Episode 10. Menjadi Punakawan

Bandar Lampung, Sabtu, 13 Juni 2015, 00.18

Dipublikasikan kembali, Minggu 29 Mei 2022, 02.41 WIB

Manyura Caya dan Jiwan Pratama, sepasang kekasih yang seperti muncul dari negeri antah barantah. Yang lelaki tampan dan gagah bak pangeran. Yang perempuan, cantik bak puteri raja. Tidak akan ada satu orang pun mengenali mereka lagi. mereka bagai lahir kembali menjadi manusia baru dengan penampilan baru, dan identitas baru.

Jiwan Pratama, alias Pak Herman. Oh... tidak! Pak Herman telah mati. Yang ada kini hanyalah Jiwan. Ratna sudah mati. Yang ada kini hanyalah Manyura Caya. Jiwan dan Yura. Mereka berdua turun dari sebuah mobil mewah—yang dikendarai oleh supir Raden Aksa—tepat di halaman sebuah rumah mewah di daerah Seturan, Sleman, Yogyakarta. Mata Yura dan Jiwan terbelalak. Tidak pernah terbayangkan sedikit pun mereka akan memiliki rumah yang sedemikian mewah. Berlantai dua dengan dinding didominasi cat putih. Pintu pagar tinggi, bercat abu-abu. Pintu terbuka dengan otomatis. Di sana sudah ada seorang satpam yang menyambut mereka. Dua orang pembantu, dan satu tukang kebun.

Supir yang mengantar mereka berbicara beberapa saat dengan satpam. Satpam itu mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu menatap ke arah Jiwan dan Yura.

Jiwan-Yura! Saling berpandangan. Entah perasaan apa yang muncul di dalam diri mereka. Mereka sendiri tidak mengerti. Bahagiakah? Takjubkah? Atau malah bingung? Yang jelas, hadiah ini jauh dari pikiran mereka. Tiba-tiba, menjadi orang kaya, tanpa bekerja sama sekali. Inikah yang dikatakan mendapat durian runtuh?

Kunci dan sandi brankas sudah di tangan mereka. Semua surat-surat rumah itu, akan dialihkan atas nama Manyura Caya, begitu Jiwan dan Yura menikah. Hal ini dilakukan, karena Yura masih di bawah umur dan belum bisa bertindak dalam hukum. Sehingga harus menunggu ia menikah dulu. 

Begitukah seorang konglomerat? Bisa membeli sebuah jati diri? Bisa mengubah identitas dengan leluasa?

Seorang Raden Aksa, bukanlah konglomerat yang congkak. Tidak seperti orang tua Yura. Belum terlalu kaya, namun terlalu sombong. Berbeda sekali dengan orang yang benar-benar memiliki harta berlimpah, sampai bingung, untuk apa harta yang dimilikinya. Apalagi Raden Aksa tidak mempunyai anak seorang pun.

"Sugeng Rawuh, Raden Ayu Manyura lan garwa!" Satpam membungkukkan badan dengan penuh hormat.

Yura kembali menatap Jiwan. Ia bukanlah orang Jawa. Ia tidak mengerti apa yang diucapkan satpam itu.

Jiwan berbisik pada Yura, "Dia bilang, selamat datang, Raden Ayu Manyura dan suami."

"Trus, aku jawab apa?" tanya Yura, masih dengan berbisik.

"Matur nuwun sanget, artinya terima kasih."

"Mm ... Matur nuwun sanget, Pak mm...." Yura memandang badge nama yang ada di dada satpam. "Bagus Setiadi!" Ucapan Yura, masih sangat kaku.

"Monggo, Raden Ayu!" Satpam itu kembali membungkukkan badannya. "Ini kunci kamarnya. Dan ini kunci mobil. Semua isi rumah sudah rapi dan bersih." Satpam itu menyerahkan beberapa kunci pada Yura.

Yura memandang Jiwan.

