Chapter 11

Playlist

Straykids - Side Effect
.
.
.
Hi...Aku balik
😉😉😉
.
.
.
Bawa FF gaje ini
.
.
.
Gimana menurut kalian ceritanya? Apa yang kurang?
.
.
.
Oh ya anak SKZ lagi promo ni, jan lupa STREAMING ya STAY
😉😉😉
.
.
.
Thanks
🙏🙏🙏
.
.
.
Happy Reading
📖📖📖
.
.
.

Rambut basah Sinb sudah tersisir dengan rapi, wajahnya nampak segar, memakai kaos oblongnya warna hitam. Ia duduk santai dengan Han, melihat Han bermain game di ponselnya.

"Kau tidak sekolah?" tanya Sinb keheranan.

Han memandangnya sambil tersenyum. "Sekolah adalah bagian dari kegiatanku yang lain saat merasa bosan," jawabnya yang seketika membuat Sinb tertawa.

Sungguh, berasal dari mana anak ini? Bagaimana bisa ia memiliki anggapan tidak berguna seperti ini? Pikir Sinb.

"Apa yang kau tertawakan?" Han tertawa, seketika matanya menyipit dan gigi kelincinya terlihat lagi.

"Jadi, apa yang menurutmu paling penting? Jika sekolah saja menurutmu tak penting?" tanya Sinb dan Han terlihat berpikir.

"Makan, main game dan berkelahi," katanya yang seketika membuat Sinb memukulnya.

"Yak, aku bersungguh-sungguh. Kau sendiri bagaimana noona?" tanya Han dan kali ini Sinb terdiam.

"Aku dulu sangat mendewakan nilai. Aku pikir, jika aku pintar dan memiliki nilai bagus, aku bisa membuat eomma dan appa tidak bercerai," gumamnya sambil tersenyum getir.

"Kenapa bisa seperti itu?" Han tak mengerti.

"Karena dengan prestasi ini, aku bisa membuat mereka sedikit melupakan segala keluhan. Kemudian, mereka akan bersyukur karena memiliki diriku di atas segala kekacauan pernikahan mereka. Tapi, aku lupa jika Hyunjin terluka karena ini, merasa terabaikan dan sendiri," kali ini mata Sinb berkaca-kaca.

Han pun tersenyum. "Aku pikir dia cukup bodoh," celetuknya.

Sinb pun menatapnya. "Wae?" tanyanya.

"Dia menyia-nyiakan noona sebaik dirimu. Coba saja dia bayangkan, bagaimana jika menjadi diriku? Noonaku meninggal karena berusaha menyelamatkanku dari para preman bayaran," ungkap Han yang tentu saja membuat Sinb menganga.

"Benarkah? Apa Hyunjin atau Minho terlibat?" Entah mengapa? Sinb tiba-tiba berpikir tentang mereka.

Han tersenyum. "Apa yang bisa di lakukan oleh anak-anak. Itu kerusuhan yang selalu terjadi antara Gimje dan Gunsan," kata Han dengan getir dan Sinb mulai memikirkannya.

"Apa mungkin ...." ucapan Sinb mengambang dan Han mengangguk.

Ini tentang urusan yang lebih besar lagi, melibatkan dua kubu dengan banyak orang yang terlibat didalamnya.

"Kenapa harus terjadi seperti ini? Apa hidup berdampingan tanpa harus ribut dengan siapa yang paling berkuasa, sangat sulit?"

"Dunia ini seperti hutan rimba. Kalau kau tidak berusaha untuk menjadi penguasa, maka kau akan hancur atau termakan oleh yang lain," sahut seseorang dan Han pun segera berdiri, kemudian membungkuk.

Sinb yang tak tahu sosok pria tua, rambut keseluhan putih berjalan dengan menggunakan tongkat, beberapa pengawal mengikutinya. Sinb masih saja tak menunjukkan pergerakan, hanya duduk dengan memandangnya heran.

