28. Meminta kepastian hubungan
Jangan lupa vote dan komen!!!
***
Tak terasa sudah satu minggu Indra berada di Jakarta, kini saatnya ia harus kembali pada kehidupannya bersama Sania. Kali ini ia mengajak Tito turut serta dengannya tanpa berpikir panjang lagi akibat yang akan terjadi jika sahabatnya ini ikut ke kostnya.
Tito menghentikan motornya tepat di depan kamar kost Indra. Namun ada sedikit keanehan yang membuatnya bingung. "Ndra, lo balik ke Jakarta tanpa ngunci pintu kamar lo?" tanya Tito saat Indra sudah turun dari motor.
"Mana bisa gue kunci, orang ada yang nempatin," sahut Indra tak acuh hingga membuat Tito semakin bingung.
"Ayo buruan masuk," ajak Indra. Ia melangkah lebih dulu mendahului Tito yang masih terbengong di sebelah motornya. Saat ia masuk ke kamar sahabatnya itu, ia dikejutkan dengan keberadaan sesosok wanita di dalam kamar.
"Sania?" gumam Tito terkejut.
"Ndra, kok dia bisa ada di sini?" tanya Tito pada Indra. Rencana awalnya untuk langsung melemparkan tubuhnya di atas kasur langsung sirna kala ada seorang wanita yang sudah tak asing lagi duduk nyaman di dalam kamar sahabatnya itu.
"Ya udah lo duduk aja dulu, nggak usah banyak tanya," ucap Indra.
Meski bingung dan penasaran tingkat tinggi, namun Tito tetap melakukan apa yang diucapkan Indra. Ia duduk seluntur di lantai kamar Indra.
"Aku buatin minum dulu ya, mau yang anget apa yang dingin?" Sania beranjak dari tempat duduknya dan bertanya pada kedua pria di hadapannya ini.
"Yang dingin aja, soalnya pikiran gue lagi ngegumpel ini," sahut Tito.
Sania langsug berjalan menuju meja kecil ang ada di sudut kamar untuk membuatkan minum.
"Dari kemaren lo nggak bilang apa-apa sama gue. Lo mau bikin gue jantungan ya?" ucap Tito yang memandang Indra denga penuh tanda tanya.
"Ini minumnya." Sania menyuguhkan dua minuman dingin di depan Tito.
Tito langsung menenggak habis minumannya, kini tatapannya kembali fokus dengan dua pasangan misterius di depannya ini.
"Aku lapar, kamu tolong belikan mie ayam di depan sana ya," pinta Indra pada Sania yang langsung diangguki oleh wanita tersebut.
"Sumpah, gue bingung banget," ucap Tito.
"Gue sama Sania udah tiga bulan ini tinggal bareng di sini," ungkap Indra.
"Apa?! Maksud lo apaan?"
"Ya seperti yang lo lihat ini. Sania dan gue udah mutusin buat tinggal bareng di sini."
"Lo bercanda sama gue?" Tito masih saja tak percaya dengan apa yang telah Indra katakan padanya.
"Gue nggak bercanda, gue serius."
"Tunggu dulu. Kalau lo sama Sania udah tinggal bareng di kamar sempit ini, berarti lo sama Sania udah gini?" Tito menyatukan kedua telapak tangannya seperti hendak bertepuk tangan.
"Iya, lo tahu sendirilah gimana kalau perempuan sama laki tinggal bersama itu kayak gimana, nggak perlu gue jelasin lagi."
"Tapi bukannya selama ini lo selalu hati-hati sama cewek ya? Bukannya lo yang bilang sendiri kalau lo belum siap berhubungan serius sama yang namanya perempuan karena lo masih mau hidup bebas dan nggak terikat sama yang namanya status apapun itu," ucap Tito.
"Iya," sahut Indra enteng.
"Iya gimana maksud lo? Kalau gini caranya berarti lo udah siap kalau lo disuruh nikahin dia!" seru Tito.
"Gue nggak tahu. Yang gue tahu dia mau nyerahin dirinya sama gue ya ... udah, gini jadinya. Lagian gue sama dia juga nggak punya status hubungan yang jelas kok. Kita tinggal bersama karena kita sama-sama mau," sahut Indra tanpa beban sedikit pun.
Tito semakin pusing dengan ucapan Indra. Hingga ia menyearah dan menyudahi pertanyaannya. Kini ia lebih memilih membaringkan tubuh lelahnya di atas lantai akibat perjalanan jauhnya yang cukup melelahkan. Tak lama kemudian Sania datag dengan membawa nampan berisi tiga buah mangkuk mie ayam yang langsung diletakkannya di lantai karena memang tidak ada meja mengingat luas kamar Indra yang tak seberapa.
Tito pun langsung mendudukkan dirinya. "Ini gue makan ya, gue laper banget." Tito langsung mengambil satu mangkuk dan mulai memakan mie ayamnya setelah ia tambahkan dulu saos, kecap dan sambal.
"Lah ini terus gimana sama nasib gue?" tanya Tito setelah ia menyelesaikan makannya.
"Nasib lo gimana?" tanya Indra.
