11. Semalam di Rumah Sakit
Versi lengkap sudah ada di google play store.
###
Tiga puluh menit kemudian Radith dan Rena sudah berderap memasuki Instalasi Rawat Darurat tempat Hendra dan keluarganya di evakuasi setelah kecelakaan. Setelah bertanya pada beberapa petugas yang ada di sana akhirnya merekapun bisa melihat kondisi Hendra dan keluarganya. Hendra ternyata sudah sadar, namun pria itu sedang mendapatkan perawatan pada luka-lukanya.
Dari petugas yang ada di sana Radith mendapatkan info bahwa Hendra baru saja menjalani pemeriksaan lengkap. Dan syukurlah tidak ada hal yang perlu dicemaskan karena tidak ada luka yang cukup serius. Hanya beberapa luka di beberapa anggota tubuhnya yang terlihat sedikit mengerikan. Dokter dan perawat sedang menangani hal itu.
Keadaan istri Hendra juga lebih baik kecuali pelipis yang terlihat sudah terbalut perban juga lengannya. Wanita itu sepertinya terkena pecahan kaca. Hal yang justru membuat suasana ramai adalah tangisan anak bungsu Hendra. Bocah laki-laki berusia satu tahun setengah itu terus menerus menangis entah karena apa. Memar dan lebam terlihat di dahinya. Selebihnya bocah itu terlihat baik-baik saja.
"Kenapa Marcel, Ir. Dia terluka di bagian mana? Pasti kesakitan ya? Kok nangis terus dari tadi." Radith membuka suara. Pria itu mendekati brankar Irma, istri Hendra yang tampak berusaha menenangkan bocah yang masih meraung itu.
"Mungkin dahinya yang terkena benturan nyeri, mas. Sedangkan dia juga ingin tidur sambil digendong. Gimana caranya? tanganku masih sakit banget. Masih baru aja dijahit." Irma menjawab dengan nada sedih. Ia tak mampu menenangkan anaknya sendiri yang ia tahu pasti sangat lelah dan ingin tertidur dengan nyaman.
"Biar saya aja pak yang gendong. Saya bisa kok." Rena seketika bersuara sebelum Radith sempat membuka mulut.
"Apa Marcel mau sama orang asing?" pertanyaan itu Radith tujukan untuk Irma.
"Nggak tahu juga sih, mas. Dia kan biasanya cuma sama aku aja di rumah. Tapi dia cepat akrab sama orang baru."
Tak menghiraukan kedua orang dewasa yang masih menimbang-nimbang itu, Rena mendekati brankar Irma. Dilihatnya Marcel, anak bungsu Hendra mulai terisak, mengurangi raungannya. Matanya juga tampak sesekali menutup mungkin sudah demikian mengantuk.
"Saya coba gendong aja ya mbak. Dia kan juga kayaknya lelah banget mau tidur. Jadi meskipun nggak kenal sama saya pasti dia mau karena sudah terlalu mengantuk." Rena membawa bocah itu dalam gendongannya. Memeluk dan menepuknya pelan. Dan benar saja, perlahan isakan bocah itu menghilang tergantikan dengkuran halus. Pasti akibat saking lelahnya dia.
"Kamu pintar banget. Sudah cocok jadi ibu," Radith terkekeh geli di sebelah Rena. Rena hanya mengedikkan bahu sambil masih berdiri, bergerak mengayun bocah dalam gendongannya.
"Oh ya Mas Radith. Emm... Mbak ini siapa ya? Dari tadi belum dikenalin." Irma bertanya canggung setelah mengamati interaksi gadis yang sedang menggendong anaknya yang terlelap itu dengan teman suaminya.
"Oh, iya lupa. Aku belum ngenalin kalian. Ini Rena temanku, dan Ren, ini Irma istri Hendra sahabat saya," Radith segera memperkenalkan mereka berdua. Sekilas Rena menangkap sorot terkejut juga sedikit aneh dari wanita yang Rena salami tangannya itu. Namun ekspresi itu seketika berganti ramah setelah mereka bersalaman.
