PART. 9 - REST WELL, ALLIGATOR.

Happy weekend and happy reading to y'all. 💜



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Begitu banyak yang harus dilakukan sampai Chelsea lupa waktu. Sengaja menyibukkan diri karena tidak tahan dengan keadaan yang dihadapi, terutama tempat tinggal yang seharusnya menjadi tempat ternyaman, justru menjadi tempat yang sangat dihindarinya.

Seperti sengaja ingin membuatnya gila, Liam pulang setiap hari di jam yang hampir bersamaan dengan Chelsea. Untuk itulah, Chelsea memilih berangkat lebih awal dan pulang lebih terlambat guna menghindari Liam. Rasanya sudah tidak memiliki energi lebih untuk sekedar melihat wajah angkuh dan meladeni sikapnya yang dingin.

Hal itu sudah berjalan hampir satu bulan, namun setidaknya Chelsea menikmati pekerjaan dan kesibukannya di resto. Sudah menyelesaikan pekerjaannya lebih awal untuk hari ini, bukan karena ingin pulang tapi Chelsea harus segera mengunjungi sahabatnya yang mengalami masa tidak menyenangkan pasca hamil, dan tentu saja, suami protektifnya terus meneleponnya agar dirinya bisa datang untuk membantu.

"Thank God, you're coming!" seru Juno saat membukakan pintu untuknya, lalu mempersilakannya untuk masuk.

Tersentak, Juno langsung menarik Chelsea untuk masuk dengan tergesa. "Heh, nggak usah tarik-tarik gue kayak gini!"

"Sorry," Juno spontan melepas tangan Chelsea dengan wajah menyesal dan cemas disaat yang bersamaan. Bisa dibilang, wajah pria itu tampak begitu kacau. "Gue bener-bener nggak tahu harus gimana. Claire muntah-muntah dan nggak bisa makan. Pucet banget!"

"Kenapa lu nggak bawa ke rumah sakit tapi malah ribetin gue kayak gini?" omel Chelsea langsung.

"Kalau temen lu nggak rese, gue juga nggak bakalan cariin lu!" sewot Juno ketus.

Chelsea menghela napas sambil menyodorkan paper bag yang dibawanya pada Juno. "Gue udah buatin sup krim kesukaan Claire. Lu panasin di microwave selama semenit, nggak lebih."

"Okay," balas Juno sambil mengangguk.

"Gue samperin Claire dulu," sahut Chelsea sambil berjalan melewatinya.

Karena kondisi yang menyulitkan Claire untuk sekedar bangun dari ranjang, juga adanya acara kenegaraan dengan tamu undangan para petinggi semalam, Chelsea menggantikan sahabatnya untuk memimpin sebuah jamuan yang diselenggarakan di hotel tempat Claire bekerja. Itu saja sudah membuatnya pulang larut malam.

Pagi ini, Chelsea memenuhi enam permintaan pesanan catering dan jamuan makan siang di dua perusahaan yang berbeda. Sungguh suatu hal yang langka terjadi pada dirinya sejak membuka restoran sendiri, terlebih lagi permintaan di hari Senin seperti ini.

Lelah, itu sudah pasti, kepalanya pun terasa pening karena kurangnya beristirahat. Kepenatan hari ini dilengkapi dengan Juno yang meneleponnya puluhan kali dengan ratusan chat yang tidak sanggup dibacanya karena sibuk sekali. Intinya adalah Claire menginginkan makanan buatan Chelsea. Bahkan, dirinya belum sempat berganti pakaian dan masih mengenakan pakaian chef-nya dikarenakan Juno yang begitu mendesaknya untuk segera tiba di sini.

"Sorry, Chels, jangan kesel gitu," ucap Claire saat Chelsea sudah masuk ke dalam kamarnya. "Gua pun udah capek sendiri ngeliat Juno yang nggak jelas kayak gitu. Segala macam makanan disodorin, padahal gue udah bilang nggak mau."

