Episode 5. Ide Gila

29 Maret 2015, 00.55

Ratna tertidur di lantai kamarnya. Meringkuk di sudut ruangan. Ia seperti pingsan. Jiwanya seperti melayang keluar dari tubuhnya dan pergi entah ke mana. Tubuh itu kaku. Hanya gerakan dadanya naik turun perlahan. Semua menjadi gelap dan ia tidak merasakan apa-apa.

Sayup-sayup ia mendengar suaranya dipanggil, dan kakinya terasa ditendang-tendang. Perlahan, ia membuka matanya. Dengan kesadarannya yang belum terlalu pulih, ia melihat seseorang berdiri di depannya, sambil berkacak pinggang. Ia mengusap-ngusap matanya. Ia mencoba mengembalikan kesadarannya. Ia tersentak! Tubuhnya terasa dingin. Ia baru menyadari kalau dirinya tidur di atas lantai kamarnya. Belum sempat ia bangkit, orang di depannya sudah mengeluarkan umpatan-umpatan kasar.

"Heh! Bangun! Sudah siang! Ngapain kamu tidur di lantai? Seperti tidak ada kasur saja!" Linda membentak sambil menendang ujung kaki Ratna. "Bangun! Belum masak, belum mencuci piring, belum menyapu, belum mengepel! Pemalas!" Linda menarik tangan Ratna dengan kasar.

Ratna berusaha bangkit. Tubuhnya terasa sakit semuanya. Ia kembali mencoba mengingat apa yang telah terjadi. Belum sempat ia mengingat, ibunya sudah menarik tangannya dan menyeretnya ke dapur, sambil mengomel dari Sabang sampai Merauke. Kupingnya terasa panas. Kapan kesempatan ia bisa memikirkan dirinya sendiri?

"Cuci piring, lalu masak nasi! Mama sudah masak lauknya!" Linda menyorongkan kepala Ratna di hadapan setumpuk piring dan alat masak bekas mamanya memasak. Dengan setengah hati, ia mulai mencuci piring. Ia kembali mencoba mengingat apa yang telah terjadi semalam. Kenapa tubuhnya terasa sakit semua. Kepalanya terasa sakit dan berat. Ia berusaha untuk menahan semua rasa sakit itu.

Ia ingat apa yang terjadi semalam. Dadanya bergetar. Hatinya kembali was was. Ia melirik ke arah ruang makan. Linda sedang menata meja makan. Pada siapa ia harus mengadu? Linda pasti tidak percaya. Alih-alih dibela, mungkin caci maki yang terlontar dari mulut mamanya, jika ia mengadukan apa yang telah terjadi padanya semalam.

"Mencuci piring, sayang?" Tiba-tiba Raditya sudah berdiri di sampingnya.

Ratna tidak memedulikan kehadiran Raditya. Ia terus mencuci sambil menggigit bibir bawahnya menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.

Tiba-tiba, Raditya mencium pipinya.

"Apaan, sih!" bentak Ratna. Ia mendorong tubuh Raditya.

Raditya malah memeluk tubuh mungil Ratna. "Bagaimana semalam? Apa kau bisa tidur nyenyak?" tanyanya sok perhatian.

Di telinga Ratna, suara Raditya tidak lebih, bagai jarum beracun yang menusuk telinganya. Setiap perkataan Raditya, tidak pernah membuatnya nyaman.

Ia ingin buru-buru menyelesaikan cucian piringnya, namun masih terlalu banyak, tumpukan piring kotor di tempat cucian piring. Ia hanya bisa menarik napas panjang. Ia tidak mungkin berteriak.

Belum lagi ia menyelesaikan cuciannya, Linda sudah berteriak-teriak. "Ratna ...! Nasinya sudah kau masak, belum? Cepat! Papa, Mama bisa telat ke kantor!"

"Iya, Ma!" balas Ratna. Terpaksa ia meninggalkan sisa piring yang belum dicuci. Ia harus segera memasak nasi, kalau tidak ingin omelan Linda semakin panjang dan nyaring memekakkan telinga.

***

Pagi itu, Raditya mengantarkannya hingga depan gerbang sekolah. Ia segera membuka pintu mobil dan berlari menuju kelas.

"Selamat belajar, sayang!" teriak Raditya yang membuat Ratna menjadi makin sebal.

