Episode 1. Ayah Idaman

22 DESEMBER 2014, 06.10

Ratna Dewi turun dari mobil yang mengantarnya ke sekolah. "Terima kasih, Pak," ujarnya pada supir yang mengantarnya.

Ia berlarian kecil menuju kelas, dengan melintasi lapangan basket. Sebentar lagi bel masuk akan segera berdentang. Baju dan roknya tampak lusuh tidak disetrika. Hari-hari dirinya sibuk menyetrika pakaian orang tua dan adik-adiknya, hingga tidak sempat menyetrika bajunya sendiri. Kalau ia tidak menyetrika pakaiannya sendiri, tidak akan ada yang memarahinya. Tetapi kalau ia tidak menyetrika pakaian orang tua dan adiknya, mereka beramai-ramai menghardik dan memakinya.

Bruk! Sekonyong-konyong  kakinya terantuk lantai koridor di depan kelasnya. Raganya terhuyung sejenak lalu, bum! Ia terjerembab.

Semua siswa yang berpakaian putih biru, yang ada di sana mentertawainya. "Haha ... Lihat, Si Upik Abu. Kebiasaan banget. Telat mulu! Lihat, teman-teman! Bajunya seperti sudah berhari-hari tidak ganti!" ejek salah seorang temannya. Ejekan yang sudah biasa menusuk pendengarannya.

Perlahan ia bangkit dengan kepala tertunduk. Lututnya terasa nyeri. Ia mengusap lututnya perlahan. Ia berusaha melangkah, tetapi kakinya terasa nyeri. Ia menundukkan kepala dalam-dalam, tidak berani menatap teman-temannya. Mana ada teman yang peduli padanya? Ia selalu dianggap orang yang tak berguna di mana pun ia berada. 

Pucat membias wajahnya. Ia mencoba untuk tegar, walau jiwa dan rasanya selalu limbung.  Dilangkahkannya kaki masuk menuju kelas. Sendiri. Ya, ia selalu merasa sendiri. Tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini. Satu-satunya orang yang baik padanya hanyalah teman sebangkunya, Aulia.

"Kemana dia?" tanyanya dalam hati. Diedarkan pandangannya mengitari ruang kelas, takut-takut. Aulia tidak ada di bangkunya! Dengan dada bergetar menahan rasa takut ia duduk perlahan di bangkunya. Ia takut berada di tengah orang ramai. Ia takut orang tidak suka kehadirannya, seperti orang tuanya yang tidak pernah suka ia ada di tengah mereka. Ia takut kalau dirinya selalu membawa sial bagi orang-orang sekitar, seperti yang selalu dikatakan orang tuanya.

Orang tuanya hampir tiap hari memaki dengan kata-kata kasar. "Dasar anak sial! Selalu membawa masalah! Anak setan!" Kata-kata itu selalu ia dengar dan setiap saat terngiang di gendang telinganya. Ia merasa hidupnya tak mempunyai arti. Ia merasa kelahirannya tidak pernah diharapkan oleh kedua orang tuanya.

***

"Keluarkan PR Matematika kalian!" Suara Pak Herman—guru Matematikanya—seperti hantaman batu yang dilontarkan ke arahnya.

Ia terpaku! Ia belum mengerjakan PR yang diberikan Pak Herman kepadanya. Guru yang berstatus duda itu—umur 39 tahun dan memiliki dua puteri—terkenal killer dan tidak pandang bulu.

Keringat dingin mulai mengucur. Raganya gemetar. "Kacau! Aku bisa kena marah lagi."

"Ratna Dewi! Mana PRmu? Semua temanmu sudah mengumpulkan PRnya!" Pak Herman menatapnya tajam. Bola matanya berkilat tajam.

Ia tidak berani mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk. Alamat tidak ada yang membela dan menghiburnya. Aulia hari ini tidak masuk sekolah. Biasanya Aulia selalu gigih membela dan melindunginya.

"Ratna Dewi!" Tiba-tiba Pak Herman sudah berdiri di sampingnya.

Ia bergeming. Tubuhnya kaku. Lidahnya kelu. Rasa takut membungkusnya.