"Udah masuk bulan berapa, sih? Kok masih aja rewel?" tanya Chelsea sambil memperhatikan Claire yang sedang duduk bersandar di bantal yang disusun tinggi dengan wajah yang begitu pucat.

"Due date bulan depan," jawab Claire pelan sambil membuka sebungkus wafer coklat. "Udah mulai mules nggak jelas, trus mual."

"Kalau kayak gini, kenapa lu nggak aju cuti aja?" tanya Chelsea lagi dan mengambil duduk di tepi ranjang sambil memperhatikan Claire dengan seksama.

"Udah, start minggu depan, jadinya gue mesti oper kerjaan ke chef pendamping," jawab Claire pelan.

"Gue ada bawain sup krim dan lagi dipanasin sama Juno," ucap Chelsea.

Claire mengangguk sambil mengunyah wafernya. "Makasi, gue kepengen makan sup krim jamur buatan lu. Bikin sendiri malah nggak suka."

"Bilang aja pengen ribetin gue," celetuk Chelsea sambil tersenyum pelan.

Tidak lama kemudian, Juno datang sambil membawa semangkuk sup krim beserta dengan meja lipat khusus untuk makan di ranjang. Chelsea segera mengambil alih sambil menatap Juno yang tampak begitu kacau di sana.

"Udah sana, lu healing dulu kemana kek, biar Claire sama gue," ujar Chelsea yang sukses mengambil perhatian Juno untuk melihat ke arahnya.

"Kalau dia kenapa-napa, gimana?" tanya Juno ketus.

"Ini juga udah kenapa-napa dan lu nggak bisa ngapa-ngapain selain telepon gue, kan?" balas Chelsea sinis. "Sana, pergi dulu! Gue gerah liat lu yang konyol gitu. Biar gue lebih waras juga supaya nggak tambah capek karena harus ladenin kelebayan lu."

Juno terdiam cukup lama, tampak ragu dan melirik Claire dengan penuh penilaian.

"I'll be fine, Babe. Just go," ujar Claire tanpa melihat ke arah Juno, terbukti jika pasangan itu sudah pasti bertengkar hebat sebelum kedatangannya.

Juno kembali melihat Chelsea dengan tatapan berharap. "Kalau ada apa-apa, telepon gue."

"Itu udah pasti," ujar Chelsea sambil menaruh meja yang sudah ada semangkuk sup diatasnya tepat di hadapan Claire.

Juno pun berlalu tanpa berkata apa-apa dan meninggalkan mereka berdua saja di kamar itu.

"Cowok dengan kelebayannya," gumam Claire sambil mengusap kening dan membetulkan posisi duduk untuk meraih sendok setelah menghabiskan wafernya.

Claire menyendok penuh minat, meniupnya pelan, lalu mencicipi sedikit, dan menyuapi dirinya setelahnya. Terlihat senang, Claire menekuni sup itu dalam diam dimana Chelsea hanya memperhatikannya dengan penuh prihatin.

"Hamil tuh capek banget, ya?" tanya Chelsea pelan.

Claire mengangkat tatapan untuk melihatnya dan mengangguk. "Tapi kayaknya lu yang lebih capek."

"Jalanin hidup itu emang capek, nggak ada yang enteng," balas Chelsea jujur.

Memperhatikannya sejenak, Claire menaruh sendok dan menatap Chelsea dengan penuh penilaian. "What the hell happened? Gue nggak pernah liat lu yang lesu kayak gini even secapek apapun."

Mengangkat bahu, Chelsea hanya tersenyum masam. "Live my life day by day."

"Om suami bikin masalah sama lu?" tanya Claire dengan mata melebar kaget.

"As always," jawab Chelsea langsung. "Kayaknya emang nggak bakalan bisa buat bareng."

"Jadi, lu mau cerai?" tanya Claire lagi.

Chelsea kembali mengangkat bahu. "Sebulan ini, gue udah berusaha maksimal, tapi kayaknya makin capek. Energi gue kayak terserap habis gimana, sih?"