Alhasil.... ia terlambat sampai di kelasnya. Pak Herman sudah berdiri di depan kelas. Kaki Ratna gemetar. Ia rasanya tidak sanggup berdiri. Ia sudah membayangkan wajah Pak Herman yang murka melihatnya datang terlambat. Tidak ada ampun bagi Pak Herman.

Ratna berdiri mematung di depan pintu kelasnya. Teman-teman sekelasnya langsung mengalihkan pandangan ke arahnya.

"Lihat! Upik Abu terlambat lagi!" teriak salah satu temannya.

"Wah, kenapa semakin kumal saja! Rambutnya saja tidak disisir!" teriak temannya yang lain lagi.

Ratna tertunduk. Setiap hari ia selalu menghadapi ejekan dari teman-temannya. Ia sudah terbiasa menghadapi itu. Yang ia takuti bukan temannya, tapi Pak Herman, Sang Guru Killer!

Ketua kelas mereka, Dema Jurg, lelaki bertubuh gempal dan rambut ikal berdiri, lalu berteriak. "Kalian jangan sembarangan mengatai orang!"

Pak Herman terpaku memandang Ratna. Apakah ia harus memarahi Ratna? Mengapa Ratna terlihat sangat kumal hari ini? Pak Herman menggelengkan kepalanya. Apalagi yang terjadi dengan Ratna?

Ia menghampiri Ratna. Ia berdiri di hadapan Ratna. Ia tidak ingin wibawanya jatuh, karena memberi dispensasi pada siswa yang terlambat. "Kau ke kantor Bapak, sekarang juga!" perintah Pak Herman. "Kau tunggu Bapak, di sana!" lanjutnya lagi.

Dengan kepala tertunduk, Ratna berjalan menuju kantor Pak Herman. Tubuhnya terasa tidak enak hari ini. Ia merasa mual dan penat. Segera, setelah masuk ke dalam kantor Pak Herman, ia menghempaskan tubuhnya di sebuah kursi di depan meja Pak Herman dan menelungkupkan kepalanya di atas meja. Perlahan, tapi pasti, ia terlelap.

"Ratna...! Ratna...!" Seseorang memanggilnya dan menepuk-nepuk pipinya.

Ratna membuka matanya. Tubuhnya terasa menggigil.

"Kamu kenapa?" tanya suara yang lembut dan kebapakaan itu. Ia memegang dahi Ratna. "Badanmu panas!" pekik Pak Herman dengan cemas. Ia segera meminta bantuan ke kepala sekolah, dan meminjam mobilnya. Tanpa berpikir panjang, ia segera membopong tubuh Ratna menuju mobil dan mengantarnya ke dokter.

"Saya buatkan resep. Kalau dalam tiga hari, panasnya belum turun, sebaiknya anak Bapak diperiksa darahnya," ucap dokter itu.

Anak? Pak Herman tergugu. Namun ia tidak berusaha membantah ucapan dokter itu. "Iya, dokter. Sakit apa, Dok?"

"Sepertinya ada masalah di lambungnya."

"Oh!" Pak Herman hanya mengangguk-ngangguk, sambil membimbing Ratna turun dari ranjang pemeriksaan. "Terima kasih, Dok," ucap Pak Herman.

***

"Bapak antar kamu pulang," ucap Pak Herman setelah di dalam mobil.

Ratna menggelengkan kepalanya. "Saya tidak mau pulang, Pak," gumam Ratna pelan.

Pak Herman mengernyitkan alisnya. Ia merasakan ada sesuatu yang dahsyat telah terjadi pada Ratna. "Baiklah. Kalau begitu, setelah Bapak menebus resep ini, kau boleh istirahat di rumah Bapak."

Ratna menganggukkan kepalanya. Jika di rumahnya, ia tidak mungkin bisa beristirahat. Linda pasti tidak percaya kalau ia sakit. Ia tidak boleh sakit. Itu kata Linda.

Dengan telaten, Pak Herman membimbing Ratna turun dari mobil. Ia mengantar Ratna ke kamar putrinya. "Kau boleh istirahat di sini. Ini kamar puteri Bapak. Bapak sudah pesan dengan neneknya anak-anak, untuk memberimu makan dan obat. Kau beristirahatlah. Bapak harus kembali ke sekolah."

"Pak!"

Panggilan Ratna menahan langkah Pak Herman. Ia menoleh. "Ada apa?"

