21. Pungguk Merindukan Bulan

Cerita lengkap sudah ada di playstore ya. Cus meluncur sekarang juga. Oh ya, yg punya KBM, mampir yuk ke akun Nia_Andhika. Sudah ada 4 cerita yang dipublish di sana. Jgn lupa subscribe n follow ya.

###

Setelah kemarin malam kembali menghabiskan waktu bersama Radith, pagi ini Rena kembali berangkat magang.

Kali ini ia tak perlu berdesakan di dalam sempitnya angkutan umum atau juga bus yang membawanya menuju kantor Radith.

Sang bos besar kali ini membawanya serta dalam mobil nyaman yang sedang ia kemudikan saat ini. Hembusan menyejuk udara bercampur aroma parfum Radith yang mulai Rena hafal aromanya membuat seluruh tubuh Rena terasa begitu ... entahlah. Mungkin menyenangkan bisa mewakili perasaan itu.

Tak ada hal tak menyenangkan saat bersama Radith. Pria itu benar-benar bisa membuat Rena merasa dimanja. Hal yang tak pernah Rena rasakan sebelumnya.

Seperti halnya semalam. Rena bahkan memberanikan diri menginap di rumah peristirahatan Radith. Lagi-lagi hujan yang cukup jelas menjadi kambing hitam dari alasan keengganan Rena untuk pulang.

Maklum saja, Radith mendatanginya sepulang dari kantor dan saat itu tentu saja hari sudah menjadi gelap. Pria itu bahkan langsung ke indekost Rena tanpa pulang ke rumahnya terlebih dahulu untuk mandi atau juga berganti baju. Alasannya sederhana, ia ingin segera bertemu gadis kesayangannya.

Malam itu diiringi hujan yang mengguyur begitu deras, mereka berbagi pelukan hangat di teras samping rumah sambil ditemani susu jahe hangat. Selembar selimut lembut juga membantu menghangatkan tubuh mereka dari udara yang semakin membekukan tulang. Tak lupa juga sedikit diiringi kecupan-kecupan ringan di wajah dan kening Rena juga beberapa kali bibir mereka bertaut satu sama lain.

"Nanti saya turunnya di halte bus saja ya, Pak." Suara Rena terdengar begitu mobil Radith sudah memasuki gerbang tol.

"Kenapa? Kamu masih harus jalan kalau turun di halte. Saya akan mengantarkan kamu sampai indekost kamu, atau kamu mau turun di kantor saja?" Radith heran dengan permintaan gadis di sebelahnya itu.

"Ck ... Pak Radith ini gimana sih. Kalau ada yang tahu gimana? Nggak enak sama yang lain, Pak. Saya cuma anak magang kok tiba-tiba bisa naik mobilnya bos besar."

"Memangnya kenapa? Nggak masalah bagi saya."

Lagi-lagi Rena berdecak. "Ntar dikira saya kecentilan godain Pak Radith. Kan nggak etis gitu."

"Saya suka kok digoda sama kamu. Apalagi kalau sudah bisa bungkam mulut kamu yang cerewet itu."

Rena seketika memelotot pada pria di sampingnya.

"Ih, Bapak jangan gitu. Ntar kalau ada yang tahu, dikira saya simpanan Bapak lagi."

Kali ini Radith bungkam tak membalas ucapan Rena. Obrolan mereka terhenti hingga akhirnya mobil keluar gerbang tol, Radith kembali membuka mulutnya.

"Jadi turun di mana?" Rena menoleh, mendengus sebal. Menatap pria yang sedari tadi tiba-tiba membisu itu.

"Di halte."

Tanpa menawar pria itu menuruti permintaan Rena.

"Bapak nggak capek tuh nggak pakai sopir. Biasanya kalau ke kantor saya lihat Pak Radith tidak pernah bawa mobil sendiri." Rena mengoceh tanpa diminta.

"Lebih nyaman berdua saja jika sama kamu, Rei." Rena mengangguk mengiyakan. Kalau ada orang lain di antara mereka pasti akan terasa tak nyaman.

Di depan sana halte bus sudah terlihat, Rena bersiap turun meraih tas juga travel bagnya. Saat mobil telah berhenti, tangan Rena yang hendak meraih gagang pintu seketika digenggam Radith. Rena memutar kepala menghadap sang pemilik tangan yang menggenggamnya. Mengernyitkan alis, melontarkan tanya tanpa kata berharap Radith memahami maksudnya.

"Jangan panggil Pak lagi kalau kita bersama ya."

Rena menautkan alisnya. Raut jahil seketika tercipta di sana. "Oke, Om aja kalau gitu." Rena menjulurkan lidah bergerak cepat keluar mobil. Ia berlari melewati halte menuju indekostnya. Melihat itu Radith hanya menggelengkan kepala. Senyum lebar terulas pada bibirnya. Benar-benar gadis yang tak terduga.

Ia segera memacu mobil memasuki gerbang perusahaan tak jauh dari halte. Radith membatin, seharusnya Rena tak perlu turun di halte jika memang masih berkeinginan ke indekostnya terlebih dahulu. Radith bisa mengantarnya, namun sepertinya Rena tak menginginkan itu.

***
Hari berlalu dengan begitu cepat. Kegiatan Rena setiap harinya begitu menyenangkan. Ia malah berpikir bekerja itu tak terlalu rumit dibandingkan dengan kuliah. Ada beberapa mata kuliah yang masih tak is pahami meskipun sudah mengulang.

Penawaran Monica untuk membantu Rena menyediakan data saat penelitian tak lagi Rena pikirkan. Ia begitu menikmati harinya. Bahkan selama ia magang, tak sekalipun ia menyentuh skripsinya. Bagi Rena semuanya percuma. Toh dia tak akan bisa wisuda semester ini.
Bahkan Mida beberapa waktu yang lalu sudah menjalani ujian skripsinya. Yah, sepertinya Rena sudah hampir resmi menyandang mahasiswa abadi.