"Apa kau tidak akan memberikan hormatmu pada calon mertuamu?" tanyanya dan Sinb pun tertegun. Mulai berpikir, hingga ia mulai memahaminya.

Sinb pun bangkit dan membungkuk. "Perkenalkan, nama saya Kang Sinb-imnida," kata Sinb mencoba seramah mungkin. Namun, di dalam hatinya ia terus saja menggerutu. Menyumpahi Chan tanpa jeda.

"Aku sudah tahu, bahkan dimana rumahmu serta orang tuamu," katanya yang kini duduk.

Seolah ini menjadi dejavu. Kilasan memori dimana suasana seperti ini pun terus bermunculan dalam benaknya.

Sebenarnya ada apa dengan para orang tua ini? Apa mereka tidak pernah berkencan saat muda? Bagaimana bisa mereka menganggap serius kisah cinta anak remaja seperti mereka.

"Lalu? Apa Anda membutuhkan sesuatu?" Sinb bertanya dan pria tua itu pun tersenyum.

"Apa yang bisa kau berikan kepada anak bebal itu?"

Anak bebal? Maksudnya Chan? Sungguh Sinb ingin tertawa rasanya. Han pun segera menyikutnya, mencoba mengingatkan jika Sinb harus kembali serius.

Sinb pun memutar otaknya. "Bagaimana paman bisa bertanya hal semacam ini kepada gadis berumur 18 tahun?"

Pria tua ini pun tertawa. "Anggap saja ini seperti bimbingan konseling saat kau mencoba merencanakan masa depanmu," katanya.

Sinb pun mengangguk. "Apa yang bisa ku berikan pada Chan? Aku pikir, hal yang sering dilakukan oleh remaja seusiaku. Kami akan sering berbicara, menghabiskan waktu bersama sekali-kali, makan dan bermain. Tidak ada yang spesial paman, karena kenyataanya kita masih sangat muda untuk membahas masa depan." kata Sinb menjeda. "Bagiku sekarang, menikmati hidup lebih penting dari pada terpacu pada rencana yang juga terkadang tak pasti," lanjut Sinb dengan sangat santai, Han terlihat sangat tegang dan pria tua itu pun memandang Sinb dengan serius.

"Benarkah? Aku pikir, jika kalian berdua memiliki rencana yang matang, setidaknya kalian memiliki modal untuk mendapatkan kepercayaanku, bahkan segala sesuatu yang kalian butuhkan akan terpenuhi dengan mudah." Sepertinya pria tua ini memberikan penawaran yang cukup konyol. 

Sinb tersenyum, karena ia cukup tahu jika ini hanya sebuah jebakan. Sinb pun mendesah dan mulai menjawabnya. "Apa yang harus ku katakan kepadamu, paman? Kami bukan remaja jenius yang bisa berpikir tentang masa depan yang begitu luas. Terkadang kami selalu bersikap kekanakan, emosional, meskipun pada akhirnya kita bisa menciptakan sebuah rencana masa depan, aku tidak bisa menjamin jika itu adalah pilihan tepat," katanya sambil menghela napas, "Dan ... Tak bisakah paman membiarkan kami untuk tumbuh dengan perubahan-perubahan rencana yang dapat kami buat? Keputusan seseorang tentang banyak hal, banyak dipengaruhi oleh usia. Paman tidak akan memaksaku dan Chan untuk menikah sekarang hanya ingin membuat kami menjadi anak yang dewasa, kan?" tanya Sinb dan pria tua itu tertawa.

"Baiklah, aku tahu apa maksudmu. Jadi, aku tidak akan bertanya tentang banyak hal lagi," ucapnya yang kini berbalik. "Ayo kita pergi," lanjutnya pada para pengawalnya.

Han pun tiba-tiba merosot dan Sinb menjatuhkan dirinya di sofa. "Yak, intrograsi macam apa ini? Bagaimana bisa mereka memperlakukan kita seperti orang dewasa saja," gerutu Sinb yang tak habis pikir.