"Jangan bilang siapa-siapa, kalau saya ada di sini. Saya tidak mau pulang, Pak. Saya takut," keluhnya.

Sejenak, Pak Herman terdiam. Ia menganggukkan kepalanya. "Nanti, kamu cerita pada Bapak, apa yang sebenarnya terjadi."

Pak Herman meninggalkan Ratna. Tidak berapa lama Bu Endang, Ibunya Pak Herman masuk ke kamar. Di tangannya sudah ada sepiring nasi beserta lauk pauknya.

"Saya makan sendiri saja, Nek," ucap Ratna. Ia tidak mau merepotkan orang lain. Ia berusaha duduk dan bersandar pada kepala ranjang yang terbuat dari kayu itu.

"Baiklah!" Bu Endang menyerahkan piring pada Ratna.

"Terima kasih, Nek," Ia meraih piring dari tangan Bu Endang. Sebenarnya ia tidak nafsu makan. Sudah sejak tadi pagi, selera makannya tiba-tiba saja hilang.

Bu Endang melayani Ratna dengan telaten dan sabar. Kapan ia bisa memiliki ibu seperti ibunya Pak Herman ini? Lembut dan penuh perhatian.

Setelah minum obat, beberapa saat kemudian, ia kembali terlelap. Dalam lelapnya, tiba-tiba ia merasa sendirian di tengah-tengah padang pasir yang sangat luas. Ia tidak bisa membedakan arah mata angin. Matahari tiada, bulan dan bintang pun tiada. Semua gelap. Tanpa cahaya. Ia tidak tahu harus melangkah ke mana.

Jiwanya terasa kosong. Hampa. Sunyi. Setiap hari berlalu tanpa canda dan tawa. Ia tidak pernah merasakan genggaman hangat di tangannya. Ia tidak pernah merasakan ada orang yang mau menuntunnya. Ia selalu sendiri dan sendiri.

Ia melangkah dalam gelap. Meraba, menggapai. Ia tidak pernah menemukan seberkas cahaya sekali pun. Jiwanya tersesat. Entah arah mana yang hendak dituju. Ia sendiri tidak tahu. Ia tidak tahu apa itu hidup. Ia tidak tahu untuk apa ia hidup. Ia tidak tahu siapa dirinya. Ia tidak tahu kenapa ia bisa dilahirkan ke dunia ini.

Ia menggapai-gapai dan berteriak-teriak. Mencari seseorang yang bisa mengembalikan jiwanya yang tersesat dalam kegelapan dan kesunyian.

Tiba-tiba, ia merasakan tubuhnya hangat. Sangat hangat. Sebuah belaian ia rasakan di kepalanya. Terasa begitu lembut.

"Ratna!"

Ia membuka matanya. Ia kembali merasa kesadarannya seperti hilang. Ia di mana? Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. .

"Ratna? Kau sudah bangun?" Suara kebapakan itu terdengar begitu lembut di telinganya. Belum pernah ia mendengar suara selembut itu.

"Bapak?" Ratna memandangi wajah Pak Herman yang cemas.

"Iya, ini Bapak. Kamu kenapa teriak-teriak?"

Ratna terdiam. Ia sendiri tidak tahu, mengapa ia berteriak.

"Ratna. Ada apa? Kenapa kamu tidak mau pulang ke rumah. Ini sudah malam, lho! Orang tuamu, pasti mencari-cari kamu. Tadi di sekolah, kakak sepupumu mencari kamu."

Ratna terdiam. Ia bingung. Harus memulai dari mana? Apakah Pak Herman akan percaya padanya? Ia tidak mau pulang ke Rumahnya lagi. Menghadapi orang tuanya saja, membuat jantungnya berolahraga setiap hari. Ditambah lagi dengan kakak sepupunya. Ia merasa tidak nyaman di rumahnya sendiri.

"Boleh, saya menginap di sini?" tanya Ratna ragu.

"Boleh-boleh saja. Tetapi kamu tidak membawa pakaian salin. Kamu sakit. Nanti kalau ada apa-apa, bagaimana?"

"Tetapi saya tidak mau pulang, Pak. Mereka tidak akan mencemaskan saya. Saya takut di rumah," Suaranya bergetar. Jika menghadapi orang tuanya saja, ia masih sanggup. Namun menghadapi Raditya? Ia tidak akan sanggup.

