Chapter 17

Semua orang memiliki alasan untuk menjadi baik kepada orang lain.
Tidak ada yang murni, meskipun hal itu seperti kasih sayang orang tua.
Apa lagi mereka, yang tiba-tiba datang akan mudah pergi.
Meninggalkan jejak kehampaan dan keterabaian.

Mungkin, hanya Tuhan yang mampu memberikan segalanya tanpa pengharapan.
Hanya manusia saja yang akan terus berkhianat dengan seolah tak mempedulikannya.

---***---

"Kenapa kau bisa datang kemari?" tanya Hyunjin yang kesal sekaligus heran melihat Sinb hanya diam. Saat ini mereka sudah memasuki mobil milih Changbin, dibantu dengan Han yang begitu peduli dengan Sinb.

"Bagaimana bisa kau bertemu dengan Dahyun?" Kali ini Han yang bertanya, membuat Hyunjin menatapnya tak suka dan mereka pun saling menatap tak suka. 

Sinb pun sedikit mengangkat sudut bibirnya. "Kalau aku tidak datang, bagaimana mungkin kalian bisa menjadi begitu kompak seperti ini. Ternyata, preman seperti kalian akan berhenti jika itu berurusan dengan seorang wanita," gumam Sinb yang membuat keduanya kini memandang gadis ini dan mendesah.

"Jangan katakan, kau bersekongkol dengan Dahyun untuk menghentikan kami?" Han mencoba menebak dan itu cukup mengejutkan Sinb. Lagi-lagi gadis ini tersenyum dan mengangguk membenarkannya.

"Apa kau gila? Kalau sampai ayah tau, tamatlah riwayatmu!" pekik Hyunjin dan Sinb menanggapinya dengan enteng.

"Apa kau lupa? Kau juga akan tamat dan kita akan dikirim ke desa bersama-sama. Percayalah, mereka tidak akan tidak tahu tentang perbuatan kita," jawabnya yang terkesan santai dan itu cukup membuat kedua pria di hadapannya ini keheranan.

Tidak biasanya Sinb bertingkah cukup tenang seperti ini setelah kejadian yang berbahaya tadi. Hyunjin seketiga curiga, matanya mengedar. "Kau tidak berusaha menyembunyikan sesuatu dariku bukan?" tanyanya dan Han masih diam, mencoba memperhatikan.

Sinb memejamkan matanya sesaat dan menghela napas dalam bersamaan. "Aku akan menceritakannya kepadamu, tapi di rumah. Aku sangat lelah dan tidak bisa menahan rasa mengantuk ini," ucapnya yang semakin terdengar aneh.

Hyunjin pun menoleh pada Han, enggan untuk mengatakan apa pun. "Pergilah, kita tunda urusan kita dan rawat noona-mu dengan baik," pesan Han yang memandang Sinb sambil tersenyum, Sinb pun membalasnya dengan senyum sebelum akhirnya Han membungkuk dan pergi. Menyisahkan Hyunjin yang begitu kesal saat melihatnya dan menatap Sinb.

Hyunjin melihat mata Sinb berkaca-kaca. Membuatnya sangat terkejut. "Wae? " tanyanya yang masuk ke dalam mobil memeriksa keadaan saudarinya.

"Sepertinya aku tertusuk pisau," lirih Sinb yang membuat mata Hyunjin membelalak seketika. Ia segera memeriksa tubuh noona-nya dan ia menemukan darah telah menodai seragam putih saudarinya ini.

"Noona, ini ... " Seketika Hyunjin panik, seluruh tubuhnya bergetar. Ia memaki dirinya sendiri yang tidak peka dengan kondisi saudarinya ini. Bahkan wajah Sinb yang pucat tak membuatnya mengerti.

Sinb yang melihat Hyunjin panik, berusaha untuk menggapai tangannya. "Jangan panik, bawa aku secepatnya ke rumah sakit dan jangan bilang siapa pun kecuali keluarga kita," mohon Sinb. "Hanya keluarga kita, kau mengerti," lanjutnya dan Hyunjin pun segera masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh.

