70. Sidang paripurna

Ready pdf yes
1. Unwanted Married ---------- 45k
2. Menjadi Wanita Kedua --------40K
3. Menjemput Cinta ------------40K
4. Merajut Cinta Halal ----------40K
Khusus pembelian no 2-4 beli 3 judul cuma 100K

Minat WA 089668046446
***
Jangan lupa vote dan komen!

Sampai waktu siang hampir habis, Indra masih saja mondar-mandir mengurus ini dan itu. Hal itu tentu saja membuat Sania semakin jengkel.

"Ini kok kita belum pulang juga ya, padahal Agnes besok sudah harus sekolah. Kalau bolos gini terus, bisa-bisa Agnes ketinggalan pelajaran. Mana Agnes nggak suka belajar lagi," gumam Sania.

"Mas, ayo kita pulang. Udah jam dua lhoh ini. Kapan kita pulangnya?" tanya Sania pada Indra.

"Kayaknya kita nggak bisa pulang sekarang deh. Pulangnya kita undur besok aja," sahut Indra.

"Lhoh kok gitu sih?"

"Ya emang gitu. Nggak enaklah, orang kita juga baru nikah kemarin. Tenda aja belum dilepas, masa iya kita udah pulang ke rumah kamu."

"Ya udah kalau gitu. Nggak pa-pa kalau kita harus pulang besok, tapi kita sekarang jalan-jalan yuk. Cari angin."

"Ya nggak enaklah, masa kita malah pergi."

"Nggak pa-pa sekali-kali. Kita berdua aja, naik motor nggak pa-pa," ucap Sania.

"Anak-anak?"

"Ditinggal aja. Kan ada banyak orang yang urus. Yaaa ...." Sania mencoba meyakinkan Indra agar mengabulkan permintaannya.

"Ya udah, ayo."

***

Tania menggerutu karena sampai pukul lima sore Sania dan Indra tak kunjung pulang. Padahal kedua anaknya terus saja mencari mereka. Bian tak ingin dibawa masuk ke rumah, jadi Tania harus mengasuh Bian di luar setengah harian ini. Untung saja tendanya belum dilepas, jadi mereka tak merasa kepanasan meski duduk di luar rumah.

"Bian, Sayang. Kita masuk yuk," ajak Tania.

"Ayah ana?" tanya Bian.

"Ayah ada di dalam, makanya Bian masuk yuk sama Budhe. Mau ya?" bujuk Tania.

"Asuk ana? Ayah di ana, Dhe?" tanya Bian seraya menunjuk ke arah rumah.

"Iya. Ayo masuk," ajak Tania. Ia meraih Bian ke dalam gendongannya.

"Sania itu ke mana sih?" tanya Anita.

"Aku juga nggak tahu, Mah. Orang perginya aja juga nggak pamit," sahut Tania.

"Sania pergi sama Indra naik motornya Tania. Tadi aku ketemu mereka di ujung jalan sana," ucap Tari.

"Ke mana mereka perginya, kok dari tadi nggak pulang-pulang," gumam Anita.

"Ya udah aku bawa Bian masuk dulu deh." Tania menggendong Bian memasuki rumah.

Tak lama kemudian Sania dan Indra pulang ke rumah.

"Kalian dari mana aja?" tanya Anita.

"Sania ngajak jalan-jalan, Mah."

Anita hanya diam, karena menantu dan anaknya ini sudah sangat keterlaluan. Tapi sebagai ibu mertua ia tak ingin terlalu nyinyir pada menantunya meski dalam hati dan pikirannya rasanya ia ingin marah.

"Agnes ketinggalan pelajaran jauh nih kalau bolos terus," ucap Sania tanpa ada yang bertanya pada dirinya.

Tania dan Anita yang mendengar pun hanya diam tak ingin menyahuti karena mereka pikir, yang dibicarakan Sania hanya omog kosong belaka.

"Oh iya, Sania. Aku mau tanya sama kamu. Kemaren itu banyak orang yang ngomongin kamu, katanya pengantin perempuannya nangis-nangis. Emangnya kamu itu nangis kenapa sih?" tanya Tania di hadapan semua anggota keluarga kecuali Mario.

"Enggak pa-pa, Kak," sahut Sania.

"Nggak pa-pa kok pakai nangis segala?" sewot Tania.

"Ya aku nangis gara-gara mau ditinggal Bapak sama Ibu aku sama saudara-saudara aku."

Tania tersenyum masam. Rasanya ini sangat tidak masuk akal. "Kan kamu cuma ditinggal pulang sebentar. Besok juga udah bisa kumpul lagi. Kayak ditinggal mati aja. Kecuali kalau kamu selama-lamanya akan tinggal di sini, jadi wajar kalau kamu nangis-nangis kayak gitu soalnya biasanya tinggal bareng sekarang harus tinggal terpisah. Orang besok kamu juga udah bisa kumpul sama keluarga kamu lagi, ngapain pakai nangis segala?! Heran deh," seru Tania dengan nada suaranya yang mulai meninggi dan kasar.

"Ya nggak pa-pa, aku pengen nangis aja," ucap Sania tak gentar.

