8. Saingan cinta
Indra langsung merebahkan tubuhnya di atas kasurnya setelah tadi ia mengantar kepulanagan Sania sampai di ambang pintu kamar kostnya. Setelah mendengar pengakuan dari Sania tiba-tiba saja semangatnya untuk melangkah ke jenjang hubungan yang lebih serius menjadi kendor.
"Ternyata Sania adalah janda anak satu. Gimana ya? Terusin nggak ya?" gumam Indra. Matanya menatap kosong ke arah plafon kamarnya. Pikirannya dipenuhi oleh hal-hal yang membuat hatinya mundur untuk semakin jauh menjalin hubungan bersama Sania. Tiba-tiba saja lamunannya buyar karena dikagetkan oleh dering yang berasal dari gawainya.
"Iya halo."
"Kamu kapan pulang sih, Sayang? Aku kangen banget sama kamu. Aku udah coba telpon kamu beratus kali tapi tetap nggak kamu angkat, pesan aku juga nggak pernah kamu balas. Kamu nggak lupa kan kalau besok hari ulang tahun aku?"
"Iya, Nindi. Udah deh jangan bawel. Udah dulu ya telpnnya, aku mau tidur," ucap Indra. Ia malas meladeni perkataan perempuan yang sampai saat ini masih berstatus sebagai pacarnya itu.
"Kemarin aku datang ke rumah kamu, tahu .... Kamu tahu nggak, Mbak kamu itu ternyata—"
"Apa?! Kamu bilang apa?!" seru Indra. Ia langsung menegakkan tubuhnya kala mendengar ucapan Nindi.
"Aku kemarin datang ke rumah kamu ...." ulang Nindi.
"Nindi, kamu gila?! Ngapain kamu ke rumah aku, ha?!" seru Indra. Ia tak habis pikir bisa-bisanya Nindi datang ke rumahnya.
"Kamu kok bisa tahu alamat rumahku?" tanya Indra.
"Ya pokoknya aku tanya-tanya sama orang-orang. Yang pentig aku bisa nyari kamu ke rumah. Tapi sialnya nasib aku, Sayang. Kamu kok nggak pernah bilang kalau Mbak kamu itu judes dan galak sih?"
"Ya Tuhan, Nindi ...! Kamu malah bikin masalah baru buat aku, tahu nggak sih?! Kamu kemarin ngomong apa aja sama Kakak aku?" Indra merasa geram dengan kelancangan Nindi.
"Ya aku sih nggak ngomong apa-apa, cuma kengalin diri doang kalau aku ini pacar kamu ...." Nada suara Nindi terdengar manja mendayu-dayu di telinga Indra.
"Astaga ...." gumam Indra. Sepanjang perjalanan kisah cintanya, ia tak pernah membawa para perempuan yang sedang ia kencani. Dulu pernah ada satu perempuan yang menjadi kekasihnya dan ia bawa pulang untuk ia kenalkan pada keluarganya. Tapi itu sudah berlalu, mungkin itu hanya cinta monyet karena saat itu ia masih duduk di bangku sekolah menengah petama.
"Kamu besok datag kan?! Pokoknya kamu harus datang, Sayang. Kalau nggak, aku bakal datang ke rumah kamu lagi buat jemput kamu," ucap Nindi bersikeras.
Merasa jika Nindi mengancamnya, Indra langsung memutuskan sambungan telponnya.
"Gila tuh orang, gue harus buru-buru putusin Nindi kalau gini caranya. Ngapain dia pakai datang ke rumah segala," geram Indra. Ia kembali melemparkan tubuhnya ke kasur.
***
Sania terduduk lemas di dinginnya lantai seraya menyenderkan tubuhnya di dinding kamarnya. Entah mengapa sekarang ini ia merasa takut jika Indra akan meninggalkannya. Ia merasa buruk dengan statusnya yang adalah seorang janda beranak satu. Terlebih lagi ia juga bukanlah orang yang berpendidikan tinggi.
"Apa Mas Indra nerima aku dan bakal nerusin hubungan kita ya? Atau jangan-jangan Mas Indra malah jadi ilfil sama aku?" gumam Sania.
"Harusnya aku langsung aja ngomong jujur sama Mas Indra waktu pertama kali kita kenalan. Jadi sewaktu dia nggak nerima aku, udah dari dulu pertama kali kenal aja. Kalau gini kan ribet urusannya, mana aku udah terlanjur jatuh cinta sama dia lagi ...." Sania menyugar rambutnya ke belakang. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa selain ia harus pasrah dalam menghadapi semua jalan takdir di hidupnya.
"Sania ... jangan mikir yang buruk-buruk kalau nggak mau hal itu sampai terjadi di hidup kamu .... Ayo Sania, bangkit. Berpikir yang positif biar jadinya juga positif!" Sania menyemangati dirinya sendiri. Ia menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan agar pikiran dan hatinya bisa terkontrol degan baik.
