71. Tak sepadan
Sampai kamar, Sania kembali menangis. Ia tak menyangka jika mertuanya akan berbicara seperti itu. Rasa takut ganti menguasai dirinya. Bahkan setelah ini mungkin ia tak akan sanggup menatap wajah mertuanya.
Sania tak tahu apakah yang kemarin ia lakukan selama ini sudah benar dengan menangis membela keluarganya ataukah tidak. Tapi pada saat kakak-kakaknya mengadukan hal buruk tentang keluarga suaminya ini, ia langsung saja emosi.
"Sekarang gimana kalau udah gini. Aku udah ngomong sama kamu berulang-ulang, jangan sampai buat orangtuaku marah. Kan sekarang malah kejadian kayak gini," ucap Indra. Ia juga pusing setengah mati dengan keadaan rumit sekarang ini. Ia bingung karena perseteruan ini antara pihak istrinya dengan pihak orangtuanya.
"Mana aku tahu. Aku pikir orangtua kamu nggak bakal marah. Aku pikir orangtua kamu akan bela aku, tapi kenyataannya orangtua kamu malah nyalahin aku. Mereka bahkan ngomong kasar ke aku. Apa aku salah kalau aku sakit hati dan nggak terima kalau keluargaku dipermalukan kayak kamaren itu."
"Tapi harusnya kamu jangan memperkeruh keadaan. Akibatnya jadi masalah besar kayak gini kan. Sekarang Papa sama Mama udah marah. Aku nggak tahu gimana jadinya nanti." Indra menatap langit-langit kamarnya dengan mata memerah hingga setetes cairan bening keluar dari bola matanya membasahi pipinya. Pikirannya sekarang ini sedang kacau.
"Semoga Papa sama Mama nggak berlarut-larut dengan amarahnya," gumam Indra.
***
"Pah, tadi menantu Papa sampai nangis lho," ucap Tania dengan tersenyum menggoda papanya. Kini Tania memiliki hobi baru, yaitu memercikkan api amarah pada kedua orangtuanya.
"Biarin aja. Biar kapok. Ini akibatnya kalau nantang Papa." Sahut Suwendar hingga berhasil membuat Tania tertawa.
"Sudah lupakan saja. Jangan dibicarakan terus. Bisa-bisa nanti malah kena penyakit darah tinggi," ucap Suwendar.
"Iya, ya."
"Oh iya, Tania. Kotak yang tempat amplop itu kamu taruh mana?" tanya Anita.
"Aku taruh di kamar bawah yang kemaren buat rias. Emang kenapa, Mah?" tanya Tania.
"Ya mau dibuka. Soalnya kotaknya kan juga harus dikembalikan sama periasnya."
"Biar aku ambilin ya, Mah. Aku suka tuh kalau disuruh hitung uang." Tania langsung berjalan cepat mengambil dua kotak dan dua tas berukuran tanggung dari kamar.
"Mah, Pah, kotaknya berat. Pasti isinya banyak." Tania mengangkat kotak seraya tersenyum senang. Tania yang biasanya malas pun sampai rela bolak-balik kamar.
"Kita buka di sini, Pah?" tanya Anita.
"Iya. Kita duduk di bawah aja deh. Lesehan."
Tania dengan begitu semangatnya membuka satu persatu amplop yang tentunya berisi uang dari para tamu undangan yang datang.
"Ini tas buat apaan kamu bawa ke sini segala?" tanya Suwendar.
Tania tersenyum lebar. "Dua kotak ini penuh sama amplop dari tamu yang datang sore. Terus pas kemaren mau acara resepsi, aku pindahin dua kotak ini ke dua tas ini biar kotaknya bisa dipakai lagi. Pinter kan."
"Kamu ini kalau soal uang cepet ya."
"Iya dong."
"Laaaaa! Yan dah idur." Seru Bian mengagetkan tiga orang yang kini tengah sibuk membuka amplop itu.
"Sini, Sayang. Jangan berdiri di tangga, nanti jatuh. Ayo turun pelan-pelan," ucap Anita.
Bian dan Agnes pun turun dan mendekati ketiga orang itu.
"Bian, mau uang? Nih uang banyak." Tania memamerkan segepok uang yang ada di tangannya pada keponakannya itu.
Bian mendekat ke arah Tania. Bukannya meminta, bocah kecil itu malah menyembunyikan kedua tangannya di belakang punggungnya seraya menyengir hingga menampilkan deretan giginya.
"Dia nggak mudeng uang, Mah," ucap Tania seraya tertawa.
"Dia nggak tertarik sama uang. Tertariknya sama makanan," sahut Anita.
"Aku, Budhe! Aku mau uang!" Agnes mendekati Tania seraya menggapaikan tangannya agar bisa mengambil uang yang ada di angan Tania.
