4. Udang di balik bakwan

"Makasih ya, Ndra." Erwin memberikan sejumlah uang kepada Indra.

"Sama-sama, Bang. Gue juga makasih," sahut Indra seraya tersenyum. Uang yang ada di tangannya ia masukkan ke dalam kantung celana jeansnya tanpa ia hitung terlebih dulu.

"Kok lo langsung masukin duitnya, nggak mau lo itung dulu?" tanya Erwin.

"Alahh ... kagak usah, Bang. Gue percaya sama lo."

"Hhaaha ... bisa aja lo," sahut Erwin.

"Kalo Bang Erwin mau nambah tatto lagi, jangan lupa hubungin gue ya. Kapanpun gue pasti langsung siap.'

"Oke, nomer lo udah gue simpen kok. Lagian gue juga seneng sama hasil gambarnya. Ntar punggung gue yang tadi udah lo fotoin bakal gue posting di sosmed gue. Barang kali aja banyak orang yang pengen digambar sama elo," ucap Erwin.

Mendengar ucapan Erwin, Indra langsung tersenyum lebar. "Wah, makasih banyak, Bang. Lo baik banget mau masarin karya gue," sahut Indra.

"Sama-sama."

"Ya udah, kalo gitu gue pamit dulu," ucap Indra.

"Gue juga pamit, Bang," imbuh Tito.

"Lo orang baru rantau ke kota ini kan, kapan-kapan kalo lo butuh bantuan gue atau lo bosen sendiri di kost lo bisa main ke kostan gue," ucap Erwin.

"Iya, Bang," sahut Indra.

"Ini gue balikin sekalian aja. Sekalian gue yang keluar," ucap Indra saat ia melihat tiga gelas bekas minum yang sudah kosong.

"Alahh ... nggak usah, ntar biar gue balikin sendiri aja. Kecuali kalo lo mau ada udang di balik bakwan." Sahut Erwin seraya tersenyum.

"Enggak lah, Bang." Indra menggaruk tengkuknya yang tak gatal kala Erwin mengerti apa yang sedang ia pikirkan.

"Emangnya dia singgle, Bang?" tanya Indra.

"Nahh!! Ketahuan kan lo," seru Erwin. Sontak ia dan Tito pun tertawa.

"Lo naksir sama cewek yang tadi, Ndra?" tanya Tito.

"Enggak. Ya biasalah, namanya juga cowok. Iya kan," ucap Indra.

"Ya udah kalo gitu gue langsung pulang aja deh, daripada kalian berdua pada godain gue." Indra langsung bergegas keluar dari kamar kost Erwin dan disusul oleh Tito.

Indra menyalakan mesin motornya lalu Tito duduk di belakang Indra. Saat melewati beberapa kamar, matanya melirik ke arah beberapa pintu yang ia lewati. Ternyata keberuntungan tengah memihak padanya, orang yang sedang ia cari-cari berdiri di ambang pintu. Saat melihat wanita itupun ia tak bisa menyembunyikan senyumannya hingga wanita itupun membalas senyumannya.

"Mbaknya yang tadi senyum sama elo, Ndra?" tanya Tito saat ia juga melihat senyum wanita yang sedang berdiri di ambang pintu.

Indra mengemudikan motornya dengan kecepatan tinggi hingga tak berapa lama mereka sampai di kamar kostnya.

"Lumayan, cuma gambar gitu doang Bang Erwin ngasih duit sejuta seratus. Padahal kemaren waktu dia tanya harga, gue kasih harga sejuta, eh malah dilebihin cepek," gumam Indra saat ia sudah berbaring di kasurnya.

"Ya lumayanlah, rejeki buat lo," imbuh Tito.

"Tidur ah, gue capek baget." Indra mulai memejmkan matanya. Sedangkan Tito masih asik memainkan gawainya.

***

Meski terik mentari sudah tinggi, namun hal itu tak lantas membuat dua pria lajang yang sedang tidur pulas itu terbangun. Mereka malah semakin nyenyak dalam tidurnya.

Terdengar bunyi telpon berdering nyaring hingga membangunkan kedua pria lajang itu. Rupanya itu dering dari panggilan di gawai Tito, terbukti dari pergerakan tangan Tito yag mencari gawainya. Ia meraba-raba lantai di sebelahnya hingga ia terpaksa membuka matanya kala gawainya tetap tak bisa ia temukan di dalam keadaan mata yang masih tertutup.

"Halo, Mah?"

"...."

"Iya, kenapa? Aku lagi ke luar kota soalnya," sahut Tito.

"...."

"Aku kuliah kok, Mah. Ini aku ke luar kota juga gara-gara ada tugas dari kampus. Mama tenang aja deh, percaya sama aku," sahut Tito.

Rupanya percakapan Tito dengan mamanya sampai membuat Indra membuka ke dua matanya. Ia juga bisa mendengar betapa kerasnya suara mamanya Tito dari sambungn telpon. Padahal Tito tidak memencet tombol loudspeaker di layar gawainya.

"Udah ya, Mah. Aku mau cari makan dulu sama temen-temen. Nanti aku ketinggalan mobil lagi," dusta Tito.

"...."

