14. Dia yang Ku Suka, Dia yang Menyukaiku
Hingga hari hampir menjelang terang Rena masih tak menutup matanya. Tak ada rasa kantuk sedikitpun meskipun matanya semalaman belum terpejam sama sekali. Bayangan kejadian di mobil Radith saat pria hampir menciumnya tak bisa lenyap dari pikirannya begitu saja.
Sebenarnya Rena sedikit Ragu, apa sebenarnya yang akan Radith lakukan saat itu. Benarkah pria itu akan menciumnya? Atau semua itu hanya khayalan tak bermutu Rena yang sudah terlahir menjadi jombo sejak dari lahir?
Otaknya terus menerus memutar adegan Radith mendekatkan wajah kepadanya juga hal tak terduga berikutnya, pria itu mendaratkan kecupan singkat di keningnya berulang-ulang dan pada akhirnya ia hanya bisa tersenyum merona seorang diri. Kecupan pertamanya yang tak akan mungkin Rena lupakan begitu saja.
Ngomong-ngomong apakah Rena bisa mengatakan kecupan Radith tadi adalah kecupan pertamanya jika Tony sudah pernah melakukan hal yang sama sebelumnya, bahkan lebih. Memaksa lebih tepatnya.
Pemuda itu beberapa waktu yang lalu memaksa menciumnya saat ia mengunci Rena di ruangan kosong di kampus. Apa hal itu bisa disebut ciuman pertama jika Tony yang memaksanya? Kenapa Rena merasakan hal yang jauh berbeda?
Dulu saat Tony mendekatkan tubuhnya saja, Rena sudah begitu ketakutan apa lagi saat pemuda itu berusaha menciumnya. Rena memberontak meronta-ronta. Dan setelahnya gadis itu begitu ketakutan setiap kali ada Tony di sekitarnya.
Hal berbeda terjadi saat Radith tadi mendekatinya. Entah kenapa Rena merasakan ada semacam keinginan untuk terus berdekatan dengan Radith. Bahkan tadi jika tak ada suara ponsel yang berbunyi, entah apa yang akan mereka lakukan setelahnya. Apakah mereka akan berciuman? Akan seperti apakah ciuman mereka nantinya?
Membayangkan hal itu saja membuat wajah Rena memanas seketika. Sepertinya ia sudah mulai gila.
***
Rena terbangun saat hari beranjak siang. Ketukan di pintu kamarnya yang membuat matanya terbuka perlahan. Suara Faira seketika masuk ke telinganya. Gadis itu sepertinya berniat membangunkannya.
"Ren, kamu kok tumben belum bangun? Ayo beli sarapan bareng." Suara itu terdengar berulang kali di sertai ketukan keras di pintu kamar Rena. Mau tak mau Rena membuka matanya perlahan meskipun rasa kantuk belum sepenuhnya hilang.
"Iya tunggu," Rena berharap suaranya mampu membuat ketukan di pintu kamarnya berhenti dan berhasil Rena tak mengetuk pintunya lagi.
"Ya udah aku tunggu ya. Kamu cepat mandi dulu," lanjut Faira dari luar kamarnya. Tak lama kemudian gadis itu sepertinya berjalan menjauh menyisakan Rena yang berusaha keras membuka matanya.
Lima menit kemudian, dengan rasa malas luar biasa Rena memasuki kamar mandi. Untuk membuat matanya terbuka sepenuhnya, Rena mengguyur seluruh tubuhnya. Ia berlama-lama menggosok rambutnya dengan shampo beraroma buah yang menyegarkan. Dan ternyata efeknya luar biasa. Perpaduan antara rasa dingin juga harum segar shampo dan sabun yang ia gunakan sukses membuka matanya yang semula terasa begitu lengket. Setelah tubuhnya terasa segar Rena baru keluar kamar mandi dan bersiap untuk menuruti ajakan Faira.
"Yuk, ah. Berangkat." Rena meraih pouch berwarna merah muda kesayangannya. Ia memasukkan dompet juga ponselnya di sana. Faira mengekor di belakang. Mereka menuruni tangga menuju lantai satu. Namun belum sampai langkah Rena menginjak halaman samping indekost, suara yang begitu familiar terdengar telinga Rena. Gadis itu sontak menghentikan langkah, lalu mundur perlahan.
"Eh, ngapain mundur?" Faira yang berada di belakang Rena keheranan melihat teman satu kostnya itu. Meletakkan telunjuk di bibir, Rena menyeret Faira kembali naik ke lantai dua.
"Kamu turun dulu pura-pura mau ngapain gitu terus bilang sama Tony kalau aku ke rumah Mida berangkat tadi malam. Kalau dia nanya macam-macam bilang aja nggak tahu," Rena berbisik. Ia mendorong temannya itu untuk kembali turun ke lantai satu meyakinkan Tony yang lagi-lagi datang menemui Rena.