"Agnes!" seru Sania menegur anaknya itu.
Tania menoleh ke arah Sania yang kini sedang berjalan ke arahnya. Wajah Sania kini sudah bersih dari air mata.
'Secepat itukah suasana hatinya berubah. Tadi wajahnya udah kayak orang mau bunuh diri, tapi sekarang udah biasa lagi,' gumam Tania dalam hati.
Sania terkejut melihat uang yang ada di hadapan Tania. Ia pun mendekati kakak iparnya itu.
"Yang nyumbang banyak banget ya, Kak. Dari minggu sore sampai senin malam," ucap Sania.
"Iya, alhamdulillah."
"Itu berapa jumlahnya, Kak?" tanya Sania. Ia penasaran dengan jumlah uang yang sedang dihitung kakak iparnya karena uang itu terlihat begitu banyak.
"Tujuh puluh delapan juta enam ratus enam puluh lima ribu," sahut Tania dengan nada suaranya yang riang.
Sania menganga mendengar jumlah uang hasil dari membuka amplop. Tentu saja tak sebanding dengan hasil membuka amplopnya waktu itu di rumahnya.
"Banyak banget ya, Kak."
"Iyalah, orang keluarnya duit juga banyak kok," sahut Tania.
"Emang acara ini semuanya ini habis berapa?" tanya Sania penasaran.
"Kamu mau tahu acara ini habis duit berapa?"
Sania menganguk.
"Seratus tiga puluh lima juta. Padahal ini hitungannya sederhana ya, Pah. Coba kalau Papa ngadainnya besar-besaran, pasti pengeluarannya jauh dari pada ini," ucap Tania.
Sania melihat buku tulis yang ada di depan Tania. "Ini buku apa, Kak?"
"Ohh itu buku buat nulis orang-orang yang ngasih amplop. Ada jumlah uangnya juga. Jadi nanti kalau mereka ngadain acara, kita ngasih isi amplopnya sama kayak yang mereka kasih ke kita. Tapi kalau bisa ya dilebihin. Misal sekarang dianya ngasih lima ratus ribu ya besok kita ngasihnya ke dia enam ratus kek, tujuh ratus kek. Gitu biasanya kalau kita. Nggak tahu sih kalau kamu," ucap Tania.
Sania mengambil buku itu, lalu membuka halamannya. "Kemaren Mbak Par sama Mbak Sutrini aku lihat juga masukin amplop ke sini." Ucap Sania dengan bangganya, ia tersenyum seraya membolak-balik dan membaca tulisan Tania. "Mana ya, aku mau lihat Mbak Par nyumbang berapa," imbuh Sania.
Tania tersenyum penuh kemenangan dan melempar pandangannya ke arah Suwendar yang ternyata juga tengah melempar pandangan ke arahnya saat mereka sama-sama melihat Sania sedang membolak-balik lembar demi lembar kertas dalam buku itu.
Sania melotot ketika melihat nama orang dengan jumlah uang yang disumbang. "Nyumbangnya banyak-banyak ya, Kak. Ada yang lima ratus, tiga ratus lima puluh, dua ratus ... paling sedikit seratus ribu ya."
"Iya, yang seratus kebanyakan tetangga. Kamu bolak-balik itu dari tadi, kamu cari apa?"
"Cari namanya Mbak Par." Sania tak menghentikan gerakan tangannya membalik buku itu.
"Buka lembar ketiga kanan bawah. Dari keluargamu, kelihatannya ada tiga orang yang nyumbang. Kalau nggak salah Mbak Par, Mbak Sutrini sama Mas Kepik." Tania memberitahu di mana letak yang sedang Sania cari tanpa melihat bukunya dulu karena nama itu sudah ia hafal betul letaknya. Bahkan tadi Tania menulis dengan ukuran yang lumayan besar. Tania sengaja menuliskan nama dan jumlah uangnya lebih besar dari pada tulisannya yang lain.
"Lembar ketiga, kanan bawah ... Mbak Par ...," gumam Sania. Dengan semangat Sania mencari tulisan nama saudaranya di buku yang kini ia pegang. Tapi tiba-tiba ia terdiam. Bahkan senyum di bibirnya itu kini sudah menghilang ditelan rasa malunya. Jika tahu saudaranya memberikan uang sumbangan dengan jumlah sebegitu sedikitnya, pastinya ia tak akan menanyakan pada kakak iparnya dengan sebegitu bangganya tadi. Tentu saja ia sangat merasa malu, bagaimana tidak, dari tadi ia membaca tak ada yang memberikan uang dengan jumlah sedikit. Tampaknya kakak iparnya itu sengaja menuliskan nama saudara-saudaranya dan jumlah nominal uang yang diberikan dengan tulisan yang berukuran besar. Lebih besar tiga kali lipat dari pada tulisan yang lainnya. Di sana tertulis Parsini empat puluh ribu rupiah, Kepik dua puluh lima ribu rupiah dan Sutrini lima puluh ribu rupiah.