Han pun mendongak, memandang Sinb kemudian mengacungkan jempol tangannya. "Kau hebat, bagaimana bisa kau membuat beruang tua itu berhenti berbicara?" Han menggeleng-geleng penuh kagum.

"Beruang tua? Dia beruang tua?" Seketika Sinb pun tertawa.

"Dari mana kau belajar semua itu? Cara berdebat dengan orang tua?" Han menjadi penasaran saja. Ia tak menyangka jika gadis dihadapannya ini bahkan lebih hebat dari Yeji gadis yang bahkan ketakutan saat bertemu dengan beruang tua ini.

"Aku beberapa kali memenangkan lomba debat dan perlu kau tahu, kebanyakan remaja Amerika lebih sering memiliki pemikiran kritis nan logis. Jadi terkadang kami terlalu jauh dan menjadi dewasa sebelum waktunya," jawab Sinb dan Han pun mengangguk.

---***---

Gimje high school

Di kantin sekolah, saat setiap siswa berkumpul dengan kelompoknya. Di tengah sudah terdapat Minho, Changbin, Felix dan Yebin, lengkap dengan kelompok pesuruh yang berkewajiban mengantrikan mereka untuk mengambil makan.

"Yak! Kenapa kalian lama sekali!" Yebin mulai mengeluh.

"Maafkan kami," kata para pesuruh itu, membuat Yebin semakin kesal saja. Gadis ini sudah berdiri tapi Changbin menahannya.

"Duduklah, jangan membuat keributan untuk hal yang sepele," kata Changbin yang membuat Yebin pun pada akhirnya duduk.

"Apakah kalian mendapat kabar tentang Gunsan? Sebenarnya, aku sudah sangat ingin datang dan menghajarnya," gumam Minho.

"Wae? Apa ini karena saudari Hyunjin?" Yebin bertanya dan Minho menatapnya tanpa minat.

"Apa aku harus menjawab pertanyaan konyolmu itu? Harus berapa kali ku katakan, Gunsan tidak boleh menyentuh siapa pun yang berasal dari Gimje." tekan Minho dan Yebin pun tidak bisa berkata-kata.

"Aku memiliki informasi penting, hyung," celetuk Felix membuat perhatian mereka teralih kepadanya.

"Apa itu?" Changbin penasaran.

"Sepertinya Chan sedang menjalani hukuman, tidak ada pergerakan dari mereka, bahkan tidak ada acara latihan rutin bersama." Felix berkata dengan yakin.

"Hukuman? Kau yakin?" Minho berusaha memastikannya dan Felix pun mengangguk.

"Segera jadwal ulang latihan kita, seleksi beberapa ketua kelompok untuk pertandingan awal. Kita harus menang dari Gunsan bagaimana pun caranya," kata Minho penuh tekat.

"Tentu, kita akan selalu menjadi pemenangnya," sahut Changbin.

"Dan dimana Hyunjin, aku tidak melihatnya semenjak tadi?" Pada akhirnya Minho sadar jika ia kehilangan satu personil.

"Dia tidak masuk dan aku tidak tahu kenapa?" Changbin mencoba beralasan, agar yang lainnya tidak kebingungan untuk menjawabnya.

"Baiklah, aku akan meneleponnya," kata Minho yang segera meraih handphonenya tanpa bisa mereka cegah.

Hanya beberapa detik sampai panggilan itu terhubung dengan Hyunjin. Dahi Minho mengkirut dengan wajah nampak serius, kemudian ia menutup teleponnya dan berdiri.

"Lanjutkan makan kalian, aku akan pergi," katanya yang kini berjalan menjauh.

"Dia memberitahunya?" Yebin bertanya kepada Changbin.

"Jangan mencoba untuk mencegahnya atau aku tidak akan bisa membantumu untuk lepas dari amarah Minho," cegah Changbin yang selalu berusaha untuk melindungi Yebin, membuat Soyeon yang semenjak tadi mengamatinya terlihat cukup sedih.

