63. Di ambang batas kesabaran

Yang sebel sama Sania, biar tambah sebel, wkkkwwkkk.
Aku syukaaa.
Jangan lupa vote dan komen.
***

"Kamu kenapa cemberut kayak gitu?" tanya Indra setelah ia baru saja keluar dari kamar mandi.

"Aku udah nggak pegang uang, Mas."

"Ya udah, nggak pa-pa. Lagian salah sendiri tadi siang kamu malah ngajak Agnes beli jajan-jajan yang nggak jelas," ucap Indra.

"Kok kamu malah nyalahin aku sih, Mas?! Emangnya nggak boleh kalau aku beli yang aku suka? Lagian kan nggak setiap hari juga." Sania tak terima dengan ucapan Indra.

"Bukannya gitu, Sania. Tapi buat apa kamu jajan nggak penting dan nggak enak-enak itu? Kan di rumah juga udah banyak makanan," sahut Indra.

"Aku barusan udah telpon Mas Giyono. Aku mau pinjam uang ke dia, tapi dia nggak punya. Terus Mas Giyono bilang aku disuruh pinjam uang sama Ibu dan Bapak. Tapi Mas Giyono bilang kalau aku harus bilang sendiri ke sana. Jadi ini aku mau pulang ke sana. Kamu mau anterin aku kan?"

"Kamu ini kalau mau ngelakuin sesuatu mikir dulu pakai otak nggak sih?! Sania, pernikahan kita tinggal tiga hari lagi. Jadi aku mohon sama kamu jangan bikin ulah lagi."

"Kamu mau nganterin aku apa nggak? Kalau nggak, aku bakal pulang sendiri naik bus," ucap Sania.

"Tau ah!" seru Indra. Ia lalu keluar dari kamar. Ia berjalan menuju ruang tengah, di mana Suwendar dan Tania berada. Ia pikir jika ada anggota keluarga yang lain, Sania tak akan nekat mengutarakan keinginannya dan meredam keinginannya untuk pulang ke rumah orangtuanya. Ternyata Sania mengikuti dirinya. Bahakan istrinya itu duduk di sebelah dirinya duduk.

"Mas, ayo," bisik Sania.

"Apaan sih?!" geram Indra.

"Buruan, udah jam enam ini."

"Ada apa?" tanya Tania saat ia melihat Indra dan Sania sedang krasak krusuk sendiri, padahal saat ini mereka sedang menonton tayangan televisi.

"Ini lhoh, Pah. Sania mau pulang ke rumahnya!" seru Indra. Ia mengadukan keinginan Sania kepada Suwendar karena ia sudah tak sanggup lagi meredam keinginan konyol Sania.

"Apa?!" seru Tania.

Suwendar menatap bergantian ke arah Indra dan Sania. "Ada apa? Kenapa Sania mau pulang?"

"Ini Pak, saya mau minjam uang sama Bapak dan Ibu saya di rumah soalnya saya sudah nggak pegang uang saat ini." Dengan beraninya Sania menjawab pertanyaan Suwendar.

Suwendar dan Tania tentu saja terkejut bukan main dengan alasan Sania ingin pulang sekarang juga ke rumah orangtuanya. Hingga Suwendar pun tak bisa lagi berkata-kata.

"Memangnya mau pinjam berapa sih?" tanya Tania.

"Lima ratus ribu, Kak," sahut Sania.

"Lima ratus ribu?! Ya Allah, Sania ... ini di dompetku juga ada uang kalau cuma lima ratus ribu," ucap Tania. Ia menatap mata Indra yang sudah berubah berwarna merah. Ia tahu jika adiknya itu pasti sangat malu dengan kelakuan istrinya di hadapan keluarga.

"Nggak Kak, aku nggak mau ngrepotin Kak Tania. Lagipula kalau sama Bapak dan Ibu aku kan nggak bayar. Aku nggak mau ngrepotin Kak Tania. Biar aku pulang aja," sahut Sania.

"Gila kamu!" seru Indra pada Sania.

"Kalau mau pinjam uang ya nggak pa-pa, tapi ditransfer kan bisa. Sekarang kan semua serba canggih. Hal seperti itu nggak perlu dibuat susah," timpal Suwendar dengan nada dibuat sedatar mungkin. Ia berusaha agar nada tinggi dan ngototnya tak keluar sekarang.

"Nggak bisa Pak, ini saya disuruh Mas Giyono buat bilang sendiri sama Bapak dan Ibu. Soalnya Mas Giyono juga nggak berani ngomong sama Bapak dan Ibu tentang keinginan saya ini. Lagipula orang sana nggak ada yang punya ATM," sahut Sania tanpa takut ataupun sungkan sedikitpun pada Suwendar.