"Tapi harus ada imbalannya lo ya. Aku nggak mau usahaku digratiskan." Faira merengut sebal namun setelah mendapat anggukan Rena wajahnya seketika berbinar.
"Sarapan kali ini aku yang bayar." Mendengar itu Faira seketika mengangkat kedua ibu jarinya. Gadis itu melesat menuruni tangga. Membawa misi dari Rena untuk mengusir Tony tanpa menimbulkan kecurigaan pemuda itu.
Sepuluh menit kemudian Faira kembali menaiki tangga sambil tersenyum mantap, "Tony sudah pergi lima menit yang lalu. Aku nggak cepat naik karena ingin memastikan dia benar-benar pergi dari tempat ini. Dan barusan aku lihat dia sudah keluar ke jalan depan kampus kok. Jadi kita jangan makan di daerah depan kampus. Takut tuh orang masih nongkrong di sono." Faira menjelaskan panjang lebar yang dijawab Rena dengan anggukan.
"Kita makan di belakang aja ya?" Rena mengajak Faira sarapan di daerah belakang indekost mereka.
"Terserah yang mulia ratu, hamba hanya menurut saja. Namun jangan lupa, tugas yang mulia membayar sarapan kita."
Rena terbahak mendengar kalimat konyol Faira. Merekapun bergegas meninggalkan indekost mereka.
***
"Itu baju-baju ngapain dimasukin tas? Mau ke mana, Neng?" Faira menaiki kasur Rena, duduk bersila di sana memandang Rena penasaran yang mengisi travel bag dengan baju-baju juga perlengkapan pribadinya.
"Besok aku mulai magang. Nanti sore berangkatnya sama Mida, teman sekelasku. Kalau misalnya Tony ke sini, bilang aja aku pulang ke rumah ya. Biar dia nggak usah nyari-nyari lagi." Rena mulai berpesan, ia tak mungkin menyuruh Faira berkata jujur pada Tony.
"Emang magang di mana?"
"Pasuruan."
"Lah, ngapain pakai bohong segala. Pasuruan jauh cyin. Dia gak bakalan ngejar sampai sana. Lagian dia mau nyari lokasi tempat magang kamu di mana? Kan nggak bakalan tahu."
Rena seketika menghentikan gerakan tangannya yang memasukkan baju-bajunya ke dalam travel bag. Ditariknya napas berat.
"Tony tuh super nekat. Meskipun kamu nggak kasih tahu lokasiku magang, dia bisa cari info di kantor fakultas. Pengumuman tempat aku magang terpampang jelas di sana. Dia bisa lihat itu. Kalau kamu bilang aku pulang, setidaknya dia tak akan mencari informasi apapun. Satu lagi. Jangan sampai ngasih nomer ponselku ke dia. Bahkan Pak Ujang sudah aku pesan." Rena memang benar-benar dibuat repot oleh Tony. Pemuda itu entah bagaimana caranya selalu bisa mendapatkan keinginannya.
Salah satunya nomer ponsel Rena. Rena bahkan beberapa kali mengganti nomer ponselnya untuk menghilangkan jejaknya. Bahkan di indekost ini yang tahu nomer ponsel Rena hanya pemilik kost, pak Ujang si penjaga kost, dan Faira saja. Ia tak mau ambil resiko memberikan nomer ponselnya sembarangan.
"Iya deh siap. Yang penting upahnya jelas." Rena mendengus mendengarkan jawaban Faira. Beginilah anak kost, semuanya serba perhitungan. Titip makanan ada upahnya, numpang print out tugas juga berbayar meskipun menggunakan kertas sendiri. Maklum tak ada yang gratis di dunia mahasiswa perantauan yang rata-rata hanya mengandalkan kiriman dari kampung halaman. Apalagi jika jumlahnya tak begitu besar.
Sebenarnya jika mampu mengelola keuangan dengan baik, semuanya tak akan menjadi sulit di akhir bulan. Namun rata-rata, atau lebih tepatnya Rena dan teman-teman di sekitarnya selalu menghamburkan uang kiriman mereka di minggu-minggu pertama di setiap bulan. Berbelanja, nonton, makan di tempat-tempat yang bisa dikatakan lumayan menguras kantong dan masih banyak lagi hal lainnya.
Dan akhirnya jika sudah memasuki akhir bulan, mereka harus cukup puas dengan hidup pas-pasan dan makan seadanya. Nasi pecel dengan lauk telur sudah sangat istimewa. Meskipun di awal bulan lidah mereka termanjakan oleh ayam bakar di rumah makan yang mereka inginkan, sea food berharga lumayan, juga nongkrong di kafe-kafe ngehits hampir setiap harinya.
