5. Selangkah lebih maju
Tito memilih berdiri menjauh dari Indra setelah ia sadar jika sahabatnya itu tengah mengeluarkan jurus rayuannya. Ia tak mau ikut campur dalam kisah cinta meski itu dengan sahabatnya sendiri karena ia tak mau sampai dianggap lancang.
Perempuan penjaga konter itu pun langsung tersenyum setelah menyadari kedatangan Indra.
"Mau beli apa, Mas?" tanya perempuan itu ramah.
"Mau beli pulsa lah, Mbak. Memangnya boleh kalau saya ke sini dengan maksud yang lain?" sahut Indra.
Perempuan itu pun kembali tersenyum atas jawaban yang ia dengar dari mulut Indra.
"Ya ... maksud saya sih barang kali aja Mas mau beli yang lain. Kan di sini nggak hanya jual pulsa, Mas. Ada kuota internet, kartu perdana, bayar air, bayar listrik, transfer juga bisa."
"Ohh ... kirain," gumam Indra.
"Kirain apa, Mas?" tanya perempuan itu yang masih bisa mendengar gumaman dari Indra.
"Kirain boleh saya ke sini boleh kenalan juga sama Mbaknya." Ucap Indra seraya tersenyum.
Dan mendengar hal itu, tentu saja membuat perempuan penjaga konter itu tersenyum-senyum. "Mas ini bisa saja."
"Kok Mbaknya malah senyum-senyum. Boleh kenalan apa nggak?" tanya Indra.
Perempuan itu malah semakin menundukkan wajahnya untuk menyembunyikan senyumnannya. "Memangnya Mas mau punya kenalan perempuan penjaga konter seperti saya ini?"
"Saya sih kalau ngajak kenalan orang yang penting dia itu manusia, Mbak. Nah Mbak manusia bukan?"
"Ihh ... ya manusia dong, Mas!"
Indra mengulurkan tangan kanannya ke arah perempuan di hadapannya itu. "Saya Indra, Mbak."
Perempuan itu mendongakkan kepalanya untuk melihat raut wajah Indra. Perlahan ia mengulurkan tangannya untuk membalas uluran tangan Indra. "Saya Sania, Mas."
"Sania? Nama yang indah," ucap Indra membuat Sania semakin tersipu malu.
"Oh iya, kenalin juga dia sahabat saya," imbuh Indra menunjuk ke arah Tito.
Tito mendekat tanpa harus dipanggil oleh Indra. Ia pun langsung mengulurkan tangannya ke arah Sania. "Saya Tito."
"Saya Sania, Mas."
"Ngomong-ngomong kita udah kenalan rasanya kurang akrab kalau kita ngomongnya pakai saya kamu. Aku kamu aja gimana?" ucap Indra.
Sania mengangguk menyetujui usulan Indra. Obrolan pun masih tetap berlangsung meski sesekali Sania harus melayani para pembeli.
***
"Indra itu ke mana? Kenapa udah berhari-hari ini dia nggak pulang?"
Anita melirik ke arah Tania-anak perempuannya yang sedang santai menikmati makan malam. Anita tak ingin sampai salah menjawab. Jika ia sampai salah menjawab, bisa-bisa suaminya malah semakin marah atas ketidak pulangan Indra selama beberapa hari ini.
"Tania, cepat kamu hubungi Indra. Tanyakan sedang ada di mana dia," ucap Suwendar.
Tania menghentikan suapan di mulutnya saat mendengar ucapan sang papa. Dengan perlahan ia menolehkan kepalanya ke arah Suwendar.
"Biarkan Tania selesai makan dulu, Pah," ucap Anita.
"Tania kan bawa HP, tinggal pencet saja apa susahnya sih."
"Iya." Dengan gerakan lamban Tania meraih gawainya yang terletak di atas meja tepat di samping piringnya. Ia pun mulai melakukan panggilan di gawainya.
Suwendar tetap meneruskan makannya, begitu juga dengan Anita. Tapi berbeda dengan suasana hati Suwendar yang penuh dengan amarah, Anita malah merasa sangat cemas karena ia takut jika putra kesayangannya itu mendapatkan amukan dari sang suami.
"Nggak diangkat," ucap Tania memecah keheningan.
"Coba ditelpon lagi," ucap Suwendar.
Tania menghembuskan nafasnya jengah. Selalu saja seperti ini jika adiknya itu tak tampak batang hidungnya di dalam rumah selama beberapa hari.
"Sudah?" tanya Suwendar pada Tania.
"Nggak diangkat, Pah. Aku udah mengirim pesan dan menanyakan keberadaannya. Nanti kalau dia udah baca pasti balas pesannya," ucap Tania.
"Ya sudah, teruskan saja makannya," ucap Suwendar.
Tania menatap Anita yang juga sedang melirik ke arahnya. Seakan tatapan mata keduanya bisa berbicara. Mereka semua meneruskan makan malam mereka dengan tenang. Hingga Suwendar selesai makan dan lebih dulu meninggalkan ruang makan. Kini tinggalah Anita dan kedua anaknya, Tania dan Mario.