Terlihat Yebin duduk kembali dengan menahan amarahnya. "Pertama Dahyun dan sekarang Sinb. Wae?!" sentaknya dan Changbin hanya mampu menghela napas.

"Sepertinya aku harus pergi," kata Felix yang kini meninggalkan mereka berdua. Sudah dapat di duga jika Felix sangat tidak suka masuk dalam perdebatan memuakan ini. Apa lagi jika itu berhubungan dengan kisah penuh tempramental yang sering orang sebuat dengan cinta.

---***---

Keluarga Kang sedang berkumpul di dalam rumah. Mereka memutuskan untuk tak menunda segala urusan. Terfokus pada handphone untuk menghubungi semua detektif yang telah mereka sewa untuk mencari keberadaan Sinb.

Semenjak tadi, Kangin dan Dongho tak berhenti untuk menelepon. Sementara Hyunjin masih nampak berpikir keras, ia mencoba menduga-duga sampai handphonenya sendiri berbunyi.

Hyunjin pun segera mengangkatnya saat tahu siapa yang meneleponnya dan segera berjalan menjauh.

"Ne, hyung," jawab Hyunjin.

"Noona menghilang dan kami harus mencarinya," kata Hyunjin lagi.

"Aku merasa ini ada hubungan dengan Gunsan."

"Appa memeriksa cctv dan pria yang menghampirinya sangat mirip dengan keparat Han."

"Jadi kau akan ikut denganku menemui mereka?" Ekspresi Hyunjin menunjukkan keterkejutan.

"Baiklah, aku akan pergi secara diam-diam. Ini hanya tentang kita, aku tidak ingin orang tuaku terlibat," ucap Hyunjin yang kini menutup telponya.

Hyunjin pun berjalan keluar dan beberapa menit lamanya menunggu mobil Suv Minho sampai ia menemukan mobil hitam berhenti di hadapannya.

"Kita kemana?" Hyunjin bertanya.

"Markas mereka," jawab Minho dan Hyunjin pun tak mengatakan apa pun, ia memasuki mobil dan duduk dengan ekspresi cemasnya. Sementara Minho nampak datar seperti biasanya.

---***---

Sinb sedang berbaring dengan membaca novel sci-fi fantasy miliknya. Ia tidak menyangka sama sekali, jika keputusannya untuk pergi dari rumah membuatnya mendapatkan berkah tak terkira seperti ini.

Meskipun ini tak nampak seperti piknik dengan pemandangan pohon hijau atau danau yang indah, melakukan hal semacam ini adalah sebuah kesenangan tak terkira.

Padahal, gadis yang normal mungkin akan terus menangis karena harus hidup di tengah-tengah orang asing dengan terus waspada, serta dengan keadaan materi yang tak memiliki apa pun.

"Noona, hyung di depan ingin menemuimu!" teriak Han yang seketika memperburuk mood Sinb.

"Katanya, bedebah itu dihukum? Kenapa ia bisa disini?" keluhnya yang berjalan lemas menuju pintu dan saat ia membukanya, Sinb melihat Chan berjalan mendekat.

"Ayo pergi cari makan diluar, aku akan membayar usahamu untuk menipu beruang tua itu," kata Chan yang kini menarik tangan Sinb, membuat gadis ini mau tidak mau harus mengikutinya.

"Apa kau tidak bisa pelan-pelan? Tanganku sakit," keluhnya dan Han yang disampingnya hanya mampu menyenggol gadis itu. Membuat Sinb menggerutu tanpa suara.

Hanya beberapa menit mereka berjalan sampai di depan sebuah restaurant. Masuk dan memesan beberapa menu.

"Aku heran, bagaimana bisa kau terbebas dari hukuman?" Sinb menopang dagunya dengan tangan, memandang Chan heran.

Pria ini tersenyum, sepertinya ini sebuah perubahan besar. Han pun menjadi cukup senang saat melihat Chan lebih positif dari biasanya.

"Itu karena kau berhasil mengecohnya," jawab Chan.