"Daripada bolak-balik ribet, jauh juga, udah malam, mending pakai uang aku dulu aja," ucap Tania lagi.

"Nggak Kak, nanti aku diantar Mas Indra. Aku titip anak-anak ya."

"Aku nggak mau ngantar kamu," ucap Indra.

"Kalau kamu nggak mau ngantar aku ya udah. Aku akan naik bus sendiri. kamu antarin aku sampai pojokan sana aja buat cari bus," sahut Sania dengan lantangnya.

Suwendar berdeham, lalu menghembuskan nafas panjangnya. "Kalau kamu sudah ada di sini, masalah punya uang sama enggak kan itu sudah jadi urusannya Indra. Kamu tinggal ngikut aja. Lagian kamu butuh uang buat apa?"

"Buat pegangan, Pak."

Indra berjalan keluar rumah karena saking malunya ia pada keluarganya karena ulah Sania. Bahkan rasanya saat ini Indra ingin menangis dengan keras. Menjelang hari pernikahan bukannya semakin memperbaiki hubungan dan memperbaiki diri, Sania malah semakin merenggangkan hubungannya dengan keluarga Indra. Harusnya saat ini Indra dan Sania sedang bahagia-bahagianya karena sebentar lagi akan menjadi pengantin.

Melihat Indra yang keluar, Sania pun juga ikut keluar. Ia ingin mencari udara segar karena ia merasa pengap dengan kondisi seperti ini. Rasanya ia tak bisa berbuat apa-apa menurut keinginannya sendiri.

Saat Sania berdiri di halaman depan rumah, ia dikejutkan dengan colekan di bahunya. "Eh, maaf Buk, saya kaget." Ucap Sania karena ia langsung reflek menepuk tangan yang ada di bahunya.

"Saya yang salah karena tiba-tiba colek bahu kamu. Saya Bu Yayuk, tetangga sebelah," ucap seorang wanita dengan perhiasan emas yang menempel penuh di banyak anggota tubuhnya.

"Saya Sania, Buk," ucap Sania seraya tersenyum pada tetangga mertuanya ini.

"Saya tadi nggak sengaja dengar percakapan kamu sama keluarga kamu di dalam. Bukannya mau nguping, tapi tadi kebetulan sedang ada di rumah ini. Tadi saya baru aja nengok kalau-kalau ada yang mau dibantu, ternyata nggak ada. Mertua kamu ternyata pesan catering semua. Oh iya, tadi kan saya dengar kamu butuh uang, kalau mau kamu bisa pinjam sama saya. Tenang aja, nggak bakal saya kasih bunga kok," ucap Bu Yayuk.

Tentu saja Sania langsung terkejut dengan ucapan wanita yang baru saja ia kenal ini. Ia melirik ke arah Indra yang saat ini sedang menatapnya tajam hingga membuat nyalinya menciut.

"Nggak kok, Buk. Terima kasih atas bantuannya," ucap Sania.

"Ya sudah kalau begitu. Saya pamit pulang ya." Bu Yayuk pergi meninggalakan halaman rumah.

Indra mendekati Sania setelah Bu Yayuk sudah benar-benar pergi dari rumahnya. "Kamu tahu dia siapa?! Dia itu rentenir. Dan kebetulan juga dia itu biang gosip di sekitar perumahan sini. Aku nggak bisa ngebayangin gimana marahnya Papa kalau sampai Papa tahu kamu baru saja ditawarin uang sama dia." Indra lalu berjalan masuk ke rumah dan meninggalkan Sania sendiri berdiri di depan rumah.

Setelah suasana hatinya membaik, barulah Sania berjalan masuk. Ternyata di lantai bawah tidak ada seorangpun. Hanya ada Tania di ruang makan sedang menikmati sepiring kue keju. Sania pun berjalan menghampiri kakak iparnya itu.

"Kak."

"Kamu mau?" tawar Tania.

"Nggak, Kak. Aku cuma mau cerita sama Kakak, kalau tadi di depan aku ditawarin uang sama orang yang namanya Bu Yayuk."

"Uuhhuukk ... uuhhukk ...." Tania langsung minum air yang tadi sudah ia sediakan. Ia kaget mendengar cerita Sania, hingga tersedak seperti ini.

"Kamu tahu nggak dia itu siapa?!"

"Tahu. Kata Mas Indra dia itu rentenir."

"Dan juga biang gosip. Jangan sampai kamu pinjam uang sama dia. Kamu pasti akan kena amukan Papa kalau sampai hal itu terjadi."

