Chapter 22

Kenapa hidup dengan layak sebagai gadis remaja pada umumnya begitu sulit? Sejatinya Sinb hanya ingin melalui hari-harinya yang berharga seperti pada umumnya anak remaja, tapi karena keadaan membawanya pada realita semenyebalkan ini.

Melihat Sinb lebih banyak termenung dan tak mengatakan apa pun, bahkan sampai ketika Soyeon datang, tentu membuat temannya ini kesal.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau tak menghubungiku sama sekali?" tanyanya dan Sinb hanya bisa menghela napas beberapa kali.

Buruk, hatinya sangat buruk dan pikirannya kacau hanya untuk sekedar menunjukkan senyum palsu atau ekspresi keangkuhannya seperti biasa.

"Aku lelah ...." Hanya kata ini yang mampu terucap dan air matanya seketika menetes.

Semua hal yang tak ia sukai seolah terus berusaha menyerangnya. Ditambah kehadiran ibunya yang membuat Sinb sangat marah sampai tidak bisa mengatakan apa pun.

Gadis ini bahkan tak membiarkan siapa pun masuk dan Soyeon yang pertama kalinya setelah perdebatan dengan sang ibu.

"Apa yang terjadi?" Soyeon panik, ia tak pernah melihat sosok Sinb yang begitu rapuh melebihi sebelum-sebelumnya. Gadis ini pun berdiri dan memeluk Sinb dengan hangat.

"Salahkah aku menbenci mereka?" Pertanyaan ambigu keluar begitu saja dari mulutnya membuat Soyeon melepaskan pelukannya dan memandang sahabatnya ini dengan ekspresi penuh tanya.

"Membenci siapa?"

"Semua orang yang melukaiku, membuatku terlihat menyedihkan ...," lanjut Sinb yang tak bisa lagi mengatakannya. Lagi-lagi air matanya menetes dan tangannya berusaha untuk menghapusnya.

"Jangan seperti itu, aku ingin melihatmu setegar saat awal kau datang. Jika memang mereka menyebalkan, maka kau perlu lawan. Tunjukkan kekuasaanmu seperti biasanya!" saran Soyeon yang seolah memberikan motivasi pada Sinb.

Sinb pun tersenyum, senyum yang pertama kalinya selama ia berada di rumah sakit.

"Jangan berbicara konyol, kau pikir aku ini apa?" protesnya dan Soyeon tertawa.

"Kang Sinb yang ku kenal sepertinya telah kembali. Kau jangan pernah lupa jika kau adalah pemberontak yang keras kepala. Bahkan Minho saja tidak bisa mengatasimu," ucap Soyeon yang awalnya membuat Sinb tertawa, kemudian berhenti dan menjadi murung kembali.

"Jujur saja, aku lelah berurusan dengan mereka. Jika ibu setuju aku dan Hyunjin akan pindah ke Amerika." Keputusan mengejutkan ini tentu membuat Soyeon sedih. Untuk pertama kalinya ia memiliki teman yang cocok setelah Changbin. Namun, ia juga harus melepaskannya dan menunjukkan dukungan penuh kepada Sinb.

"Itu berita bagus, aku menantikan kalian berdua menjadi kakak beradik yang solid," balas Soyeon.

Crek

Suara pintu terbuka dan mereka melihat sosok Baekho.

"Apa paman kemari dengan tujuan untuk mendukung keputusan ibu?" todong Sinb yang tentu membuat Baekho berdecak sebal.

"Aku? Kenapa kau penuh perasangka buruk begitu terhadap pamanmu ini," belanya.

"Lalu apa?" Sepertinya Sinb sudah tidak bisa mempercayai siapa pun.

"Tentu saja membantumu berkemas. Kamu sudah bisa pulang hari ini." Ucapan terakhir pamannya ini memang cukup melegakan.

"Tapi Hyunjin?" Tiba-tiba saja Sinb mengingat adiknya yang berharga itu.

"Ibumu sudah merawatnya dan mereka semua telah menunggumu di rumah."

Entah mengapa, saat mendengar kata ini Sinb merasa senang, meskipun kenyataannya ini jauh dari imajinasinya tentang arti rumah yang sebenarnya.

---***---

Minho berjalan cepat, bahkan mungkin berlarian menuju rumah sakit yang berbeda dari rumah sakit Dahyun.

Saat ia menemukan Felix di bangku tunggu, Minho pun menghampirinya.

"Bagaimana keadaannya?" Mata Minho menjelajah, menatap setiap pintu bergantian.

Felix pun mengacungkan tangannya pada sebuah ruangan. "Di dalam ruangan itu dan sepertinya hari ini, Noona akan pulang. Ada paman Baekho dan Soyeon Noona di dalam. Apakah hyung ingin masuk?"

Minho nampak diam, seolah menimbang. "Kita tunggu saja di sini," putusnya yang ragu jika ia masuk ke dalam akan menjadi keputusan yang tepat.

Cklek

Pintu terbuka, Sinb bersama kursi roda yang di dorong Soyeon keluar. Kemudian, pamannya mengikuti dengan membawa barang-barang gadis itu. Minho pun segera menghampiri dan membungkuk kepada Baekho.

"Halo paman, aku Minho teman Sinb," ucapnya yang seketika membuat tubuh Sinb menegang. Baekho yang menyadari atmosfer aneh ini segera bertindak.

"Aku tidak suka kalian lepas dari tanggung jawab, jadi jika kalian selesaikan semua masalah kalian sekarang!" tekannya yang membuat Sinb melotot kepadanya.

"Paman!" panggil Sinb sebal.

