36. Pelampiasan
Sania dan Indra sampai di kost Erwin, Indra langsung mengerjakan gambar klien Indra. Beberapa saat menunggu suaminya yang sedang bekerja ternyata cukup membuatnya menjadi jenuh. Tiba-tiba saja ia menginginkan memakan suatu makanan yang nikmat dan segar.
"Mas, aku pengen makan yang seger-seger. Di depan sana biasanya ada beberapa penjual yang mangkal, aku mau ke sana. Kamu mau titip sesuatu?" Sania mengatakan niatannya pada sang suami.
"Pergi saja, aku lagi nggak pengen makan apa-apa. Kamu beli aja yang kamu pengen," sahut Indra yang masih tetap fokus dengan pekerjaannya.
"Ya udah," sahut Sania. Ia lalu bergegas pergi meninggalkan kamar kost Erwin.
Sampai di ujung gang Sania mendapati banyak penjual dengan berbagai macam pilihan makanan. Dan semua itu membuat perutnya keroncongan dan tak bisa menahan air liurnya. Hal yang paling menggugah seleranya adalah aroma bakaran sate ayam yang menusuk indra penciumannya. Langsung saja ia berjalan memasuki tenda penjual sate ayam dan segera memesan satu porsi sate ayam beserta nasinya dan segelas es teh manis. Begitu pesanannya datang, ia langsung menyantap makanannya dengan sangat lahap. Belum selesai menghabiskan satenya, ia berjalan mendekati penjual kue terang bulan yang terletak persis di sebelah tenda sate yang kini ia duduki. Ia memesan satu porsi kue terang bulan dengan toping komplit, sehingga saat ia selesai menyantap satenya ada penjual kue terang bulan yang datang menghampirinya untuk menyerahkan pesanannya.
"Enak banget," gumam Sania saat mencium aroma dari kue terang bulan miliknya.
"Di makan di kostannya Bang Erwin aja kalinya. Aku juga mau beli minum buat di sana juga ah. Nunggu Mas Indra di sana pasti lama dan bikin bosen. Apa aku mesti beli makanan yang lain lagi aja ya buat jaga-jaga nanti kalau aku lapar lagi. Sekarang ini kan aku gampang banget lapar," gumam Sania. Ia lalu beranjak dari tempat duduknya setelah membayar tagihannya. Ia bisa memiliki uang meski suaminya tidak bekerja. Ia mendapatkannya dari pemberian bapak dan ibunya yang memang masih bekerja.
Sania berjalan kembali ke kostan Erwin dengan menenteng beberapa kantong plastik berisi makanan yang baru saja ia beli. Sebelumnya ia juga membeli karamel dan juga kue pukis untuk ia bungkus dan bisa ia makan saat menunggui suaminya bekerja di kostan Erwin.
Sania menyerngit saat melihat seorang perempuan yang baru saja keluar dari kamar kost Erwin. "Bela?"
Bela tersenyum miring kala melihat Sania berjalan ke arahnya. Bahkan kini ia sudah melipat kedua tangannya di depan dada dan berdiri menanti kedatangan Sania.
"Ada perlu apa lo datang ke sini?! Lo mau godain laki gue?! Gue yakin lo pasti sengaja datang ke sini hanya buat godain suami gue," seru Sania.
Bukannya tersinggung seperti yang sebelum-sebelumnya, Bela malah tertawa mendengar ucapan Sania.
"Masih bisa lo senyum-senyum kayak gitu ya. Oohh ... jangan-jangan karena lo belum tahu kalau sekarang ini gue udah nikah sama Mas Indra?" Sania menarik nafasnya dalam-dalam lalu ia hembuskan perlahan sebelum ia melanjutkan kembali ucapannya. "Gue beritahu elo ya, gue sekarang ini uadh sah jadi istrinya Mas Indra. Jadi gue saranin kalau elo sebaiknya pergi menjauh dari Mas Indra kalau elo nggak mau nanggung resikonya. Jangan jadi pelakor."
