannya ini.
"Kalau begitu besok masuk saja denganku. Tenang saja, aku akan menjagamu dengan sepenuh jiwa," katanya berlebihan dan tangan Sinb sukses mendaratkan jitakan di kepala Hyunjin.
"Apa kau menjadi sinting semenjak di kroyok kemarin? Bagaimana bisa kau menjadi berlebihan seperti ini," omel Sinb dan kali ini Hyunjin tertawa tanpa suara, mencoba untuk menertawai kakaknya yang tak jauh berbeda dengan ibunya kemarin saat mengomelinya karena babak belur.
Sungguh, tidak ada kebahagiaan yang lebih tinggi dari pada saat mereka berkumpul seperti ini. Hyunjin pun senang saat ibunya itu mulai memperhatikannya meskipun dalam omelan-omelan yang terkadang begitu berisik dan cerita dari Felix saat Sinb menangis karena begitu khawatir kepadanya. Dua wanita ini memang sangat unik, nyatanya mereka begitu mempedulikannya tapi mereka terlalu gengsi untuk mengungkapkannya. Sementara dirinya adalah kopian dari ayahnya yang tak bisa mengekspresikan rasa cintanya.
"Tapi aku akan tetap datang ke sekolah. Kalau noona ingin, aku akan menjagamu. Aku serius!" ucapnya yang membuat Sinb menghela napas.
"Baiklah, tapi berhenti bermain dengan Minho dan yang lain. Apa kau bisa melakukan itu?" Rupanya Sinb belum menyerah untuk membuat Hyunjin berhenti ikut menjadi geng mereka yang jelas akan kesulitan untuk berhenti bagi Hyunjin. Namun, ia bisa berpura-pura sekarang kan? Maksudnya sementara sampai Sinb sembuh.
"Baik, aku berjanji," katanya sembari menautkan jari kelingkingnya dan Sinb bersumpah akan mengingat ini semua.
---***---
Pagi yang cerah dan semua orang berkumpul di meja makan. Sinb dan Hyunjin sudah memakai seragam mereka dan Tiffany tak berhenti memandangi kedua anaknya ini dengan raut kekhawatirannya. Kangin melihat itu semua dan menghela napas, sementara Dongho beberapa kali terlihat geli melihat dua orang tua itu.
"Aku harap kalian tidak macam-macam!" ancam Tiffany pada akhirnya.
Sinb dan Hyunjin memutar bola mata mereka. "Ayolah ibu, ini sudah kesekian kalinya." Benar, Tiffany sudah mengancam mereka beberapa kali selama acara makan tadi.
"Jangan berlebihan, mereka akan baik-baik saja," sahut Kangin yang sebenarnya sudah tidak tahan lagi dengan ocehan mantan istrinya saat ini.
"Kau diam saja! Kalau bukan karena kau yang tak pandai merawat mereka. Anak-anakku tidak akan menjadi seperti ini!" Suara Tiffany yang mulai meninggi.
Sinb dan Hyunjin mendengus, mereka serempak berdiri. "Kami berangkat!" pamit mereka sembari membungkuk dan segera berlari keluar.
"Eh kalian belum menyelesaikan makan kalian!" teriak Tiffany.
"Aku juga berangkat," pamit Dongho yang berjalan lebih cepat untuk menyusul dua keponakannya yang nampaknya menggerutu.
"Aku ingin menyumpal mulut ibu dengan bakpao," celetuk Sinb yang membuat Dongho yang berada di belakang mereka tertawa geli tanpa keduanya ketahui.
"Kau bisa di deportasi ke Amerika lagi noona, jadi jaga bicaramu." Hyunjin memperingatkan Sinb dan gadis ini hanya menghela napas panjang.
Kali ini Dongho pun berjalan sejajar dengan mereka. "Aku punya solusi agar mereka berdua berhenti bertengkar," celetuk Dongho yang membuat Sinb dan Hyunjin saling bertatapan.