---***---

Sebuah lorong rumah sakit, beberapa siswa dengan dua model dan warna seragam yang berbeda. Saling berhadapan dengan tatapan tajam mereka, seolah saling waspada satu sama lain.

"Aku sudah membereskan semuanya." Changbin mendekati Minho yang duduk di bangku lorong rumah sakit, disusul dengan Felix yang berada di belakangnya.

"Brengsek! Mereka begitu berani. Kau telusuri seluruh anak buah Hongjoong. Habisi mereka semua, sampai mereka tak berani hanya sekedar berkumpul saja," ucap Chan yang berbicara pada Han dan Seungmin.

"Dan aku menegaskan sekali lagi kepada kalian jika kami tidak pernah menyerang Woojin. Kau bisa menyelidikinya secara menyeluruh. Apa gunanya kau memiliki orang-orang di sampingmu!" sahut Minho dan Chan pun menatapnya.

"Itu nanti, aku hanya menunggu Dahyun sadar," bantah Chan dan Minho pun menghela napas.

Kedua kubu itu pun berhadapan dengan tatap sengit satu sama lain, seolah mereka berperang dengan tatapan matanya. Namun Minho dan Chan saat ini mencoba untuk fokus pada kesembuhan Dahyun yang tiba-tiba saja drop.

Minho pun menghela napas dan sedikit bingung saat tak melihat Hyunjin di sini. "Dimana Hyunjin?" tanyanya pada Changbin dan Felix.

"Aku tidak tahu, bahkan ia membawa mobilku," keluh Changbin yang beberapa jam lalu kebingungan mencari mobilnya.

Han yang mendengarkannya hanya diam meskipun tahu. "Coba kau telepon Felix," pinta Minho dan Felix pun mencoba untuk meneleponnya.

"Hyunjin hyung tidak mengangkatnya. apa sesuatu telah terjadi?" gumam Felix, mencoba untuk menduganya.

Han pun yang mendengarkannya nampak menghela napas. "Mereka sudah pulang, tepatnya Hyunjin mengatar Sinb noona  pulang," terang Han yang seketika membuat Minho dan Chan terkejut.

"Apa sesuatu terjadi kepadanya?" Chan yang sedikit khawatir pun bertanya. Ia lupa kalau Han mengatakan, Dahyun dan Sinb diculik dalam waktu bersamaan dan ia terlalu fokus pada Dahyun saja.

Han pun mengangguk. "Ya, ia baik-baik saja," jawab Han dengan begitu yakin dan itu cukup membuat Chan lega.

Minho terlihat mulai berpikir dan mengingat saat dimana Sinb terjatuh. Saat menatap Minho dengan pandangan yang cukup misterius. "Kalian tunggu di sini, aku akan ke toilet," pamitnya yang kini berjalan menyusuri lorong, hingga ia menemukan lorong yang cukup sepi.

Minho mencoba untuk menelepon Sinb dengan nomer barunya, bahkan juga Hyunjin, tapi kedua nomer itu mati. Meskipun Han telah menjelaskan jika mereka baik-baik saja, tatapan Sinb waktu itu cukup membuatnya tak tenang. Ia merasa sesuatu yang tak beres pada gadis itu.

"Aku butuh beberapa orang untuk mengecek keluarga Kang, apa mereka baik-baik saja sekarang?" ucap Minho yang berbicara dengan anak buahnya dari telpon.

"Lakukan dengan benar, kalau kau membuat kekacauan. Aku akan memecatmu!" ancamnya yang kini pun menutup teleponnya. Ia mengirim beberapa anak buah kakeknya untuk memantau keluarga Sinb.

---***---

Seorang gadis nampak tertidur pulas dengan gantungan darah dan infus di atasnya. Seorang pria paruh bayah nampak menghela napas beberapa kali.

"Hyung, sebaiknya kau istirahat. Aku akan menggantikanmu menjaganya. Kau bisa pulang bersama Hyunjin." Dongho datang menghampirinya dan menepuk pundak Kangin, mencoba untuk menenangkan saudaranya ini.