"Kalau misalkan udah nggak sanggup, jangan dipaksain."

"Gue pun nggak mau maksain diri, tapi lagi dalam tahap menjauh supaya nggak kehabisan energi aja. Kalau liat Liam, bawaannya udah emosi."

"Itu tandanya memang nggak bisa ya."

Chelsea tidak menjawab dan hanya mengiyakan dalam hati. Kenyataan yang menyedihkan, berharap jika pernikahan sekali seumur hidup itu bisa terjadi dalam hidupnya, nyatanya tidak semudah itu. Semakin Chelsea berusaha, maka Liam akan semakin mencari masalah. Seolah pria itu enggan untuk berkompromi dan hal itu sudah menyakiti perasaan Chelsea sebagai seorang wanita.

"Gua ada bawain kaldu ayam yang udah digodok selama 10 jam, exactly the way we like it. Lu bisa bikin bihun atau udon pake kaldu itu," ucap Chelsea kemudian.

Claire mengangguk sambil tersenyum. "Thanks, Chels. Sorry udah repotin. Gue rasa lu butuh tidur karena udah capek banget. Lu nggak terlihat baik-baik aja."

"Gue memang merasa nggak baik-baik aja. Kepala gue kayak pusing gitu," balas Chelsea.

"Lu nyetir sendiri ke sini?" tanya Claire dan Chelsea mengangguk. "Baliknya pake supir gue aja, Chels."

"It's okay, ini masih jam tujuh, harusnya nggak apa-apa. Gue pulang dulu, besok balik lagi, okay? Jaga diri lu supaya Juno nggak kacau kayak tadi," ucap Chelsea sambil beranjak dan segera menahan Claire yang ikut beranjak.

"Gue..."

"Lu disini aja, nggak usah kemana-mana, gue bisa sendiri," potong Chelsea sambil menyingkirkan meja makan lipat ke pinggir, lalu menaikkan selimut pada Claire. "Yang penting, lu cukup makan dan cukup istirahat."

"Tapi..."

"Nggak ada tapi. Gue telepon Juno dan beresin ini dulu sambil tunggu dia balik. Abis itu, gue cabut," potong Chelsea lagi, kali ini dengan nada tegas.

Claire menurut. Chelsea masih duduk selama beberapa saat atau sampai Claire tertidur. Begitu temannya sudah terlelap, Chelsea segera membawa meja makan lipat dan keluar dari kamar dimana Juno sudah berdiri sambil bersandar di tembok dan melihatnya datar.

"Claire tidur?" tanyanya tanpa basa basi.

"Udah," jawab Chelsea sambil membiarkan Juno mengambil alih meja makan lipat itu.

"Sori kalau udah repotin," ujar Juno kemudian, lalu berjalan menuju ke pantry.

"Daritadi lu nggak keluar buat cari angin biar nggak kacau?" tanya Chelsea dengan satu alis terangkat dan Juno berbalik setelah menaruh meja itu.

"Buat apa? Claire lagi susah trus gue main keluar buat cari enaknya sendiri, gitu? Even kalian bilang gue lebay, gue nggak peduli. Seperti inilah gue diajarin untuk hargain cewek yang udah susah payah buat lahirin keturunan gue," jawab Juno angkuh.

Harusnya ucapan Juno membuat Chelsea merasa terharu karena sikapnya yang cukup membuat wanita manapun melayang, tapi tidak dengan caranya yang begitu sombong.

"Ya udah, lu urus Claire deh, gue balik dulu," ujar Chelsea kemudian.

"Mau supir gue anterin? Muka lu kayak mau pingsan gitu masih bisa nyetir?" tanya Juno.

"Senggaknya, gue masih bisa samperin buat tolongin laki bini yang lagi nggak baik-baik aja," jawab Chelsea yang membuat Juno berdecak pelan. "Jangan sampe lu nggak makan juga. Di paper bag tadi, gue ada bawa banyak makanan."

