2. Hari pertama di kota rantau
Indra dan Tito mengendarai motornya untuk mencari makan karena perut mereka yang sudah terasa sangat lapar. Karena mereka berada di kota rantauan, mereka tak gampang mencari makanan. Mereka mencoba berkeliing untuk mencari warung yang sesuai dengan lidah dan kantong mereka. Akhirnya mereka berhenti di sebuah warung yang cukup ramai pembeli.
"Makan di sini aja ya. Udah capek muter-muter gue." Indra mematikan mesin motornya di depan sebuah warung makan.
"Ya terserah lo aja, gue sih ngikut aja." Tito turun dari boncengan motor karena Indra akan memarkirkan motornya.
"Kalau gitu ayo buruan kita masuk," ucap Indra.
Indra dan Tito pun berjalan masuk ke warung makan itu. buru-buru mereka memesan makanan untuk mengisi perut mereka.
"Rasa masakannya lumayan enak, tapi masih enakan masakan nyokap lo, Ndra," ucap Tito di sela-sela makannya.
"Ya iyalah, masa masakan nyokap gue lo banding-bandingin sama masakan warung beginian," sahut Indra.
Tito memang kerap kali main ke rumah Indra. Tak jarang ia akan ikut makan bersama keluarga Indra, jadi ia sangat hafal betul bagaimana nikmatnya rasa masakan Ibu Indra.
"Biar rasanya pas-pasan yang penting kita bisa kenyang. Murah ini harganya," celetuk Tito.
Indra tertawa untuk membenarkan ucapak Tito. Karena dalam kenyataannya meski rasa masakannya tak begitu enak, ia juga tak menyisahkan makanan dalam piringnya meskipun hanya sedikit.
Setelah membayar tagihan makan, Indra dan Tito kembali meneruskan perjalanan mereka. Entah ke mana tujuan mereka berdua yang penting mereka tidak terkurung di dalam kamar kostan.
"Bentar gue mau beli pulsa dulu deh." Ucap Tito saat ia melihat ada sebuah konter pulsa.
"Hahhaa ... hari gini masih aja pakai pulsa. Pakai kuota dong, pakai data internet," ledek Indra. Meskipun begitu ia tetap menghentikan motornya di depan konter penjual pulsa yang tak jauh dari warung rumah makan yang tadi mereka singgahi untuk mengisi perut lapar mereka.
"Resek lo! Pulsa buat ngisi nomer gue, buat ngabarin nyokap gue. Lo tahu sendiri kan kalau nyokap gue gaptek. Nyokap gue nggak mau ganti HP android, makanya sampai sekarang nyokap gue masih pakai HP tulat tulit." Ucap Tito seraya menatap Indra dengan pandangan sinisnya.
"Hahaha ... iya gue tahu. Ya udah sana buruan beli pulsanya," sahut Indra.
"Lo nggak mau ikut masuk?" Tanya Tito saat ia menatap Indra yang masih tetap berada di atas motor.
"Enggak ah, gue males turun dari motor," sahut Indra.
Tak ingin lebih lama lagi berbasa-basi akhirnya Tito masuk ke dalam konter sendirian. Tapi sampai di dalam terpaksa ia harus menunggu penjaga konternya terlebih dulu karena konter cukup ramai dengan pembeli.
"Lama banget sih lo beli pulsa doang?!" Seru Indra yang tiba-tiba muncul.
"Eh!" Gumam Indra saat sorot matanya menangkap sorot mata seorang perempuan cantik yang duduk seraya memegang HP di balik estalase konter.
"Bentar ya, Mas. Kebetulan ini lagi antri," ucap perempuan itu yang dibalas senyuman oleh Indra.
"Kenapa senyum-senyum? Mbaknya cantik?" bisik Tito.
Indra tak ingin menjawab pertanyaan Tito. Ia malah fokus pada perempuan penjaga konter yang ternyata juga tengah curi-curi pandang kepadanya.
"Masnya mau beli apa?" tanya perempuan penjaga konter itu seraya melihat ke arah Tito karena kini giliran Titolah yang harus dilayani setelah pembeli yang lain sudah pergi.
"Pulsa dua puluh ribu aja, Mbak." Tito menjawab seraya mengulurkan pecahan uang dua puluh lima ribuan.
"Nomernya, Mas." Perempuan penjaga konter itu meminta Tito menyebutkan nomer miliknya yang akan diisikan pulsa, dan Tito pun menyebutkan angka demi angka kepada perempuan itu.
Indra mengamati gerak-gerik perempuan itu saat sedang berinteraksi dengan Tito. Sadar jika sedang diperhatikan, perempuan itupun sedikit melirik ke arah Indra.
"Buka konter di sini ramai, Mbak?" tanya Indra memulai obrolan.
"Ya lumayan, Mas. Kadang sepi kadang juga ramai," sahut perempuan itu.
"Sudah lama buka konter di daerah sini?" tanya Indra lagi.
"Persisnya saya nggak tahu juga sih, Mas. Orang saya di sini kerja ikut orang, ini bukan konter punya saya," sahut perempuan itu.
Indra hanya beroh ria mendengar jawaban dari perempuan penjaga konter itu.
"Eheem!" Tito berdeham saat merasa jika temannya itu sedang mengeluarkan jurus perayunya.