Sementara, Kangin masih menatap Sinb dengan kirutan di dahinya. "Aku sudah menelepon Tiffany, ia akan datang besok. Apa sikapku sudah benar dengan memberitahunya?" ucapnya dengan ragu.

"Tentu, hal ini cukup membahayakan dan dia adalah ibunya," sahut Dongho yang terlihat mencemaskan keponakannya ini.

"Jika saat Tiffany datang dan ia tetap tidak ingin kembali ke Amerika, kau harus segera mengurus kepindahan Sinb dan Hyunjin ke rumah ibu di desa. Keamanan di Gimje dan Gunsan semakin memburuk. Kita belum bisa menemukan siapa yang menyebabkan penyerangan yang membuat perseteruan semakin memanas," terangnya dan Dongho pin mengangguk.

"Aku tahu dan sekarang kembalilah ke rumah. Biarkan aku yang menjaganya," pinta Dongho.

"Baiklah, jaga dia dengan baik," ucap Kangin yang kini berjalan menjauh dan mencoba membangunkan Hyunjin yang tengah tertidur pulas.

Keduanya pergi dan kini hanya tinggal Dongho dan Sinb yang masih saja terpejam.

"Bangunlah, aku tahu kau sudah terbangun semenjak tadi." Dongho memandang Sinb yang terlihat menggerakkan tangannya.

Benar saja, gadis ini membuka matanya dan mengangkat sedikit sudut bibirnya. Ia tidak ingin bangun saat ada ayahnya di sampingnya, sebab Sinb tahu jika dirinya yang salah dan ia takut dengan kemarahan ayahnya.

"Kalau kau takut dengan ayahmu, maka kau harus kembali ke Amerika," tekan Dongho dan Sinb menggeleng.

Dibagian perutnya masih nyeri, ia tidak bisa bergerak bebas seperti biasanya, bahkan untuk berkata-kata saja ia merasa sedikit kesakitan.

"Kalau begitu, kau harus pindah ke desa dengan Hyunjin." Dongho pun memberikan solusi berikutnya dan Sinb diam tak merespon.

Gadis ini nampak bingung. Ia tidak bisa memilih dan pikirannya sungguh kacau saat ini. Seketika memori dimana Minho dan Chan mengabaikannya, melintas begitu saja. Ia sedih dan hal ini membuat dirinya marah pada diri sendiri.

Apa yang ia harapkan dari mereka saat itu? Kepedulian? Atau hal lain?
Seharusnya, Sinb merasa senang karena dengan datangnya Dahyun maka kedua pria brengsek itu akan berhenti untuk mengganggunya. Namun, Sinb tidak bisa melupakan perasaan diabaikan dan dibuang seperti itu.

Sinb pun menghela napas dan air matanya tiba-tiba saja jatuh membuat Dongho menjadi khawatir. "Kenapa? Kau tenang saja, ayahmu sedang mencari tahu siapa yang telah membuatmu terluka?" Pria ini pun membelai pucuk kepala keponakannya ini.

"Jangan paman, aku tidak ingin ayah atau pun keluarga kita berurusan dengan mereka." Jika mereka berani melukai seorang gadis sepertinya, maka mereka tidak akan berpikir dua kali untuk melukai pria paruh bayah seperti ayahnya, bahkan paman serta Hyunjin. Sinb jelas tidak ingin hal mengerikan ini terjadi kepada keluarganya. Cukup hanya dengan dirinya saja.

Dongho seketika keheranan. Bagaimana bisa Sinb memiliki pemikiran semacam ini? Seberapa berbahayanyakah mereka sampai berani membuat keponakan kesayangannya ini ketakutan.

"Semakin kau berbicara seperti itu, semakin paman ingin segera menemukannya," ucap Dongho yang tentu membuat Sinb semakin panik.