"Kenapa lo, San?"
Sania berjengkit kaget. Jantungnya bahkan sampai berdegub kencang karena tiba-tiba saja ada suara yang mengagetkannya. "Bang Erwin? Ngagetin aja," ucap Sania.
"Lo ngapain pake ngelamun segala?! Disamber sama demit baru tahu rasa lo," ucap Erwin.
"Isshh ... kalau ngomong jangan yang serem-serem napa sih, Bang."
"Ya udah, dari pada lo kebanyakan bengong lebih baik lo buruan bikinin gue minuman dingin sama bawain juga camilan ke kamar gue ya," ucap Erwin.
"Ada tamu ya, Bang?"
"Iya, bikinin minum dua ya," ucap Erwin. Ia lalu pergi meninggalkan kamar kost Sania setelah mendapat anggukan dari Sania.
Sania segera beranjak dari tempat duduknya untuk membuatkan pesanan dari Erwin salah satu pelanggan tetapnya. Setelah selesai membuatkan dua minuman dingin, ia lalu bergegas menuju kamar kost Erwin. Sampai di depan kamar Erwin, ia mengangkat satu tangannya untuk mengetuk pintu kamar Erwin yang tertutup separuh. Tapi niatannya itu terhenti ketika sayup-sayup ia mendengar percakapan orang yang ada di dalam kamar itu.
"Gue jatuh cinta sama Indra, Win."
Deg
"Jatuh cinta? Ada yang juga jatuh cinta sama Indra selain aku?" gumam Sania dalam hati.
"Pokoknya gue minta tolong banget sama lo kali ini. Gue bener-bener suka sama Indra. Lo comblangin gue sama dia ya."
"Ngapain mesti gue yang nyomblangin sih?! Kenapa nggak lo aja yang coba ngedeketin dia sendiri?! Lo juga kan kemarin udah minta nomer WAnya dia," sahut Erwin.
"Tapi gue malu lah, Win. Gue nggak mau kalau dianggap agresif sama dia."
"Alah ... pake malu segala lo, Bel."
"Loh Sania, lo kenapa berdiri di sana?" tanya Erwin saat tak sengaja ia melihat ke arah pintu kamarnya.
Sania terkesiap, "i—iya, Bang. Ini juga mau masuk," sahut Sania. Ia pun dengan berat hati melangkah memasuki kamar Erwin. Saat meletakan pesanan Erwin, ia sengaja berlama-lama untuk melihat wajah dari perempuan yang kini juga jatuh cinta pada Indra.
"Kenapa lihatin saya gitu, Mbak?" tanya perempuan bernama Bela itu.
"Eng—enggak, Mbak." Sania langsung memalingkan pandangannya dari perempuan bernama Bela itu.
"Aku permisi dulu, Bang," pamit Sania. Ia berdiri bersiap meninggalkan kamar Erwin.
"Gue nggak mau kecolongan sama Mira," sambung Bela.
"Kenapa sama si Mira?" tanya Erwin.
"Mira juga naksir kali, sama Indra. Gila kan?!" seru Bela.
Sania kembali mematung ketika mendengar ucapan Bela. "Jadi tak hanya ada satu orang sainganku di sini?" gumam Sania dalam hati. Ia pun bergegas meninggalkan kamar Erwin sebelum tangisnya meledak.
Sampai di kamarnya, Sania langsung mengunci pintu kamarnya lalu melemparkan tubuhnya di atas kasurnya. Cairan bening pun tak bisa ia cegah keluar dari bola matanya.
"Cuma denger kayak gitu aja kenapa hatiku sesakit ini ya Allah ...."
***
Pagi harinya Indra langsung mengemasi beberapa pakaiannya ke dalam tas ransel miliknya. Hari ini juga ia harus kembali ke Jakarta. Jika tidak pasti akan ada banyak masalah yang mungkin saja menjeratnya. Ancaman Nindi bukanlah main-main karena ia tahu jika perempuan yang masih berstatus sebagai pacarnya itu adalah perempuan yang nekat. Ia tak mau jika Nindi sampai kembali ke rumahnya dan mengaku-ngaku sebagai pacarnya karena toh ia juga tak benar-benar menganggap Nindi sebagai pacarnya.
Indra menaiki bus jurusan Jakarta. Secepat mungkin ia harus tiba di rumahnya, untuk itu ia pagi-pagi sekali sudah siap berangkat. Lagipula Kakak perempuannya juga berkali-kali mengiriminya pesan singkat agar ia segera pulang karena sang mama terus saja khawatir pada dirinya. Turun dari bus, ia naik ojek hingga sampai di rumah orang tuanya.
