Episode 3. Bingung

24 DESEMBER 2014, 18.05

Ratna menatap Pak Herman yang sedang mengajar. Ia memangku dagu dengan kedua tangannya di atas meja. Ia berusaha berkonsentrasi. Tapi pikirannya sangat nakal dan tidak mau diam. Berlarian dan berlompatan ke sana ke mari. Ditariknya napas berkali-kali. Tidak satu pun pelajaran yang dijelaskan Pak Herman masuk ke otaknya. Pikirannya seperti membeku. Dengan kesal, Ia memukul-mukul kepalanya dengan tangannya. 

Teman sebangkunya—Aulia Permata Sari—menatapnya heran. "Kau kenapa?" bisiknya perlahan, takut kalau terdengar Pak Herman.

"Aku tidak bisa konsentrasi," keluh Ratna.

"Tenangkan pikiranmu."

"Sudah, tapi tidak bisa."

"Ratna Dewi!" Tiba-tiba suara Pak Herman menggelegar, memecah kesunyian kelas. "Bisa diam, tidak?"

Aulia dan Ratna langsung terdiam kaku di bangkunya. Wajah mereka tertunduk. Dada mereka berdebar-debar, menunggu apa yang akan dilakukan Pak Herman.

"Ratna Dewi! Kau nanti ke kantor Bapak!" bentak Pak Herman.

Aulia menunjuk tangannya. "Bukan Ratna yang salah, Pak. Saya tadi yang mengajaknya bicara lebih dalu." Seperti biasa, Aulia sahabat satu-satunya itu selalu membelanya.

"Kau juga ke kantor Bapak! Kalian berdua!"

Ratna menarik napas panjang. Walau ia kemarin merasa dekat dengan Pak Herman, tapi dalam suasana kelas seperti ini, tetap saja Pak Herman bertindak sebagai guru. Galak dan seperti tidak mengenalnya.

Kali ini semua pikirannya, benar-benar hancur berantakan. Tidak ada satu pun pelajaran yang dapat diserapnya. Semuanya masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan. Bisa kacau kalau ia seperti ini terus. Bisa-bisa, ia tidak naik kelas.

***

Saat pulang sekolah, Aulia dan Ratna menghadap Pak Herman.

"Duduk!" perintah Pak Herman di dalam ruangan BK.

Dengan ragu mereka duduk di kursi yang ada di hadapan meja Pak Herman.

"Kalian mengerti apa yang tadi Bapak jelaskan?" tanya Pak Herman.

"Saya mengerti, Pak," jawab Aulia. Ia memang termasuk anak yang cerdas. Ia sering memberi contekan pada Ratna. Sayang, kemarin Aulia tidak masuk sekolah, hiingga Ratna tidak dapat mencontek PR Matematikanya pada Aulia.

"Kamu?" Pandangannya beralih pada Ratna.

"Tidak, Pak," jawab Ratna jujur.

"Ya sudah, Aulia kau ke kelasmu. Ratna kau tetap di sini."

"Tapi, Pak--." Aulia menatap Ratna iba. Ia takut sahabatnya yang penakut itu dimarahi oleh Pak Herman. Ia merasa kasihan jika Ratna dimarahi. Apalagi tiap hari di rumahnya, ia sudah dimarahi kedua orang tuanya.

"Keluar!" perintah Pak Herman.

"Baik, Pak." Aulia melangkahkan kaki keluar pintu. Hatinya gelisah memikirkan Ratna.

"Kau kenapa lagi?" tanya Pak Herman dengan suara berubah lembut.

"Saya tidak bisa konsentrasi, Pak." Ratna tertunduk. Ia tidak berani menatap Pak Herman.

"Mengapa?"

"Entahlah, Pak."

"Coba ceritakan pada Bapak. Kau dimarahi orang tuamu?"

"Kalo itu sudah biasa, Pak. Tiap hari juga, mereka marah pada saya."

"Masa?" tanya Pak Herman tidak percaya.

"Iya, Pak."

"Memang kenapa? Ceritakan pada Bapak, apa yang sebenarnya terjadi."

Ratna teringat semalam saat ia sedang menggambar di kamarnya tiba-tiba ibunya, Linda menerobos masuk dan langsung merampas kertas yang sedang ia coret-coret.

Linda menatap lembaran kertas sejenak lalu meremas-remasnya. "Untuk apa kau menggambar seperti ini! Mau jadi pelukis? Jadi pelukis itu kerjaan orang malas! Kerjaan orang yang tidak punya masa depan! Tidak bisa jadi orang kaya!" Linda melempar gumpalan kertas ke tong sampah di pojok kamar Ratna.

Ratna tertunduk. Hatinya teriris-iris. Pedih. Semua yang dilakukannya, selalu saja salah di mata kedua orang tuanya. Mereka memandang dunia ini hanya dari uang dan materi. Mereka menganggap kekayaan segalanya. Padahal ada yang lebih penting dari itu. Cinta.