"Kamu masih kuliah ya, Ren?" Irma kembali bertanya sambil berusaha menyamankan posisi tidurnya.
"Iya, mbak. Semester akhir. Lagi ngerjain skripsi." jawab Rena ramah. Tak lama kemudian Radith berpamitan untuk menemani Hendra yang masih mendapatkan penanganan. Pria itu juga akan mengurus administrasi kepindahan mereka dari instalasi rawat darurat ke ruang perawatan.
"Sudah lama kenal Mas Radith?" lanjut Irma setelah Radith pergi dari ruangannya.
"Baru dua mingguan, Mbak."
"Kalian kenal di mana?" Kejar Irma. Wanita itu sepertinya masih penasaran dengan keberadaan Rena.
"Saya menemukan dompet Pak Radith di mall terus dari sana lanjut deh sampai sekarang." Senyum Rena semakin berbinar mengingat pertemuan pertamanya dengan Radith. Pertemuan pertama yang menghasilkan pertemuan-pertemuan berikutnya.
"Mbak istirahat aja ya? Mbak Irma kelihatan banget tuh kalau capek. Lagipula kondisi mbak kan juga masih belum pulih. Tadi sudah makan belum?" Rena kembali berceloteh. Gadis itu bisa jadi terlalu banyak bicara jika merasa nyaman dengan orang yang ia temui. Namun juga bisa sebaliknya, diam dan membisu saat ia merasa sungkan, takut, ataupun terintimidasi.
"Terima kasih banyak ya, Ren. Kedatangan kamu benar-benar membantu kami. Kalau nggak ada Mas Radith dan kamu entah bagaimana kami. Siapa yang mengurus semua ini. Keluarga kami jauh. Kami dari Solo dan Banyuwangi. Tadi saya sudah menghubungi keluarga di sana. Tapi kan nggak mungkin mereka bisa langsung datang. Setidaknya besok pagi atau dini hari nanti mereka baru tiba di sini." Irma memandang Rena dengan tatapan penuh terima kasih.
Rena berjalan duduk di brankar kosong di samping Irma. Dari tadi menggendong balita mungil ini ternyata lumayan membuatnya sedikit lelah.
"Mbak Irma nyantai aja. Saya nggak ada kegiatan juga kok. Eh Mbak Irma sudah makan belum? Pasti belum kan?" Rena kembali mengulang pertanyaanya.
"Belum, Ren. Tadi rencananya kami akan makan malam sepulang dari Pasuruan. Namun musibah terjadi. Kami kecelakaan."
"Biasanya menu makan malam akan diantar ke ruang rawat di jam-jam segini atau malah tadi setelah hari beranjak gelap. Tapi Mbak Irma kan masih di instalasi rawat darurat dan masih belum tahu kapan bisa pindah. Semoga aja cepat. Saya minta Pak Radith untuk membelikan makan malam untuk kalian semua aja ya mbak? Biar bisa di makan segera dan mbak Irma bisa istirahat. Terus si kakak gimana mbak kondisinya? Nggak apa-apa kan? Saya lihat dari tadi tidur terus." Rena menunjuk anak sulung Hendra yang tidur meringkuk di atas brankar kosong di sebelah Irma.
"Alhamdulillah dia baik-baik saja. Dia ada di belakang. Memang ada sedikit benturan di keningnya. Tapi selebihnya dia baik-baik saja." Irma memandang kasihan pada anak sulungnya.
"Saya hubungi Pak Radith dulu ya." Dengan sedikit kesulitan Rena meraih tas yang ia letakkan di sebelahnya.
"Nggak usah, Ren. Nanti malah ngerepotin. Lagi pula makan dalam keadaan kayak gini pasti nggak bisa masuk juga." Irma mencoba mencegah.
"Mbak harus makan, biar cepat pulih. Lagi pula nggak ngerepotin kok mbak. Tinggal pesan aja. Bisa delivery order atau pakai ojek online." Rena menghubungi Radith. Dan begitu tersambung segera saja ia mengutarakan niatnya. Radith menyetujui dan menyuruh Rena memesankan makanan untuk Hendra dan keluarganya."