"Suruh Indra cepat pulang sebelum papamu mengamuk," ucap Anita.
"Ck, selalu saja. Indra nggak kapok-kapok buat masalah di rumah ini. Kalau nggak ada kayak gini, pasti aku yang dikejar-kejar buat telponin Indra." Tania menggerutu seraya menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.
"Mario, kalau sudah selesai makan cepat ke kamar. Kerjakan Prmu," ucap Anita pada anak bungsunya.
"Iya, Mah." Mario pun langsung bergegas menuju kamarnya yang ada di lantai dua.
"Itu akibatnya kalau Mama terus menerus memanjakan Indra," ucap Tania setelah Mario keluar dari ruang makan.
"Memanjakan apa sih, Tania?!" Anita tak terima dengan kalimat yang dilontarkan oleh putri sulungnya itu.
"Bik, kita sudah selesai makan," ucap Anita pada Bik Darsih yang ada di dapur.
"Permisi, Buk, Mbak Tania." Ucap Bik Darsih saat wanita paruh baya itu mengambil piring kotor di atas meja makan.
"Mama selalu membela Indra, Mama juga selalu menutup-nutupi kesalahan yang Indra perbuat. Lihat Indra sekarang, dia jadi tambah nggak bisa diatur seperti ini. Dan setiap kali Indra pergi dari rumah tanpa pamit, Papa selalu ngejar-ngejar aku buat hubungin dia. Mama itu harusnya nasehatin dia agar bisa hidup lebih baik, Mah. Indra itu udah dewasa, masa iya seumur hidupnya dia mau menggantungkan hidupnya dengan tattonya itu." Tania bersungut-sungut berkata pada Anita.
"Sudah diam saja, jika sampai Papamu mendengar ucapanmu itu maka pasti amarah Papa semakin bertambah. Kamu tahu sendiri kan gimana Papamu kalau ngamuk?!" ucap Anita.
"Terserah Mama." Tania meninggalkan ruang makan menuju kamarnya yang juga berada di lantai dua.
Anita mendesah pelan mengamati kepergian Tania. Ia terdiam karena ia juga berpikir hal yang sama dengan ucapan Tania, tapi ia tak akan berbicara secara gamblang di depan putri sulungnya itu. Karena jika ia berkata demikian, maka sudah dipastikan akan banyak masalah yang nantinya akan menimpa putranya yang kini entah berada di mana. Di dalam sebuah rumah, jika ada amarah yang meletup-letup maka sebaiknya juga harus ada penyejuk yang akan meredam amarah tersebut. Begitulah yang selama ini Anita perankan dalam keluarganya selama ini.
***
Di lain tempat ternyata Indra sedang berbahagia, ia mendapatkan sesuatu hal baru yang nampaknya akan membuat dirinya merasa betah tinggal di kota ini lebih lama lagi. Meski kini ia berada di dalam kamar kost sendirian ia pun tetap semangat menjalani harinya. Tito harus kembali pulang ke rumahnya karena ibunya sudah beberapa kali menghubunginya, lagipula sahabatnya itu juga harus segera kembali karena tak bisa terus lama-lama meninggalkan kuliahnya.
Hubungan Indra dan Sania juga selangkah lebih maju karena Indra mereka sudah saling bertukar nomer telpon.
"Banyak panggilan tak terjawab dari Mama dan Kak Tania. Ada apa ya, kok gue jadi khawatir. Jangan-jangan Mama sakit lagi ...!" Ucap Indra panik saat ia melihat layar gawainya. Tanpa menunggu lebih lama lagi ia segera menghubungi kakak perempuannya itu balik.
"Halo, Kak. Banyak panggilan tak terjawab dari Kakak, tadi aku nggak dengar kalau ada telpon masuk. Ada apa, Kak?" tanya Indra saat sambungan telponnya sudah terhubung.
"Kamu di mana?"
"Aku ada di luar kota. Kenapa? Mama nggak pa-pa kan?!" tanya Indra.
"Cepatlah pulang, Papa ngamuk nyari kamu. Kalau kamu nggak pulang itu bisa jadi masalah buat Mama."
"Syukurlah kalau Mama nggak pa-pa. Aku nggak bisa pulang dulu, Kak. Aku lagi ada kerjaan di sini," sahut Indra sedikit membual agar kakaknya itu tak lagi memintanya untuk segera pulang ke rumah.
"Memangnya kamu lagi ada di mana?"
"Pokoknya aku lagi ada di luar kota. Ya udah kalau gitu telponnya udahan dulu." Ucap Indra lalu mematikan sambungan telponnya secara sepihak karena ia tak ingin kakaknya itu bertanya-tanya yang lebih tentangnya saat ini.
"Hhhhh ...." Indra meletakkan gawainya di sampingnya. Ia lalu merebahkan tubuhnya di atas kasurnya dan memejamkan matanya.
***
..........bersambung......
Jangan lupa vote dan komen yes.
Semarang, 8 April 2021
Salam
Silvia Dhaka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top