5. Penghematan Babak Dua

Yuk yqng masih belum ikutan PO segera merapat. Jangan sampai ketinggalan ya.

###
Versi lengkap dari cerita ini sudah ada di google play store.

"Makasih banyak ya, Ren. Aku menghargai niat kamu yang masih mau menerima ajakanku kali ini. Semoga saja lain kali kita bisa menikmati sarapan hangat seperti ini," Tony mengulas senyum berucap tulus pada Rena yang duduk di hadapannya. Mereka saat ini sedang menikmati sarapan mereka di sebuah rumah makan di depan kampus.

Setelah memikirkan masak-masak, akhirnya Rena memutuskan bahwa kali ini ia akan mengabulkan permintaan Tony. Siapa tahu pemuda itu akan perlahan menjauh dan tak mengganggu Rena lagi. Menguntit lebih tepatnya.

"Nggak usah bahas itu lagi. Aku cuma minta setelah ini kamu tolong jangan selalu mengikutiku. Bersikaplah sewajarnya. Aku benar-benar terganggu dengan ulah kamu." Rena berkata tegas yang dihadiahi Tony dengan anggukan pelan. Senyuman masih tak lepas dari wajah pemuda itu.

Jika diperhatikan pemuda ini memang tidak bisa dibilang biasa-biasa saja. Dengan postur tubuh tinggi menjulang juga proporsional, pemuda ini begitu wajar jika selalu menjadi bahan perbincangan kebanyakan makhluk berlipstik dikampusnya. Apalagi dia adalah anak seorang rektor di Universitas tempat Rena menimba ilmu. Tak akan ada satu gadispun yang menolaknya. Kecuali Rena tentu saja.

"Aku akan berusaha, Ren. Aku akan berusaha membuat kamu nyaman dengan kehadiranku. Meskipun tentu saja berat bagiku jika aku harus menjauh dari kamu." Rena mendesah. Dilihatnya jam dipergelangan tangannya. Sudah hampir empat puluh menit ia menikmati sarapan dengan Tony. Pasti Mida sudah bosan menunggunya. Yah meskipun tadi Rena sempat menghubunginya jika ia harus menyelesaikan beberapa hal dengan Tony. Untung saja gadis itu tidak mempermasalahkannya.

"Aku harus ke kampus sekarang. Mida sudah terlalu lama nungguin aku. Aku juga harus mengurus skripsiku," Rena menyudahi perbincangan yang seolah tak bisa Rena hentikan itu.

"Oke. Aku antar ya?" Tony berdiri kemudian menuju meja kasir untuk membayar sarapan mereka berdua.

"Nggak usah. Tinggal loncat aja. Makasih banyak ya, sarapannya." Rena mengulas senyum berjalan menuju pintu keluar rumah makan diikuti Tony di belakangnya.

"Emm... Lain kali aku boleh ngajak kamu keluar kan, Ren?" Pemuda itu tampaknya masih tak menyerah.

"Kita lihat aja nanti," Rena melangkah menyeberang jalan menuju pintu gerbang kampus dengan langkah cepat. Mida sudah menunggunya, ia tak mungkin seenaknya berlama-lama di sini.

Satu hal yang pasti Rena berharap kekeras kepalaan Tony akan sirna setelah acara sarapan tadi pagi. Ternyata pemuda itu tak semengerikan yang Rena kira. Semakin Rena menolak dan menghindar, semakin kuat Tony berusaha mendekatinya. Tadi Rena bersikap sedikit lunak, justru berefek baik. Pemuda itu bahkan menurut saat Rena tak mau di antar ke kampus.

"Sorry banget lama," Rena tersenyum meminta maaf begitu ia dapati Mida masih menunggunya di taman depan kantor fakultas seorang diri. Gadis itu mengangkat kepala balas melempar senyum pada Rena.

"Nggak masalah. Aku bisa browsing gratis di sini." Balasnya sambil menunjukkan ponsel ke hadapan Rena.

"Jadi gimana? Itu kan pengumumannya?" Rena menunjuk papan pengumuman tak jauh dari posisi mereka. Mida mengangguk.

"Tunggu aku mau lihat ya. Aku masih nggak yakin nih," Rena mengulas senyum berlalu dari hadapan Mida. Jika tak melihat dengan mata kepalanya sendiri ia memang masih tak yakin.

Begitu matanya melihat untaian namanya tercantum di sana sesuai dengan apa yang ia harap. Rena segera mengeluarkan ponsel untuk memotret pengumuman yang tertempel itu. Ia perlu menyimpannya. Setelahnya ia kembali menghampiri Mida yang terlihat menekuri ponsel di tangannya.

"Jadi gimana nih nanti kita di sana? Mau mencari indekost atau gimana?" Rena mulai membuka perbincangan.