"Ratna Dewi!" bentak Pak Herman. "Kau tidak mengerjakan PR lagi?!" Pak Herman melipat kedua tangannya di depan dada seraya menggelengkan kepala. 

Ia heran dengan muridnya yang satu ini. Acap kali tak mengerjakan PR walau sudah beberapa kali dihukum. Ia menatap Ratna yang gemetar. Tetiba, hatinya luluh manakala melihat wajah memelas di hadapannya. "Nanti setelah pelajaran Bapak, kau ke kantor menghadap Bapak." Akhirnya ia berkata dengan suara yang pelan.

Sepanjang jam pelajaran, konsentrasinya buyar. Pemahamannya pada pelajaran Matematika sangat lemah bahkan di hampir semua pelajaran. Hanya pelajaran Bahasa Indonesia dan seni yang ia sukai. Karena belajar Bahasa Indonesia dan seni itu menyenangkan. Tidak banyak berpikir. Apalagi kalau pelajaran mengarang dan menggambar, paling ia suka.

Ratna—gadis remaja dengan tinggi 155 cm dan berat 40 kg—duduk dengan gelisah di bangkunya. Ia tidak sempat mencerna ucapan Pak Herman. Yang menyelimuti pikiran dan jiwanya hanyalah ketakutan. Guru satu ini begitu galak dan tidak pernah memberi keringanan pada siapa pun.

***

"Duduk!" perintah Pak Herman pada Ratna yang berdiri di hadapannya—di ruang kantor guru BK (Bimbingan Konseling). Ia sengaja memakai ruangan itu agar dapat leluasa berbicara dengan Ratna empat mata. Ia ingin tahu ada apa sebenarnya dengan muridnya yang satu ini.

Ratna duduk dengan takut-takut. Jantungnya berdetak kencang. Ia sudah membayangkan bentakan dan hardikan Pak Herman sama saja seperti orang tuanya yang selalu memarahinya, kalau saja ia berbuat salah.

Pak Herman menatap Ratna tak berkedip. Hatinya luluh melihat Ratna yang ketakutan di hadapannya. Ia teringat akan anak-anaknya di rumah—yang baru berumur 5 dan 8 tahun yang semuanya perempuan. Kedua anaknya yang tidak lagi memiliki ibu dan kini lebih banyak bersama dengan neneknya.

"Ratna." Suara Pak Herman terdengar lembut.

Ratna tertunduk kaget. Raganya kian gemetar, takut menghadapi hukuman.

"Ratna, Kamu jangan takut, Bapak tidak akan memarahimu."

Ratna masih tidak berani mengangkat kepalanya dan menatap Pak Herman.

"Mengapa kamu sering tidak mengerjakan PR. Ada apa denganmu?" tanya Pak Herman. Sebagai seorang guru—walau ia terkenal tegas dan galak—tapi ia juga tahu psikologi kesiswaan. Ia ingin anak-anak didiknya menjadi orang yang disiplin dan punya tanggung jawab.

Ratna terdiam.

"Ratna, bicaralah. Bapak tidak akan memarahimu. Kalau bisa, Bapak akan membantu kesulitanmu. Katakan, mengapa kau tidak mengerjakan PRmu?"

"Maaf, Pak. Saya tidak sempat mengerjakan PR," jawab Ratna pelan masih dengan wajah tertunduk.

"Tidak sempat?" Pak Herman mengernyitkan alis. "Apa kerjamu di rumah, sampai tidak sempat mengerjakan PR?"

"Saya harus membantu orang tua mengerjakan pekerjaan di rumah."

"Pekerjaan apa?"

"Menyapu, mengepel, mencuci piring, menyetrika, mengurusi adik-adik saya," jawab Ratna.

"Orang tuamu tentara, kan?"

"Iya, Pak."

"Kalian tidak punya pembantu?"

"Tidak ada, Pak."

"Jadi semua pekerjaan itu, kamu yang kerjakan?" Pak Herman tidak percaya. 