Jiwan mengangguk.

Yura mengambil kunci yang diserahkan padanya.

Jiwan merangkul bahu Yura. Membimbingnya masuk. Mereka mengangguk pada satpam dan tiga orang pembantu yang sudah dipersiapkan.

Ketiga pembantu, membawakan barang-barang Jiwan dan Yura. "Mari, Tuan Puteri!" ucap salah seorang pembantu sambil berlalu masuk ke dalam rumah, dengan melintasi halaman rumah yang sangat luas.

"Monggo, Raden Ayu! Kita liat-liat seisi rumah." Satpam menuju garasi, dan membuka pintu garasi. "Ini mobil untuk Raden Jiwan dan Raden Ayu Manyura."

Yura kembali saling berpandangan dengan Jiwan. Sebuah Innova hitam dengan plat yang masih merah, bertengger manis di sana.

"Matur nuwun sanget, Pak Bagus!" Jiwan menepuk bahu satpam itu.

"Monggo pinarak, Raden! Monggo!" Satpam mempersilakan mereka masuk.

"Injih, Pak."

Jiwan dan Yura masuk ke dalam rumah itu. Mereka melintasi pintu utama yang lebar, terbuat dari kayu pilihan dengan pelitur yang masih mengkilap. Pelitur mempertahankan warna asli dari kayu. Di depan mereka terbentang ruang tamu yang luas dengan satu set kursi tamu dengan kayu yang penuh ukiran. Wayang kulit Punakawan-Semar, Gareng, Petruk, Bagong-tertempel di dinding ruang tamu. Di bawahnya ada tulisan "Ojo Dumeh", yang artinya 'jangan sombong'.

Jiwan terpaku, menatap empat tokoh pewayangan itu dengan seksama. Lama sekali, ia tidak melihat bentuk wayang kulit.

Keempat tokoh itu mengingatkannya pada kelucuan-kelucuan mereka di dalam cerita pewayangan. Mereka juga bukan hanya sebagai penghibur, namun juga sebagai penasihat dan penolong. Seperti sewaktu Bimasena kewalahan menghadapi Sangkuni dalam perang Baratayuda, Semar muncul memberi tahu titik kelemahan Sangkuni. Punakawan adalah sahabat yang sangat memahami majikannya. Mereka selalu tampil dalam kisah Ramayana maupun Mahabarata versi Indonesia. Karena keempat tokoh itu, memang dilahirkan oleh pujangga Jawa.

Tokoh Punakawan muncul pertama kali dalam karya sastra berjudul Ghatotkacasraya karangan Empu Panuluh pada zaman Kerajaan Kadiri. Dikisahkan Abimanyu memiliki tiga orang Punakawan bernama Jurudyah, Punta, Prasanta. Ketiganya dianggap sebagai Punakawan pertama dalam sejarah kesusastraan Jawa. Punakawan selanjutnya adalah Semar, yang muncul dalam karya sastra berjudul Sudamala dari zaman Kerajaan Majapahit.

Semar dan ketiga anaknya, Gareng, Petruk, Bagong, adalah Punakawan pewayangan gaya Jawa Tengah. Sedang pewayangan gaya Sunda, Jawa Barat-Wayang Golek- bernama Semar, Cepot, Dawala, Gareng. Jawa Timur dan Bali berbeda lagi.

Semar menjadi rujukan para kesatria untuk meminta nasihat dan menjadi tokoh yang dihormati. Namun karakter tetap rendah hati, tidak sombong, jujur, dan tetap mengasihi sesama, dapat menjadi contoh karakter yang baik. Penuh kelebihan tetapi tidak lupa diri karena kelebihan yang dimiliki. Semar, bukan sembarang tokoh. Semar memiliki filosofi, jari telunjuknya seolah menuding, melambangkan KARSA/keinginan yang kuat untuk menciptakan sesuatu. Mata yang menyipit juga melambangkan ketelitian dan keseriusan dalam menciptakan.