"Ku mohon jangan paman. A-aku akan menurutimu untuk pindah ke pedesaan bersama Hyunjin, tapi tolong tutup kasus ini," mohonnya dengan memegang tangan pamannya. Berharap pamannya ini mau mendengarkannya.

Dongho pun menghela napas. "Aku akan mempertimbangkannya," ucapnya dan Sinb masih saja memegang tangannya untuk terus meyakinkan pamannya ini.

Sementara di dalam mobil. Kangin dan Hyunjin berada dalam keheningan. Bocah ini juga sama ketakutannya dengan Sinb.

"Kau tidak ingin menjelaskan sesuatu kepadaku?" tanya Kangin dan Hyunjin mulai terlihat gugup.

"Misalnya, bagaimana kau dengan noona-mu bisa berada di sana. Apa yang kalian lakukan sebenarnya?" tuntut Kangin yang kali ini membuat Hyunjin semakin tegang saja.

"Kang Hyunjin! Apa ayah mendidikmu untuk menjadi penakut seperti ini!" Kangin sedikit berteriak.

Hyunjin menggeleng cepat dan mulai berkata-kata. "Aku ikut berkelahi ayah dengan mereka dan aku tidak tahu kenapa Noona tiba-tiba berada di sana," terangnya dengan suara bergetar.

Terlihat sekali Kangin sangat marah dan ia pun menghentikan mobilnya.

Ciit

"Aku sudah memperingatkanmu untuk tak jadi bagian dari kubu mana pun! Tapi apa yang kau lakuakan? Kau berbohong kepada Ayah dan tak bertanggung jawab dengan keselamatan dirimu sendiri dan noona-mu!" Kangin benar-benar marah pada anak laki-laki satu-satunya ini.

"A-aku minta maaf ayah," ucap Hyunjin. "Tapi, aku sebagai laki-laki tidak bisa hanya diam melihat semuanya. Seperti yang ayah katakan, kami harus melawan setiap kecurangan, agar tidak dianggap remeh oleh siapa pun," lanjutnya dan Kangin terdiam. Ia selalu ingat dengan prinsip hidup yang selalu ia sampaikan kepada Hyunjin dan untuk itu, ia tidak bisa menyalahkan Hyunjin sepenuhnya.

Kangin tidak benar-benar tahu bagaimana kondisi di sekolah Hyunjin dan rintangan apa yang harus di hadapi kedua anaknya ini. Kangin pun merasa cukup mengenal kedua anaknya ini. Mereka tidak akan bertindak semena-mena dan tanpa batas. Pasti, sesuatu telah membuat mereka melakukan hal ini.

"Sekarang keputusan ada pada kalian. Kau dan noona-mu akan segera pindah sekolah, jika noona-mu tak menyetujui untuk pulang ke Amerika," terang Kangin.

"Kenapa ayah tidak membiarkan kami untuk tetap bersekolah di Gimje?" Hyunjin merasa ini terlalu terburu-buru. Lagi pula Sinb juga masih belum pulih.

"Itu terlalu berbahaya untuk kalian berdua. Ayah akan menyelesaikannya,  tapi pertama-tama ayah harus membawa kalian ke tempat yang lebih aman." Hal inilah yang dipikirkan oleh Kangin.

"Tapi ayah, Noona tidak akan menyetujuinya dan aku juga. Kami tentu ingin tinggal bersama kalian berdua, dari pada kami dipindahkan. Bukankah seharusnya ayah meminta izin beberapa minggu untuk kami?"

Sebenarnya Hyunjin tidak pandai dan keras kepala seperti Sinb untuk urusan negosiasi, tapi kali ini semenjak perdamaian telah ia cetuskan dengan Sinb, Hyunjin berubah derastis dan Kangin cukup terkejut dengan sikap Hyunjin yang sekarang.

"Baiklah, aku akan memberitahu pamanmu," putus Kangin dan Hyunjin pun merasa lega.