Bagaimana mungkin seorang anak yang masih sekolah, disuruh melakukan semua pekerjaan rumah tangga, sementara orang tuanya termasuk orang yang cukup mampu? Bagaimana mungkin seorang pelajar tidak diberi kesempatan belajar oleh orang tuanya sendiri? Sedang ia sendiri selalu menekankan pada kedua anaknya agar rajin belajar dan menuntut ilmu seluas-luasnya.

Pak Herman mengernyitkan alisnya seraya memicingkan salah satu matanya. Setahunya orang tua Ratna bukan orang tua yang tidak mampu. Mengapa tidak mencari pembantu untuk mengerjakan semua pekerjaan Rumah Tangga itu. "Kau mengerjakan semuanya sendiri?" tanya Pak Herman tidak percaya.

"Iya, Pak. Kecuali memasak. Saya tidak bisa. Mama saya yang memasak atau membeli makanan yang sudah jadi."

Pak Herman menghela napasnya. Ia tidak bisa menyalahkan Ratna karena tidak mengerjakan PRnya. Tapi bagaimana masa depan anak ini? "Nanti Bapak akan ke rumahmu dan bicara dengan orang tuamu."

"Jangan, Pak!" Ratna mengangkat kepalanya. "Nanti saya dimarahi oleh orang tua saya. Bapak jangan bilang kalau saya cerita sama Bapak." 

Ratna hapal betul sifat kedua orang tuanya. Orang tuanya paling tidak suka jika ia mencurahkan isi hatinya pada orang lain. Orang tuanya tidak suka ia dekat dengan siapa pun. Orang tuanya tidak suka ia mempunyai teman. Pernah sekali Aulia ke rumahnya. Setelah Aulia pulang, Linda mengomel dari sabang sampai merauke tidak henti-henti sampai berhari-hari. Tidak senang akan kehadiran Aulia, padahal Aulia ikut membantunya mengerjakan semua pekerjaannya. Sejak itu ia tidak pernah mengizinkan Aulia dan siapa pun ke rumahnya lagi.

Pak Herman menatap Ratna dengan hati iba. Bagaimana mungkin anak remaja seusia Ratna yang seharusnya sedang mencari jati diri dan bergaul dengan banyak teman, harus sibuk dengan urusan pekerjaan rumah. Bagaimana Ratna dapat menemukan jati dirinya jika setiap hari tidak sempat memikirkan dirinya sendiri?

"Baiklah. Kalau begitu suruh ibumu datang menghadap Bapak besok."

"Jangan, Pak. Nanti mama saya memarahi saya. Tolong, Pak. Jangan panggil mama saya."

Pak Herman serba salah. "Baiklah. Bapak kali ini memberikan kamu keringanan. PR yang belum kau kerjakan, bisa kau kumpul besok."

"Terima kasih, Pak."

"Kembalilah ke kelasmu."

"Terima kasih, Pak.

Pak Herman menarik tangan Ratna yang hendak menuju ke pintu keluar. "Kalau kau punya masalah, kau boleh cerita dengan Bapak. Bapak akan membantu kamu."

Ratna tertegun. Tiba-tiba, ada rasa hangat yang menjalari tubuhnya. Baru kali ini ada orang yang mau peduli dengannya, setelah Aulia. Ditatapnya Pak Herman tidak percaya. Guru yang terkenal galak itu ternyata hatinya tidak sekeras tampangnya.

Pak Herman mengangguk perlahan.

Ratna melangkah menuju kelasnya dengan perasaan sedikit lega. Kali ini, ia tidak mendapatkan hukuman dari Pak Herman seperti yang ia bayangkan. Ternyata guru itu begitu baik. Alangkah senangnya jika memiliki ayah seperti Pak Herman. Ayahnya di rumah tidak pernah mau tahu urusannya. Tidak pernah mau tahu perasaannya. Ia yang harus tahu dan mengerti perasaan orang tuanya, yang selalu berteriak-teriak setiap hari.

"Papa ini capek kerja seharian! Semua ini untuk kalian! Tapi apa? Kalian semua tidak tahu diri! Kerjanya hanya menghabisi uang saja!"

Tiap hari ia dengar kalimat-kalimat seperti itu. padahal ia tidak pernah menuntut dan  meminta macam-macam pada ayahnya. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top