Gareng adalah anak Semar yang berarti pujaan atau didapatkan dengan memuja. Nalagareng adalah seorang yang tak pandai bicara, apa yang dikatakannya kadang- kadang serba salah. Tetapi ia sangat lucu dan menggelikan. Nalagareng merupakan tokoh Punakawan yang memiliki ketidaklengkapan bagian tubuh. Nalagareng mengalami cacat kaki, cacat tangan, dan mata. Karakter yang disimbolkan adalah cacat kaki menggambarkan manusia harus berhati-hati dalam menjalani kehidupan. tangan yang ciker atau patah, melambangkan bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka mengambil hak milik orang lain. Mata yang cacat menunjukkan manusia harus memahami realitas kehidupan.

Filosofi Gareng—anak pertama Semar—dengan tangan yang cacat, kaki yang pincang, mata yg juling, melambangkan CIPTA. Bahwa menciptakan sesuatu, dan tidak sempurna, kita tidak boleh menyerah. Bagaimanapun kita sudah berusaha, apapun hasilnya.

Petruk adalah anak kedua Semar. Tokoh petruk digambarkan dengan bentuk panjang yang menyimbolkan pemikiran harus panjang. Dalam menjalani hidup manusia harus berpikir panjang (tidak grusa-grusu) dan sabar. Bila tidak berpikir panjang, biasanya akan mengalami penyesalan di akhir. Petruk merupakan tokoh yang nakal dan cerdas, serta bermuka manis dengan senyuman yang menarik hati, panda berbicara, dan juga sangat lucu. Ia suka menyindir ketidakbenaran dengan lawakan-lawakannya.

Filosofi Petruk, anak kedua Semar adalah karena kegagalan menciptakan Gareng, lahirlah Petruk. dengan tangan dan kaki yg panjang, tubuh tinggi langsing, hidung mancung, wujud dari CIPTA, yang kemudian diberi RASA, sehingga terlihat lebih indah dengan begitu banyak kelebihan.

Bagong adalah anak bungsu Semar atau punakawan ke 4. Bagong diciptakan dari bayangan Semar. Bagong bertumbuh tambun gemuk seperti halnya Semar. Namun seperti anak-anak semar yang lain, Bagong juga suka bercanda bahkan saat menghadapi persoalan yang teramat serius. serta memiliki sifat lancang dan suka berlagak bodoh. Karakter yang disimbolkan dari bentuk Bagong adalah manusia harus sederhana, sabar, dan tidak terlalu kagum pada kehidupan di dunia.

Filosofi Bagong—anak ketiga Semar—adalah wujud dari KARYA. Dialah yg dianggap sebagai manusia yang sesungguhnya. Walau Petruk lengkap dengan keindahan dan kesempurnaan, tapi bagong lah yang dianggap sebagai manusia utuh. karena dia memiliki kekurangan. Manusia yang sejati adalah manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Jadi jangan takut atau malu karena kekurangan kita. karena kekurangan itulah yang menjadikan kita manusia seutuhnya.yang perlu kita pikirkan sekarang adalah, bagaimana meminimalkan kekurangan kita, dan memaksimalkan kelebihan kita. Bagaimana pun kekurangan dan kelebihan itu tidak bisa kita buang atau kita hilangkan.

Jiwan mulai menganalisa, apa tujuan Raden Aksa memasang tokoh Punakawan itu di ruang tamu rumah pemberiannya itu. Sepertinya Raden Aksa sengaja memasang keempat tokoh itu, di dinding ruang tamu. Ini bukan sekedar hiasan semata. Ini adalah peringatan untuk dirinya dan Yura. Kalau ditelisik dari karakter keempat tokoh Punakawan, ia pikir, Raden Aksa mengingatkannya agar bisa menjadi seperti keempat tokoh itu. Ia tersenyum dan menganggukkan kepala. Ia mengerti. Ia akan memberitahukan ini pada Yura.