Mendengar deheman dari Tito perempuan itu langsung menunduk, memutus kontak matanya dengan Indra dengan berpura-pura mengecek layar ponselnya. Sedangkan Indra memutar bola matanya malas karena ia merasa jika Tito telah mengganggu kesenangannya.
"Pulsanya silakan dicek ya, Mas. Sudah masuk laporannya," ucap perempuan penjaga konter itu.
"Iya, Mbak."
"Ayo buruan pulang," ajak Tito yang sudah membalikkan tubuhnya hendak keluar dari kios pulsa itu.
Tak ada alasan untuk lebih lama tinggal di sini, akhirnya Indra pergi mengikuti langkah Tito. Sampai depan konter ia langsung mengemudikan motornya kembali setelah Tito naik di belakangnya.
"Kenapa buru-buru sih?"
"Mau ngapain lagi emangnya? Pulsa juga udah dikirim, uang juga udah gue kasih ke dia," sahut Tito.
"Lo naksir sama tuh cewek?!" tanya Tito.
"Naksir sih enggak , tapi apa salahnya sih ngobrol-ngobrol. Siapa tahu aja cocok," sahut Indra enteng.
"Jangan suka coba-coba."
"Coba-coba apaan, orang gue biasa aja."
Tak ada obrolan lagi untuk membahas soal perempuan penjaga konter itu. Indra dan Tito sama-sama diam saat dalam perjalanan menuju kost mereka.
Sampai di kamar kost, Indra mulai memposting gambar-gambar menarik di media sosial miliknya, siapa tahu saja hari ini ada yang memintanya untuk menggambar. Tak lupa juga ia sertakan kota tempat tinggalnya yang sekarang. Tapi bukannya orang yang akan menggunakan jasa tattonya yang sekarang menghubunginya, melainkan seorang perempuan yang selama tiga bulan terakhir ini menjadi kekasihnya.
"Sayang, kamu ada di mana?" Begitulah yang terdengar saat sambungan telpon sudah terhubung.
"Kenapa?" tanya Indra dengan nada suara malas. Dari dulu ia paling tidak suka jika ada yang merecoki kehidupannya. Sekarang ini ia adalah pria lajang, jadi mau ke mana dan dengan siapa ia pergi menurutnya tak ada orang yang boleh melarangnya.
"Aku tanya sama kamu, kenapa kamu malah balik tanya ke aku sih?! kamu ke luar kota?"
"Iya, kenapa emangnya?" tanya Indra.
"Ya harusnya kamu bilang dong sama aku kalau kamu mau ke luar kota gitu. Emang kenapa kamu ke sana, lagi ada lomba tatto?" tanya perempuan itu dari sambungan telponnya.
"Nggak ada lomba, emang aku lagi pengen ke sini aja."
"Kamu pergi ke sana sama siapa?"
"Ngapain sih tanya-tanya?!" seru Indra yang sudah mulai merasa terganggu dengan pertanyaan dari perempuan yang masih berstatus sebagai pacarnya itu.
"Aku ini pacar kamu lhoh, Sayang. Jadi wajarkan kalau aku perhatian sama kamu."
"Kalau ini namanya udah bukan perhatian lagi, ini namanya kepo," sahut Indra malas.
"Kok kamu ngomognya gitu sih sama aku. Kita ini baru jadian tiga bulan lhoh, Sayang. Harusnya sekarang ini kita lagi romantis-romantisnya menjalani hubungan," protes perempuan itu.
Tanpa ingin mengeluarkan banyak kata lagi, Indra segera mematikan sambungan telponnya.
"Sialan tuh cewek!" seru Indra.
"Kenapa?"
"Dia ngrecokin gue mulu tiap hari. Heran gue. Di rumahnya apa nggak ada kerjaan gitu, sampai tiap saat harus telpon gue," ucap Indra dengan perasaan kesal.
"Hahhaa ... namanya juga cewek, jadi wajarkan. Lo aja yang cueknya minta ampun sama Nindi. Kalau gue jadi elo, gue nggak bakal nyia-nyiain cewek cakep macam Nindi gitu," ucap Tito.
"Kalau lo mau ambil aja. Gue juga nggak suka-suka amat sama tuh cewek," ucap Indra.
Tito sampai melongo mendengar ucapan spontan dari Indra. "Beneran lo, Ndra?!"
"Ngapain gue bohong."
"Kalau lo nggak suka ngapain waktu itu lo terima dia jadi cewek elo?" tanya Tito.
"Nindi nembak gue di depan banyak orang. Gue nggak sekejam itu buat mempermalukan dia di depan umum. Gue kasihan sama dia, kalau gue tolak entah gimana malunya dia." Ucap Indra seraya mengingat kejadian tiga bulan yang lalu.
"Bener juga omongan lo," gumam Tito.
"Sebenarnya boleh juga sih si Nindi, tapi gue ogah ah. Dia udah pacaran sama elo tiga bulan, pasti udah lo apa-apain kan?!" tuding Tito.
Indra refleks langsung menoleh ke arah Tito, "resek lo. Biar gini-gini gue bukan pria brengsek yang doyan sama selakangan banyak perempuan! Gue ini masih punya moral. Paling juga cuman cipokan sama grepean dikit. Wajar kan," seru Indra.
"Kayak gitu lo bilang wajar." Tito mendengus menatap Indra.
***
Setelah baca jangan lupa vote dan komen agar aku tahu seberapa kalian suka dengan cerita ini.
Semarang, 9 Febuari 2021
Salam
Silvia Dhaka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top