6. Tak berani bertindak jauh
"Nggak ada motor, gimana gue mau pergi-pergi coba. Masa iya seharian gue mesti di dalam kamar mulu," gumam Indra. Setelah kepulangan Tito, Indra sedikit merasa kesulitan karena ia tak memiliki kendaraan untuknya bepergian di kota ini. Tiba-tiba dering gawai mengagetkan Indra.
"Bang Erwin?" gumam Indra sat ia melihat layar di gawai miliknya.
"Iya, halo Bang?"
"Ini ada temen gue yang mau gambar."
"Iya, Bang. Kapan?"
"Kalau bisa sih hari ini, soalnya ini temen gue udah ada di kostan gue. Gimana lo bisa nggak?"
"Bisa sih, Bang. Bisa banget malah. Tapi itu, Bang ...."
"Apa?"
"Temen gue Tito udah balik ke Jakarta, dan ini gue nggak ada motor, Bang." Ucap Indra sedikit sungkan.
"Ya udah gue jemput aja. Lo langsung siap-siap ini," ucap Erwin dari sambungan telponnya.
"Oke, Bang. Makasih Bang ya ...."
"Alhamdulillah dapat kerjaan lagi gue. Mandi dulu ah." Indra langsung bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Ia harus bergerak cepat karena jarak kostnya dan kost Erwin hanya berjarak beberapa kilo saja.
***
Sampai di kostan Erwin, suasana hati Indra semakin senang karena ternyata yang ingin menggunakan jasanya bukan hanya satu tetapi ada dua orang. Dan keduanya berjenis kelamin perempuan.
Setelah membicarakan model gambar, warna dan harganya, Indra langsung mulai bersiap mengerjakan penggambarannya di punggung kliennya itu. Namun sebelum itu kliennya itu harus melepas bajunya agar pengerjaan penggambarannya bisa berjalan lancar.
"Mbak, mohon maaf tapi Mbaknya ini harus buka baju kan ya. Atau Mbaknya tadi bawa kain kayak kemben gitu buat nutupin yang depannya?" ucap Indra.
"Wah ... gue nggak bawa, Mas. Gimana kalau gue pakai jaket aja buat nutupin?"
"Ya nggak pa-pa, Mbak. Senyamannya aja gimana, gue sih ngikut aja," sahut Indra.
"Ya udah kalau gitu gue lepas baju gue dulu, Mas."
"Kalau gitu gue keluar dulu deh, Mbak." Indra beranjak dari duduk lesehannya.
"Win, lo nggak ikutan keluar?" tanya perempuan itu pada Erwin yang masih tetap dalam posisi duduknya yang terlihat sangat nyaman.
"Iya, ini juga mau keluar kok. Sabar napa, kayak kita nggak pernah aja," gerutu Erwin. Mendengar teguran teman perempuannya itu membuat Erwin segera mengikuti Indra keluar dari kamar kostnya.
Profesi Indra sekarang ini memeng kerap kali membuatnya berinteraksi dengan banyak wanita cantik. Jadi hal seperti itu sudah sangat lumrah, karena memang tak jarang jika wanita cantik dan sexy menggunakan jasa ketrampilan dan seninya untuk menghiasi tubuh mulus para perempuan cantik itu. Apalagi jika profesi perempuan itu adalah sebagai perempuan penghibur yang kerap kali mengumbar dan mempertontonkan tubuh mereka.
"Wah kalau gue pikir-pikir lo menang banyak juga ya, Ndra," ucap Erwin saat sudah berdiri di depan pintu kamar kostnya bersama Indra.
Indra yang tak mengerti maksud ucapan dari Erwin langsung menoleh ke arah Erwin seraya mengerutkan keningnya. "Menang banyak gimana maksudnya, Bang?"
"Iyalah ... kalau lo dapat klien cewek ya otomatis lo nyentuh kulit mulus mereka kan?! Apalagi kebanyakan dari mereka pasti minta digambar bagian yang sedikit menjorok ke dalam." Ucap Erwin disertai dengan kekehan.
