PROLOGUE
Aku sedang bermain-main dengan anjing peliharaanku yang kuberi nama, Cherry. Dia adalah anjing betina yang lucu sekali. Dengan perawakannya yang kecil dan bulu-bulu halus yang berwarna putih, dia sukses menarik perhatianku, saat pertama kali melihatnya di sebuah toko hewan peliharaan. Aku pun merengek pada ayahku untuk dibelikan sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-sepuluh beberapa waktu lalu.
Aku tertawa renyah saat dia mulai menjilati telapak tanganku setelah aku memberikannya snack untuk dimakannya, begitulah caranya dia berterimakasih.
Aku sangat menyayanginya. Cherry terlalu manis dan lucu, setiap orang yang melihatnya pasti akan tergoda untuk menyentuhnya atau menggendongnya. Tapi aku selalu melarang mereka untuk melakukan apapun, selain hanya bisa melihat dan memandangnya kagum dari jarak dua meter.
“Clarissa, hentikan bermain-main disitu! Pabrik ini kotor, nak”, seru ayahku dari belakang sehingga aku menoleh menatapnya.
Aku terdiam sejenak dan melihat ada beberapa orang yang mengikuti ayahku memasuki pabrik produksinya ini.
Ayahku memiliki usaha berupa produksi berbagai macam alat listrik seperti trafo dan panel atau entahlah... aku tidak mengerti semua barang-barang itu, yang kutahu adalah ayahku memiliki perusahaan yang bergerak di bidang listrik dan menjadi salah satu distributor terbesar untuk pelistrikan di Indonesia.
Aku mempelajari orang-orang yang mengikuti ayahku disitu, dan salah satunya adalah seorang anak laki-laki yang kira-kira berumur lebih tua diatasku. Aku tidak mengenalnya tapi aku tahu siapa dia. Karena dia sama sekali tidak pernah bertegur sapa atau melihatku setiap kali kami bertemu. Dia orang yang sombong.
“Apakah ini Clarissa?”, tanya seorang asing yang berdiri disamping anak itu dengan ramah. Aku menoleh melihatnya dan dia terlihat seperti seumuran ayahnya.
“Ya, dia Clarissa”, jawab ayahku dengan sumringah lalu menoleh kearahku sambil berkata. “Clarissa, kau pasti belum mengenal om Alwin. Dia adalah suami dari tante Elsa”.
Ah... tante Elsa? Dia teman mama yang selalu berkunjung kerumah dengan membawa anaknya yang sombong itu kerumahku setiap seminggu sekali. Aku menyukai dia.
Tante Elsa adalah orang yang baik. Spontan aku berdiri sambil menggendong Cherry dalam dekapanku lalu menghampiri om Alwin dengan senyuman lebar dan mengulurkan tangan.
“Hai, om. Namaku Clarissa. Dan ini Cherry”, sapaku ramah. Dan langsung disambut ramah juga oleh om Alwin yang menjabat tanganku lalu memberi salam kepada Cherry. Ahhh.. dia orang yang baik juga.
“Apa kau sudah kenal anak om? Namanya Junolio, panggil saja Juno”, ujar om Alwin sambil mengusap kepala anak laki-laki yang bernama Juno itu, tapi anak itu malah langsung menepis tangan om Alwin dari kepalanya. Ugh! Kasar sekali sih?!
“Aku tahu”, jawabku sambil mengangguk dan menatapnya yang sedang menatapku dengan cueknya. Ishh!!
“Ya sudah, kamu sekarang ikut Rika. Tunggu papa di ruang kerja, jangan keluyuran disini”, ucap ayahku kemudian sambil mengusapku dengan lembut.
Kemudian ayahku kembali mengiringi rombongan om Alwin menyusuri pabrik ini sementara anak laki-laki itu membungkuk dan mengikat tali sepatunya yang lepas.