"Of course, gue udah makan. Emang lu pikir gue bakalan berdiri kayak orang bego depan kamar tanpa kepohin bawaan lu? Yah laper lah," celetuk Juno sambil terkekeh.

Memutar bola mata, Chelsea menggelengkan kepala sambil meraih tasnya dan berjalan menuju ke pintu disusul Juno.

"Thanks for everything Chels," ujar Juno saat mereka berhenti di depan lift dan menekan tombol untuknya.

"Sama-sama, besok gue balik lagi," balas Chelsea kalem.

Juno melebarkan senyuman sambil mengangguk bersamaan dengan dentingan pintu lift yang terbuka. Setelah undur diri, Chelsea segera masuk dan menghela napas sambil memejamkan mata karena denyutan pelan di kepala. Sangat lelah, itulah yang dirasakannya, dan rasanya ingin segera merebahkan diri di ranjang saat ini.

Begitu dia sudah tiba di lantai pelataran parkir, Chelsea segera keluar dan berjalan menuju ke mobilnya yang terparkir tidak jauh dari pintu masuk gedung apartemen itu. Langkahnya terhenti saat melihat dua pria bersetelan resmi menghadang langkahnya, tidak jauh dari posisi mobilnya terparkir.

Dengan kening berkerut, Chelsea menatap keduanya secara bergantian. Penampilan mereka terlihat menakutkan dengan postur tubuh besar dan mengintimidasi. Chelsea sangat yakin jika tempat tinggal Juno dan Claire memiliki keamanan yang cukup ketat dan tidak akan membiarkan adanya kejahatan terjadi di sekitar sini, termasuk pelataran parkir.

"Selamat malam, Bu," sapa keduanya sambil membungkuk seolah memberi hormat.

"Siapa kalian?" tanya Chelsea dingin. Mulai merasa tidak senang dengan kesan familiar yang selalu didapatinya jika sedang berada di rumah perkebunan Liam.

"Kami diminta Bapak Liam untuk menjemput Anda," jawab salah satu dari mereka.

Chelsea mendengus sambil menatap tidak suka. "Darimana kalian tahu saya ada di sini?"

Keduanya kompak terdiam sambil menatap Chelsea dengan tatapan yang tidak terbantahkan, tanda bahwa Chelsea tidak akan mendapat jawaban atas pertanyaannya. Menghela napas, Chelsea bergeser untuk melanjutkan langkah ke mobil, tapi kedua orang itu kembali menghadangnya.

"Really?" desis Chelsea geram, seiring dengan denyutan di kepala yang semakin terasa.

Perasaannya semakin tidak nyaman dengan adanya pengintaian kampungan seperti ini. Entah kenapa sejak dirinya sudah menikah dengan pria tua itu, hidupnya seperti diawasi dari kejauhan, dimanapun dirinya berada dan apapun yang dilakukan. Emosi mulai beranjak naik ketika menyadari jika Liam tidak hanya ingin memenjarakan dirinya di rumah besar itu dengan kesunyian dan ketenangan, tapi juga dari kejauhan.

"Maaf sekali, Bu, ini sudah malam dan kondisi Anda tidak diperkenankan untuk membawa mobil ini sendiri. Biarkan saya yang membawanya, sedangkan Anda bisa duduk di kursi belakang. Dan demi kebaikan bersama, lebih baik kita lakukan dengan cara baik-baik karena kami tidak ingin melakukan kekerasan meski Bapak memperbolehkan kami untuk bertindak tegas jika Anda menolak," tegas salah satunya tanpa ekspresi.

Apa katanya? batin Chelsea sambil mengerjap tidak percaya. Dasar banci!

"Dan kalau saya tetap nggak mau?" ujar Chelsea dengan satu alis terangkat.