"Kamu harus jadi Pegawai Negeri. Sekolah yang tinggi. Nanti, Mama masukkan kamu jadi Pegawai Negeri. Sekarang kau temani adikmu belajar. Mama mau istirahat. Capek!" Linda berlalu keluar dari kamar Ratna.

Dengan lesu, Ratna menghampiri adik nomor duanya, Heru yang masih duduk di bangku kelas lima SD kamarnya. 

Pak Herman menatap Ratna sayu. Ia tidak habis pikir dengan kelakuan kedua orang tua Ratna. Mengapa orang tua tidak mau mengerti keinginan anak? "Jadi kau tidak boleh menggambar oleh mamamu?"

Ratna mengangguk.

"Kau suka menggambar?"

Ratna mengangguk.

Pak Herman teringat pada putrinya--Puspa--yang senang menggambar. Ia banyak membelikan buku gambar, pensil warna dan krayon untuk anaknya. Ia senang anaknya punya hobi menggambar. Ia mendukung hobi anaknya itu. Tapi bagaimana mungkin orang tua Ratna tidak mendukung hobi positif yang dimiliki anaknya? Pak Herman menatap Ratna bingung. Baru kali ini ia mendapatkan murid dengan masalah yang serumit ini. "Apakah Bapak bisa menemui orang tuamu?"

"Jangan, Pak. Mereka bisa marah pada saya." Ratna tertunduk lesu.

Pak Herman termangu. Bagaimana ia dapat membantu Ratna? Sedangkan pusat masalah ada di kedua orang tuanya. Lama-lama Ratna bisa terhambat perkembangan jiwanya. Di sekolah Ratna tidak mempunyai kelebihan apapun. Biasanya sebodoh-bodohnya anak, pasti ada satu yang menonjol.

Pak Herman menatap Ratna yang tertunduk di hadapannya dengan hati miris. Bagaimana mungkin anak gadis secantik Ratna, harus terbelenggu dengan keegoisan orang tuanya? Bagaimana mungkin ia membantu Ratna Sedangkan Ratna bagai lembu yang diikat pemiliknya dan harus berlari tanpa tahu apa yang dilakukannya. Ia berlari dan berlari hanya karena pedih cambuk yang menderanya. Bagaimana mungkin ia membebaskan belenggu yang dibelitkan orang tuanya sendiri?

"Kau boleh pulang, sekarang." Pak Herman menghela napas panjang. Ia tidak dapat berkata apa-apa lagi. Yang ia khawatirkan hanya masa depan Ratna dan perkembangan jiwanya.

Ratna berjalan lesu keluar dari ruang BK. Pikirannya kosong. Jiwanya terombang-ambing. Tidak tahu apa yang harus ia kerjakan. Ia merasa bagai mayat yang hidup. Hidup hanya sekedar menjalani hidup itu sendiri, tanpa tahu ke mana ia harus melangkah.

Dengan iba, Aulia menatap Ratna yang berjalan ke arahnya. Ia sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat mendengar semua keluh kesah Ratna. "Kau dimarahi Pak Herman?" tanya Aulia cemas.

Ratna menggelengkan kepalanya.

"Tumben. Kok, Pak Herman tidak marah?" Aulia bernapas lega.  Biasanya Pak Herman tidak suka muridnya mengobrol jika ia sedang mengajar. Ia pasti akan marah dan menggebrak meja. Kali ini Pak Herman tidak seperti biasanya. Aulia memeluk Ratna, ia ingin memberi kekuatan pada Ratna.

Pak Herman berjalan keluar ruangannya. Ia menatap kedua muridnya yang sedang berpelukan. Ia mendekati mereka. "Ratna, kau pulang dengan siapa?"

Ratna menengok ke arah Pak Herman. "Mungkin dengan Aulia, Pak. Hari ini saya enggak dijemput." Ditatapnya wajah itu. Ada sedikit rasa teduh memandang wajah Pak Herman.

Aulia menggenggam tangan Ratna erat. Ia menatap Pak Herman tidak percaya. Suara Pak Herman begitu lembut, tidak seperti biasanya. Garang!

"Ya sudah." Pak Herman menatap Aulia. "Jaga Ratna baik-baik. Bapak duluan." Pak Herman melangkah meninggalkan mereka berdua.

Aulia menatap tubuh Pak Herman yang berjalan meninggalkan mereka. "Pak Herman kok, perhatian sih?" tanya Aulia.

"Entahlah." Ratna menggedikkan bahunya. "Dia sosok Ayah yang perhatiaaaan banget, pada  anak-anaknya. Keluarganya adalah keluarga yang bahagia." Ratna menatap kepergian Pak Herman.

"Kok, kamu tau?" tanya Aulia heran.

"Kemarin aku diajak belajar ke rumahnya."

"Oh, begitu." Aulia memandangi wajah Ratna. "Ternyata beliau baik, ya?"

"Iya. Anak-anaknya semua dekat banget dengan Pak Herman. Aku ingin punya ayah, seperti Pak Herman. Perhatian pada anak-anaknya."

Aulia mengusap-usap bahu Ratna perlahan. Ia tahu, tidak mungkin Ayah Ratna bersikap lembut pada Ratna.