Aku masih baru akan beranjak dari situ dimana Rika, suster yang menjagaku mulai menuntunku. Langkahku terhenti saat ada karyawan pabrik sambil membawa satu keranjang berisi hasil produksi dengan susah payah melewati kami dan bertepatan dengan anak laki-laki itu yang bangkit berdiri. Brukk!! Karyawan pabrik itu tidak sengaja oleng dan menubruk bahu anak itu tapi tidak sampai jatuh. Hanya tersenggol sedikit.
“Ma..maaf, tuan muda. Saya tidak sengaja”, ucap karyawan itu dengan penuh penyesalan.
Sementara anak itu mendesis sinis kearahnya sambil menepuk bahu yang tersenggol tadi seperti mengusir debu dari bajunya. Membuat aku yang melihatnya menjadi gerah dan semakin gemas karena dia sama sekali tidak mengindahkan permintaan maaf dari karyawan itu melainkan hanya melengos saja.
“Hey kamu!!!”, seruku langsung sambil menunjuk. Spontan semua pasang mata melihatku, termasuk rombongan ayahku yang terhenti dan menoleh ke belakang.
Anak sombong yang bernama Juno itu menoleh kearahku dengan alis terangkat. “Apa?”.
“Dia sudah minta maaf. Kenapa kamu malah tidak menanggapi? Dasar anak sombong! Mentang-mentang kamu punya papa hebat lalu bisa berlaku seenaknya?! Anak yang tidak tahu sopan santun bukanlah anak yang hebat! Kau hanya mempermalukan orangtuamu saja!”, seruku lantang dengan mata yang melebar.
“Apa hubungannya dengan apa yang kulakukan bisa mempermalukan orangtuaku?”, tanyanya sinis.
“Kau tidak tahu?”, kembali aku berseru.
Anak sombong itu hanya mengangkat alisnya sambil memberikan senyuman licik. Dasar tidak tahu sopan santun!
“Baik, akan aku beri tahu!”, ucapku lagi.
Aku menyerahkan Cherry kepada Rika dan berdiri menghadapnya dengan lantang sambil bertolak pinggang. Ugh! Dia tinggi sekali. Aku hanya sampai sebatas dadanya sampai aku harus mendongak menatapnya.
Dia hanya memberikan ekspresi datar sambil memunduk menatapku dengan tatapan meremehkan.
“Satu, orangtuamu yang memberi kehidupan. Dua, kau dibesarkan untuk membuat mereka bangga. Tiga, mereka bekerja keras untuk membesarkanmu supaya kau bisa mendapat kehidupan yang layak! Dan sudah seharusnya kau membuat orangtuamu senang dengan tindakanmu!”, tukasku lantang.
Alisnya terangkat. “Jadi bagaimana kalau kita bertukar posisi? Kau menjadi anak orangtuaku dan aku menjadi anak orangtuamu”.
Eh?! Apa katanya? Kenapa aku menjadi bingung. Kenapa dia menyuruhku bertukar orangtua seperti ini?
“Maksudmu?”, tanyaku.
Dia memberikan senyuman datar. “Kau kan bilang aku mempermalukan orangtuaku. Kalau begitu kau saja yang menjadi anak mereka untuk membuatnya bangga”.
“Tidak bisa! Aku adalah anak dari papa Fabian dan mama Mona! Bukan anak dari om Alwin dan tante Elsa!”, bantahku langsung.
“Kalau begitu ya sudah. Kau tidak mau barter orangtua, jadi lupakan saja”, balas Juno sambil memgangkat bahu.
Dia hendak berbalik menjauh dariku tapi buru-buru aku mencegahnya dengan berlari kecil untuk menghadang jalannya sambil merentangkan kedua tanganku lebar-lebar.
“Clarissa, ada apa?!”, terdengar suara ayahku dari belakang tapi aku tidak mempedulikannya. Aku menatap tajam kearah Juno dimana dia hanya menatapku malas.
“Mau apalagi sih?”, tanya Juno kesal.
“Dia sudah minta maaf. Kau harus membalasnya dan bilang tidak apa-apa. Cepat!”, jawabku dengan nada tinggi.