"Sepertinya sih perlu, Ren. Capek kalau tiap hari bolak balik Malang-Pasuruan. Yah, meskipun nggak seberapa jauh sih. Takut macet, kita kecapekan di jalan. Kinerja kita juga jelek. Kan kita pengin nunjukin kinerja kita yang super nanti di sana," Mida terkekeh.

"Kamu enak habis ini wisuda. Jadi sudah nggak ada tanggungan. Skripsi juga udah kelar. Aku nih yang bingung. Gimana jalaninnya. Kuliah skripsi, magang," membayangkannya saja Rena sudah merasa ngeri.

"Kamu bakalan sibuk cuma dua bulanan ini aja kan, Ren? Setelah wisuda kan semuanya habis."

"Habis apanya. Aku masih pengen ngulang nilaiku yang masih dapat 'C' di semester depan biar Indeks Prestasi Komulatifku nanti naik. Masak sudah lulus lebih dari delapan semester tapi IPK masih tiarap. Aku sudah nggak mungkin bisa wisuda bareng kamu,"  Mida meringis memahami kekhawatiran temannya. Setidaknya gadis itu mempunyai usaha untuk menyelesaikan kuliah secepatnya.

"Terkadang kalau dipikir, usahaku untuk ikut magang kayaknya sia-sia. Meskipun aku selesai magang kan masih lanjut kuliah dan skripsi. Nggak kayak kamu. Bisa dibilang magang sudah hampir bawa gelar. Nunggu hitungan hari aja. Perusahaan jelas lebih milih orang seperti kamu dari pada aku." Hal itulah yang selalu dipikirkan Rena. Namun karena dorongan Mida yang tak pernah berhenti mau tak mau Rena akhirnya menuruti keinginan Mida. Setidaknya temannya itu sudah berusaha memberikan hal terbaik yang ia bisa.

"Nggak usah berkecil hati. Kalau pulang magang nggak dapat penawaran pekerjaan di sana, siapa tahu justru dapat penawaran jodoh. Bisa aja ada karyawan kece nan mapan yang sudah menyiapkan mahar. Atau juga bisa berjodoh dengan anak atau pemilik perusahaan." Mida terbahak yang dihadiahi tonjokan pelan di kepalanya.

"Khayal terusss.... Mumpung gratis."

"Siapa tahu, Ren. Di sini aja kamu di kejar-kejar anak rektor sampai ketakutan gitu. Iyain aja kenapa sih. Kalian tuh cocok banget tahu. Pasangan yang bikin cewek-cewek satu kampus kejang-kejang."

"Ini bahas apaan sih. Jadi gimana urusan indekostnya?" Mida meringis. Merekapun menghentikan obrolan unfaedah mereka dan mulai serius membicarakan rencana apa saja yang akan mereka lakukan ke depan. Termasuk mencari solusi agar kuliah, skripsi, juga kegiatan magang Rena bisa berjalan lancar tanpa ada satupun yang tertinggal.

Pukul dua belas lebih beberapa menit, Rena dan Mida berpisah setelah Mida menemani Rena ke perpustakaan. Saat hendak menyeberang jalan di depan gerbang kampus. Ponsel Rena seketika berdering. Langkah kaki Rena yang semula hendak menginjak aspal ia urungkan dan kembali mundur mencari tempat teduh untuk menerima panggilan itu.

Rena mengernyit mengetahui identitas pemanggil. Tangannya bergerak mengusap layar untuk menerima panggilan itu.

"Halo, Pak Radith selamat siang," sapa Rena ramah.

" ......"

Sejenak Rena mendengarkan kalimat pria yang menghubunginya di seberang sana. Senyum seketika melebar di bibir Rena.

"Iya, Pak. Saya tunggu. Saya tidak mempunyai kegiatan kok siang ini," setelah berbasa-basi dan mengucap salam Rena pun menutup panggilannya.

Memang dasar sudah rezeki. Pagi diajak sarapan si Tony. Eh siang ada lagi tawaran makan siang dari si bapak cakep yang dompetnya beberapa waktu lalu Rena temukan. Yah, penghematan babak kedua bisa ia lakukan. Lumayan dompetnya tak akan mungkin kurus secepatnya jika ia mendapatkan penawaran menarik seperti yang baru saja terjadi.

Hal pertama yang akan Rena lakukan adalah kembali pulang ke indekost secepatnya. Radith mengatakan akan menjemput Rena untuk membawanya makan siang. Ia juga harus mandi terlebih dahulu karena keringat sudah mulai terasa di tubuhnya.

###
Saya peringatkan ya. Cerita ini tidak sesuai untuk anak di bawah umur. Jd adik-adik emesh silakan stop di sini aja ya. Kenapa harus berhenti di sini? Apakah ada adegan desah-desah manjah atau sejenisnya? Jawabannya sih tidak, tapi isi cerita ini tidak sesuai untuk para adik di bawah umur. So lebih baik cari bacaan yang sesuai usia aja ya.😄😄

Repost 13082020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top