"Mending Sania sama Indra suruh tinggal di rumah kita yang ada di perumahan cempaka aja. Dari pada rumahnya kosong. Iya nggak," ucap Suwendar yang tiba-tiba ikut bicara.

"Sania?! Sania mau Papa suruh tinggal di cempaka?! Mana bisa?" seru Tania.

"Bisa ajalah. Kan dekat dari sini," sahut Suwendar.

"Sanaia mana bisa pisah sama orangtua sama keluarganya di sana. Bisa mati berdiri dia kalau beneran tinggal di sana," sahut Tania sewot.

"Orang kemaren aja ditinggal pulang langsung nangis. Iya nggak, San?!" seru Tania.

"Iya, Kak. Aku emang nggak bisa jauh-jauh dari keluarga aku," sahut Sania.

"Ayo naik. Anak-anak kayaknya udah ngantuk tuh," ajak Indra.

"Iya." Sania langsung mengajak kedua anaknya naik ke kamarnya bersama Indra.

"Lhoh Sania nangis?" tanya Suwendar pada Tania.

"Iya. "

"Kapan?"

"Kemaren pas acara berlangsung."

"Kok Papa nggak tahu?"

"Aku juga nggak tahu. Orang-orang yang lihat dia nangis."

"Sania itu nangis katanya gara-gara saudaranya pada nggak boleh ngambil makan di sini. Katanya keluarganya pada nggak dikasih makan," ucap Anita.

"Apa, Mah?! Kok bisa gitu, makanan juga digelar bisa ambil sesuka dan sepuasnya kan. Kenapa bisa gitu?!" seru Suwendar.

"Mama juga nggak tahu. Katanya ada yang cegah saudaranya Sania waktu mereka mau ambil makan sama minum. Mereka sampai jajan di luar," ucap Anita.

"Wah itu udah nggak bener namanya. Ngawur itu, Mah. Kok tadi Mama nggak ngomongin ini langsung waktu tadi aku tanya ke Sania soal nangis-nangis itu?" ucap Tania.

"Mama cuma nggak mau memperpanjang masalah aja," sahut Anita.

"Ya nggak gitu caranya dong, Mah. Kalau dia udah nangis-nangis kayak gitu sampai dilihatin semua orang, itu artinya dia memang sengaja memperpanjang masalah. Kita nggak boleh ngebiarin ini semua gitu aja. Paling enggak kita harus tahu duduk perkaranya sehingga kita bisa meluruskan masalah ini. Kalau nggak diluruskan, gimana kalau keluarga mereka ngomongin kita di sana? Pencemaran nama baik kan jadinya," setu Tania geram. Dasarnya memang Tania sudah geram setengah mati pada adik iparnya itu. Adanya masalah seperti ini malah kian menambah kegeramannya.

"Ya udah sekarang kamu panggil Indra sama Sania turun. Kita bicarakan ini semua baik-baik dulu biar jelas," ucap Suwendar.

Tania menghubungi Indra lewat ponselnya karena ia malas berjalan ke lantai atas. "Turun dulu. Aku kangen sama kamu. Buruan turun kalau kamu nggak turun, aku nangis nih!" sindir Tania.

Tak menunggu lama, Indra dan Sania berjalan menghampiri mereka.

"Ada apa, Pah, Mah?" tanya Indra.

"Sini duduk dulu," ucap Suwendar.

Indra dan Sania duduk di sofa. Suasanya terrasa mencekam, berbeda dengan yang sebelumnya.

"Papa baru dengar kalau kemaren Sania itu nangis-nangis gara-gara saudaranya nggak dikasih makan sama kita. Papa dengar ada yang melarang saudara Sania pas mau ambil makan. Apa itu benar?" tanya Suwendar masih dengan nada halus dan tenangnya.

"Sebelumnya Papa sudah bicarakan ini sama kamu. Jangan sampai Papa dengar hal buruk, salah satu contonya seperti ini. Papa ngadain acara ini untuk menyenangkan kamu, supaya kamu nggak diejek sama orang, supaya kamu juga bisa merasakan suasana pernikahan yang sebenarnya karena kamu memang belum pernah menikah sebelumnya. Papa mengeluarkan biaya untuk acara ini nggak sedikit, jadi Papa nggak main-main sama pernikahan kamu. Kamu harus paham itu dulu," imbuh Suwendar.

"Sekarang, jelaskan apa yang sebenarnya sudah terjadi. Silakan, siapa yang mau cerita dan mau menjelaskan. Apa kamu atau kamu," ucap Suwendar. Suasana hening, bahkan Anita dan Tania pun juga tak berani menyela ucapan Suwendar.

"Gini lhoh, Pak. Sebenarnya kemaren itu Mbak Par sama Mbak Sutrini mau ambil makan sama minum tapi nggak dibolehin sama orang. Nggak tahu orangnya siapa. Padahal kemaren itu ke sininya pada terburu-buru sampai nggak sempet sarapan. Pas sampai sini lapar, mau ambil makan eh kok malah nggak dibolehin. Terus akhirnya saudara saya pada makan di luar, cari warung," ucap Sania. Ia mencoba menjelaskan duduk perkaranya karena ia pikir mertuanya ini akan meminta maaf pada dirinya dan juga pada keluarganya atas apa yang kemarin sudah terjadi. Apalagi setelah ia memberitahu bila pihak sinilah yang salah karena telah mencegah saudaranya mengambil makan.

