PART. 7 - PICNIC

Sheliu lagi ngegas banget be lyke... 🤣

Ciyeeee yang hepi kek yang nulis.
Halu itu emang enak ya.
Pas balik ke kenyataan, langsung mual.
😌😌😌😌



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Sesuai dengan yang diinginkan, Chelsea menarik napas dan mengembuskannya dengan perasaan yang cukup senang. Pemandangan indah, udara yang segar, danau yang tenang, juga berdiri di atas rerumputan dengan bertelanjang kaki. Sungguh, kesemuanya itu adalah kesukaannya dalam mengeksplorasi, meski teman pikniknya bukanlah orang yang menyenangkan.

Liam yang menginginkan ketenangan benar-benar seperti patung berjalan. Tidak ada pembicaraan, tidak ada musik yang menyertai mereka di dalam mobil, meski Chelsea bersikeras untuk naik sepeda tapi Liam menolak mentah-mentah dan hanya memberi respon dingin lewat wajahnya yang tidak pernah ramah.

Meski demikian, rasa dongkol Chelsea menguap begitu saja saat sudah tiba di tepi danau, dimana sepertinya area itu masih menjadi bagian dari rumah perkebunan Liam karena tidak adanya orang lain selain mereka berdua. Sementara itu, terlihat perbatasan dari area danau dengan hutan yang masih terlihat oleh Chelsea dari posisinya berdiri.

"Kamu suka alam?" tanya Liam dengan nada malas.

Chelsea menoleh dan mendapati Liam sudah berdiri disebelahnya sambil menatap sekeliling dengan sorot mata tajam, berbanding terbalik dengan Chelsea yang antusias.

"Yes," jawab Chelsea dan Liam pun menoleh padanya.

"Anak muda kayak kamu suka beginian," ujarnya dengan nada mengejek.

"I'm an old soul, Uncle," sindir Chelsea ketus. "Anggap aja poin lebih buat kamu karena ada keseimbangan antara om-om dengan anak muda."

"I'm not sugar daddy," balas Liam dengan nada tidak terima.

"And I'm not sugar baby," tambah Chelsea santai. "I'm just a poor girl who got stuck with you."

Tidak ingin melanjutkan perdebatan karena sepertinya Liam akan membalas, Chelsea segera berbalik untuk mengambil keperluan piknik yang sudah tersedia dan segera mempersiapkannya. Dia melebarkan alas kain bermotif kotak-kotak merah sebagai alas duduk, meletakkan keranjang rotan yang berisikan makanan, lalu mengeluarkannya untuk disajikan selagi hangat.

"Tangannya masih sakit?" tanya Liam sambil duduk di sisi kosong yang sudah beralaskan kain.

"Nggak usah pake tanya, kalau mau bantu, ya bantu aja," jawab Chelsea sambil melirik judes pada Liam tanpa berhenti melakukan apa yang dilakukannya.

Kedua tangan diperban dan dibebat begitu kuat oleh Liam, seolah pria itu pernah memenangkan piagam dalam melakukan pertolongan pertama di sekolahnya dulu. Begitu apik, bahkan Chelsea tidak merasakan sakit meski terkadang ada sedikit rasa nyeri tapi itu tidak seberapa.

"Aku tanya untuk mastiin kalau kamu butuh bantuan. Kalau memang nggak, ya udah, lanjutin aja sendiri," ujar Liam santai dan sukses membuat Chelsea kembali merasa dongkol.

Seolah tidak mempedulikan dirinya, Liam menaruh dua tangan ke belakang sebagai penyangga tubuh sambil berselonjoran untuk melihat sekitarnya dalam diam. Tidak ada yang bisa dilakukan Chelsea selain mengumpat dalam hati sambil menyiapkan makanan dengan banyaknya pikiran yang memenuhi isi kepala.

Chelsea menyukai kehidupan. Dia selalu memiliki semangat baru saat membuka matanya di pagi hari, dan tidak menyukai kalau malam tiba di saat dia harus menutup mata. Ada begitu banyak yang harus dilakukan, juga begitu banyak yang harus direncanakan. Seolah-olah waktu tidak cukup untuk dirinya menyelesaikan sesuatu yang ingin dikerjakan. Dan dengan pribadinya yang seperti saat ini, hal yang paling sulit dipahami dirinya adalah bahwa Liam adalah orang yang tertutup.

