16. Hubungan Tak Bernama
Versi lengkap sudah ada di google play store.
###
Di sana dihadapan Rena, tampak pria yang sedang memenuhi otak Rena duduk dengan menekuri kertas-kertas di hadapannya. Tangannya tampak bergerak membubuhkan tanda tangan di atasnya.
"Permisi, Pak. Makan siang Bapak sudah siap. Dimana saya harus meletakkannya?" Sang pemilik ruangan seketika mengangkat kepala begitu mendengar suara menginterupsi pekerjaannya.
"Bawa ke sini, Rei," perintah pria itu mau tak mau membuat Rena tersenyum simpul. Panggilan Radith pada dirinya masih sama.
Pria itu menghentikan pekerjaannya, berjalan menghampiri Rena yang masih berdiri di depan pintu. Sigap pria itu menutup pintu yang masih terbuka dan menggiring Rena menuju sofa di salah satu sisi ruangannya.
"Kamu sudah makan?" Rena mengangguk tanpa bersuara. Ia masih bingung bagaimana harus bersikap. Apakah harus bersikap layaknya mereka tak saling kenal ataukah sok akrab seperti biasanya saat bersama pria yang sudah duduk di sisi Rena.
"Tadi makan di mana?"
"Di kantin." Rena tadi memang sudah menikmati makan siangnya saat istirahat. Pria di sebelahnya inilah yang hingga saat ini masih belum makan meskipun jam makan siang sudah berlalu.
"Temani saya makan ya," Radith memandang wajah gadis yang tampak tertunduk canggung itu. Rena seketika mengangkat wajah memandang pria yang baru saja berucap.
"Emm... Maaf, Pak. Mbak Monica baru saja memberi saya tugas. Saya takut tidak akan bisa menyelesaikannya." Menarik napas berat, Radith seketika paham jika Rena sepertinya berniat menghindarinya.
"Kenapa kamu tidak mau, Rei? Tugas dari Monica bisa kamu lakukan nanti. Kamu sedang menghindari saya?" Rena menelan ludah, pria ini selau tahu apa yang ia rasakan.
"Saya tidak mempunyai alasan untuk menghindari Pak Radith. Lagipula saya tak mungkin bisa melakukan hal itu. Ini adalah perusahaan Bapak."
"Kamu kecewa karena melihat saya di sini?" Radith memandang Rena lekat.
"Pak Radith tidak jujur." Ya, pria itu tidak mengatakan jika ia adalah pemilik perusahaan di mana Rena magang saat ini.
"Apa kamu sebelumnya mengatakan kepada saya jika hari ini kamu magang? Atau setidaknya kamu akan magang di perusahaan ini?" Rena menggeleng pelan. Ia memang tak pernah mengatakan hal itu kepada Radith. Bukan hal yang penting. Itulah alasan Rena tak mengatakan hal itu. Ia hanya berpikiran, jika Radith kebetulan menghubunginya saat dia berada di Pasuruan ia akan mengatakan jika ia sedang magang. Hanya itu saja.
"Nah, yang dimaksud tidak jujur yang mana, Rei? Saya bahkan terkejut saat tadi pagi Monica menyodorkan berkas dari universitas tempat kamu kuliah yang harus saya tanda tangani dan ternyata ada nama kamu di sana. Kapan kita terakhir bertemu? Sabtu malam kan? Tidak ada pembicaraan tentang masalah magang. Kita terlalu sibuk dengan Hendra dan keluarganya. Kemarin saya tidak menghubungi kamu karena saya ingin kamu beristirahat setelah sebelumnya kamu pulang cukup larut." Rena lagi-lagi mengangguk. Radith benar. Apa yang di sampaikan pria itu tak salah sedikitpun.
"Saya tidak menyangka jika Bapak adalah seorang ... yah seperti ini." Rena tak mampu menjabarkan kalimatnya.