Tiga puluh menit kemudian Irma sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Bocah dalam gendongan Rena juga telah beralih pada gendongan Radith. Sedangkan si sulung Hendra berjalan mengiringi sang ibu yang di dorong menggunakan kursi Roda.
Sepuluh menit setelah Mereka semua tiba di ruang rawat, Hendra pun tiba dengan anggota tubuh yang terbalut perban di beberapa bagian. Radith sengaja meminta Hendra dan istrinya di tempatkan dalam kamar yang sama untuk mempermudah mereka dalam berkomunikasi. Lagi pula anak-anak mereka juga tidak akan dibuat bingung jika tak melihat salah satu orang tuanya tidak ada di ruangan yang sama.
Kali ini Radith meletakkan Marcel, anak bungsu Hendra dalam tempat tidur yang sama dengan ibunya setelah Rena membuatkan susu karena anak itu kembali merengek saat ditidurkan.
Satu jam kemudian setelah memastikan Hendra, istri, dan anak sulungnya makan. Radith menyuruh mereka semua kembali beristirahat. Hendra sempat menyuruh Rena dan Radith pulang. Namun mereka menolak. Jika mereka berdua tidak ada siapa yang akan menjaga mereka semua. Hendra dan istrinya masih belum bisa beraktivitas seperti semula.
Akhirnya Hendra pasrah saat Radith menyuruhnya beristirahat. Menyusul Irma yang terlihat sudah lelap.
"Sebentar lagi Faisal datang," Ucap Radith pelan di samping telinga Rena. Mereka saat ini duduk di sofa besar yang cukup nyaman di ruang perawatan Hendra. Tubuh Radith menempel di sisi Rena meskipun di sampingnya masih ada ruang kosong. Pria itu sedari tadi memang terus berkomunikasi dengan Faisal. Rena hanya mengangguk mengiyakan. Dilihatnya jam di dinding ruangan itu sudah menunjukkan angka setengah sepuluh.
Radith yang menyadari itu seketika mengumpat pelan. Ia baru sadar hari sudah semakin larut. Dan Rena harus segera pulang.
"Kamu harus pulang, Rei. Pasti kamu nggak bisa masuk kalau sudah terlalu malam tiba di indekost." Rena tersenyum menenangkan.
"Kalau akhir pekan pintu pagar ditutup jam sepuluh, pak. Lagi pula jika terlambat pulang karena urusan yang bisa dikatakan penting, kita bisa menghubungi penjaga indekost untuk meminta izin pulang larut. Nanti pasti akan dibukakan pintu."
"Saya merasa tak nyaman, Rei. Ayo saya antar sekarang." Radith hendak beranjak namun jemari Rena dengan cepat meraih tangan Radith. Meminta pria itu duduk kembali di sebelahnya.
"Nggak usah, pak. Saya akan menghubungi penjaga indekost saya saja. Lagi pula apa bapak tga membiarkan mereka semua dalam keadaan seperti ini? Bagaimana kalau Marcel terbangun dan menangis? Bagaimana jika Pak Hendra dan Mbak Irma membutuhkan sesuatu atau setidaknya ingin ke kamar mandi?" Radith memikirkan sejenak kalimat Rena. Gadis ini sudah berpikir sejauh ini. Benar-benar peduli meskipun baru tadi mengenal keluarga Hendra.
"Setelah mengantarkan kamu, saya akan kembali ke sini kok." Radith berencana menginap sampai keluarga Hendra datang.
"Setidaknya sampai Pak Faisal datang, kita akan tetap di sini." putus Rena yang akhirnya mendapatkan persetujuan Radith.
"Kamu istirahat juga. Tiduran aja di sini. Kepala kamu taruh di pangkuan saya." Rena seketika mengeryit mendengarkan kalimat Radith. Apa? Tidur di pangkuannya? Radith pasti bercanda. Rena membatin namun tak urung pipinya memanas seketika begitu membayangkan jika ia menerima penawaran Radith untuk membaringkan kepalanya dipangkuan pria itu.
###
Repost 06092020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top