Orang itu mengambil sesuatu dari saku celana dan mengangkatnya sambil menekan bertepatan dengan bunyi bip dari mobil Chelsea, dan salah satu dari mereka segera bergerak untuk berjalan ke sisi mobil dan membukakan pintu belakang untuknya yang masih tercengang melihat semuanya itu.

Chelsea menunduk untuk memeriksa tas tangannya dimana kunci mobilnya masih berada di dalam tasnya. What the heck!

"Silahkan masuk, Bu. Kami hanya melakukan perintah dan jika Anda tidak terima, Anda bisa melayangkan keberatan kepada Bapak langsung nanti," ucap orang yang sudah membukakan pintu sambil mengarahkan tangan untuk mempersilahkannya masuk.

"Saya akan ikut setelah kamu jawab pertanyaan saya," ucap Chelsea dingin. "Darimana kalian tahu kalau saya ada di sini?"

"Karena kami mengikuti Anda sejak Anda keluar dari restoran tadi sore," jawabnya lugas.

Tercengang, juga merasakan denyutan yang semakin kencang di kepala, Chelsea sudah tidak tahan untuk membuang waktu dengan hanya berdiri untuk menghadapi dua pria besar yang tidak kalah menyebalkan seperti Liam. Yang pasti, Chelsea tidak akan membiarkan Liam bertindak semena-mena pada dirinya.

Sambil menahan diri untuk tidak histeris, Chelsea berjalan cepat menuju ke mobilnya dan duduk di kursi belakang, membiarkan dua pria itu mengambil alih mobilnya dengan duduk di bagian depan.

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah sialan itu, Chelsea tidak habis-habisnya merutuk Liam atas apa yang sudah dilakukan pria tua itu. Baginya, Liam sudah tidak wajar dan hal ini merupakan pelanggaran hak asasinya sebagai wanita sial yang harus terjebak dengan pernikahan dengannya.

Terlalu banyak menahan diri, juga amarah yang seperti hendak meledak, Chelsea merasa semakin lelah dan lemah seolah tidak berenergi. Tubuhnya sampai bergetar, seiring dengan rasa nyeri di kepala yang menguat, dan matanya yang terasa memanas hingga berair.

Chelsea seperti itu selama satu jam perjalanan hingga saat tiba di rumah itu, energinya seolah terkikis habis tak bersisa. Namun sebelum benar-benar habis, Chelsea perlu membuat perhitungan dengan Liam yang sudah bertindak seenaknya. Begitu mobil berhenti tepat di depan lobby, Chelsea langsung keluar dan menutup pintu mobil dengan kencang, lalu langsung masuk ke dalam rumah dimana Liam sepertinya sudah menunggu kepulangannya.

Sambil bersidekap, Liam menatapnya dingin dan begitu angkuh hingga Chelsea ingin melempar apapun ke wajah sialannya.

"Kamu!" seru Chelsea sambil menunjuknya saat sudah berhenti beberapa langkah dari posisi Liam berdiri. "Bener-bener kelewat kampungan jadi orang! Mau ngapain kamu bayar stalker receh kayak gitu, hah? Nggak puas udah nyiksa orang tinggal di rumah ini? Masih aja pake nguntit orang segala!"

"Pulang malam tiap hari, bahkan pulang tengah malam kemarin, ini yang dilakuin seorang istri? Kalau kamu masih niat jadi istri orang, bersikaplah dengan benar, jadinya aku nggak perlu maksa kamu pulang kayak gini," balas Liam dingin.

"Istri yang benar? Emangnya kamu udah jadi suami yang benar? Sebelum kamu ngomongin orang, mendingan ngaca dulu! Aku tuh nggak suka yah kamu lakuin hal kayak gitu lagi! Kampungan banget, tahu gak?" desis Chelsea yang semakin geram.

Liam hanya menyeringai dan terkesan tidak kaget dengan kekesalan Chelsea. Dia benar-benar menunjukkan sikap santai yang semakin membuat Chelsea mendidih.