Indra pun ikut terkekeh, "apaan sih, Bang. Pakai ngomongin menjorok ke dalam segala, kayak paragraf aja."
"Hahaha ... gaya-gaya lo pakai sok-sokan ngomongin paragraf. Emang lo tahu paragraf itu apaan?" Ucap Erwin dengan tawanya yang semakin lebar.
"Ya tahulah! Yang menjorok ke dalam kan?! Contohnya aja punggung, dada, paha ...." Ucapan Indra malah semakin membuat Erwin tertawa keras.
"Pada ngetawain apa sih? Buruan masuk, Mira udah siap tuh," ucap seorang perempuan yang membuka pintu. Perempuan itu juga sedang menunggu gilirannya untuk digambar oleh Indra. Tawa Indra dan Erwin pun berhenti dan langsung berjalan masuk ke kamar.
Sampai kamar, ternyata perempuan bernama Mira itu pun sudah duduk bersila dengan mengapit jaket untuk menutupi tubuh bagian depannya. Indra langsung memposisikan duduk di belakang tubuh Mira dan mulai mengoleskan anestasi di bagian tubuh yang nantinya akan digoreskan jarum runcing tatto.
Indra sudah langsung berkonsentrasi menarikan jarum tattonya di permukaan kulit Mira. Meski konsentrasi seperti itu tentu saja ia masih bisa mendengar kalimat yang diobrolkan oleh Erwin dan Bela hingga sesekali ia bisa ikut menyahuti.
Tak hanya membutuhkan tingkat kesenian yang tinggi, tapi dalam menjalani profesinya sekarang ini Indra diwajibkan harus teliti dan sabar. Ia harus sedetail mungkin mengerjakan penggambarannya agar hasilnya memuaskan.
***
Hingga sore hari tiba barulah Indra menyelesaikan pekerjaannya. Setelah urusan pembayaran selesai dan sedikit mengobrol hingga bertukar nomer telpon, akhirnya Mira dan Bela pun berpamitan pulang. Kini tinggal Indra dan Erwin yang masih tetap berada di kamar kost Erwin.
"Kayaknya si Mira sama Bela pada naksir sama lo deh, Ndra." Ucap Erwin seraya duduk bersandar di dinding.
"Lo bisa aja, Bang. Mana mungkin cewek-cewek cantik itu pada naksir sama gue ...." Indra terkekeh merespon ucapan Erwin.
"Gue beneran ngerasa gitu soalnya. Dari tadi mereka pada senyum-senyum ngajakin lo ngomong."
"Iya lah. Masa iya, ngomong sama orang bibirnya cemberut? Ya pasti senyumlah," sanggah Indra.
"Gue udah hafal betul sama gelagat mereka."
"Lo udah kenal mereka dari lama ya, Bang?"
"Lumayan sih."
"Mira dulu mantan lo, Bang?"
"Enggak. Kenapa? Lo naksir sama Mira?"
"Enggak ... cuma pengen tahu aja. Soalnya tadi lo bilang hal yang bikin gue berpikir gitu pas tadi Mira nyuruh lo buat keluar kamar waktu dia mau lepas baju," jelas Indra.
Erwin pun tertawa mendengar penuturan Indra. "Iya sih, dulu kita pernah beberapa kali ngabisin malam panas. Kita sering ketemu, kebetulan kita sama-sama butuh dan mau. Tapi kita nggak pernah pacaran karena di antara kita nggak ada rasa saling suka."
Ucapan Erwin berhasil membuat Indra sedikit terkejut. Ia tak habis pikir, ternyata segampang itu orang bisa melakukan hubungan badan tanpa ada rasa sedikitpun, padahal itu juga bukan dalam bisnis prostitusi. Meskipun selama ini ia suka hidup bebas tanpa adanya kekangan tapi ia tak pernah sekalipun bertindak hingga sejauh itu. Selama ini ia sebisa mungkin ia selalu menjaga dirinya dari belenggu nafsu yang mungkin akan menjeratnya ke dalam hal-hal yang tak ia inginkan. Ia masih belum siap menikah jika ia sampai melakukan hal yang lebih kepada para wanita yang mengejar-ngejarnya jika wanita itu meminta pertanggung jawaban darinya.