Sinb mulai berpikir. "Maksudmu tentang bagaimana aku berpura-pura menjadi kekasihmu?" tanyanya dan Chan pun mengangguk.

Sinb menghela napas. "Aku benar-benar tidak mengerti dengan cara berpikir orang tua di Korea. Bagaimana bisa, mereka menjadi sangat terobsesi hanya dengan kekasih anaknya di usia remaja seperti ini?" keluh Sinb membuat Chan diam.

"Mereka? Memang ada lagi selain beruang tua itu?" Han menyeletuk.

"Ada, orang tua Minho sama dengannya," jawab Sinb reflek dan seketika menyesal saat ia menyadarinya. Ia sedang menopang hidup pada Chan sekarang, seharusnya ia cukup tahu diri. Sebisa mungkin berusaha untuk tak membuatnya marah.

"Jadi kau juga pernah berpura-pura menjadi kekasihnya?" Kali ini Chan bertanya dan Sinb yang tertangkap basah, mau tidak mau harus mengakuinya.

"Ne, aku terpaksa melakukannya karena dia terus mengancamku," terangnya.

"Hyung, Kau sangat tahu bukan bagaimana Minho." Han mencoba menambahi serta membela Sinb.

Chan pun menghela napas, memandang Sinb dengan tatapan sulit diartikan membuat Sinb menjadi heran. "Baik, aku akan memaafkanmu. Namun, jika kapan pun ia datang dan mencoba memaksamu lagi, kau harus memilihku," tekannya yang kali ini membuat Sinb membisu. Bingung, bagaimana cara menjawabnya.

"Karena hanya aku yang bisa menampungmu kapan pun kau pergi dari rumahmu," ungkapnya.

Oh, jadi ini seperti sebuah kesepakatan? Entah keuntungan apa yang Chan dapat dari semua ini, yang pasti Sinb tak ingin memikirkannya terlalu serius. Ia cukup membandingkan saja, lebih aman dimana? Chan atau Minho?

Minho adalah tipikel pria yang selalu mengintimidasi dan menyebalkan. Ia tidak pernah benar-benar menghargai sebuah kesepakatan. Sementara Chan, meskipun terkadang cukup licik, realitanya ia tidak pernah mengabaikan upaya seseorang. Ditambah lagi dengan kehadiran Han yang membuat Sinb sangat nyaman. Hal ini lah yang akan menjadi pertimbangan Sinb.

"Tentu, aku akan memilihmu," kata Sinb dengan yakin.

"Kau harus mengingat itu noona," kata Han memperingatkan.

"Tentu, jika ia mengingkarinya ... Aku bisa lebih kejam dari biasanya," ucap Chan santai dan Sinb hanya mampu mendengus.

Mereka pun makan bersama dalam suasan hikmat sampai ketika seseorang membuat keributan.

Brak

Sebuah meja jatuh. Ketiga orang itu segera mendongak.

"Kau?" pekik Sinb.

Chan dan Han pun berdiri.

"Pulang denganku," Hyunjin menarik tangan Sinb dan gadis ini pun menepisnya.

"Shireo! Apa kau tidak tahu aku sedang makan?!" katanya yang duduk kembali, membuat baik Chan dan Han tersenyum.

Sementara sosok Minho terlihat begitu marah.

"Kita semua mengkhawatirkanmu. Bahkan Appa dan paman menyewa detektif untuk mencarimu!" bentak Hyunjin dan Sinb tersenyum sinis.

"Untuk apa? Bukannya kau dan mereka sangat terganggu dengan kehadiranku? Ini akan lebih baik untuk kalian, jadi kau tidak perlu berpura-pura lagi," ucapnya sinis, bahkan rasa takutnya pada Minho terlupakan. Amarah dan kekecewaannya mendominasi.

Han yang menyadari perubahan sikap Sinb diam, hanya Chan yang terlihat cukup senang.

"Aku tahu jika aku salah, tapi noona caramu ini juga salah. Tidak sepantasnya kau pergi dan tinggal bersama mereka," tuding Hyunjin pada Han serta Chan.

