18. Wanita Beruntung Versimu
Versi lengkap sudah ada di google play store
###
"Ternyata kemampuan kamu di dapur lumayan juga." Radith tersenyum puas setelah menikmati makan malam mereka yang luar biasa nikmat baginya.
Makanan yang dimasak Rena bukanlah hidangan-hidangan mewah seperti yang disediakan restoran-restoran terkenal yang sering ia kunjungi. Namun hidangan sederhana rumahan yang sudah sangat jarang ia nikmati kecuali jika ia berkunjung ke rumah orang tuanya.
Setelah mereka meninggalkan indekost Rena, pria itu membawa Rena ke salah satu rumah peristirahatannya di Batu. Pria itu memang sering memanfaatkan hari liburnya di sana.
Saat ia hendak berbelok ke sebuah restoran untuk memesan menu untuk makan malam mereka, Rena tiba-tiba saja melarang. Gadis itu justru meminta Radith membawanya ke supermarket untuk berbelanja bahan makan malam mereka. Meskipun Radith sempat menolak, namun kekeras kepalaan Rena akhirnya membuatnya mengalah.
Ia dengan senang hati menemani Rena yang ke sana kemari memilih sayuran juga beberapa macam kebutuhan dapur yang ia perlukan untuk memasak makan malam mereka.
"Nggak usah sampai segitunya, Pak. Anak kost memang harus mempunyai keterampilan memasak meskipun menu sederhana. Terkadang di akhir bulan saat jatah kiriman sudah semakin menipis juga akibat kurang pintarnya mengelola keuangan, kami anak-anak kost sering menghemat pengeluaran dengan memasak sendiri. Yang penting ada nasi, masalah lauknya gampang." Rena terbahak menyadari betapa payahnya dia dalam mengatur keuangannya.
"Oh, ya? Saya baru tahu." Radith mengulum senyum.
"Bapak dulu kuliahnya di mana?"
"Kuliah yang mana?" Rena berdecak sebal mendengar jawaban Radith.
"Tentu saja tempat Bapak menimba ilmu. Bapak memperoleh gelar sarjana."
"Oh itu. Kalau program strata satu di Surabaya. Setelah itu saya lanjut di Harvard."
Rena seketika melotot. Pantas saja pria ini menanyakan kuliah yang mana. Ternyata ia tak hanya menempuh program strata satu saja.
Ck... Rena lagi-lagi berdecak. Kenapa dia begitu bodoh. Jelas pria itu tak hanya menempuh pendidikannya hingga strata satu saja. Pria itu kan pemimpin tertinggi perusahaan. Apalah arti gelar sarjana baginya.
Dan apa tadi pria itu bilang Harvard? Membayangkan saja Rena sudah ngeri. Jangankan menempuh pendidikan hingga ke sana. Bahasa inggris saja dia tak bisa. Untung jaman sekarang semuanya serba mudah. Keberadaan ponsel pintar cukup membantunya jika harus menterjemahkan kalimat-kalimat dalam bahasa inggris.
"Kostnya dimana?" Rima melanjutkan pertanyaannya.
"Saya tidak kost."
Rena mengerutkan keningnya. Apa Radith sedang bergurau? Apa pria itu dulu selalu pulang pergi Malang-Surabaya?
"Terus apa Pak Radith tiap hari pulang ke Malang. Nggak capek tuh?"
Radith seketika paham maksud Rena, "Kebetulan saya punya rumah di Surabaya."
"Kuliahnya anak sultan dengan rakyat jelata sih beda." Rena terkekeh. Lagi-lagi ia lupa dengan siapa ia berbicara.
"Pasti selama ini kalau keramas Pak Radith nggak pernah tuh ngisi air ke botol shampo saat sudah dipencet-pencet tapi isinya nggak keluar. Bapak juga nggak pernah tahu sensasi betapa senangnya berbelanja di minimarket dan barang yang kita beli ternyata beli dua gratis satu." Radith seketika terbahak mendengar kalimat Rena.
"Kamu ada-ada saja, Rei."