Pria itu begitu diam, menutup diri, dan terkesan tidak peduli dengan apa yang ada di sekelilingnya. Chelsea sampai tidak habis pikir kenapa di dunia ini ada orang yang memilih hidup menyendiri seperti itu. Tidak heran jika Liam menjadi sosok angkuh, penyendiri sampai harus dinikahkan lewat perjodohan orangtua dan dirinya yang menjadi satu-satunya korban di sini.

Chelsea menarik nafas sesaat mengingat hal itu lagi. First thing first, dia harus berdamai dengan keadaan yang artinya dia harus mencoba menjaga sikap dengan berusaha melunak kepada Liam. And feeding him is like a good place to start. Pria sangat menyukai makanan dan kebetulan makanan adalah keahliannya, Chelsea tidak masalah soal itu. Seperti apa yang pernah disampaikan ibunya bahwa untuk memenangkan hati seorang pria itu mudah, yaitu hanya lewat makanan yang enak dan senyuman yang hangat. Dan dia berharap ibunya tidak salah soal itu meskipun untuk berdamai dengan seorang yang arogan seperti ini adalah hal yang mustahil untuk dirinya.

"Aku juga suka suasana kampung dengan alam terbuka kayak gini," suara Liam membuyarkan pikiran Chelsea.

"Sering duduk buat healing atau ajak pacarnya buat piknik di sini?" tebak Chelsea sambil menyodorkan sebuah piring kecil pada Liam.

"Ini pertama kalinya aku ngerasain yang namanya piknik dan duduk di sini. Selain kamu, nggak ada siapa pun yang pernah datang ke sini," balas Liam jujur.

Satu alis terangkat, Chelsea menatapnya dengan ekspresi tidak percaya. Bukankah mulut laki-laki memang tidak bisa dipercaya? batin Chelsea.

"Jadi, aku adalah orang pertama yang datang dan ajak kamu piknik ke sini, gitu?" tanya Chelsea dengan tenang, tapi sepertinya nada ejekan tidak terelakkan sehingga membuat Liam mendengus pelan.

"Kamu suka banget ya cari masalah?" celetuk Liam dengan nada tidak suka.

"Nggak, aku malah bersyukur banget loh jadi yang pertama di sini," sahut Chelsea dengan nada riang yang dibuat-buat.

Terkekeh pelan melihat Liam yang semakin tidak senang, dia memberikan sepotong roti dan memberi pelengkap berupa keju, daging ham, mustard, dan sayuran segar di atas piring yang dipegang Liam.

"Kamu bikin roti?" tanya Liam heran.

Chelsea mengangguk. "Cuma roti biasa. Nggak pake ragi dan nggak ada yang spesial dari bahannya tapi cukup enak kok. Percaya deh."

"Maksudku, kenapa harus repot-repot bikin roti padahal tinggal beli?" tanya Liam lagi.

Memutar bola mata, Chelsea merasa lelah dengan pertanyaan bodoh seperti itu. "I'm a chef and I love everything fresh. That's why I made it."

"Beli di toko itu lebih simple dan efisien," balas Liam kalem dan mulai menggigit sandwich buatannya dan matanya langsung melebar kaget.

"Simple isn't always better," cetus Chelsea bangga melihat Liam terlihat begitu menikmati makanannya. "Enak, kan?"

Liam menjawabnya dengan anggukan kepala dan mulut yang sibuk mengunyah hingga sudut bibirnya berlumuran mustard. Terkekeh geli, Chelsea meraih serbet untuk mengusap sudut bibir Liam dengan riang, lalu mulai mengambil mangkuk yang sudah berisi sup krim tanpa memperhatikan Liam yang tertegun dengan aksi ringannya barusan.

"Makan pake sup ini biar lebih enak. Cuacanya adem, jadinya lebih seru kalau makan yang ringan dan hangat kayak gini," ujar Chelsea sambil menyodorkan mangkuk itu pada Liam, lalu kemudian mengambil sup krim untuk dirinya.

"Well, kamu terniat untuk piknik seperti ini," gumam Liam pelan.

Chelsea menoleh sambil menikmati sup krim dan menatap Liam yang masih menikmati sandwich-nya. "Btw, untuk cowok kayak kamu, rasanya nggak mungkin tinggal di rumah kayak gini. Biasanya kan sukanya yang metropolis, tinggal di apartemen yang agak fancy."

"Aku nggak suka keramaian, juga nggak suka suasana kota. Lagian, sorry to say kalau aku bukan eksmud newbie yang kerjaannya suka pamer ini itu," ucap Liam santai.