"Lah entar malam gue tidur di mana kalau Sania ada di sini?" tanya Tito.
"Kita nanti malam tidur di luar. Noh di teras gelar karpet," sahut Indra.
"Ya ampun," gerutu Tito.
Malam pun tiba, seperti yang sudah dikatakan Indra tadi, bahwa malam ini ia dan Tito akan tidur di teras depan kamarnya dengan beralaskan kapet. Kedua sahabat itu tak langsung bisa memejamkan matanya karena mereka berdua asik bermain game di gawai mereka hingga tengah malam, setelah itu barulah mereka bisa memejamkan mata mereka.
Sedangkan di dalam kamar ada seorang wanita yang sedang gelisah karena memendam rasa cemburu dan amarah dalam hatinya. Bahkan sekarang ini pikirannya tak tenang dan masih terus bertanya-tanya perihal foto dari wanita yang terpajang di semua sosial media milik pujaan hatinya beberapa hari yang lalu. Niatnya ia ingin langsung meminta penjelasan dari pria pujaan hatinya itu, namun apa mau dikata karena ternyata prianya itu malah membawa temannya datang bersamanya hingga ia kini terpaksa harus mengerem amarahnya yang sedari kemarin ingin meledak. Karena tidak mungkin jika ia akan langsung menjejali prianya itu dengan berbagai rentetan pertanyaan yang sampai saat ini membuatnya tak tenang. Hingga akhirnya tak terasa ia tertidur dengan sendirinya.
***
Seperti pagi biasanya, Sania harus bangun sedikit pagi karena ia harus memasak terlebih dahulu agar nanti Indra tak kelaparan dan bingung mencari makan jika ia berangkat ke konter. Setelah itu barulah ia mandi dan bersiap berangkat ke konter tempatnya bekerja.
"Mas ... Mas, bangun, Mas. Udah jam setengah delapan, aku mau berangkat kerja," ucap Sania membangunkan Indra yang masih pulas tertidur.
Indra mengeliat tanpa ingin membuka matanya. "Kamu berangkat sendiri aja ya, aku masih ngantuk," ucap Indra.
Wajah Sania semakin terlihat masam, bibirnya mengerucut dan tatapan matanya beralih ke arah Tito yang masih tetap tenang menikmati tidurnya.
"Ya udah kalau gitu aku berangkat dulu. Itu aku udah masak, jadi nanti kamu sama Tito nggak usah jajan dan cari makan." Sania bergegas pergi meninggalkan kamar kostnya. Ia terpaksa berangkat kerja sendiri dengan mengendarai motornya sendiri, padahal ia berharap jika sekarang ini Indra mengantarnya bekerja jadi saat di jalan hingga sampai di konter nanti ia bisa meminta penjelasan dari Indra perihal perempuan cantik yang telah berhasil membuatnya cemburu waktu itu.
"To, bangun, To! Udah pagi." Indra membangunkan Tito setelah kepergian Sania.
"Apaan sih? Masih ngantuk gue," sahut Tito dengan mata yang sedikit terbuka.
"Pindah ke dalam kamar, buruan." Ajak Indra yang lebih dulu mengangkat bantal dan selimutnya masuk ke kamar. Tito pun akhirnya mengikuti langkah Indra dengan masuk ke kamar seraya membawa bantal dan karpet yang baru saja ia pakai untuk alasnya tidur. Sampai di dalam kamar, mereka berdua kembali memejamkan matanya.
Indra dan Tito menyelesaikan tidurnya hingga siang bolong. Saat ini Tito-lah yang bangun lebih dulu karena ia ingin pergi ke kamar mandi. Setelah selesai dari kamar mandi, Tito terheran melihat nasi, sayur beserta lauknya sudah tersaji di atas meja kecil yang ada di pojok kamar.
"Ini semua Sania yang masak?" tanya Tito kala ia melihat jika ternyata sahabatnya itu sudah bangun.
"Iya, lo kalau mau makan, makan aja," sahut Indra.
"Sania udah kayak istri lo ya, Ndra. Pakai masakin lo segala."
"Yaaa gitu, makanya gue nggak bisa nolak waktu dia ngajak gue buat tinggal bersama. Sania juga nyuciin baju-baju gue."
"Seriusan lo, Ndra?! Enak bener lo," ucap Tito.
"Ya udah lo ,akan dulu tuh. Gue juga lapar, tapi gue mau mandi dulu." Indra beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi.
"Setelah makan ini gue mau pulang aja deh," ucap Tito hingga berhasil membuat Indra menghentikan langkah kakinya.
"Kenapa buru-buru?"
"Ya masa gue mau nginep di sini lama-lama? Orang sekarang lo aja juga udah nggak tinggal sendiri. Gue nggak enak lah sama Sania kalau gue di sini lama-lama," sahut Tito.
"Nggak usah lo pikirin kayak gitu sih, santai aja. Ya udah gue mandi dulu, lo sarapan aja dulu ntar gue nyusul." Indra pun kembali meneruskan langkahnya menuju kamar mandi.
***
Sania mendesah lega saat ia tak lagi mendapati Tito di kamar kostnya. Ternyata Tito sudah pulang ke Jakarta, itu berarti ia bisa membicarakan hal yang penting dengan Indra. Ia mendekati Indra yang sedang memainkan gawainya.