Pak Herman terdiam. Ia merasa bingung sendiri. Ia ingin menolong Ratna. Namun ia tidak ingin dibilang menculik anak orang. Bisa berbahaya. Anak gadis, lagi. Apa kata orang nantinya?

"Boleh, kan, Pak?"

"Iya, boleh! Tetapi kamu tidak punya pakaian salin. Bagaimana, ini? Masak kamu pakai seragam itu terus?" tanya Pak Herman.

"Saya pinjam baju Aulia saja, Pak. Saya telepon dia." Ratna baru ingat tasnya. Kemana tasnya?

Pak Herman keluar kamar dan kembali dengan sebuah tas di tangannya. "Ini, tas kamu!"

"Terima kasih, Pak." Ia meraih tasnya dan merogoh ke isinya. Ia berusaha menghubungi Aulia, sahabatnya tercinta. Namun hari sudah malam. Aulia tidak mungkin datang ke rumah Pak Herman.

"Kata Aulia, dia enggak bisa ke sini, Pak."

"Bilang saja, Bapak yang ambil bajunya."

Ratna mengangguk dan berpesan pada Aulia, kalau Pak Hernan yang akan mengambil baju-bajunya.

***

Tiga hari, Ratna berada di rumah Pak Herman. Kesehatannya mulai membaik. Ia merasa tenang di rumah Pak Herman. Ia bisa beristirahat, tanpa ada yang mengganggu. Kedua anak Pak Herman sangat sopan dan penurut. Mereka tidak pernah mengganggunya.

Malam menjelang pagi itu ia terbangun dari tidurnya. Ia melirik jam. Jam dua pagi. Ia ingin buang air kecil. Ia melangkah keluar kamar. Di depan kamar tempatnya tidur adalah ruang tamu yang mungil. Sayup-sayup ia mendengar TV masih menyala dari arah ruang tamu. Ia melihat Pak Herman masih duduk di depan TV sedang menonton pertandingan bola. Kebetulan hari itu hari Minggu.

Berjingkat-jingkat, ia berjalan menuju kamar kecil. Rasanya seperti maling saja. Ia tidak mau mengganggu Pak Herman yang sedang asyik.

Setelah lega buang air kecil, ia bergegas membuka pintu kamar mandi dan melangkah ke luar. Tiba-tiba... tubuhnya beradu dengan Pak Herman yang hendak masuk ke kamar kecil. Tubuhnya oleng. Pak Herman menyanggah dan memeluk tubuhnya.

"Ratna?"

Tiba-tiba ia merasa seluruh persendian seperti terlepas. Jantungnya berdebar halus. Pelukan Pak Herman terasa begitu nyaman. Ia mendekap tubuh Pak Herman. "Bapak."

Pak Herman mengecup ubun-ubunnya sesaat. "Kau sudah bangun?"

"Kebelet pipis, Pak," jawabnya malu-malu sambil menyandarkan kepalanya di dada Pak Herman. Ia belum pernah merasakan hangatnya sebuah dekapan. Dirinya memang mungkin anak yang ke luar dari batu seperti Sun Go Kong. Tidak pernah merasakan lembutnya kasih sayang orang tua.

"Oh... kalau begitu, kamu tidur lagi." Pak Herman melepas dekapannya. Ia mengelus rambut Ratna. Rasa ibanya berubah menjadi rasa sayang pada Ratna.

Ratna menganggukkan kepalanya.

Ia berjalan menuju kamarnya. Ia berbaring dan berusaha untuk tidur kembali. Namun matanya sulit terpejam. Sosok Pak Herman berkutat di pelupuk matanya. Sosok yang galak dan tegas, namun lembut dan penuh kasih sayang. Seandainya saja ia mempunyai papa seperti Pak Herman....

Ia melangkahkan kaki ke luar kamar. Ia berdiri di samping Pak Herman. "Pak...."

Pak Herman menoleh. "Kok, enggak tidur?"

"Tidak bisa, Pak."

"Nanti kau sakit lagi."

"Saya sudah sembuh, kok. Boleh, saya duduk di sini?" tanya Ratna.

"Boleh." Pak Herman menggeser duduknya.