"Lo kelihatannya terkejut gitu denger omongan gue. Kenapa?" tanya Erwin.
"Nggak pa-pa sih, Bang."
"Jangan-jangan lo belum pernah ngrasain nikmatnya lubang sumur hidup, Ndra?!" ucap Erwin melotot ke arah Indra.
"Lubang sumur hidup?" gumam Indra menirukan kalimat Erwin. Ia merasa asing dengan istilah itu karena ia baru pertama kali mendengarnya. Namun sedetik kemudian ia langsung tertawa hingga terpingkal-pingkal.
"Lo kenapa?"
"Lo emang ada-ada aja, Bang. Kita keluar cari makan yuk, kali ini gue yang traktir, Bang."
"Beneran lo mau traktir gue?"
"Ya benerlah. Hari ini kan gue dapat dua orang dan hasilnya lumayan. Terserah lo mau makan di mana, Bang. Gua jabanin," ucap Indra.
"Okelah kalau begitu," ucap Erwin.
Saat Indra dan Erwin akan beranjak dari tempat duduk mereka, hujan pun tiba-tiba turun.
"Yah ... pakai hujan lagi," gumam Indra.
"Kita nggak bisa ke mana-mana nih. Gimana kalau makan mie rebus aja? Kita pesen ke Sania?" tawar Erwin.
"Sania?" gumam Erwin.
"Iya, yang tempo lalu ketemu lo di sini, tetangga gue."
"Enggak pa-pa kalau lo Cuma makan mie instan doang, Bang?" tanya Indra. Ia merasa tak enak hati jika ia cuma mentraktir mie instan.
"Ya nggak pa-palah, dari pada nggak makan ini. lagian kita juga nggak bisa pergi ke mana-mana kan?"
"Ya udah kalau lo nggak keberatan, Bang."
"Gue pesenin dulu deh."
"Lo mau ke sana, Bang?"
"Enggaklah, males juga gue. Orang sini pada punya nomer WAnya dia jadi kalau mau pesen-pesen bisa lewat chat aja," sahut Erwin yang diangguki oleh Indra.
Tak lama kemudian Sania datang dengan membawa sebuah nampan berisi dua mie rebus dan dua es teh juga beberapa camilan.
"Kamu nggak ikut nongkrong sini aja bareng kita, San?" Indra membuka suara saat Sania akan meninggalkan kamar kost Erwin.
"Eh, enggak Mas. Warung aku nggak ada yang jaga nanti," sahut Sania tersenyum malu-malu.
"Permisi ...." Sania pun pergi meninggalkan kamar kost Erwin.
"Gue rasa lo malah lebih tertarik sama Sania ketimbang sama Mira dan Bela," ucap Erwin saat melihat interaksi antara Indra dan para wanita yang datang ke kamar kostnya ini.
"Kalau tertarik sih iya, tapi kalau suka apalagi cinta kayaknya belum deh, Bang."
"Oh ... jadi lo udah mengarah ke sana nih ceritanya?"
"Kemarin gue udah kenalan dan tukar nomer telpon sih, tapi ya cuma gitu-gitu aja. Masih dalam hal yang wajar," sahut Indra.
"Wah gue nggak nyangka kalau lo gerak cepat juga ternyata. Tapi kalau menurut gue tampang ganteng kayak lo gini pasti nggak mungkin kalau jomblo. Iya kan?!"
"Ya gitu deh, Bang. Tapi selama janur kuning belum melengkung ya masih bisa cari yang pas dan cocok buat diri kita kan."
"Bener juga lo."
***
......bersambung......
Jangan lupa kasih vote dan komen yes.
Semarang, 9 April 2021
Salam
Silvia Dhaka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top