"Agnes! Bian! Ayo kita naik. Tidur, udah malam!" sentak Sania pada kedua anaknya. Ia lalu berdiri dan menggandeng kedua anaknya kemudian ia giring naik ke lantai atas, masuk ke kamarnya.
Sania dan Suwendar saling tatap lalu tersenyum miring. "Dia langsung sewot sampai anaknya langsung diseret ke atas, Pah," ucap Tania.
"Biar dia tahu di mana posisi keluarganya berada. Keluarga kita nggak ada yang ngasih uang sedikit. Saudara paling sedikit tiga ratus ribu, itupun saudara jauh. Huh, empat puluh ribu saja kok berani-beraninya bikin onar," ucap Suwendar dengan senyum miringnya.
"Papa ngejek uang empat puluh ribu? Segitu juga uang lho, Pah," goga Tania.
"Papa itu nggak mempermasalahkan jumlah uang itu. Yang Papa masih geram sampai sekarang adalah orang yang ngasih uang itu. Bisa-bisanya mereka sombong dengan ngasih uang segitu," sahut Suwendar.
"Papa tahu mereka sebenarnya sudah marah sama keluarga kita gara-gara keluarga kita nggak kasih uang tukon ke Sania, meskipun kita udah ngasih banyak barang seserahan. Mereka masih nggak terima karena kita nggak datang ke sana dengan membawa keluarga besar kita. Papa tahu itu, makanya mereka mencoba mencari gara-gara sama kita. Mereka pikir dengan membuat gara-gara seperti ini, kita akan nunduk-nunduk minta maaf sama mereka, mereka pikir kita akan tunduk dan takut sama mereka. Heh, ngimpi! Mereka apa nggak punya pikiran, siapa keluarga mereka, siapa anaknya itu. Anaknya sudah tidak gadis lagi. Janda satu anak. Tidak berpendidikan. Bukan juga wanita yang cantik rupawan. Mereka harusnya bersyukur sampai sujud anaknya dapat suami dari keluarga baik-baik dan terhormat. Bukannya malah bikin masalah kayak gini. Dikiranya kita bakal nunduk mohon ampun sama mereka. Jangan ngimpi! Kalau mereka sudah nggak mau menjalin hubungan baik dan kekeluargaan sama kita, Papa pun lebih nggak mau," ucap Suwendar.
"Maksud Papa mereka nggak sepadan sama kita gitu ya?" tanya Tania.
"Iya lah. Harusnya kalau orang punya pikiran itu, mereka baik-baikin kita, menjaga silaturahmi, menjaga hubungan baik, bukannya malah membuat onar seperti itu."
"Papa lihat nggak kemaren waktu keluarganya pada datang ke sini? Kemaren itu aku kaget lho Pah, mereka tiba-tiba sampai sini. Mana kita masih belum siap-siap, belum mandi. Kok bisa ya, harusnya kan kalau orang punya akal bener itu ya komunikasi sama keluarganya. Sampai mana, terus bilang ke kita, biar kita bisa siap-siap nyambut mereka," ucap Tania.
"Itulah kalau orang yang nggak berpendidikan sama nggak ngerti aturan," sewot Anita.
"Harusnya dia udah ngertilah. Orang dia kan juga udah pernah menikah. Apa jangan-jangan pernikahannya yang dulu dia nggak dirayain gini ya, Pah?" ucap Tania.
"Pastinya enggak," sahut Anita.
"Perasaan Mama dari tadi sewot mulu deh kalau ngomong," ucap Tania dengan senyuman menggodanya. Sekarang ini ia senang sekali menggoda papa dan mamanya.
"Gimana nggak sewot, orang nggak bisa mikir gitu. Dari pertama datang ke sini, mukanya selalu cemberut. Tau ibu mertuanya bangun pagi-pagi, ngerjain pekerjaan rumah kok bisa dia nggak ada sungkan-sungkannya bangun jam sembilan siang. Mama dulu juga pernah ikut mertua, pagi-pagi sudah bangun, masak, nyapu, ngepel, semua pekerjaan rumah Mama beresin. Kalau ikut di rumah orang itu ya harus ngerti," ucap Anita.
"Ohh ... aku kira cuma aku yang ngrasa dia kayak gitu. Ternyata Mama juga," ucap Tania. Ia tersenyum melihat wajah mamanya yang masam.
"Ayo tidur. Papa sudah ngantuk." Suwendar berdiri lalu berjalan menaiki anak tangga.
***
Semarang, 7 Juli 2021
Silvia Dhaka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top