47. Mempertanyakan latar belakang

Hari-hari dilakukan Indra untuk semakin memperbaiki dirinya menjadi suami dan ayah yang baik untuk kedua orang anaknya. Setelah kepergiannya beberapa saat lalu meninggalkan istri dan anaknya dan perselingkuhannya bersama Bela. Sejak saat itu ia lebih giat bekerja, sekarang ia tak hanya mengandalkan hidupnya dari penghasilan tattonya saja tapi kini ia dan Sania juga membuka warung kecil-kecilan. Ia berdagang berbagai macam makanan, makanan itu ia ambil dari pembuat makanannya langsung. Ia hanya menjualkannya saja, meski begitu setiap harinya pendapatannya dari usaha kecil itu bisa disebut lumayan karena bisa untuk belanja untuk makan sehari-hari. Selain itu ia juga membeli satu set alat musik angklung, rencananya ia akan gunakan alat itu bersama teman-temannya untuk mengamen karena sekarang ini sedang maraknya alat musik angklung digunakan untuk mencari rejeki dengan cara mengamen. Tapi mengingat nama baik papanya hal itu ia urungkan, alhasil alat itu ia sewakan perharinya pada kelompok orang yang memang ingin menggunakan alat musiknya itu untuk mengamen.

Sania juga belajar menjadi sitri yang baik untuk Indra dan ibu yang baik untuk kedua anaknya. Ia mulai mengurangi egonya agar rumah tangganya tetap bertahan. Sejak hari kepulangan Indra waktu itu, ia tak lagi mendesak Indra untuk mengenalkannya kepada keluarga suaminya itu. Ia sudah iklas kapanpun Indra akan membawa dirinya dan anak-anaknya masuk ke keluarga suaminya itu, bahkan jika selamanya ia dan anak-anaknya tak dikenal oleh keluarga suaminya pun ia sudah iklas. Kebetulan orangtuanya pun juga sudah tak mempermasalahkan tentang hal itu asalkan melihat ia, Indra dan anak mereka bahagia.

Sejak saat itu pula Bela juga pergi dari kehidupan Sania dan Indra. Dulu saat Indra pulang ke rumah Sania pun juga tak membahas tentang foto fulgar yang sengaja dikirimkan oleh Bela kepadanya. Sania tak terlalu paham, tapi yang jelas ia amatlah bersyukur karena setelah perselingkuhan suaminya waktu itu ia sudah tak melihat atau mendengar lagi kabar miring tentang suaminya dengan wanita-wanita di luaran sana. Bahkan iapun juga sudah bertemu dengan mantan kekasih suaminya yang bernama Nindi yang dulu pernah sempat membuat ia cemburu dan kalang kabut karena ia tahu jika Nindi bukanlah orang yang sepadan dengannya. Malah sekarang ini ia dan Indra berteman baik dengan Nindi, mereka sering bertukar kabar lewat pesan dan telpon.

Sania sedang asik memantau pergerakan Bian yang selalu usil membuat mainannya berserakan. Balita itu memang tidak puas jika tidak membuat rumah menjadi berantakan.

"San."

"Iya?"

"Aku udah putuskan. Aku mau bilang jujur ke Mama dan Papa soal kita, soal kamu dan anak-anak."

Ucapan Indra sukses membuat pergerakan Sania yang sedang memunguti mainan Bian terhenti. Ia menegang kaku menoleh ke arah Indra yang kini juga sedang menatapnya.

"Kamu serius, Mas?" tanya Sania dengan nada yang rendah.

"Iya, aku serius," sahut Indra.

Entah harus senang, sedih ataukah takut mendengar keputusan suaminya ini. Yang jelas sekarang ini ia mendadak membutuhkan banyak oksigen karena tiba-tiba saja dadanya terasa sesak dan susah untuk bernafas.

"Kamu baik-baik aja?" tanya Indra kala melihat Sania diam mematung.

Sania kembali meletakkan mainan Bian ke lantai. Ia lalu duduk seluntur dengan bersandar tembok seraya memejamkan matanya. "Aku takut, Mas."

"Takut kenapa?"

"Takut keluarga kamu nggak mau menerima aku dan anak-anak. Apalagi setelah keluarga kamu tahu tentang latar belakang aku, Mas," ucap Sania.

"Kita sama-sama berdoa saja, semoga keluarga aku mau menerima kamu dan anak-anak," ucap Indra. Jujur dalam hatinya ia sendiri juga takut jika keluarga terutama papanya tidak menerima Sania sebagai istrinya. Jika itu terjadi ia pun juga tidak tahu langkah apa yang akan ia ambil selanjutnya.

"Kapan rencananya kamu akan ngomong sama keluarga kamu?"

"Besok aku pulang. Besok aku akan bicara jujur sama Mama dan Papa," sahut Indra.

Sania mengangguk dan tersenyum kepada Indra. Entah apa yang yang akan terjadi nantinya yang jelas ini langkah bagus untuk mempertahankan keluarga kecilnya. Dengan begini ia tahu jika Indra sudah mulai menerika pernikahan mereka.

***

Indra pulang ke rumah orangtuanya dengan tekat yang mantap untuk berkata jujur tentang kebohongan yang selama lebih dari tiga tahun ini ia sembunyikan dengan rapat.