Sekali lagi Bela tertawa. Masih dengan gayanya yang santai, ia membalas ucapan Sania. "Elo nggak usah terlalu bangga sama status lo yang nggak jelas ini karena gue tahu kalau elo cuma Indra anggap sebagai pelampiasan sesaatnya. Lo cuma penampung nafsunya dia aja yang memang hanya bisa dia salurin ke janda haus belaian laki-laki macam elo!"
"Brengsek lo ya! Lo nantangin gue? Jaga mulut kotor lo itu. Gue udah nikah sama Mas Indra dan sebentar lagi kita juga bakal punya anak, jadi nggak mungkin Mas Indra jadiin gue pelampiasan. Yang ada juga elo yang jadi pelampiasan orang!" seru Sania tak terima.
"Kalau bukan jadi pelampiasan, terus ngapain pernikahan kalian disembunyiin dari keluarganya Indra? Siap-siap aja, paling bentar lagi pasti elo juga ditinggal sama Indra. Masih banyak perempuan cantik dan singgle yang bisa dia jadikan istri."
Merasa kalah dengan adu mulutnya, Sania langsung melangkahkan kakinya meninggalkan Bela yang masih tetap berdiri santai pada posisinya semula. Hal itu membuat Bela merasa menang dari Sania.
"Nikah siri aja bangga." Ucap Bela yang tentu saja masih bisa didengar oleh Sania, hingga Sania menghentikan langkah kakinya dan menolehkan kepalanya untuk menghadap kembali ke arah Bela. Sania menatap sengit ke arah Bela dan yang ditatap malah kembali menampilkan senyumannya yang terkesan mengejek. Sania kembali melangkahkan kakinya menuju kamar kost Erwin dengan hati yang panas.
"Seenak-enaknya aja pelakor itu ngatain gue pelampiasan. Dasar bego, mana mungkin gue dijadiin pelampiasan, orang gue lagi hamil anaknya Mas Indra," gerutu Sania di sepanjang perjalanan menuju kamar Erwin.
Sampai di kamar Erwin, Sania tak langsung masuk, ia lebih memilih untuk menunggu di luar kamar untuk mengurangi emosinya karena tidak mungkin jika ia meluapkan emosinya di dalam kamar orang lain dan di hadapan dua orang asing.
***
Kata-kata pelampiasan yang dilontarkan Bela untuk merendahkannya dan mengejeknya terus saja terngiang-ngiang di telinganya. Hingga sampai rumah barulah ia meluapkan emosinya pada Indra.
"Tadi Bela nyamperin kamu, Mas?"
"Enggak, dia nyamperin Bang Erwin," sahut Indra. Ia menghempaskan tubuh lelahnya di atas ranjang.
"Bohong! Itu pasti cuma akal-akalannya dia aja biar bisa ketemu sama kamu karena aku tahu banget kalau dia naksir berat sama kamu!" seru Sania.
"Ya udah biarain aja kenapa sih. Yang pentingkan aku nggak nanggepin dia," sahut Indra. Ia lebih memilih memejamkan matanya daripada meladeni ucapan Sania dan segala kecemburuannya itu.
"Nggak bisa gitu, kamu tahu Mas apa yang udah dia katakan sama aku? Dia tadi ngatain aku cuma jadi bahan pelampiasan nafsu kamu aja gara-gara kamu cuma nikahin aku secara siri. Harusnya kamu nikahin aku secara sah di KUA dan diketahui oleh orangtua dan semua saudara-saudara kamu."
Indra yang merasa pusing dengan omelan Sania langsung bangkit dari berbaringnya. Ia menatap istrinya itu dengan tatapan nyalang. "Jadi intinya kamu nggak terima karena sekarang ini cuma aku nikahin siri? Iya?! Terus mau kamu apa?! Kamu mau aku pergi ninggalin kamu atau apa?!" tantang Indra.
Kobaran amarah yang tadi menyulut hati Sania kini merambat menyulut hati Indra, hingga kini Sania-lah yang terdiam saat mendengar ucapan Indra dan melihat wajah Indra yang tampak emosi.
