3. Semoga Magang Segera Datang
Versi lengkap sudah tersedia di google play store ya friends. Silakan meluncur jika berkenan.
###
Juniandra Wardhana (Juni) : Wanita cantik yang mandiri nan sukses yang mempunyai banyak cara untuk menghabiskan isi dompetnya. Prinsipnya, selagi masih punya uang kenapa tidak dinikmati.
Biantoro Atmojo (Bian) : Bos Juni yang baru saja menyandang status duda akibat ditinggal mati istrinya yang selingkuh. Pria matang kalem yang hidup lurus dan setia.
Bhumi Prasojo (Bhumi) : Kekasih Juni namun mempunyai sifat bertolak belakang dengan Juni. Pria mapan nan tampan namun terlalu menyayangi isi dompetnya.
Apa jadinya jika 3 karakter ini ada dalam satu kisah?
Juni Dan Isi Dompetmu jawabannya!
Open PO guys 5-20 Agustus
###
"Ren, berkas pengajuan untuk magang sudah disetor? Punyaku sudah tuh barusan. Kalau masih belum buruan sana cepat disetor. Hari ini batas akhir pengumpulannya lo," Mida, salah satu teman sekelas Rena mengingatkan saat pagi ini ia bertemu Rena di depan kantor fakultas.
Dari semua teman Rena, Midalah yang terlihat cukup peduli pada Rena. Maklum saja, memasuki semester akhir seperti saat ini semua orang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Target mereka adalah menyelesaikan skripsi dan lulus tepat waktu. Hal yang juga Rena inginkan namun sepertinya akan sulit terwujud.
Bisa diprediksi jika kemungkinan besar Rena tak akan lulus tepat waktu. Setidaknya ia mungkin akan menambah jatah lulusnya satu semester lagi. Hal itu terbukti dengan skripsinya yang masih jalan di tempat. Belum lagi masih ada beberapa mata kuliah yang harus ia tempuh juga mata kuliah yang kebetulan ia ulang semester ini karena indeks prestasi yang tertera masih memprihatinkan.
Rena sadar ia terlalu banyak melalaikan kewajibannya. Dan hal itu diperparah akibat seringnya ia melarikan diri dari Tony. Saking ketakutannya Rena pada pemuda itu, bahkan sering kali ia tidak berangkat ke kampus karena teman-teman kostnya memberitahu jika Tony sudah menunggunya di jalan tak jauh dari rumah kostnya. Hal yang terus terulang berkali-kali hingga Rena pernah tidak mengikuti Ujian Akhir Semester akibat Tony mengejarnya.
Akibatnya jelas seketika terlihat. Indeks prestasinya jatuh dan akhirnya harus mengulang mata kuliah yang masih belum mendapatkan predikat minimal Baik itu.
"Ni, aku sudah bawa. Tinggal setor aja. Tungguin ya," Rena berlalu meninggalkan Mida memasuki kantor fakultas. Tak sampai sepuluh menit kemudian ia sudah kembali menemui Mida.
"Aku sudah meminta Pak Nugroho untuk menempatkan kita dalam satu perusahaan, Ren. Nggak nyaman kalau ngumpul sama anak kelas lain. Masih harus adaptasi lagi. Semoga saja nanti anak-anak kelas kita ada yang magangnya ngumpul sama kita," Rena mengangguk mengiyakan ucapan Mida.
Saat ini mereka memang sedang mengajukan program magang yang biasa diadakan fakultas mereka. Bagi Rena ini adalah kesempatan besar. Beberapa kakak tingkatnya setahu Rena ada yang beruntung begitu selesai magang mereka mendapatkan tawaran pekerjaan dari perusahaan tempat mereka magang. Yah tentu saja hal itu dikarenakan kinerja mereka dianggap cukup memuaskan dan perusahaan dengan sukarela mengangkat mereka menjadi karyawannya. Hal yang sama yang Rena harapkan akan terjadi pada dirinya. Meskipun indeks prestasinya tak begitu memuaskan, setidaknya ia sudah bisa mencapai angka tiga koma sekian.
"Nepotisme kamu ada manfaatnya juga ternyata," Rena terkikik.
"Aku cuma berani minta hal remeh semacam itu aja. Nggak berani lebih. Kan nggak bakalan merugikan siapapun."
"Kalau kamu tahu perusahaan yang oke dan membutuhkan karyawan baru, mending kamu minta aja ditempatin di sana. Siapa tahu kita beruntung ntar dapat penawaran kerja. Enak kan, habis beresin skripsi, wisuda, langsung di depan mata aja tuh lapangan pekerjaan. Sekarang susah banget cari kerja. Banyak tuh kakak-kakak tingkat masih pada nganggur dan mereka juga enggan pulang kampung."