Begitu sampai rumah, ia langsung mengurung dirinya di dalam kamar. Pikirannya sibuk merangkai kata yang tepat agar orangtuanya tidak marah padanya terlebih sekarang ini ia malah mengkhawatirkan kesehatan orangtuanya. Ia takut jika nanti orangtuanya akan shock ketika ia mengatakan semuanya.

"Gue harus mantap. Gue harus berani berkata jujur sama Mama dan Papa. Kalau nggak sekarang, terus kapan lagi gue mau mengatakan ini semua? Keberadaan Sania dan Bian berhak diketahui oleh Mama dan Papa. Mama dan Papa harus tahu kalau sebenarnya ia sudah memiliki seorang cucu," gumam Indra.

Selesai makan malam Indra menghampiri Anita dan Suwendar yang saat ini sedang duduk bersama Tania dan juga Mario di ruang tengah.

"Pah, Mah." Jantung Indra bahkan serasa berhenti berdetak.

"Ada apa?" tanya Suwendar.

"Kira-kira berapa biaya untuk menikah?" tanya Indra. Entah mengapa ia malah menanyakan tentang biaya pernikahan padahal ia sendiri juga tidak punya uang sedikitpun untuk membiayai sebuah pesta pernikahan.

"Kenapa tanya begituan? Memangnya kamu mau menikah?" tanya Anita.

"Memangnya siapa yang tidak mau menikah?!" ucap Indra.

"Memangnya kamu udah punya calon?" tanya Suwendar.

"Udah Pah, untuk itu aku minta Papa sama Mama ke rumah orangtuanya untuk melamar dia," ucap Indra.

"Melamar siapa?! Orang yang mana?" tanya Suwendar.

"Ah Papa gitu deh," rajuk Indra.

"Iya dong. Papa nggak tahu perempuan mana yang akan Papa lamar. Papa nggak tahu asal usulnya, apakah dia pantas buat jadi menantu Papa ataukah tidak. Bagaimana latar belakangnya, apa pendidkannya, berapa usianya, rumahnya mana, Papa harus tahu hal itu terlebih dulu," ucap Suwendar.

"Itu masalahnya, Pah. Sebenarnya aku mau ngomongin ini dari dulu sama Papa dan Mama tapi nggak jadi ya karena aku tahu kalau Papa pasti menanyakan hal ini," ucap Indra. Bahakan kini rasa takutnya tadi sudah berubah menjadi rasa frustasi. Ternyata benar apa yang dari dulu ia pikirkan tentang papanya. Papanya selalu akan memikirkan tentang latar belakang dari perempuan yang akan ia kenalkan.

"Entah kamu berpikir latar belakang dan pendidikan itu nggak penting buat kamu, Sayang. Tapi semua itu adalah dasar dari sebuah hubungan. Mama juga nggak mau punya menantu yang yang tidak baik," ucap Anita.

"Dia berasal dari keluarga baik-baik kok, Mah. Dia berasal dari keluarga yang sangat sederhana," ucap Indra.

"Apa perempuan itu bisa diajak rumah tangga? Mama nggak mau kalau kamu cari istri yang nggak bener. Paling tidak dia harus bisa masak, bersih-bersih rumah, mengurus suami dan yang paling penting dia nggak neko-neko," ucap Anita.

"Dia baik kok, Mah. Aku yakin kalau dia bisa diajak hidup berumah tangga," sahut Indra.

"Kalau gitu kapan Mama sama Papa datang ke rumah orangtuanya?" tanya Indra.

"Ke rumah orangtua siapa?! Lagipula Papa juga belum pernah lihat wajahnya dia. Apakah cantik, jelek, kulitnya hitam atau putih, apakah giginya tonggos apa enggak, Papa kan belum tahu. Masa tiba-tiba Papa sama Mama datang ke sana?! terus nanti kalau Papa sampai ke sana Papa sampai keliru ngira ibunya adalah dia gimana?" ucap Suwendar.

"Ah Papa ada-ada aja ah. Ibunya kan udah tua, Pah. Masa iya sampai ketuker," sahut Indra dengan raut wajah yang sudah ditekuk.

"Dia kerja apa?" kini giliran Tania yang bertanya.

"Dia di rumah mengasuh anak," sahut Indra.

"Mengasuh anak? Pekerjaan apa itu? Memangnya dia udah tua sampai dia bekerja mengasuh anak dan nggak bisa kerja yang lainnya?" tanya Tania.

Indra mendengus mendengar pertanyaan Tania yang terkesan menaruh citra buruk pada Sania.

"Iya, benar apa yang dikatakan Kakak kamu, Sayang. Kalau perempuan tua seperti Mama ini nggak pa-pa kalau jadi pengasuh anak, tapi masa anak muda kerja seperti itu? apa jangan-jangan dia lebih tua dari kamu? berapa umurnya?" tanya Anita.

"Umurnya sama kayak aku, Mah. Dia seumuran sama aku," sahut Indra.

"Kamu tahu kan kalau keluarga kita nggak ada yang kerjaannya jadi pembantu? Pengasuh anak itu sama aja kayak pembantu," ucap Suwendar.

"Iya, Pah," sahut Indra.

'Sepertinya gue udah salah bicara. Kenapa gue malah terjebak sama omongan gue sendiri?' ucap Indra dalam hati.

*** 

...bersambung....

Semarang, 10 Juni 2021

Salam
Silvia Dhaka

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top