"Apanya yang seperti ini, Rei? Saya masih Radithya Hanggono yang sama. Pria yang dompetnya pernah kamu temukan sekitar tiga minggu yang lalu. Pria yang sama yang mencium kening kamu dua hari yang lalu," Radith tersenyum lebar. Semakin lebar lagi saat melihat wajah Rena memerah hingga ke telinga.
"Jadi, bisakah kamu bersikap seperti biasanya pada saya saat ini?" Hening cukup lama sebelum akhirnya Rena mencicit pelan.
"Saya nggak bisa, Pak."
"Kenapa tidak bisa?"
"Karena Bapak bukan Pak Radith yang selama ini saya kenal." Radith menarik napas berat. Kenapa hal remeh seperti ini saja menjadi masalah bagi gadis di sebelahnya ini?
"Setidaknya tanggalkan sikap canggung kamu saat kita hanya berdua." Rena memberanikan diri menatap pria itu yang masih menatapnya lekat.
Dilihat dari posisi yang begitu dekat seperti saat ini oleh seorang pria seperti Radith, mau tak mau otak Rena kembali melayang. Melesat pada kejadian dua hari lalu di dalam mobil Radith.
Sibuk melamun sambil memandang wajah Radith membuat Rena tak menyadari saat tubuh Radith semakin mendekat menghimpitnya. Saat hembusan napas pria itu terasa di wajahnya, Rena tersentak. Seketika sadar apa yang akan pria itu lakukan pada dirinya.
Ia memundurkan kepala namun ternyata bagian belakang kepalanya menempel pada sandaran sofa. Rena seketika memejamkan mata. Entah karena apa. Ia juga tak tahu.
Jika karena ketakutan tentu saat ini Rena tidak sedang dalam situasi itu. Atau juga memejamkan mata siap menerima apapun yang akan Radith lakukan pada dirinya? Mungkin kalimat terakhir itulah yang benar.
Detik berikutnya usapan lembut Rena rasakan di pipinya, ia segera membuka mata. Wajah Radith yang tersenyum teduh tampak di sana. Ternyata Radith tak menciumnya.
Sedetik kemudian alarm di kepala Rena seketika menyala. Mereka sedang berada di kantor. Di ruangan Radith. Bagaimana jika ada seseorang yang tiba-tiba memergoki mereka? Dan lebih dari itu, hubungannya dengan Radith masih belum jelas. Kenapa ia dengan suka Rela menerima semua perlakuan Radith padanya. Apalagi setelah tahu siapa sebenarnya Radith saat ini. Orang lain pasti akan melihat hubungan mereka yang tidak wajar.
"Pak, tolong jangan." Rena menepis tangan Radith yang masih membelai lembut pipinya perlahan. "Nanti ada yang melihat."
"Pintunya sudah saya kunci, Rei. Monica tidak akan kembali sampai jam pulang nanti." Pria itu tak menghentikan gerakan tangannya.
"Saya takut," bisik Rena pelan. Rasa was-was mulai menjalari benaknya. Kali ini bukan hanya takut ada orang lain yang melihat kebersamaan mereka saja namun Rena juga takut jika terjadi hal di luar kendali mereka. Meskipun ada rasa senang saat berdekatan dengan Radith namun terselip rasa khawatir di benak Rena.
"Maafkan saya, Rei. Berada di dekat kamu selalu membuat saya lupa diri."
"Saya ingin keluar." Rena berusaha bangkit dari sofa empuk yang membuatnya nyaris terjepit oleh tubuh Radith.
"Tidak ada yang perlu kamu lakukan di luar, Rei. Kamu di sini saja." Rena menggeleng pelan.
"Temani saya makan siang." Kalimat terakhir Radith akhirnya membuat Rena mengurungkan niatnya keluar ruangan.
Gadis itu akhirnya menemani Radith makan siang. Satu buah cup berisi jus berada di genggamannya. Radith yang memberikannya.