"Aku yakin kau tidak akan mengecewakan," balas Baekho dan Sinb pun tak bisa mengatakan apa pun lagi.

"Paman dan Soyeon akan menunggumu di depan," lanjut Baekho yang kali ini membawa Soyeon pergi bersamanya.

Menyusahkan Sinb, Minho dan Felix. "Kau boleh pergi sekarang." Minho pun mengusir Felix.

Tanpa mengatakan apa pun, Felix pun pergi. Kini benar-benar hanya ada mereka berdua dan atmosfer ketegangan yang semakin menguat.

"Apa maumu?" tanya Sinb yang tak ingin berlama-lama berhadapan dengan satu manusia yang juga menyebalkan baginya.

Minho menghela napas sebelum mengatakan sesuatu. "Kenapa kau tak mengatakan jika kau terluka waktu itu?" tanyanya yang seketika membuat Sinb tersenyum sinis.

"Itu bukan urusanmu," balasnya yang tak ingin terlalu lama menjelaskan yang seharusnya Minho bisa dapatkan dari teman-temannya.

"Kang Sinb, kau tahu bukan jawaban itu yang ku mau!" sentak Minho yang sedikit banyak membuat beberapa orang mencoba memperhatikannya.

Sinb sungguh merasa muak harus beberapa kali mengalami situasi yang seperti ini. "Lalu jawaban apa? Kenapa aku terluka? Apa itu penting disaat bahkan kalian tak benar-benar melihatku? Kalian terlalu fokus kepadanya, bahkan untuk mengecek keadaanku dengan melihat sebentar saja kalian tidak lakukan. Lalu, apa yang harus ku harapkan dari kalian? Bantuan?" Sinb terkekeh mendengarkan ucapannya sendiri.

Minho pun merasa jika kali ini Sinb berbeda. Jauh berbeda, ia merasa asing dan tak mampu menjangkaunya.

"Kalau kau mengatakannya, tentu aku akan membawamu." Bahkan kali ini perkataan Minho terlihat ragu saat mata Sinb menunjukkan kedinginan yang menusuk.

"Semua tidak akan ada bedanya. Jadi, aku mohon kepadamu ... Jangan lagi muncul di hadapanku maupun Hyunjin. Menjauhlah dari kehidupan kami."

Permohonan Sinb semakin memperparah kedinginan yang tercipta di antara kedua bola mata coklat itu. "Kau kan bisa bersenang-senang dengan dirimu sendiri, dengan banyak temanmu. Jadi, jika kau kehilangan Hyunjin ... Itu tidak akan membuat kesenanganmu runtuh bukan?"

Hening, Minho masih diam tak menjawab pertanyaan Sinb, tapi Sinb sangat serius saat ini. Ia bahkan rela untuk menerima apa pun yang akan Minho lakukan, jika ia tetap bersikeras untuk melawannya.

"Lee Minho," panggilnya dan Minho menghela napas.

"Jika aku tidak ingin melepaskan kalian?" Sinb yang telah dapat menebaknya tersenyum getir.

"Tidak selamanya dunia akan mengitarimu. Ada banyak hal yang tidak akan bisa kau dapatkan meskipun kau mengeluarkan banyak uang atau ancamanmu. Salah satunya adalah kebencian seseorang dan aku salah satu orang yang membencimu, hingga untuk berhadapan denganmu seperti ini, aku merasa muak!"

Sungguh, perkataan Sinb itu cukup membuat Minho terluka dan shock. Tangannya terkepal dan amarah itu seketika terlihat. "Kenapa? Apa sebegitu hinanya diriku di hadapanmu!" Minho menarik kursi roda Sinb, membuat Sinb hampir jatuh kalau saja Minho tak menjadikan dirinya sebagai tameng.

Sinb terlihat masih terkejut, tapi tatapan dingin itu tak pernah hilang. Berlahan ia mengusap air mata yang tiba-tiba saja jatuh dengan ekspresi datarnya "Bukan kau yang hina, tapi aku. Jadi lebih baik kau menghindari sampah sepertiku, agar level hidupmu tidak semakin turun," ucapnya yang kini melepaskan cengkraman Minho dan meninggalkannya. Kedua tangannya, berusaha menggerakkan kursi roda itu dengan cepat.

Minho masih termenung, memandangi kepergian Sinb. Ia benar-benar tidak menyangka jika gadis itu secepat ini berubah. Apa yang sebenarnya membuatnya menjadi seperti itu? Apakah ia membuatnya terluka terlalu dalam?

Sementara Sinb, air matanya terus mengalir tanpa bisa ia cegah. Tidak pernah ia menjadi semenyedihkan ini, tapi kedua pria itu berhasil membuatnya seperti mainan yang sehabis pakai akan di buang. Jadi saat ini ia nampak seperti sampah yang telah dibuang. Ia tak memiliki waktu untuk di daur ulang dan dipermainkan kembali, kemudian menjadi sampah lagi. Begitu seterusnya arus yang harus ia jalani jika berada di antara mereka.

Sinb, jelas tidak ingin menjadi seperti itu. Ia sudah lelah menghadapinya dan ingin sekali menetukan hidupnya, memperbaiki segalanya dan menolong adiknya. Hanya itu yang ada dalam benaknya saat ini.

-Tbc-

Hai, Jan lupa vote x komennya wkwk

Meskipun lama, moga aja selalu dinanti sama kalian :v

Oh ya, aku juga lagi gencar-gencarnya nulis di dreame. Mampir ya di ceritak dan kalau kalian tidak keberatan Follow serta Tap Love
😉😉😉

Jangan lupa ya ku tunggu
😉😉😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top