"Nah, itu dia Ren. Aku juga minta hal itu ke Pak Nugroho. Tapi beliau bilang perusahaan itu berada di luar Malang. Agak jauh dikit sih ke utara, jadi pikirin tuh. Mau apa nggak?"
"Emang di mana?" Rena harus menyusun ulang rencananya. Ia masih mempunyai kewajiban menyelesaikan mata kuliahnya selain mengerjakan skripsi. Apa mungkin dia bisa melakukannya jika jarak tempuh kampus dan perusahaan tempat ia magang begitu jauh.
"Pasuruan."
"What! Gila kali. Masak aku tiap hari Malang-Pasuruan. Gempor tinggal tulang kalau kayak gitu. Nggak ada yang lain apa?"
"Ya cuma itu Ren. Lagian Pasuruannya nggak jauh kok, masih di dekat perbatasan Malang. Emang kamu ada berapa mata kuliah yang kamu jalani sekarang?"
"Dua. SKSnya kecil juga sih." Rena mencicit pelan sedikit merasa malu. Di saat teman-temannya hanya konsen pada skripsi saja ia masih harus disibukkan dengan mengulang mata kuliahnya.
"Ya udah ambil aja. Ntar kita cari solusi sama-sama. Kalau sudah dijalani pasti nggak bakalan berat kok. Yakin deh sama aku. Ntar aku bakal bantuin deh jika ada apa-apa. Sayang banget kalau kita nggak ikut magang, Ren. Kesempatan nggak datang dua kali lo. Setidaknya kita bisa menunjukkan kinerja kita selama dua bulan nanti pada perusahaan. Dua bulan cuma sebentar kok. Pasti kamu bisa jalani semuanya. Skripsi dan kuliah jalan terus, magang tak ketinggalan." Mida mengepalkan tangannya berusaha memberikan semangat pada Rena.
Mida tak akan membiarkan Rena tak mengambil kesempatan magangnya. Ia sudah bersusah payah mendatangi pak Nugroho yang kebetulan adalah menantu tantenya. Meskipun awalnya ia segan tapi setelah memikirkan dampak baiknya akhirnya Mida membuang rasa sungkannya dan meminta ayahnya untuk menemaninya menemui pak Nugroho untuk membahas masalah magang itu. Dan hasilnya bisa dilihat sebentar lagi. Semoga keinginan Mida bisa terkabul.
***
"Ren, bisa kita bicara sebentar?" sebuah suara seketika mengagetkan Rena yang sedang serius dengan laptop dihadapannya. Kali ini Rena sedang berada di perpustakaan mengerjakan tugas yang harus ia kumpulkan beberapa saat lagi. Selalu mengerjakan tugas di detik-detik akhir bukanlah hal yang aneh bagi Rena.
Rena membelalak kaget menyadari siapa yang ada di hadapannya saat ini.
"Ka... Ka... Kamu mau ngapain?" Rena tergagap ngeri memandang sosok yang berdiri menjulang di hadapannya. Sosok yang bagi sebagian besar mahasiswi di kampus ini begitu istimewa, kecuali Rena.
Pemuda di hadapan Rena menghela napas lelah. Selalu seperti ini, Rena tak sekalipun tak ketakutan saat berhadapan dengannya. Mungkin hal itu di karenakan sikapnya yang sudah keterlaluan. Bahkan teman-teman dekatnya ada yang mengatakan nyaris mengarah ke tindak kriminal.
Bagaimana tidak, ia pernah mengunci Rena di ruangan kosong dan memaksa mencium gadis itu membabi buta, juga jangan lupakan kejadian nekat setelahnya saat ia menaiki lantai dua indekost Rena dan memasuki kamar Rena karena berniat menemui gadis itu.
Ia sudah keterlaluan. Ia tahu itu. Namun bagaimana lagi, ia tak bisa jika hanya sekedar melihat Rena dari kejauhan. Ia ingin gadis itu menjadi miliknya seorang. Bahkan ia sering mangkir dari jadwal kuliahnya akibat mengejar Rena. Gadis yang dicintainya semenjak ia menginjak semester dua.
"Tolong jangan selalu menunjukkan ekspresi ketakutan seperti itu saat melihatku, Ren. Aku minta maaf, aku janji tidak akan menyakiti kamu lagi. Aku melakukan itu karena kamu tahu sendiri kan alasannya. Aku mencintai kamu. Sangat." Pemuda itu menepuk dadanya dengan ekspresi yang terlihat begitu merana di mata Rena.