"Iya, mungkin besok udah balik kok. Mama tenang aja, Mah. Jaga kesehatan Mama, jangan marah-marah terus. Dah, Mama!" ucap Tito. Tanpa menunggu lama lagi ia langsung memutuskan sambungan telponnya secara sepihak. Jika tidak begitu, bisa-bisa telinganya menjadi merah karena terus menerus mendengar ocehan sang mama tercintanya.

"Nyokap lo nyariin lo?" tanya Indra.

"Iyalah, biasa." Tito turun dari kasur dan duduk bersandar di tembok seraya melempar gawainya ke atas kasur.

"Kayaknya gue nggak bisa lama-lama nemenin lo di sini deh. Nyokap gue bisa ngamuk kalo tahu gue cabut mulu," imbuh Tito.

"Ya nggak pa-pa kalo lo mau pulang. Selesaiin kuliah lo yang bener, jangan jadi kayak gue gini," ucap Indra.

"Gue sebenernya juga nggak mau kuliah deh kalo waktu itu Nyokap gue nggak ngamuk maksa-maksa gue buat kuliah. Gue udah nggak kuat mikir lagi. Udah puyeng pala gue," sahut Tito.

Indra beranjak dari tempat tidurnya.

"Mau ke mana lo?" tanya Tito saat ia melihat Indra yang berdiri.

"Gue mau mandi. Kenapa, lo mau ikut?!"

"Isshhh ... ogah banget. Ngapain gue ikut lo mandi. Masa iya gue mau ngelihat pedang. Gue juga punya kali," gumam Tito.

Indra tak menggubris ucapan Tito. Ia terus saja melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya.

"Ndra, kita cari sarapan ayok."

"Bentar, gue mandi dulu lah," sahut Indra.

"Halahh biasanya juga nggak pakai mandi segala kalau mau makan," sahut Tito.

Indra tak ingin lagi menjawab ucapan sahabatnya itu, ia lebih memilih untuk meneruskan langkahnya menuju kamar mandi.

***

"Kita mau ke mana, Ndra?" tanya Tito saat Indra sudah mulai menjalankan motor.

"Katanya laper, mau cari makan?"

"Iya, maksudnya mau cari makan di mana kita?"

"Ya di tempat kemarin dong. Kemarin itu kan murah, masakannya juga lumayan kan. dari pada kita muter-muter lagi," sahut Indra.

"Ya udah deh."

Tak lama kemudian Indra pun menghentikan motornya di warung makan tempat ia dan Tito mencari makan kemarin. Tak ingin menunggu lama, mereka berdua pun langsung memesan makanan dengan menu yang mereka inginkan.

"Bu, bungkus nasi sama ayam, sambel, sayur yang warna kuning itu ya. Nasi sama sayurnya dipisah tapi," ucap Tito.

"Iya, Mas. Buat nanti siang ya ini?" tanya sang ibu penjual.

"Iya, Bu," sahut Tito.

"Ndra, lo nggak mau bungkus juga? Kenapa lo nggak pesen?" tanya Tito pada Indra.

"Kenapa pakai bungkus segala?" Bukannya menjawab, Indra malah melontarkan sebuah pertanyaan pada Tito. Dan hal itu tentu saja malah membuat Tito menjadi bingung.

"Lah kan buat makan siang kita nanti, Ndra."

Indra mengibaskan tangannya di udara. "Nanti itu, ya urusan nanti. Nanti kan kita bisa ke sini lagi. Gitu aja dibikin ribet," ucap Indra.

"Eh, sinting lo. Yang ada elo kali yang bikin ribet. Enakkan tinggal pesen bungkus buat nanti sing. Eh elo malah mau balik ke sini lagi," seru Tito.

"Serah deh. Lo bungkus juga nggak pa-pa. Gue nggak usah, gue ntar balik ke sini lagi aja," sahut Indra.

"Aneh lo, Ndra," ucap Tito.

"Udah Bu, ini totalnya jadi berapa?" tanya Indra pada ibu pemilik warung nasi.

"Totalnya semua jadi tiga puluh enam ribu, Mas."

Indra mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan uang berwarna biru kepada ibu penjual nasi.

"Weih, lo yang bayarin lagi, Ndra?!" tanya Tito.

"Iya, lo kan belum punya penghasilan. Lagian tadi malam gue juga dapet banyak kan," sahut Indra.

"Iya. Ya udah kalo gitu ayo kita pulang," ajak Tito.

"Ini kembaliannya, Mas." Ucap ibu penjual itu seraya menyerahkan uang kembalian pada Indra.

Indra dan Tito pun keluar dari rumah makan itu. Namun Tito langsung mengerutkan keningnya kala Indra menghentikan motornya di depan sebuah konter pulsa yang kemarin juga mereka kunjungi.

"Turun," ucap Indra kala Tito tak kunjung turun dari motor, padahal motor juga sudah ia matikan mesinnya.

"Ngapain kita ke sini?" heran Tito.

"Gue mau beli pulsa dulu bentar." Indra langsung turun dari motor dan bergegas masuk ke konter itu.

"Rupa-rupanya ada udang di balik bakwan beneran nih. Bener apa yang dikatakan Bang Erwin." Gumam Tito saat melihat Indra sudah masuk ke konter itu.

***  


Semarang, 2 Maret 2021

Salam

Silvia Dhaka


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top