Ratna duduk di sofa sebelah Pak Herman. Ia memandang Pak Herman dengan penuh kekaguman. Baru kali ini ia merasakan hangatnya sentuhan kasih sayang dari seseorang. Dan orang itu bukanlah orang tuanya. Orang itu hanya gurunya. Seorang duda beranak dua, yang masih terlihat gagah dan tampan.

"Kenapa kamu melihat Bapak seperti itu?" tanya Pak Herman.

"Bapak baik banget, pada saya."

"Kita harus baik, sama siapa saja, Rat."

"Tetapi Bapak memang baik banget. Orang tua saya saja enggak sebaik Bapak."

"Apalagi dengan anak sendiri. Bapak pasti memberi perhatian ekstra, dong." Senyuman menghias wajah Pak Herman.

"Enaknya, kalau semua orang tua seperti Bapak," ucap Ratna sambil menarik napas panjang.

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu tidak mau pulang ke rumah?" tanya Pak Herman.

"Saya takut pada kakak sepupu saya, Pak." Ratna akhirnya menceritakan apa yang telah terjadi. Semuanya. Ia merasakan kedekatannya dengan Pak Herman. Ia bercerita dengan lancar, tanpa ada yang ditutupinya. Ia yakin, Pak Herman adalah orang yang baik. Tidak seperti keluarganya.

"Orang tuamu tidak tau kejadian itu?" tanya Pak Herman heran.

Ratna mengangguk.

"Kamu tidak cerita pada mereka?"

"Saya tidak mungkin cerita pada mereka, Pak. Mereka tidak akan percaya. Mereka lebih percaya pada kakak sepupu saya, dibanding saya."

Pak Herman menggeleng-gelengkan kepala. Apakah mungkin, ada orang tua yang tidak bisa dijadikan teman bicara? Bagaimana mungkin, anak remaja seperti Ratna harus menghadapi semua masalahnya sendiri? Ia tidak bisa memberikan komentar apa-apa.

"Kalau saya tinggal di sini boleh, tidak?" tanya Ratna penuh harap.

"Nanti orang tuamu mencari-cari kamu. Nanti Bapak bisa dituduh menculik anak orang. Apalagi kau anak gadis, dan Bapak laki-laki, duda, lagi. Apa kata orang, nantinya? Bapak bukannya tidak mengizinkan kamu di sini. Bapak senang kamu di sini. Puteri Bapak, juga senang ada kamu di sini. Tetapi kamu tidak mungkin berlama-lama di sini."

"Saya ada jalan keluar, Pak!" ucap Ratna penuh semangat.

"Jalan keluar bagaimana?" tanya Pak Herman heran.

"Supaya saya bisa tinggal di sini!"

"Apa?"

"Jadi isteri Bapak!" jawabnya singkat.

"Apa? Kamu masih kecil begini! Dan lagi, Bapak tidak bisa menikahimu." Ada trauma tersendiri bagi Pak Herman untuk mencintai seorang perempuan. Masa lalu itu selalu membayanginya. Dua peristiwa kelam, membuat dirinya terlempar pada kesendirian. 

"Kenapa, Pak? Bapak tidak beristeri." jawab Ratna sekenanya. Yang ada di otaknya adalah, bagaimana ia bisa keluar dari rumahnya.

"Tidak Ratna, Bapak tidak bisa."

"Pak, cuma menikah jalan satu-satunya untuk keluar dari masalah saya."

"Ratna, Ratna. Ada-ada saja."

"Saya serius, Pak!"

"Tetapi, kamu masih kecil."

"Saya sudah enam belas tahun, Pak! Sudah besar!" ucap Ratna tidak mau kalah.

"Tetap saja, kamu masih kecil."

"Tetapi saya mau tinggal di sini. Saya tidak mau pulang," desah Ratna lirih.

Pak Herman menjadi serba salah. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan menikah lagi. Cukup sudah dua kali cintanya kandas. Ia tak ingin semua kisah kelamnya terulang kembali dan menimpa Ratna.

"Jangan suruh saya pulang, Pak!" rengek Ratna.

Pak Herman menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan. Ternyata menolong orang tidak semudah yang dibayangkan. Bisa-bisa ia dituduh macam-macam, kalau Ratna berlama-lama di rumahnya. Namun melepas Ratna untuk pulang ke rumahnya, itu juga sulit. Kasihan Ratna. Menikah dengannya? Ini ide gila, yang tidak pernah terlintas di benaknya.

***



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top