"Iy... Iya," meskipun mengucapkan kata iya tapi ekspresi ketakutan juga gugup masih belum hilang pada tubuh Rena. Mau tak mau Tony, pemuda itu menjatuhkan bahunya lunglai.
"Boleh aku duduk di sini?" tunjuknya pada kursi kosong dihadapan Rena yang terpisah oleh meja berukuran besar. Setidaknya Rena mempunyai jarak yang cukup untuk tidak terlalu dekat dengan pemuda itu.
"Boleh." Rena kembali sibuk dengan laptopnya. Ia tak mau menanggapi pemuda di hadapannya. Rena bersyukur ada alasan yang bisa membuatnya tak perlu berinteraksi terlalu lama dengan pemuda itu.
"Kamu sibuk ya? Apa aku mengganggu?"
'Iya, dan kamu juga membuatku tak nyaman' ingin Rena mengeluarkan kalimat itu. Namun ia tak berani. Setidaknya pemuda itu tidak mengganggunya. Rena akhirnya hanya mengulas senyum tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Semoga saja pemuda itu paham dengan maksud tersirat Rena.
"Setelah ini, kamu ada jadwal di kelasnya Pak Nugroho kan? Setelah selesai, apa kita bisa makan siang bersama?" Rena seketika menghentikan gerakan jemarinya pada keyboard di hadapannya. Pandangannya seketika terarah pada pemuda yang baru saja melontarkan kalimatnya itu.
"Maaf aku tidak bisa." Rena kembali menekuri pekerjaannya. Ia segera mempercepat gerakan jemarinya. Tak ingin berlama-lama di tempat ini. Apalagi sekilas Rena melihat sekeliling perpustakaan lantai tiga tempat ia duduk saat ini begitu sepi. Beberapa mahasiswa memang terlihat di sana. Namun beberapa saat yang lalu sepertinya mereka sudah lenyap entah kemana.
Membayangkan hal-hal buruk yang pernah Rena alami membuat Rena seketika bergidik ngeri. Pemuda di hadapannya ini cukup berbahaya. Setidaknya itulah anggapan Rena.
"Kenapa? Bukannya kamu sudah tidak ada jadwal kuliah lagi. Lagi pula kamu juga tidak ada jadwal bimbingan skripsi." Tony mulai menguasai situasi. Rena menahan napas. Ia tak pernah heran jika Tony akan tahu semua jadwal kegiatannya di kampus. Pemuda itu benar-benar pantang menyerah dalam menjalankan misinya.
"Aku capek, Ton. Ingin istirahat dan langsung pulang." sepertinya hal itu adalah alasan yang tepat.
"Oke. Sebelum pulang kita makan dulu kemudian aku akan anterin kamu sampai indekost dengan selamat. Dan ingat, jangan menolak!" Pemuda itu menatap Rena lekat, bangkit dari kursi yang ia duduki kemudian menarik tangan Rena dan membawanya naik ke bibirnya berniat mendaratkan sebuah kecupan di sana.
Rena yang seketika tahu niat Tony sontak berdiri menarik tangannya kasar. Namun gagal. Tangan Tony sigap mencengkeram telapak tangan Rena. Adu tarik terjadi setelahnya. Rena melotot ngeri berusaha sekuat tenaga menarik tangannya, dan Tony seketika mengeluarkan seringainya.
Usaha terakhir Rena menarik tangannya berbuah manis, tangannya terlepas hingga ia seketika mundur menabrak kursi dan terduduk setelahnya akibat saking kuatnya tenaga yang ia keluarkan.
Serampangan ia menutup laptopnya dan meraih tas juga benda-benda yang tercecer di atas meja lebar di hadapannya dan di detik berikutnya ia sudah berlalu meninggalkan Tony dan segala niatnya.
Pertemuan dengan Tony tak pernah berakhir baik. Pemuda itu selalu tampak menakutkan. Sepertinya pria itu tak tahu perbedaan apa itu mencintai dan apa itu terobsesi.
Teman-temannya banyak yang mengatakan Rena beruntung karena dicintai pemuda seperti Tony yang begitu tergila-gila kepadanya. Rena cukup geli dengan pendapat itu. Mereka belum tahu saja bagaimana gilanya Tony jika sudah berada di dekatnya. Dan Rena tak mungkin begitu gegabah untuk mau berdekatan dengan pemuda itu. Keselamatannya jauh lebih penting dari apapun.
Rena berharap, hari di mana ia magang akan segera tiba. Setidaknya ia bisa menyingkir dari pandangan Tony meskipun hanya untuk sementara.
###
Repost
09082020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top