"Loh, itu benar kan? Jadi rakyat jelata tuh jalani semuanya kayak kita naik roller coaster. Kita akan begitu senang dan mensyukuri saat ada orang yang mentraktir makan. Nah salah satu contohnya saya nih. Senang banget kalau diajak makan sama Pak Radith. Selain bikin dompet saya terselamatkan, menghabiskan waktu dengan Pak Radith ternyata benar-benar menyenangkan. Semoga Pak Radith selalu sehat, panjang umur dan selalu dilimpahi rizki yang barokah jadi saya bisa diajak sering-sering makan." Rena terkikik tak tahu malu.
"Saya akan dengan sukarela mengajak kamu makan, apapun itu yang kamu inginkan. Bahkan saya berharap kita akan selalu menghabiskan waktu untuk makan bersama hingga kelak kita menua." Radith menatap lekat Rena namun yang ditatap hanya terkekeh geli.
"Kita nggak mungkin menua bersama, Pak. Yang ada Pak Radith menua terlebih dulu," Rena kembali terkekeh. Sejenak Radith menaikkan alisnya namun senyuman lebar menyusul setelahnya.
"Apa rencana kamu setelah ini Rei?" Radith merubah topik pembicaraan. Rena tampak berpikir sejenak.
"Menyelesaikan mata kuliah dengan nilai yang tentu saja lebih baik karena saya sedang mengulang mata kuliah tersebut. Skripsi lancar dan cepat selesai jadi semester depan saya sudah bisa wisuda. Setelah itu mencari kerja, dan terakhir menikah tentu saja," jawab Rena dengan bangga.
"Kenapa kamu tidak merencanakan wisuda semester ini? Apa skripsi kamu masih belum ada perkembangan?" Rena seketika mendapat angin segar. Ia ingat apa yang Monica pernah sampaikan kepadanya. Sepertinya sekaranglah saatnya.
"Kalau saya mengadakan penelitian untuk skripsi saya di kantor boleh nggak Pak? Mbak Monica pernah menawarkan bantuan jika saya mengadakan penelitian ia bisa membantu."
"Tentu saja boleh." Rena membelalak senang. Berkali-kali ia mengucapkan terima kasih. Makan malam merekapun akhirnya di isi dengan candaan juga celoteh Rena yang membuat senyuman Radith tak luntur dari bibirnya.
Setelah menikmati makan malam, Rena segera memindahkan piring kotor ke dapur dan merapikan meja makan seperti semula. Radith mencegah. Pria itu mengatakan ada suami istri yang bertugas menjaga dan membersihkan rumah peristirahatannya. Namun Rena menolak, ia mencuci semua peralatan kotor dengan sukarela. Sudah makan gratis masak tak tahu diri. Begitulah kira-kira hal yang ada di pikiran Rena.
***
"Pasti beruntung sekali orang yang akan menjadi kekasih Pak Radith." Rena berucap saat ia dan Radith menikmati kopi hangat sambil memandang pendar lampu di bawah sana, juga taburan bintang di langit yang semakin gelap.
Rumah peristirahatan Radith memang berada di dataran yang cukup tinggi sehingga pemandangan kota di kejauhan terlihat dengan jelas.
Radith menoleh memandang gadis yang juga memandangnya lekat. Senyuman lagi-lagi terukir di sana.
"Apa yang ingin kamu katakan, Rei?"
"Pasti wanita beruntung yang bisa mendapatkan hati Pak Radith."
"Kenapa wanita itu begitu beruntung?"
"Pak Radith begitu baik, dan semua yang ada pada diri Bapak tak satupun ada yang kurang." Radith mendesah. Diteguknya kopi di meja di depannya.
"Jadi begitu pendapat kamu tentang saya?" Rena mengangguk. Matanya tak lepas sedetikpun dari pria di hadapannya itu.
"Kamu perlu menambahkan kata 'tua' dalam kalimat kamu,"
"Yang tua dan berpengalaman bisa membimbing dan jadi panutan bagi yang muda yang masih hijau."
"Kamu tidak takut?"
"Takut apa? Tidak ada yang salah dengan usia yang tak lagi muda."
"Lalu, apa kamu mau jika menjadi wanita beruntung versimu itu?" Rena seketika melebarkan matanya. Apa yang pria ini katakan? Apakah hal yang ada dipikiran Rena sama dengan yang dimaksud pria ini?
###
Repost 01102020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top