48. Perdebatan alot
"Terus kapan Papa sama Mama datang ke sana?" tanya Indra.
"Datang ke mana sih, Ndra?! Papa mau kamu suruh ngapain?" tanya Suwendar dengan nada bicaranya yang sudah mirip orang frustasi.
"Yaa ... datang ke rumahnya dia buat kenalan doang, Pah. Cuma main, kenalan doang, nggak usah bawa apa-apa dan bawa orang banyak. Cukup Papa sama Mama doang," sahut Indra tak kalah frustasinya.
"Iya Papa tahu, kalau main dan kenalan itu nggak bawa apa-apa. Kalau bawa seserahan sama ngajak orang banyak itu namanya lamaran," dengus Suwendar.
Indra menghembuskan nafasnya jengah, ia tak tahu lagi harus berkata apa. Sejak tadi perbincangan mereka hanya berputar-putar di tempat yang sama. Dari dulu ia tak akan sanggup jika harus bersilat lidah dengan keluarganya karena sudah dipastikan ia akan kalah. Apalagi kalau berhadapan dengan papa dan kakaknya.
Mengetahui jika putranya sudah hampir menyerah, Suwendar merasa iba. "Bawa orangnya ke sini dulu, baru Papa akan datang ke sana. Kenalin dia sama Papa dan Mama dulu. Mana ada nggak kenal tiba-tiba sudah ke tahap serius seperti itu? kalau kamu udah bawa orangtua, itu tandanya kamu udah mau serius. Papa nggak mau main-main, sekali iya ya ayo berangkat tapi kalau enggak ya tetap enggak," ucap Suwendar.
"Waktu itu dia udah pernah datang ke sini kok, Pah," sahut Indra.
"Kapan? Papa nggak tahu. Dari dulu kan banyak perempuan yang datang ke sini, tapi nggak ada yang ngaku jadi pacar kamu," ucap Suwendar.
"Ada tuh Pah, yang waktu itu. Namanya Nindi kalau nggak salah, tapi yang namanya Nindi itu sepertinya terpelajar dan dari kalangan berada. Soalnya waktu itu dia datang bawa mobil," ucap Tania.
"Ohh yang namanya Nindi itu?! waktu itu dia pernah datang ke sini beberapa kali buat ngasih bingkisan ke Mama. Tapi waktu itu dia nggak ada bilang sama Mama kalau dia pacar kamu. Dia cuma datang ngasih bingkisan terus dia pergi. Baik banget orangnya," ucap Anita.
"Yang mau aku kenalin ini bukan Nindi, Mah. Aku sama Nindi udah putus lama," sahut Indra.
"Sayang banget ya," ucap Anita.
"Mama apaan deh, cuma dibaikin gitu aja langsung seneng," ucap Tania.
"Eh kamu kan waktu itu juga yang habisin kue yang Nindi bawa," ucap Anita pada Tania.
"Mahhh ... kita ini sekarang lagi nggak bahas Nindi. Kok pembicaraan kita malah pindah haluan sih?" ucap Indra.
Mendengar ucapan Indra malah membuat Anita, Tania dan Suwendar tertawa.
"Ya udah ... ya udah, kalau gitu bawa perempuan itu ke sini buat kenalan sama Papa dan Mama. Baru setelah itu kita pikirin langkah apa yang akan kita ambil selanjutnya. Kalau cocok ya oke lanjut tapi kalau nggak cocok ya ... terpaksa," ucap Suwendar.
"Terpaksa apa, Pah? Masa iya kalau nggak cocok langsung nggak jadi," ucap Indra.
"Yaa ... mau gimana lagi?" sebenarnya Suwendar tidak serius dengan ucapannya, ia hanya ingin menggoda putranya saja. Ia ingin melihat sejauh mana putranya itu bersikeras.
"Tapi kalau dia aku bawa ke sini Papa sama Mama janji ya jangan tanyain tentang masalah pendidikannya dia," lirih Indra.
"Lhoh kenapa?" seru Suwendar.
"Soalnya dia nggak sekolah, dia cuma punya ijasah SD, Pah," lirih Indra.
Suwendar dan Anita sampai geleng-geleng kepala seraya menepuk kening mereka setelah mendengar ucapan Indra. Mereka sangat terkejut dengan fakta yang satu ini.
"Dia itu hidup di jaman apa?! Masa iya ada perempuan yang nggak sekolah sih? senakal-nakalnya kamu aja yang bahkan sering bolos, kamu bisa sampai lulus SMA kan?! menurutku itu nggak logis banget," ucap Tania.
Indra menatap Tania dengan tatapan memohonnya. "Udah deh, Kak. Kamu jangan tambah kompor-komporin Mama sama Papa."
Tania menghembuskan nafas beratnya seraya membuang mukanya.
"Satu pertanyaan Papa. Dia orang miskin yang nggak mampu bayar sekolah atau dia orang jalanan?" tanya Suwendar.