"Mas."
"Heemm ...."
"Kita harus membicarakan sesuatu hal yang penting."
"Bicara apa?"
"Siapa perempuan yang kemaren itu fotonya kamu pajang di medsos?"
"Siapa? Nggak ada," sahut Indra tak acuh.
Sania merampas gawai Indra dan menarik tubuh kekasih hatinya itu agar menghadap ke arahnya. "Kamu jawab yang jujur, Mas. Perempuan itu siapa, dia pacar kamu kan?! Kalian ada hubungan kan?!"
"Kamu ngomong apa sih, Sania. Udah deh nggak usah lebai, kayak gitu pakai dibahas segala," ucap Indra. Ia menatap jengah ke arah Sania yang kini tengah menatapnya mata tajamnya seolah-olah perempuan itu akan memakannya bulat-bulat.
"Kamu nggak usah nyangkal lagi, Mas. Waktu itu aku telpon kamu, terus yang angkat perempuan itu. Dia bilang kalau dia pacar kamu, calon tunangan kamu. Dan kalian juga udah tidur bareng kan, iya kan?!" Kini Sania sudah berlinang air mata. Ia tak sanggup jika Indra malah membenarkan ucapannya. Membayangkan itu saja hatinya sudah sangat sakit.
"Tidur bareng apa sih?! Aku ini cuma ngelakuin itu sama kamu, jadi kamu jangan ngomong yang aneh-aneh yang malah bikin aku marah dan malah bikin aku pusing."
"Tapi kenyataannya begitu kan, waktu itu dia bilang kamu udah tidur sampai ada telpon dia yang angkat!" seru Sania tak mau kalah, ia harus menuntaskan rasa penasarannya ini.
"Hpku nggak sengaja kebawa sama dia. Kita nggak ngelakuin apa yang seperti kamu tuduhkan itu."
"Tapi kalian benar ada hubungan? Dia beneran pacar kamu, Mas? Calon tunangan kamu?" tanya Sania beruntut.
Indra mendesah lelah dengan pertanyaan dari Sania. "Iya."
Satu kata yang keluar dari bibir Indra ternyata berdampak besar bagi Sania. Kini tubuh Sania sudah menegang kaku setelah mengetahui kebenaran tentang Indra dan perempuan yang ia lihat kemaren itu.
"Ja—jadi ... jadi kalian bener-bener pacaran?" guman Sania.
"Iya, aku sama Nindi udah pacaran jauh sebelum aku kenal sama kamu," sahut Indra tanpa memperdulikan perasaan Sania.
Sania menundukkan kepalanya, ia menangis keras sekaligus tertawa. Hal itu tentu saja membuat Indra menjadi bingung.
"Dia yang jauh di sana aja punya status, meskipun itu hanya pacaran. Tapi aku yang setiap hari nglayanin kamu dan tinggal sama kamu malah nggak punya status apa-apa. Aku bahkan sampai sekarang masih bingung jika ada orang yang menanyakan status hubungan kita, Mas. Kita ini tinggal bersama dalam satu kamar, tapi kita nggak punya status apapun juga."
"Kamu ini ngomong apa sih? Jadi kamu mau kita pisah sampai sini aja?" tantang Indra yang langsung saja membuat Sania terbelalak karena ketakutan.
"Nggak! Aku nggak mau pisah dari kamu, Mas. Aku mau hubungan kita ini jelas," pinta Sania dengan tatapan memohonnya. Air matanya tak mau berhenti menetes karena rasa sedihnya yang tak bisa ia tahan.
"Status hubungan apa yang kamu mau?"
"Aku mau kita—"
"Apapun yang kamu mau, yang jelas sekarang ini aku masih mau bebas dan nggak terikat hubungan apapun," Indra memotong ucapan Sania.
"Gimana bisa gitu, Mas? Kita udah sering ngelakuin hal itu, gimana kalau aku hamil?"
"Kenapa bisa hamil? Kamu kan udah lebih berpengalaman dari pada aku, kenapa bisa kamu sampai hamil?" ucap Indra. Ia tak habis pikir, jika sampai Sania benar-benar hamil, sudah bisa dipastikan kalau wanita yang sudah hidup satu kamar bersamanya ini sengaja melakukannya.
"Kamu kok ngomongnya gitu sih, Mas? Jadi kamu nggak mau tanggung jawab kalau sampai hamil anak kamu?!"
"Udahlah, kamu malah bikin aku pusing!" Indra menyambar kunci motor dan langsung pergi meninggalkan Sania sendirian di dalam kamar.
Sania menangis melihat kepergian Indra. Sekarang ini ia hanya bisa meratapi nasibnya yang begitu sial. Ia menyerahkan dirinya secara cuma-cuma agar seasu saat nanti tujuannya hidup bersama Indra bisa terwujud. Ia memimpikan dinikahi oleh Indra, tapi nyatanya Indra malah seakan tak menerima dirinya.
***
.....bersambung....
Semarang, 10 Mei 2021
Salam
Silvia Dhaka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top