"Pak?" tegur Yura pada Jiwan.

"Hm...."

"Ada apa dengan wayang itu?" Yura mengerutkan dahi, melihat Jiwan yang sejak tadi diam dengan mata tertancap pada empat tokoh wayang tidak dikenalnya. Ia memang tidak tahu dengan dunia pewayangan. Ia sama sekali tidak pernah mengenal keempat tokoh itu. Zaman sekarang, sudah sulit menonton pertunjukkan wayang. Apalagi di daerah ujung Pulau Sumatera tempatnya dilahirkan. Televisi nasional saja, sekarang jarang sekali menampilkan pertunjukkan wayang. Ia sendiri tidak pernah menontonnya. Lebih tepatnya tidak pernah tertarik, karena ia tidak mengerti sama sekali. Apalagi dalang memainkannya dengan menggunakan bahasa Jawa halus atau biasa disebut Kromo Inggil. Bahasa yang biasa dipakai lingkungan keraton, atau orang-orang tua zaman dulu.

"Kamu pasti tidak mengerti. Keempat tokoh wayang ini biasa disebut Punakawan. Yang berarti...." Jiwan menjelaskan panjang lebar tentang keempat tokoh wayang tersebut.

"Ooo...." Yura membulatkan bibirnya. Ia sedikit bingung.

"Raden Aksa menginginkan kita jadi seperti mereka. Selalu jujur, rendah hati, mau menolong siapa saja yang butuh pertolongan, selalu penuh semangat, tidak suka menipu, tidak mencuri. Begitulah."

Yura mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebuah pemikiran mendalam dan bijaksana masuk menerobos alam bawah sadarnya. Tidak ada ruginya mengikuti sesuatu yang baik dan bermanfaat.

"Kita ke dalam, Pak." Yura menarik tangan Jiwan masuk ke bagian ruang tengah.

Di sana, lagi-lagi Jiwan tertegun. Dadanya seperti tertohok. Sepasang wayang, Rama dan Shinta menempel di dinding bagian sebelah kiri. Kisah Ramayana dengan tokoh Rama menggambarkan seorang ksatria tangguh berjuang menyelamatkan isterinya Shinta dari tangan Rahwana yang telah menculiknya. Cerita ini sendiri mengandung filosofi, perjuangan manusia yang digambarkan pada tokoh Rama, untuk berjuang menuju kebenaran. Kebenaran itu, digambarkan pada sosok Shinta.

"Pak!" Yura sekali lagi menegur Jiwan yang diam terpaku.

"Kita harus berjuang, Yura. Apa yang kita peroleh saat ini, rumah, serta kekayaan yang akan diwariskan Raden Aksa, bukanlah tujuan hidup kita. Kita harus melaksanakan kebenaran. Melakukan kebaikan dengan harta yang kita miliki. Kita jangan sampai terlena," gumam Jiwan.

"Maksud Bapak?" Yura tidak masih belum mengerti maksud pembicaraan Jiwan.

"Raden Aksa, orang yang baik, berbudi luhur. Terbukti dengan keenam tokoh pewayangan yang ditempel di dinding rumah ini. Raden Aksa adalah orang yang tidak melekat dengan apa yang dimilikinya. Ia rela menyerahkan semua harta kekayaannya padamu. Ia melindungi harta kekayaannya dari tangan-tangan orang-orang yang serakah, seperti tokoh Kurawa. Ia ingin harta yang dimilikinya jatuh ke tangan orang yang tepat. Ia memilihmu. Aku yakin, ia tidak sembarangan memilih orang. Aku yakin, Raden Aksa bukanlah orang sembarangan. Ia orang pandai, bijaksana dan mempunyai kemampuan supra natural. Ia mempunyai indera keenam yang tajam. Ia bisa mengenali dirimu, sebagai orang yang tepat untuk menerima semua harta kekayaannya."