"Masa iya aku mau nikahin orang jalanan sih, Pah."
"Orangtuanya kerja apa?" tanya Suwendar.
"Buka usaha jual beli barang bekas. Mereka ngontrak kios sendiri," sahut Indra.
Anita saling melempar pandangan dengan Suwendar. Mereka sudah tak tahu lagi harus berkata apa. Mereka begitu menyayangkan jika putranya mendapatkan jodoh yang seperti itu, jauh dari apa yang mereka inginkan.
"Kamu udah serius sama dia, nggak mau kamu pikir ulang lagi?" tanya Suwendar.
"Nggak, Pah. Keputusan aku udah bulat."
"Oke. Papa akan menyetujui dia jadi calon menantu Papa kalau dia mau ikut sekolah kejar paket, setelah itu suruh dia kursus apa gitu," ucap Suwendar.
"Kok malah disuruh sekolah sama kursus sih, Pah. Aku malah pusing sama arah pembicaraan Papa," ucap Indra.
"Ini untuk kebaikan kamu, Sayang. Setujuin aja mau Papa kamu. Kamu cuma lulusan SMA dan nggak mau kerja ikut di perusahannya orang. Kalau dia jadi istri kamu nanti dan hanya mengandalkan hidup dari kerjaan kamu yang serabutan itu, maka Mama khawatir sama rumah tangga kalian nanti. Seenggaknya dia bisa punya ketrampilan, jadi di awal pernikahan dia bisa bantu-bantu kamu kerja buat menstabilkan perekonomian keluarga kalian nanti, Sayang," ucap Anita.
"Tapi nanti dia bakalan aku ajarin bikin tatto juga sama pasang tindik," sahut Indra.
"Astaga Indra! Mau jadi apa rumah tangga kamu nanti!" seru Anita.
"Secepatnya daftarkan dia sekolah kejar paket. Kalau dia nggak punya biaya, jangan khawatir. Biar Papa yang nanggung semua biayanya. Kalau suwaktu-waktu dia sudah dapat ijasah kejar paket itu lalu dia juga udah lulus kursus kalian nggak jadi menikah ya nggak pa-pa, Papa nggak akan mempermasalahkan biaya yang sudah Papa keluarkan. Papa malah senang kalau bisa membantu orang ke arah yang lebih baik. Dia jalan di jalannya sendiri dan kamu juga jalan di jalan kamu sendiri. Papa kira itu ide yang bagus," ucap Suwendar.
"Ini maksudnya Papa nolak dia secara halus?" lirih Indra.
"Lhoh bukan, bukan begitu maksud Papa. Semua orangtua di dunia ini PASTI! PASTI menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya, termasuk juga dengan Papa. Kamu jangan berpikiran buruk sama Papa dong," ucap Suwendar.
"Sekarang bukan masalah biaya, Pah."
"Terus masalah apa?" tanya Anita. Selama ini ia tak terlalu setuju jika Suwendar memaksakan kehendaknya pada Indra. Tapi untuk kali ini ia akan mendukung keputusan dan keinginan suaminya itu karena ini semua juga untuk kebaikan dan masa depan putranya.
"Masalahnya di sana nggak ada sekolah kayak begitu," sahut Indra.
'Bego banget gue, kenapa gue malah jawab kayak begini? Waduh, malah makin runyam urusannya nih. Kapan gue bisa bilang ke Mama dan Papa kalau Sania udah punya anak?' Indra merutuki kebodohannya dalam hati. Ingin rasanya ia menarik lagi ucapannya.
"Kalau gitu dia bisa cari sekolah di sini. Nanti biar Tania yang bantu carikan. Kamu mau kan Tania?"
"Iya, Pah," sahut Tania.
"Tuh, Kakak kamu mau bantu."
"Emangnya kalau dia sekolah di sini, dia mau tinggal di mana?" tanya Indra.
"Gampang aja. Dia bisa kost nanti biar Papa juga yang bayar. Atau dia juga bisa tinggal di sini. Nanti kalau akhir pekan dia bisa pulang ke rumahnya. Di rumah kita kan masih ada beberapa kamar yang kosong. Asalkan dia nurut, Papa akan rangkul dia sebagai keluarga dan bagian dari kita," ucap Suwendar.
"Terus asuhannya dia gimana?" tanya Indra.
"Ya dia balikin ke orangtuanya lah."
"Ini ada yang janggal. Dia itu kerja jadi pengasuh anak orang lain atau dia ngasuh anaknya dia sendiri?" tanya Tania.
Mendengar pertanyaan Tania malah membuat jantung Indra kembali berdebar-debar tak karuan. Bahkan sekarang ini keringat dingin sudah mulai membasahi keningnya. Harusnya ia tak perlu takut dan ragu lagi untuk mengatakan yang sebenarnya tentang hubungannya bersama Sania, mumpung Tania bertanya soal anak.
***
....bersambung....
Semarang, 11 Juni 2021
Salam
Silvia Dhaka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top