"Bukan begitu maksud aku, Mas," lirih Sania.
"Kalau aku sampai dengar yang macam-macam lagi dari kamu, aku nggak akan segan-segan buat ninggalin kamu. Ingat itu!" Setelah mengatakan ancamannya itu, Indra langsung keluar dari kamar. Entah ke mana perginya yang jelas sekarang ini Sania sedang menangisi nasib buruknya di dalam kamar.
Ternyata dinikahi Indra juga tak bisa menjamin hidup Sania akan tenang dan bahagia. Ia masih harus berjuang lagi untuk menyempurnakan pernikahannya besama Indra. Terlebih lagi dari pihak keluarga Indra tak ada yang tahu tentang pernikahan sirinya ini.
***
Hari pun berjalan dengan sangat cepat hingga tak terasa kini usia kehamilan Sania sudah semakin tua. Tinggal menunggu hari untuk saatnya ia melahirkan buah hatinya ke dunia ini. Sejauh ini tak ada perkembangan yang berarti pada pernikahannya bersama Indra. Setiap harinya ia hanya bisa berdiam diri di rumah bersama suami dan anak perempuannya. Tak ada hal lain yang bisa ia kerjakan selain membersihkan rumah, memasak dan mengurus keluarga.
Indra sudah pasrah dengan keadaan perekonomiannya yang semakin hari semakin sulit, padahal hari persalinan Sania sudah dekat. Setiap hari tak banyak yang bisa ia lakukan selain mengantar jemput mertuanya ke kios. Beruntungnya kedua mertuanya itu tak banyak menuntut kepadanya. Meski ia pengangguran, tak pernah sekalipun kedua mertuanya menyuruhnya untuk mencari pekerjaan, menyindirnya karena pengangguran ataupun menuntut hal yang lainnya. Yang ia rasakan selama ini adalah kedua mertuanya itu sangat menyayanginya dan menganggapnya sebagai anaknya sendiri. Bahkan terkadang ia merasa sungkan dan tak enak hati karena saat ia terbangun di pagi hari, ibu mertuanya malah sudah membuatkannya kopi susu hangat. Bukan istrinya yang menyediakan minuman hangat itu karena Sania tentu saja masih tidur. Selama ia dan Sania menikah, sedikit banyak ia bisa memahami bagaimana sifat asli Sania. Ia menganggap jika istrinya itu adalah wanita yang tergolong nekat, berani, kaku, keras dan selalu berbuat semaunya sendiri. Namun apapun itu, sekarang ini Sania sudah menjadi istrinya dan sebentar lagi ia akan mendapatkan seorang anak yang terlahir dari rahim Sania.
Rustam dan Narti bisa sedikit merasa tenang dan lega setelah melihat perangai menantunya yang termasuk baik dan sopan. Meskipun tubuh menantunya itu penuh dengan tatto dan pengangguran, namun tak sekalipun menantunya itu berucap kasar kepada siapapun termasuk pada mereka, Sania ataupun anggota keluarganya yang lain. Menantunya itu juga terlihat menyayangi cucu perempuan mereka dari suami terdahulu anaknya. Tak seperti menantunya yang terdahulu yang memiliki perangai buruk. Bahakn setiap pagi Rustam dan Narti diantar jemput oleh menantunya yang sekarang, jadi rasanya sangat curang jika mereka tak menyayangi menantunya yang baik itu. Ya meskipun mereka juga masih prihatin dengan kelanjutan rumah tangga Sania karena menantunya itu sampai saat ini masih belum mengenalkan anak dan cucunya kepada keluarga besar menantunya. Tapi untuk hidupnya saat ini ia masih bisa bersyukur, setidaknya di masa tuanya ini mereka bisa melihat putri mereka bahagia dengan pasangan hidupnya.
***
....bersambung.....
Semarang, 27 Mei 2021
Salam
Silvia Dhaka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top