"Tapi aku nggak pinjam kok."

"Iya. Dia itu biang gosip. Hati-hati kalau ngomong sama dia ya."

"Iya, Kak. Untung aja ya aku tadi nggak bicara apa-apa."

"Ya udah aku mau ke kamar dulu. Besok soalnya aku udah harus bangun pagi subuh karena banyak hal yang harus dikerjakan." Tania lalu berjalan menaiki anak tangga menuju ke kamarnya.

***

Sania tersenyum saat ia sedang sendirian berada di kamar. Berada di rumah mertuanya ia sudah bagaikan nyonya besar. Seharian tak melakukan kerjaan rumah tangga, makan dan minum terjamin, dan semakin hari ia juga semakin senang dan bangga pada dirinya sendiri karena Indra dan juga keluarganya selalu menuruti apa yang ia mau. Dirinya juga tak perlu berpura-pura lagi bangun pagi karena ia bangun siang pun tak ada yang menegurnya, itu semua karena keluarga suaminya sudah sangat tunduk kepadanya. Keluarga suaminya selama ini juga memanjakan dirinya. Beruntungnya ia menjadi menantu pertama dan saat ini ia juga menjadi menantu satu-satunya di keluarga suaminya. Ia juga sudah melahirkan seorang cucu laki-laki pertama untuk mertuanya. Saat sedang berada di rumah mertuanya ini pun ia tak perlu repot-repot mengurusi anak-anaknya.

Namun terus berada di rumah mertuanya ini membuat Sania tak bisa berbuat bebas semaunya. Di rumah ini dan di keluarga ini terlalu banyak aturan yang tidak masuk akal untuk dirinya, sehingga saat ia sedang berada di rumah ini ia merasa tidak bisa bernafas dengan leluasa. Bahkan dadanya terasa sesak dan darahnya semakin mendidih kala keluarga suaminya ini terus mendoktrin dirinya harus berbuat ini dan itu, tidak boleh melakukan atau berbicara ini dan itu. semua aturan di keluarga suaminya ini tidak cocok sama sekali untuk hidupnya.

"Beruntungnya hidup lo, San ... San. Untung dulu lo rela ngorbanin diri lo buat njerat Indra. Untung juga Bian segera hadir di rahim gue." Sania tersenyum penuh kemenangan seraya menatap pantulan wajahnya di depan cermin.

"Tinggal dua hari lagi gue bakal resmi jadi nyonya besar. Apalagi kalau gue tinggal di rumah ini. Andai aja mertua gue udah meninggal, pasti hidup gue bakal indah. Nggak ada lagi aturan-aturan, nggak ada lagi yang buat gue nggak nyaman buat tinggal lama di sini. Andai mereka semua pergi dari rumah ini dan gue bisa ajak Bapak sama Ibu tinggal di sini, pasti menyenangkan," ucap Sania.

Sania berjengkit kaget saat ada suara besi jatuh berkali-kali. "Apaan tuh?" Sania berjalan ke luar kamar. Ia lalu menuruni anak tangga. Ternyata di dapur ibu mertuanya dan Bik Darsih sedang sibuk membuatkan minum dan menyiapkan makanan.

"Buk, kok ada berisik besi jatuh terus ya dari tadi?" tanya Sania saat ia sudah berada di belakang tubuh Anita.

"Ohh itu suara orang yang pasang tenda. Makanya ini buat minum dan makanan. Tolong bawain keluar ya makanannya," ucap Anita.

"Iya, Buk," sahut Sania. Ia lalu mengambil satu nampan berisi makanan dan berjalan keluar rumah. Ternyata di depan rumah sudah ada Indra dan Suwendar yang sedang mengontrol para pekerja tenda.

"Silakan dimakan, Pak," ucap Sania pada para pekerja tenda.

"Terima kasih, Mbak."

Sania langsung berjalan kembali memasuki rumah.

"Sania, kamu bantuin Bik Darsih sebentar ya. Kamu kan baru bangun. Aku capek, mau istirahat bentar. Punggung aku rasanya sakit banget. Dari pagi subuh udah belanja muter-muter sama Mama." Tania merebahkan dirinya di atas sofa ruang tengah.

"Iya." Pagi ini Sania memang kembali bangun saat jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan.

***

....bersambung....

Ready pdf Unwanted Married 45K yes.
Menjadi Wanita Kedua 40K
Minat wa 089668046446

Makasih yang udah vote dan komen😘
Dan jangan lupa baca cerita baruku, Tenggelam Cinta Masa Lalu.

Semarang, 27 Juni 2021

  Silvia Dhaka

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top