"Papa pesan makanan banyak. Makanan digelar dari pojok sampai pojok. Jadi nggak mungkin kalau kita sekeluarga mencegah ada orang yang mau makan. Yang penting yang mencegah bukan dari pihak keluarga kan?! Harusnya mereka tahu itu. Kita semua di sini sedang sibuk. Harusnya mereka memahami itu," ucap Suwendar.

"Kalau menurut Mama nggak mungkin ada yang menghentikan saudara kamu makan. Papa sama Mama memang minta beberapa warga sini untuk melayani para besan yang datang. Jadi nggak mungkin kita mencegah keluarga kamu makan," timpal Anita.

"Papa tanya. Akhirnya mereka semua itu pada makan apa enggak?!" tanya Suwendar.

"Iya makan, Pak," sahut Sania lirih.

"Nahhh harusnya itu nggak perlu dipermasalahkan kan. Kenapa kamu sampai nangis-nangis sampai dilihatin banyak orang!"

"Ya soalnya begitu Mbak Par sama Mbak Sutrini bicara seperti itu saya langsung sakit hati, jadi saya nangis," sahut Sania.

"Kamu sakit hati?! SAYA YANG HARUSNYA SAKIT HATI. Kamu sudah saya terima dengan tangan terbuka karena saya menyadari bahwa anak saya suka sama kamu. Tapi kamu dan keluarga kamu malah mempermalukan saya di hadapan tamu-tamu saya dengan drama tangisan yang kamu buat. Seharusnya kalau ada yang ngadu omongan sama kamu, kamu harusnya mencerna dulu ucapan itu, bukannya langsung ikut nangis," ucap Suwendar.

"Kamu kan tahu sendiri gimana sibuknya Papa sama Mama di sini dari kemaren. Kamu harusnya juga memaklumi itu. Mama juga nggak bisa terus-menerus menemani keluarga kamu karena semua tamu yang datang ke sini juga mau ketemu sama yang punya acara kan. Harusnya kamu memberi pengertian sama mereka bukannya malah memeperkeruh keadaan dengan menangis seperti itu," ucap Anita.

"Iya, Pak. Saya tahu," lirih Sania.

"Mungkin keluarga kamu memang udah nggak suka sama keluarga saya. Kalau si A suka sama si B, mau bagaimana pun si B itu pasti si A akan berpikir positif. Oh mungkin si B lagi ini mungkin si B lagi itu. Tapi kalau si A sudah nggak suka dulu sama si B itu, mau bagaimana pun kebaikannya si B pasti tetap salah aja di mata si A. Jadi intinya mau bagaimana pun kita kalau keluarga kamu nggak suka pasti ada aja yang salah di matanya. Contohnya ya seperti keluarga kamu sama saya ini."

"Kalau saya mau benci sama mereka terus nggak mau ngasih makan ke mereka, yang harusnya saya benci itu ya kamu dulu. Kamu tahu kan?! Padahal kamu tau sendiri kan kalau saya dan keluarga saya menerima kamu dengan tangan terbuka. Kami juga menyayangi kamu seperti anak sendiri."

Tak ada yang berani menyela ucapan Suwendar. Semua yang ada di sana hanya bisa terdiam.

"Sudah sana kembali ke kamar, kalau kalian mau kembali ke kamar. Tapi pesan Papa, besok kalau pulang ke sana, kalian jelasin sama keluarga kalian di sana kalau semua ini cuma kesalah pahaman. Papa sekeluarga sini minta maaf kalau ada salah-salah dalam melayani tamu yang datang karena kita semua di sini juga sibuk dengan acara dan para tamu yang lain. Sampai kan maaf kita semua di sini sama keluarga kalian di sana. Tapi maaf, mungkin mulai sekarang sikap Papa akan berubah nggak seperti sebelumnya. Karena kalian sudah Papa peringatkan jauh hari sebelumnya kan. JANGAN SAMPAI KALIAN BIKIN PAPA MARAH. Ya sekarang semua sudah terjadi, mungkin kita tinggal memperbaiki diri lagi."

Indra dan Sania berjalan menaiki anak tangga setelah Suwendar selesai bicara.

***

....bersambung......

Indra Sania juga udah terbit di playbook. Di playbook sama pdf isinya sama, 73 part + 4 ekstra part.


Jangan lupa baca juga cerita SANG RATU yang saat ini sedang direpost. Yang dulu ketinggalan sekarang jangan sampai ketinggalan lagi😁 cerita SANG RATU nantinya juga akan dipost banyak part yang dulu belum pernah aku post di wattpad.

Setelah cerita Unwanted Married ini tamat, aku pindah ke lapak TENGGELAM CINTA MASA LALU. Hari ini udah dipost sampai part 2.

Semarang, 6 Juli 2021

     Silvia Dhaka

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top