"Bukannya kamu capek banget hari ini? Masih bagus ada yang nyetirin pulang, kan? Kenapa harus marah-marah? Oh, aku lupa kalau marah itu emang udah jadi hobi, bukan begitu?" ejek Liam sinis.

"Oh, makasi banyak loh, Om, sungguh inisiatif yang sangat baik banget buat Dedek tukang marah ini sampe harus dijemput orang!" balas Chelsea sambil bertepuk tangan dan menggelengkan kepala.

"Sama-sama, Dek," sahut Liam tanpa ekspresi.

"Kamu yang bikin peraturan untuk nggak ikut campur urusan masing-masing, tapi kamu juga yang melanggar dengan kirim orang buat maksa dianter pulang kayak tadi! Katanya kamu kasih mereka berbuat kasar kalau aku nggak mau, kamu tuh bener-bener... Ugh!" ucapan Chelsea terhenti karena denyutan sakit di kepala terasa begitu hebat hingga membuatnya mengernyit dan memejamkan mata sesaat.

Dia benci dengan posisi tak berdaya seperti ini padahal sudah memiliki banyak umpatan untuk dilayangkan, tapi semakin dirinya meluapkan emosi, maka rasa sakit di kepala terasa semakin hebat.

"Well?" ucapan Liam membuat Chelsea kembali membuka matanya, kali ini penglihatannya tidak begitu jelas, sedikit buram, dan seperti ada dua Liam di hadapannya.

Lucunya, hal ini membuatnya delusional karena menangkap sorot cemas dari wajah Liam dan bukan ekspresi dingin seperti sebelumnya.

"Fine, today is your luck," ucap Chelsea setelah menghela napas. "Aku akan balas kamu nanti, lihat aja!"

Berbalik untuk menaiki anak tangga karena ingin segera menuju ke kamar, Chelsea merasa seperti melayang dan bumi seperti berputar di sekelilingnya. Berpikir jika dirinya akan jatuh, tapi satu cengkeraman kuat terasa di lengan kirinya, lalu bertubrukan dengan sesuatu yang keras namun hangat.

"Stubborn," ucap Liam geram. "Udah tahu lagi sakit, tapi masih aja gengsi dan ngotot buat pulang sendiri."

Chelsea tidak sanggup membalas karena tidak mampu membuka mata oleh karena rasa pusing dan denyutan nyeri di kepala. Dia merasa jika tubuhnya sudah melayang dan sudah berada dalam gendongan seiring dengan aroma maskulin yang tercium menyenangkan di hidungnya. Mencoba membuka matanya sedikit, Liam tampak begitu datar dan mulai melangkah untuk menaiki tangga.

Gue lagi halu kayaknya, batin Chelsea tidak percaya dengan kenyataan Liam menggendongnya untuk ke kamarnya sekarang. Benar-benar delusi yang menyebalkan.

Meski Chelsea kembali memejamkan mata, tapi dia bisa merasakan jika Liam merebahkannya di ranjang, melepaskan sepatunya, dan mengusap keningnya perlahan. Terdengar gumaman tidak jelas dari Liam, sepertinya sedang memaki atau mengumpat, entahlah, Chelsea merasa tidak sanggup untuk melakukan apa-apa.

Sampai akhirnya, Chelsea langsung terlelap begitu saja tanpa menyadari adanya kecupan ringan mendarat di keningnya dan bisikan hangat berupa "Rest well, Alligator."




🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Sumpah ya! Aku nulis scene terakhir sambil senyum trus memekik sendirian karena halunya enak banget 🤣

Apa kabar hatinya kamu disana?
Masih aman?
Kalau aku udah nggak aman. 😭
Untuk hati sekenyal jelly dan serapuh wafer kek gini, rasanya cukup lelah untuk nulis Om ini.
Biar gitu tapi seneng gimana sih? 🤣
Ngerti banget kan maksudnya?

Om, kenapa kamu main cium? 🙈

Dedeknya cantik banget ya, Om. 🥺

01.07.22 (21.50 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top