Rena memandang Radith lekat. Bagaimana mungkin ia bisa terlibat hubungan aneh dengan pria ini? Pria dengan pesona yang membuat Rena nyaris tak bisa menjaga harga dirinya.
Ia dan Radith tak memiliki hubungan apapun. Mereka baru beberapa minggu yang lalu berkenalan dan akhirnya dekat. Namun apa pantas jika mereka bertindak sedekat ini? Bahkan sudah dua kali. Pria itu mengecup keningnya dua hari sebelumnya dan baru saja dia membelai pipinya.
'Lupa diri' pria itu bilang? Lupa diri bagaimana? Rena masih tak begitu paham. Rena mengeluh dalam hati, apa memang seperti ini jika berhubungan dengan pria dewasa?
Terlepas dari rasa takut dan bingung pada hubungannya dengan Radith, di satu sudut hati Rena ada letupan bahagia yang begitu nyata. Ada kebanggaan tersendiri yang memenuhi dadanya.
Pria seperti Radith menginginkannya. Menyukainya. Eh, apa memang benar menyukai? Bukankah pria itu tak pernah mengatakannya. Rena harus mengingat kembali hal itu.
Rena mendesah pelan menyadari kerumitan yang dihadapinya. Membuat Radith yang sudah menyelesaikan makan siangnya kembali memfokuskan pandangan kepadanya.
"Kenapa, Rei?" Rena menggeleng. Tangannya sigap membereskan sisa makan siang Radith. Menatanya kembali di atas nampan. Ia akan membawa nampan itu ke pantry.
"Biarkan Office boy yang melakukannya, Rei." Radith menyadari jika Rena hendak pergi membawa nampan dihadapannya.
"Saya hanya membawanya ke pantry, Pak." Rena harus keluar dari ruangan ini. Berada di dekat pria itu benar-benar masalah. Ia tak yakin bisa bertahan lama jika Radith terus menerus menempel di sebelahnya.
"Kamu bisa membawanya nanti." Radith menarik pelan tangan Rena yang sudah mulai bangkit dari sofa.
"Maaf, Pak. Tak seharusnya saya berada di ruangan ini dengan hanya berdua dengan Pak Radith. Akan terlihat tidak baik jika saya berada di sini. Apalagi saya adalah mahasiswa magang yang baru tadi pagi datang ke kantor ini." Lagi-lagi Radith mendesah lelah.
"Kalau begitu nanti setelah jam kerja usai kita bisa kembali ke Malang bersama."
"Maaf, Pak. Saya tidak pulang ke Malang. Kebetulan saya menyewa kamar kost di dekat perusahaan bersama teman saya." Radith mengusap wajahnya kasar. Tidak tahu lagi harus bagaimana agar ia bisa kembali menemui gadis di depannya ini.
"Kapan kamu mempunyai waktu untuk saya?" Rena mengeryit, kenapa ia merasa Radith seperti memiliki hubungan khusus saja dengan dirinya. Kenapa dia harus meluangkan waktu untuk pria itu?
"Saya tidak tahu, Pak. Maaf saya harus kembali." Rena kembali bangkit, berjalan menuju pintu. Saat tangannya meraih gagang pintu, ternyata benda persegi itu tak bergerak sama sekali. Mendesah kesal Rena membalik badannya. Ia tahu siapa penyebab dari semua ini.
"Pak, tolong buka pintunya." Radith berjalan mendekat. Tak lama kemudian Rena sudah berjalan terburu menuju pantry yang diikuti Radith dengan pandangan sulit di artikan.
Pria itu tak bergerak dari pintu, keningnya berkerut memikirkan hal apa yang akan ia lakukan demi mendapatkan gadis yang telah menghilang dari pandangannya itu.
Perlahan ia menutup pintu, kembali duduk di kursi kebesarannya. Kedua tangannya ia tautkan di atas meja. Semua di luar kendali dirinya dan sepertinya ia sudah tak terselamatkan.
###
Repost 25092020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top