“Non, tidak apa-apa. Saya yang salah udah nabrak tuan muda tadi”, ujar karyawan pabrik itu dengan nada tidak enak hati.
“See? Dia melakukan kesalahan dan sudah sepantasnya dia minta maaf. Kenapa aku harus...”
“Juno! Beri contoh kepada adikmu! Dia lebih muda darimu dan kau yang sudah lebih besar sudah sepantasnya memberikan contoh! Bukannya kau yang diceramahi oleh Clarissa. Lakukan apa yang harus kau lakukan sekarang!!”, terdengar suara om Alwin yang tegas dan lantang.
Aku langsung berbalik menoleh kearahnya dan ternyata ayahku dan om Alwin sudah ada dibelakangku. Spontan senyumku melebar dan menatap Juno dengan alis terangkat. Rasakan kau!
Juno mendengus kesal lalu berbalik kepada karyawan pabrik itu. “Kali ini kau kumaafkan. Aku tidak apa-apa”.
“Terimakasih, tuan muda. Maafkan saya sekali lagi”, ucap karyawan pabrik itu dan berlalu dari situ.
“Sudah.. sudah... ayo kita lanjutkan. Rika! Bawa Clarissa ke ruang kerja saya. Sekarang!”, tukas ayahku kepada suster penjagaku lalu Rika langsung menggandeng tanganku untuk menjauh dari situ dimana Juno masih menatapku tajam.
Aku berjalan saja tanpa menoleh lagi ke belakang. Memang anak yang sombong harus diberi pelajaran. Tidak boleh bersikap seenaknya saja begitu. Aku bahkan tidak menyukainya sama sekali setiap kali dia datang kerumahku. Dan aku tidak akan menyukai tipe orang seperti itu dalam hidupku sampai kapanpun. Tidak akan. Aku mencari sosok yang seperti ayahku, kalem dan baik hati. Ramah dan mencintai keluarga. Romantis dan...
“Kamu!”, tiba-tiba Juno sudah berdiri di hadapanku sambil menunjukku dengan telunjuknya. “Setelah ini aku akan membuat perhitungan denganmu! Aku akan mengerjaimu habis-habisan sampai kau menyesal telah berani mengusikku! Kau akan menangis memohon ampun padaku! Lihat saja nanti!”.
Setelah mengatakan itu, dia berlari menyusul rombongan ayahku. Meninggalkan aku yang menatapnya dengan bingung dan kaget.
Apa-apaan sih dia? Kenapa dia harus mengancamku seperti itu? Dasar anak sombong! Aku pun kembali berjalan menuju ke ruangan kerja ayahku sambil memikirkan apa yang telah diucapkan anak sombong itu.
Well... dan apa yang terjadi pada hidupku sudah jelas adalah hal yang tidak menyenangkan. Anak laki-laki itu terus mengerjaiku sampai aku menangis. Yeah...
Dia pernah menculik Cherry untuk disembunyikan dalam lemari bajuku seharian sampai aku kebingungan mencarinya.
Dia juga menumpahkan saus tomat ke gaun kesayanganku secara sengaja tapi terlihat tidak sengaja oleh ibuku sehingga tidak ada penindakan tegas kepadanya.
Dia pernah mendorongku ke kolam renang saat aku baru melakukan pemanasan saat hendak berenang di rumahku.
Dia juga pernah dengan sengaja menendang sepeda yang sedang kujalani sampai aku terjatuh dan lututku berdarah.
Dan masih banyak lagi yang dia lakukan untukku dengan dalih dia akan berhenti jikalau aku berteriak ampun padanya.
Yang benar saja?!
Sebisa mungkin aku akan menghadapinya. Aku tidak akan kalah. Aku semakin membencinya. Dan akan selalu membencinya.
Jika dia mengharapkan kata ‘ampun’ keluar dari mulutku? Kalau begitu dia harus bangun dari tidurnya untuk tidak terus bermimpi.
💮💮💮💮💮💮💮💮
Happy Reading 🤗
Seperti biasa, kasih Prolog sebagai pemanasan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top