"Sabar." Hanya kata itu yang dapat ia ucapkan.

"Sudah lama, aku sabar. Aku kayaknya tidak kuat lagi. Aku ingin melakukan hal-hal yang aku mau, seperti anak-anak lain," keluh Ratna.

"Sst .... sudahlah. Kamu mesti kuat. Sekarang, kita pulang. Hm!" Aulia menarik tangan Ratna.

Di atas motor Aulia dalam perjalanan pulang, mereka hanya diam. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Aulia seringkali bercerita pada ibunya tentang Ratna. Ibunya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mana ada ibu seperti itu? Di mana-mana, ibu itu, sayang pada anak-anaknya. Ibu macam apa yang melakukan hal-hal yang membuat anaknya menderita. Ibu mana yang tidak suka melihat anaknya maju? Baru kali ini, mama dengar ada ibu seperti itu." Demikianlah yang sering diucapkan ibunya.

Desi, ibu Aulia adalah sosok wanita lembut, keibuan, penuh kasih sayang dan perhatian pada anak-anaknya. Aulia merasa beruntung lahir dari rahim seorang ibu seperti Desi.

Berkali-kali Ratna mengeluh padanya. "Seandainya saja aku punya ibu seperti ibumu, betapa bahagianya aku. Kenapa aku mempunyai ibu egois seperti itu? Ibu yang tidak bisa dijadikan teman bicara?"

Ratna merasa hidupnya terlalu datar, tidak ada sesuatu yang berguna yang dapat ia lakukan selain hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Memang orang tuanya menyuruhnya sekolah. Tapi tidak pernah mendukungnya untuk belajar dan berprestasi di sekolah.

Perasaan dan jiwanya menjadi datar. Tanpa rasa. Yang ia rasa, hanya gundah gulana. Ia tidak tahu apa itu kasih sayang. Ia tidak tahu apa itu peduli. Ia tidak tahu apa itu sedih. Ia tidak tahu apa itu tergelak. Ia menjadi anak yang tidak peduli dengan orang lain. Ia tidak mau tahu urusan orang lain. Pikirannya tidak sempat memikirkan orang lain selain keluarganya. Ia harus bertanggung jawab pada adik-adiknya. Begitulah yang selalu diucapkan Linda. Padahal ia bukanlah ibu mereka. Ia hanya kakak mereka. Namun semua tanggung jawab mengurusi adik-adiknya ada di pundaknya.

Linda sibuk dengan dirinya sendiri. Bersolek, hingga terlihat cantik dan modis. Jauh berbeda dengan dirinya yang kumal dan tidak sempat merawat tubuh dan wajahnya. Linda sibuk dengan teman-temannya. Menghambur-hamburkan uang hanya untuk teman-temannya, namun sangat pelit dengan dirinya.

"Ia tidak pantas menjadi seorang ibu," gumam Ratna. Hatinya merasa kesal. Namun ia tidak dapat melakukan apa-apa selain mengeluh sepanjang hari. Mengeluh pada dirinya sendiri, pada Aulia, pada Pak Herman dan pada Tuhan. Mengapa ia harus dilahirkan di tengah keluarga yang aneh. Semua serba aneh, mulai dari orang tua sampai adik-adiknya. Dirinya pun ikut menjadi pribadi yang aneh, hingga ia sama sekali tidak mengenal dirinya sendiri.

Adiknya selalu menganggap dirinya sebagai ibunya, bukan Linda. Adiknya selalu menjadikannya tempat berkeluh kesah, bukan Linda. Adiknya selalu merajuk padanya,  bukan pada Linda. Sebenarnya siapa yang ibunya? Ia sendiri bingung dengan semua ini. Ia hidup hanya sekedar menjalaninya tanpa dapat merencanakan apa yang menjadi keinginannya. Ia seperti tidak punya hak atas hidupnya sendiri. Hidupnya adalah milik orang tuanya, bukan miliknya.

Ia dilarang menangis oleh orang tuanya. Ia dilarang bersedih! Dan sekaligus ia tidak diizinkan bahagia. Ia dilarang mengeluarkan air mata. Namun ia tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan isi hatinya. Dirinya dibentuk bagai robot oleh orang tuanya. Emosinya tidak diperkenankan untuk berkembang. Emosinya tidak diperkenankan untuk diungkapkan. Semua geraknya diatur sesuai dengan keinginan orang tuanya.

Ia mempunyai perasaan. Ia adalah manusia yang mempunyai jasmani dan rohani. Ia adalah manusia yang tersusun dari tiga puluh tiga jaringan tubuh, ditambah dengan satu jaringan otak. Ia adalah manusia yang terdiri dari tulang-tulang berlapis daging yang ditutupi kulit, yang di dalamnya ada darah yang mengalir. Ada napas di sana. Sama seperti mereka, orang tuanya. Ia pun dapat terluka, ia pun dapat merasakan sakit. Ia manusia yang juga seharusnya bisa menangis dan tertawa. Namun ia dilarang tertawa maupun menangis. Harus disembunyikan di mana semua perasaannya?

***



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top