"Ren, makan siang yuk." Suara Monica mengusik lamunan Rena. Wanita itu beberapa waktu yang lalu mengatakan jika ia tidak akan makan siang bersama Rena karena harus menghadiri rapat, tapi kenapa sekarang justru mengajak Rena?

"Katanya Mbak Monik rapat." Rena menyampaikan keheranannya.

"Sudah selesai. Yuk ah kita makan. Bawa ponsel sama tas kamu sekalian." Monica tampak meraih tasnya memasukkan beberapa barang ke dalamnya.

"Emang mau makan di mana, Mbak? Kok pakai bawa-bawa tas segala."

"Di luar. Yuk ah cepat. Ntar ketinggalan." Monica berderap meninggalkan mejanya diikuti Rena yang masih kebingungan di belakangnya.

Sesampainya di lobi kantor akhirnya terjawab sudah keheranan Rena. Radith tampak di sana dengan beberapa petinggi perusahaan.

"Kita makan sama mereka," bisik Monica pelan menunjuk Radith dan sekumpulan orang yang terlihat memasuki mobil masing-masing. Tak terkecuali Radith.

"Kita naik apa, Mbak?" Rena kembali bertanya saat mereka sudah berada di depan lobi.

"Tuh," tunjuk Monica pada mobil operasional perusahaan. Rena mengangguk berjalan menuju mobil yang Monica maksud. Saat kakinya hendak menaiki mobil, sebuah suara terdengar.

"Cukup? Kalau tidak cukup bisa ikut saya saja." Radith membuka kaca mobil yang ia naiki yang perlahan
bergerak melewati Rena.

"Cukup, Pak. Kami naik ini saja. Terima kasih." Bukan Rena yang menjawab tapi Monica. Rena hanya mengulas senyum canggung.

"Oke. Saya duluan ya," lanjut Radith yang kemudian menyuruh sopir di depannya menjalankan mobil menuju tempat tujuan mereka.

"Pak Radith baik ya."

Rena melirik Monica di sebelahnya begitu mobil yang mereka naiki bergerak perlahan keluar gerbang perusahaan bergabung dengan lalu lintas di depannya.

"Baik?" Rena menyahut dijawab dengan anggukan Monica.

"Terutama akhir-akhir ini. Beliau sering banget ngajak kita makan."

"Emang biasanya gimana?" Rena mulai penasaran.

"Biasanya sih emang baik. Tapi nggak sering ngajak makan siang bareng kayak gini."

"Makannya kan rame-rame, Mbak. Nggak cuma kita aja yang dibawa."

"Iya sih. Tapi menurut Mbak tetap aja beda. Beliau terlihat lebih memanjakan bawahannya. Enak banget yang kebetulan rapat bareng Pak Radith." Rena mengangguk-anggukkan kepala memikirkan kalimat Monica.

"Beliau juga terlihat perhatian banget sama kamu, Ren."

Rena terbatuk. Ia tersedak permen yang ia kunyah. Monica benar-benar mengagetkannya. Wanita itu menepuk pelan punggung Rena berusaha membuat Rena tak terbatuk.

"Apaan sih, Mbak." Rena menjauhkan tangan Monica yang menepuk punggungnya.

"Tadi Mbak bilang Pak Radith baik, memanjakan bawahan. Eh habis itu bilang perhatian ke aku. Kan semua bawahannya juga merasakan hal yang sama." Rena gugup takut kedekatannya dan Radith tercium. Setidaknya untuk saat ini. Selama ia masih magang jangan sampai ada yang tahu seberapa dekat pria itu dengannya.

"Sampai tersedak kamu, Ren. Tapi benar kok. Aku selalu mengamati Pak Radith. Sepertinya dia ngasih perhatian lebih ke kamu." Monica menatap lekat Rena. Membuat Rena salah tingkat.

"Kenapa Mbak bilang gitu?"

"Dia sering banget ngasih sesuatu ke kamu. Entah itu kue atau juga makanan lainnya."

"Mbak Monik kan juga dikasih. Lupa ya, Pak Radith kan selalu ngasih kita berdua." Benar yang Rena ucapkan. Radith selalu memberikan sesuatu yang sama untuk dia dan Monica. Setidaknya pria itu berusaha untuk tak terlalu mencolok saat ingin memberi perhatian lebih pada Rena.

"Dulu Pak Radith nggak pernah melakukan itu. Lagi pula dia seorang direktur utama di sini. Hal-hal yang dia lakukan terlihat tak wajar, ganjil menurutku, Ren. Kenapa seorang Dirut repot-repot membawakan makanan untuk bawahannya? Kamu hati-hati ya, Ren. Jangan terlalu mudah menerima perhatian dari Pak Radith. Nggak baik. Akan terlihat aneh saat beliau mengistimewakan kamu."

Rena mencerna kalimat Monica. Selebihnya ia hanya mengangguk. Benar kata Monica. Sikap Radith memang terlihat ganjil. Lagi pula Radith memang tak sebanding untuknya. Pria itu begitu jauh dari jangkauan Rena. Siapa dirinya hingga berani-beraninya memimpikan kebersamaan bersama pria nyaris sempurna itu. Kini Rena harus sadar diri. Ia hanyalah seorang pungguk yang merindukan bulan. Tak mungkin akan kesampaian. Kisah Cinderella selamanya hanya akan ada di buku cerita yang ia baca. Tak mungkin tiba-tiba berubah nyata pada dirinya.

###
Repost 13102020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top