"Lalu aku harus bagaimana? Kau lebih suka melihatku gelandangan atau menjadi tangkapan para preman atau pemabuk?" balas Sinb yang membuat mulut Hyunjin seketika bungkam.

Kali ini Minho yang berjalan mendekat dan berusaha untuk menarik Sinb. "Sampai kapan kau menjadi gadis bodoh yang tidak tahu situasi?" ejek Minho dan Sinb pun berusaha melepaskan tangannya. Kali ini Chan yang melangkah, melepaskan tangan Sinb.

"Jangan ikut campur, kau dan aku punya urusan sendiri," ucap Minho.

Chan terkekeh. "Benarkah? Bukankah hal ini sama dengan beberapa tahun lalu? Saat kau mencoba menyiksanya," sindir Chan yang membuat Minho mencoba meninjunya tapi Chan berhasil menangkap kepalan tangan Minho.

"Sekarang tidak akan sama lagi Minho-ya. Han, bawa Sinb pergi dari sini!"

Han pun segera menarik Sinb pergi.

"Noona, jika kau tetap pergi, kau akan menyesalinya." Hyunjin memperingatkannya, membuat Sinb menoleh.

"Menyesal katamu? Ku rasa, aku sudah sering menghadapi yang namanya penyesalan karena terus-terusan mencoba mengerti kalian, tapi kalian tidak pernah mencoba untuk mengerti diriku barang sedetik saja," balas Sinb yang kali ini pergi mendahului Han.

"Noona tunggu ...." panggil Han yang kini mengikutinya membuat Hyunjin terlihat sangat marah.

"Kalian lihat sendiri kan? Minho-ya, tidak semua hal bisa kau dapatkan. Mungkin sekarang waktunya untuk kemenanganku." Chan tertawa dan pergi meninggalkan mereka berdua.

"Hyung, kita harus mengejarnya. Aku tidak ingin keluargaku terlibat dalam urusan ini," mohon Hyunjin.

"Kita sudah tahu tempat mereka dan kapan pun kita bisa menemuinya. Jangan katakan jika kau sudah menemukan Sinb kepada orang tuamu dan beri aku waktu seminggu untuk menyelesaikan ini," janji Minho dan Hyunjin pun terpaksa mengiyakannya.

Sementara Sinb, berjalan cukup cepat. "Noona ...." Han terus memanggilnya.

"Bukankah kau ingin Hyunjin mengakui kesalahannya? Kau sudah mendapatkannya dan kembali kerumahmu sekarang." celetuk Chan yang seketika membuat Sinb menghampirinya.

"Kau mempermainkanku!" pekiknya kesal, menatap Chan tajam.

"Hyung, kenapa kau seperti ini?" Han bahkan tak mengerti dengan Chan.

"Ku pikir dia cukup mempengaruhi Minho? Tapi, kenyataannya tidak terlalu. Ia hanya menganggapnya seperti kebanyakan anak Gimje yang ia coba lindungi. Jika tidak, mungkin ia akan menghajarku habis-habisan bahkan akan menyeretnya pergi," terang Chan yang sepertinya sangat paham dengan sifat Minho.

"Jadi karena itu?" Sinb bertanya dan Chan mengangguk tanpa merasa bersalah.

"Baik, aku akan pergi dari apartemenmu!" katanya yang kini berjalan lebih dahulu.

"Kau ini bagaimana, hyung?" Han menjadi kesal.

"Wae? Ini yang terbaik baginya. Ia seharusnya pulang," kata Chan dan Han pun tak bisa berkata-kata lagi pada Chan yang tak mudah di tebak.

Sinb pun memilih untuk tak kembali, berjalan mengikuti langkah kakinya.

Pikirannya sangat kacau, amarah dan kesedihannya bercampur. Kenapa semuanya begitu sulit? Sulit untuk membiarkannya hidup dengan tenang.

Bisakah Sinb bersandar dan mempercayai seseorang lagi?

-Tbc-


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top