"Maksud Bapak?" Yura makin tidak mengerti. Maklum saja, ia masih terlalu muda.

"Kau orang yang jujur dan bijaksana menurut Raden Aksa, Yura." Jiwan merangkul bahu Yura. Tidak salah ia memilih Yura menjadi isterinya.

"Lalu...?"

"Semua harta yang diwariskan oleh Raden Aksa padamu, harus kau kelola dengan baik dan bijaksana. Bukan untuk kejahatan atau untuk menindas orang lain. Ia ingin kau melindungi harta kekayaan Raden Aksa dari saudara isterinya yang serakah."

"Apa yang harus aku lakukan, Pak?"

"Lakukan sesuai nuranimu. Aku yakin, kau bisa melakukannya. Aku akan membantumu. Ini adalah tugas berat, Yura. Kau menerima semua ini, bukan untuk bersenang-senang."

"Aku akan mencobanya. Bantu aku, Pak." Yura melingkarkan tangannya di pinggang Jiwan.

"Pasti, dong!" Jiwan mengeratkan rangkulannya. "Kita lihat ke kamar kita, yuk?" Jiwan mengerling menggoda.

Wajah Yura memerah.

"Ayolah!" Ia menarik tangan Yura. Menuju kamar paling depan.

Yura membuka kamar itu. "Wow! Kurasa, ini kamar untuk kita!" Yura menarik lengan Jiwan masuk ke dalam kamar. "Luas sekali!" Ia berlarian dan melompat ke atas spring bed king size. Kondisi kamar sudah sangat-sangat rapi. Tanpa sengaja, tangannya menyentuh sesuatu di atas ranjang.

Ia meraih sebuah amplop. Di depannya tertulis, "Buat Yura, anakku, Bacalah!"

"Apa itu?" tanya Jiwan, yang berdiri di tepi ranjang.

"Entahlah. Sepertinya surat dari Raden Aksa untukku." Ratna membuka amplop surat itu dan meraih selembar kertas di dalamnya. Ia mulai membacanya.

Yura anakku,

Kuhadiahkan rumah beserta semua isi di dalamnya untukmu. Kuhadiahkan pula seluruh harta kekayaanku untukmu. Besok, setelah upacara pernikahanmu dengan Jiwan, kau bisa ke kantorku bersamanya. Alamatnya ada di balik kertas ini. aku akan mengalihkan seluruh harta kekayaanku padamu.

Di dalam rumah ini, kau bisa melihat ada enam tokoh pewayangan. Aku sengaja meletakkannya di sana. Kalau kau tidak mengerti maksudnya, kau bisa bertanya dengan calon suamimu. Keenam tokoh pewayangan itu, akan selalu melindungimu dari niat jahat dan keserakahan orang-orang yang mengejar harta yang kuserahkan padamu.

Satu lagi pesanku, kamar ini, jangan kau tempati sebelum kalian menikah. Aku tidak mau kesucian rumah ini ternoda.

Salam dari Romomu,

Raden Aksa jatmiko

"Apa katanya?" tanya Jiwan.

Yura menyerahkan surat itu ke tangan Jiwan.

Jiwan membacanya dengan seksama. Ia memandang Yura tajam. "Apa yang kupikirkan tidak salah lagi, Yura!" gumam Jiwan.

"Aku mengerti, sekarang," gumam Yura.

"Kita adalah Punakawan dari Raden Aksa dan Kekayaannya, Yura. Kita harus membantunya menyelamatkan kekayaannya. Aku yakin, ia ingin melakukan sesuatu dengan semua harta yang ia miliki."

"Ya. Sungguh jahat, orang-orang itu. Bisanya hanya merampas hak orang lain, tanpa mau bersusah payah."

"Ayo, kita liat ke ruangan lain!" Jiwan menarik tangan Yura. Dilemparnya surat itu ke atas ranjang.