"Apa itu paman?" tanya mereka serempak, seolah tak sabar dengan solusi yang diberikan oleh pamannya ini.
"Buat ibu kalian mengandung lagi. Saat bayi yang lucu hadir kembali, mereka tidak akan sibuk bertengkar."
"Paman!" pekik keduanya bersamaan dan Dongho tertawa keras. Melangkah lebih cepat meninggalkan keduanya, ia yakin Sinb pasti akan menyerangnya jika ia tidak segera pergi. Jiwa preman keponakannya itu tidak jauh berbeda dengan kakaknya.
"Ah, kenapa semua orang dewasa di rumah ini tidak ada yang beres!" pekik Sinb yang sebal bukan main.
Hyunjin terdiam dan Sinb memperhatikannya. "Kau tidak berpikir hal yang sama kan? Kang Hyunjin!" bentak Sinb yang tidak ingin adiknya ini terkontaminasi pikiran kotor sang paman.
"Tidak, aku tidak memikirkannya. Ayo, nanti kita ketinggalan bus," ucapnya yang segera menuntun Sinb untuk berjalan lebih cepat. Ia tidak ingin Sinb tahu jika dirinya juga berpikiran seperti pamannya.
Tidak terlalu lama untuk menuju halte dan di sana sudah ada bus yang berhenti. Mereka duduk bersama dan Sinb mulai berpikir jika ia akan bertemu dengan Minho lagi. Bagaimana dirinya bisa menghindari pria itu? Hanya dengan memikirkan saja sungguh membuat kepalanya pusing.
Bus pun berhenti dan keduanya turun. "Aku akan mengantarmu sampai kelas," kata Hyunjin dan Sinb tak menjawabnya. Entah kenapa? Saat sampai di sekolah seperti ini, ia merasa tak memiliki selera untuk apa pun, bahkan berbicara.
Beberpa langkah saat memasuki halaman, beberapa teman Hyunjin termasuk Changbin melambaikan tangannya untuk menyapanya. Hyunjin melirik Sinb dan gadis ini terlihat tak peduli. "Sampai di sini saja, ingat menjauh dari mereka. Kalau kau tetap bebal, aku akan menggila," bisik Sinb yang meninggalkan Hyunjin begitu saja.
Sinb berjalan dengan pikirkan kalutnya dan hampir saja menabrak seseorang. Sinb pun mendongak dan melihat Minho di hadapannya. Melihatnya sekilas tanpa mengatakan apa pun, ia lebih memilih berjalan di jalur yang lain. Menganggap Minho seperti orang asing yang tak begitu penting lagi.
"Kang Sinb!" sentaknya dan Sinb tak merasa terganggu dengan itu, ia hanya berjalan dengan ekspresi datarnya.
"Aku tidak main-main. Apa kau akan seperti ini? Kau ingin aku melakukan sesuatu kepadamu!" Lagi-lagi yang hanya bisa Minho lakukan adalah mengancam.
Sinb berhenti, tapi tidak menoleh. "Silahkan kau melakukan apa pun, bahkan membunuhku juga tidak apa-apa. Bukankah kau tidak pernah menganggap seseorang berarti kecuali itu seperti bonekamu!" ucapnya yang kali ini berjalan kembali.
Minho diam, memandangi punggung Sinb yang menjauh. Kemarin, ia pikir kemarahan Sinb hanya sesat. Bahkan setelah tiga hari lamanya ia menahan diri untuk tak menemuinya, tapi kenapa sampai detik ini sikapnya terus sama saat bertemu dengannya?
Bagaimana ini? Dirinya tidak bisa di tolak seperti ini dan itu hanya oleh Sinb. Tidak dengan orang lain, bahkan disaat ia bersama Dahyun bayangan ekpresi dingin Sinb seolah menghantuinya. Minho mengepal tangannya, merasa frustasi dengan situasi yang dialaminya ini.
-Tbc-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top