"Karena itu makanya kamu berhak buat nyombong?" tanya Chelsea yang membuat Liam menoleh padanya dengan ekspresi heran.

"Nyombong dalam hal apa?" tanya Liam.

"Kayak gini. Arogan dan tertutup," jawab Chelsea.

Liam mengerutkan kening dan terdiam menatap Chelsea, lalu menggelengkan kepala sambil bergumam sesuatu yang tidak bisa didengar Chelsea.

"Apa hubungannya aku yang tinggal di rumah ini dengan asumsi kamu tentang aku yang seolah udah kenal lama?" tanya Liam ketus. "Aku nggak banyak ngomong, punya ekspresi yang nggak bisa santai, dan jarang senyum bukan berarti aku perlu lakuin sesuatu dari penilaian orang yang nggak valid."

"Anggap aja aku berusaha untuk kenal kamu," balas Chelsea dan Liam hanya tersenyum sinis.

"Ini usaha kamu untuk mengenal orang? Salah besar, Chelsea. Apa yang kamu lakuin sekarang adalah sebuah paksaan diri untuk berdamai dengan orang asing atau bisa jadi orang yang nggak kamu sukai. Mengenal orang bukan dengan adanya tanya jawab atau semacam wawancara kayak gini," sahut Liam sambil mengangkat kedua alisnya.

"Kamu bukan orang yang mudah untuk diajak berteman," balas Chelsea lagi.

"Bukan berarti nggak bisa berteman," koreksi Liam cepat. "Hanya saja, dunia terlalu banyak kemunafikan dan aku merasa nggak perlu terlalu banyak berpura-pura. Been doing just fine on my own most of my life."

"No family and friends then," tambah Chelsea.

"Why would you say that?"

Chelsea mengangkat bahu sambil mengambil sepotong roti dan menggigitnya pelan. "Kalau kamu emang punya keluarga atau teman, kamu nggak mungkin sendirian kayak gini. Rumah sebesar ini, tapi nggak ada yang pernah datang ke sini."

"I called it as a privacy," ucap Liam.

"I don't think so," balas Chelsea. "Kamu terlalu banyak aturan, sampai semua orang mungkin nggak tahan sama aturan yang kamu buat. Bisa jadi, kamu terlalu keras sama diri sendiri sampai kamu jadi nggak happy sama hidupnya sendiri."

Liam terdiam sejenak sambil menatap Chelsea sesaat, lalu menghela napas. "Are you always this direct?"

"Tergantung," jawab Chelsea langsung. "Jadi, berlanjut dengan bahasan kita hari ini, kita mulai dari apa yang kamu suka, dan apa yang kamu nggak suka."

Liam mengangguk. "Aku mau suasana tenang seperti semula karena sejak kamu ada di sini, hal itu jadi susah aku dapatkan beberapa hari belakangan ini."

Seperti ada nada sindiran tapi Chelsea mengabaikan dengan kembali mengigit rotinya. "Aku masih nggak ngerti maksudnya karena tempat ini adalah tempat paling tenang dan damai."

"Tempatnya iya, tapi ada satu orangnya yang nggak," sindir Liam dan memasukkan gigitan terakhir sandwich dengan ekspresi tidak suka.

Chelsea hanya mengusap kening sambil menghela napas lelah. Sekali lagi. Dia mengingatkan diri untuk bersabar karena masih berusaha untuk berdamai dengan keadaan. "Fine, I will quiet like a mouse."

Liam tidak membalas dan beranjak dari duduknya dalam diam. Tidak berkata apa-apa, pria itu langsung pergi meninggalkan Chelsea begitu saja seolah enggan untuk berlama-lama di situ.

Kembali menghela napas, Chelsea mengawasi kepergian Liam dengan masam sambil menggerutu. "Apa katanya yang ambil hati cowok itu gampang? Muka badak, hati iblis, kelakuan kayak gitu. Nggak gue lempar pake mangkok aja udah bagus."





🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Chelsea adalah aku kalau lagi sebel sama orang. 🤣

Udah puas lah ya double update.
Hati udah terlalu berbunga2 dan bibir nggak berenti senyum karena kehaluan ini.

Jadi, siapa yang pengen tabok si Om?
Aku mah nggak, terlalu sayang soalnya. 🙃

Duh, Dedek Chelsea cantik sekali. 😍


21.06.22 (21.40 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top