Mereka mengitari seluruh ruangan dalam rumah dengan dua kamar di bawah dan satu kamar di lantai dua dan satu kamar lagi di lantai dua untuk kamar pembantu. Rumah luas dengan perabotan yang semuanya terbuat dari kayu asli dengan pelituran yang masih mengkilap. Semuanya masih terlihat baru. Ini benar-benar luar biasa. Berapa banyak sebenarnya asset dari Raden Aksa?

Yura terlongo-longo melihat apa yang ada di pelupuk matanya. Bagaimana mungkin dirinya yang dulu adalah gadis terbuang, tersia-sia, tidak ada harga sama sekali, seorang Upik Abu, tiba-tiba menjadi Tuan Puteri dengan kekayaan berlimpah. Bahkan mungkin ia akan menjadi Ratu di kerajaan bisnis Raden Aksa. "Ini luar biasa, Pak! Aku jadi kaya mendadak!" pekik Yura.

"Sst...! Ini bukan untukmu! Raden Aksa hanya menitipkannya padamu!"

"Iya, aku tau. Tetapi tetap saja aku yang menikmatinya. Wow... super sekali! Bagaimana jika Aulia tau? Jika orang tuaku tau?"

"Kau tidak boleh menghubungi orang tuamu!"

"Aku tau." Tiba-tiba wajah Yura terlihat mendung.

"Kau sedih? Ingin pulang?" tanya Jiwan.

Yura menggelengkan kepala. "Bukan itu. Aku hanya menyesal, mengapa dilahirkan dari orang tua seperti mereka. Mengapa tidak sejak dulu aku tidak dilahirkan dari rahim Ibu Andita Laksmi, seorang ibu yang penuh kasih sayang. Seorang ibu sejati."

"Kan, sekarang kau sudah menjadi anaknya?"

"Iya, tapi kenangan kelam masa laluku, tidak mudah dilupakan." Yura menyandarkan kepala ke dada Jiwan.

"Sudahlah. Lupakan masa lalumu. Kita buka lembaran baru." Jiwan mengusap kepala Yura. "Kita turun?"

Yura menganggukkan kepalanya. Sambil memeluk pinggang Jiwan, mereka melangkahkan kaki menuruni anak tangga. Saat turun, tanpa sengaja, mata mereka tertancap pada tulisan di depan tangga yang hanya terlihat jika menuruni anak tangga. Wong Jawa Kari Separo Wong Cina Karo Sajodho.

"Apa artinya, Pak?" tanya Yura yang tidak mengerti Bahasa Jawa sama sekali.

"Artinya, orang Jawa tinggal separuh, orang Tionghoa tinggal sepasang. Itu ada artinya lagi. Maksudnya ... orang Jawa yang menjalani adat Jawa tinggal separuhnya. Orang-orang Tionghoa di perantauan melupakan adat budaya leluhurnya. Yang terpenting, dari pesan itu, Raden Aksa adalah orang yang menjunjung tinggi falsafah dan adat Jawa. Ia ingin, kita selalu melestarikan adat budaya bangsa kita." Jiwan tersenyum memandang Yura.

"Kau beruntung mendapat orang tua seperti Raden Aksa dan Ibu Laksmi, Yura."

"Ya. Ini seperti durian runtuh."

"Bukan durian runtuh, dong! Kalau durian runtuh, kepalamu sudah benjol-benjol!" canda Jiwan.

"Hehe... iya, ya. Apa, dong?"

"Ini berkah! Anugerah dari Tuhan!"

"Iya, sayang." Yura mengerling pada Jiwan.

Muach! Jiwan mengecup pipi Yura. "Kau sekarang jadi tuan puteri yang cantik jelita!"

Yura membalas mengecup pipi Jiwan. "Kau sekarang jadi pangeran yang sangat tampan!"

Haha.... Mereka tertawa bersama sambil menuruni anak tangga.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top