Meskipun ia telah berjanji untuk menjaga rahasia bahwa Sinb telah terluka dalam insiden pertempuran dua kubu tersebut. Hyunjin, bukan tidak boleh untuk kembali pada kelompoknya setelah hal ini berakhir. Setidaknya ia harus merawat Sinb yang telah terluka dan izin untuk fakum sementara.

"Tapi, kau jangan merasa tenang dulu. Ibumu besok akan datang dan kau serta noona-mu harus bisa menghadapinya."

Baru saja ia merasa menang, ucapan terakhir ayahnya seketika membuatnya sakit kepala. Dari pada menghadapi sekelompok preman, ia lebih tak sanggup menghadapi ibunya itu.

Mungkin, ini akan menjadi peperangan yang menguras emosional. Saat ini noona-nya tidak dalam kondisi bisa melawan ibunya, jadi Hyunjin harus menjadi prajurit dibarisan paling depan untuk menjaganya dan bertanggung jawab agar ibunya itu tak semena-mena lagi kepadanya.

---***---

Satu hari telah berlalu, Minho dan Chan masih menunggu Dahyun di rumah sakit. Tepatnya mereka seperti pengawal gadis ini saja yang siap dalam 24 jam saat gadis ini memerlukan mereka.

"Aku ingin cepat pulang," keluh Dahyun dan Chan beberapa kali menghela napas.

Beberapa jam lalu gadis ini terlihat tenang, tapi kenapa kali ini merasa tak nyaman sama sekali?

"Ada apa denganmu? Apa kau lupa, kalau dokter mengatakan kau harus bertahan di sini dalam beberapa hari," kata Chan keheranan.

Dahyun terus menatap pintu. "Aku mau di sini jika kalian berdua yang menjagaku. Aku tak memiliki siapa pun sekarang," lirihnya mulai menangis dan Chan yang merasa aneh pun tidak punya pilihan selain menuruti permintaan gadis ini.

"Baiklah, tunggu aku. Aku akan menghubungi Minho," janji Chan dengan sangat terpaksa.

Yang sebenarnya saat ini Minho sedang berada di luar. Ia menemani Dahyun sebelum tertidur dan pergi setelah ia tertidur.

Pria ini sekarang duduk di halaman rumah sakit dan duduk di bawah pohon untuk menghubungi Changbin.

"Bin, aku ingin kau mendatangi Hyunjin. Beberapa orang suruhan ku datang ke sana dan rumah itu kosong. Tidak ada orang di sana. Aku khawatir terjadi sesuatu kepadanya," kata Minho yang sebenarnya selama malam, keluarga Kang memang menginap di rumah sakit untuk menemani Sinb.

"Baru saja sopir pengganti mengantarkan mobilku ke rumah dan menyampaikan pesan Hyunjin, jika ia ada urusan keluarga dan tidak bisa masuk selama beberapa Minggu," jawab Changbin di seberang.

Minho semakin merasa ini sangat aneh. "Apa kau tidak bilang jika kita memerlukannya? Pertempuran ini belum selesai. Mereka bisa menyerang kita sewaktu-waktu dan kita masih belum membuktikan jika Hongjoong adalah dalang dibalik semua penyerangan ini."

"Nomer handphonenya saja tidak aktif, lalu bagaimana aku bisa menghubunginya?"

Minho pun menghela napas. "Aku merasa ada yang tidak beres, tapi aku tidak memahaminya," gumam Minho.

"Sebagaimana kita mengenal Hyunjin. Percayakan saja padanya. Aku yakin, ia akan kembali."

"Aku tahu," jawab Minho setengah hati. Lalu ia penutup teleponnya.

Dari pada mengkhawatirkan Hyunjin, ia lebih ingin tahu bagaimana keadaan gadis itu. Jika Hyunjin harus izin beberapa Minggu, itu artinya Sinb juga melakukannya. Setidaknya sebelum mereka pergi beberapa saat, Minho ingin melihatnya sekali saja.

"Lee Minho ... Jangan pikirkan apa pun! Dahyun sudah ada di sini dan tebuslah seluruh dosamu!" tekannya pada diri sendiri.

-Tbc-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top