"Ren. Aku kepo sama pria misterius yang rajin jemput kamu. Pasti cakep ya. Tony aja yang keren gitu kamu kacangin." Faira mulai membuka mulutnya. Ada saja topik yang ia angkat untuk dijadikan bahan perbincangan.
"Sesekali ajak turun dong. Beneran kepo banget nih aku."
Rena mendesah lelah. Ia tak mungkin memamerkan Radith di hadapan teman-temannya. Radith bukanlah mahasiswa seperti dirinya.
Rena tak mungkin bersikap sama seperti teman-temannya yang berpacaran dengan sesama mahasiswa. Kemana-mana berdua, sampai seisi kampus tahu hubungan mereka. Dan lebih dari itu semua, ia memang tidak mempunyai hubungan khusus dengan pria itu. Ia tidak terikat apapun, baik berpacaran atau entah hubungan apa selain itu. Tentu saja dengan mengabaikan kecupan Radith semalam. Mengingat itu tubuh Rena seketika kembali meremang. Hubungan apa yang sebenarnya ia dan Radith jalani saat ini?
Rasa khawatir sebenarnya terselip di benak Rena. Akan seperti apakah hubungannya kelak dengan Radith? Apa tidak masalah jika ia terus berdekatan dengan pria itu? Apa ia akan baik-baik saja? Apa pria itu benar-benar tertarik kepadanya?
Rena sudah pasti menyimpulkan iya. Namun apa hanya cukup dengan kata tertarik, mereka bisa dengan leluasa berdekatan dan kemanapun bersama? Apakah berhubungan dengan pria-pria dewasa memang seperti itu? Bebas bersentuhan kapanpun mereka ingin. Rena tak mampu menjawab semuanya. Biarlah, ia akan menjalani saja apa yang ada di depannya.
***
Pukul setengah empat sore, mobil ayah Mida sudah tiba di depan indekost Rena. Sesuai janjinya, sore ini Mida menjemput Rena untuk bersama-sama berangkat ke Pasuruan. Rena yang sudah siap segera saja memasukkan barang-barangnya ke mobil ayah Mida dengan dibantu Mida dan kedua orang tuanya.
Tepat pukul lima mereka tiba di indekost baru mereka. Setelah kedua orang tua Mida berbincang dengan pemilik kost, merekapun menurunkan barang-barang dari mobil.
Kedua orang tua Mida tak langsung pulang begitu saja. Ibu Mida membantu mereka menata barang-barang di kamar. Sedangkan ayah Mida menikmati kopi sambil berbincang dengan pemilik indekost.
Setelah semua baju dan barang-barang Mida dan Rena tertata rapi ditempatnya masing-masing, kedua orang tua Mida berpamitan. Dan sebelum pulang mereka terlebih dahulu menikmati makan malam mereka di sebuah rumah makan tak jauh dari indekost Mida dan Rena.
"Akhirnya kita bisa bobok bareng ya." Mida terkikik saat merebahkan tubuhnya di ranjang mungil kamar mereka. Meskipun kamar itu ditempati untuk dua orang, namun setiap penghuni kamar memiliki ranjang masing-masing.
"Makanya sesekali coba nginep di kostku. Biar tau rasanya jadi anak kost. Rena bergerak mematikan lampu tidur di atas nakas yang memisahkan ranjang mereka.
"Bukannya kebalik, Ren. Seharusnya kamu yang nginep di rumahku. Enak kan gratis tanpa biaya." Jika tak terbebani dengan rasa sungkan, mungkin Rena sudah akan berteriak kegirangan menyambut ucapan Mida.
Mida memang berulang kali mengajaknya untuk menginap di rumahnya. Gadis itu tak pernah sekalipun tak peduli kepadanya. Bahkan orang tuanya pun sama. Mereka tak jarang mengirimkan makanan atau apa saja pada Rena. Mungkin mereka kasihan melihat Rena yang anak perantauan dan jauh dari orang tua.
Merekapun saling bercerita hingga rasa kantuk membuat mereka akhirnya menghentikan pembicaraan dan tidur nyenyak setelahnya. Besok, hari baru akan mereka mulai. Aktivitas yang sebelumnya tak pernah mereka lalukan. Suasana kerja yang entah seperti apa. Namun setidaknya mereka berharap hal yang terbaiklah yang akan menyertai langkah mereka.
###
Angkat tangan siapa yg pernah jadi anak kost seperti Rena? Kebiasaan kalian sama gak friends? Menghamburkan uang diawal bulan n jatuh miskin diakhir bulan wkwkwkwkwk......
Oh ya, Si Rena rajin banget nih nongol. Maklum nih aslinya proyek pengalihan kebosanan. Eh justru malah lancar. Yang nunggu cerita lainnya harap sabar ya. Mood nulis yang lain masih kurang greget. Kalau dipaksakan takut tambah ancur tuh tulisan.
Repost 18092020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top