"Mas Indra?!" seru Bik Darsih. Ia sampai melemparkan selang airnya ke sembarang tempat hanya untuk membukakan pintu gerbang majikannya itu.
"Bik Darsih apa kabar?" tanaya Indra.
"Baik Mas, buruan masuk. Oh iya, Mas. Hati-hati Mas, Bapak marah-marah lhoh karena Mas Indra nggak pulang-pulang. Tapi kali ini Mas Indra aman soalnya Bapak sama Mbak Tania ke kantor," ucap Bik Darsih.
"Iya, Bik. Makasih ya." Indra bergegas masuk ke rumah untuk menemui sang Mama tercinta.
Bik Darsih kembali menyelesaikan pekerjaannya menyiram bunga di halaman depan.
"Mah ... Mama ... Indra pulang, Mah!" seru Indra saat ia masuk ke rumah.
Mendengar teriakan putra kesayangannya yang sudah ia tunggu-tunggu kedatangannya membuat Anita berjalan tergesa keluar dari kamarnya.
"Mama!" seru Indra. Ia melemparkan asal tas ranselnya untuk memeluk Anita.
"Dasar anak nakal kamu ini! selalu saja bikin pusing mama!" seru Anita.
"Aku datang malah diomel-omelin gini sih? Bukannya dikasih makan," ucap Indra.
"Memangnya kamu belum makan?!"
"Belum. Tadi aku nggak sempat sarapan soalnya aku bangun tidur langsung cari bus," sahut Indra.
"Berarti kamu nggak mandi juga dong?!"
"Namanya juga buru-buru, Mah," sahut Indra.
"Jorok ah kamu. Sana mandi dulu!" seru Anita.
"Aku mau makan dulu aja, Mah. Udah lapar banget. Mama masak apa?" Indra merangkul Anita berjalan menuju dapur.
"Mama belum masak. Ini Kakak kamu minta dimasakin rendang buat makan siang nanti, tapi pasti kamu nggak doyan. Nanti mama bikinkan masakan yang lain lagi buat kamu," ucap Anita.
Indra duduk di kursi mini bar seraya memakan kue kering yang tersedia di toples-toples yang ada di atas meja. Sedangkan Anita mulai mencari bahan-bahan untuk membuatkan putranya itu sarapan.
"Kamu mau mama buatin apa, Sayang?" tanya Anita.
"Mah, jangan panggil aku kayak gitu lah. Aku udah besar kali ...." Protes Indra dengan wajah yang cemberut. Ia paling tidak suka jika kedua orang tuanya memanggilnya dengan sebutan sayang seperti itu. Apalagi jika di depan teman-temannya. Menurutnya hal itu bisa menurunkan tingkat kemachoan dalam dirinya.
"Ihh ... kenapa? Itu bagus tahu!" bantah Anita.
"Ya udah jangan kebanyakan protes. Kamu mau mama masakin apa?" tanya Anita.
"Omelet aja deh, Mah. Di sana nggak ada omelet seenak bikinan Mama," ucap Indra.
"Iya dong, kamu tahu sendiri kalau masakan mama memang nggak ada tandingannya. Makanya ya, kamu itu kan udah besar, udah dewasa juga. Kalau cariin mama mantu yang pintar masak, jangan yang pinternya nongkrong, dandan dan jajan aja," ucap Anita. Ia sudah mulai membuka telur ke dalam mangkuk dan menambahkan beberapa bumbu ke dalamnya.
"Mama nih apaan sih, orang aku belum kepikiran buat cariin Mama mantu kok," sahut Indra.
"Alah, terus yang kemarin ke sini itu siapa?"
"Itu cuma teman. Dia emang naksir sama aku, tapi aku nggak naksir sama dia. Aku juga nggak suka pacar-pacaran. Mama kan tahu sendiri kalau aku masih suka bebas dan nggak mau terkekang dengan satu komitmen bersama perempuan. Menurutku Mama dan Kak Tania aja udah bikin aku selalu pusing," ucap Indra.
"Eh, apa maksud kamu ngomong mama dan Tania bikin kamu pusing?! Nggak mama masakin baru tahu rasa kamu ya!" Anita tak terima dengan ucapan putranya itu.
"Iya Mah, maaf. Gitu aja marah. Bikinin es sirup sekalian ya, Mah." Ucap Indra disertai dengan cengirannya. Begitulah Indra jika sedang berada di rumah bersama sang mama. Anita selalu memanjakan Indra, meski sering kali juga ia memarahi putra keduanya itu. Namun itu semua adalah bentuk rasa kasih sayangnya terhadap putranya itu.
***
.......bersambung.......
Jangan lupa vote dan komen yes.
Semarang, 13 April 2021
Salam
Silvia Dhaka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top