PART. 6 - THE LIGHT KISS

Gemes dong sama si Om?
Ya, gemes dong. Masa nggak? 🤣



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Setelah melakukan perjalanan bisnis yang cukup padat selama hampir satu minggu, satu hal yang sangat jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan Liam adalah pulang ke rumah perkebunannya. Biasanya, hanya beberapa bulan dalam sekali, tapi kali ini, dia merasa perlu untuk kembali ke rumah itu.

Sesuai dugaan, rasa tidak senang menyapanya saat tiba di perkebunan itu. Seorang asistennya mengatakan jika Dylan sialan itu datang untuk berkuda. Bajingan tidak tahu diri yang masih memiliki muka untuk menumpang ranch-nya menaruh kuda jeleknya itu. Dan yang membuatnya semakin tidak senang adalah pria itu berkenalan dengan Chelsea yang katanya melakukan kegiatan amal berupa membagi makanan dan berjalan pagi di setiap harinya.

Sebenarnya, tidak ada masalah bagi Liam untuk Chelsea melakukan apa saja. Tapi berkenalan dan mengobrol akrab dengan Dylan di area ranch selagi dirinya tidak ada seolah sudah bermain serong di depannya. Untuk itulah, dia tidak menolerir tindakan yang dinilainya tidak pantas, apalagi Chelsea masih terhitung asing baginya.

Permasalahan baru pun terjadi saat Liam melihat bagaimana Chelsea menahan diri dengan melukai tangannya sendiri lewat mengganggam erat mawar-mawar sialan yang dibawanya. Entah apa yang ada dalam pikirannya sampai harus semarah itu. Bukankah Liam yang seharusnya lebih berhak marah?

Kedua telapak tangan itu terluka dengan masing-masing memiliki satu luka yang cukup dalam. Tidak mengeluh atau menangis, Chelsea membiarkan dirinya membersihkan luka dan mengobati lukanya, juga memberi plaster sebagai akhir dari perawatan.

"Lain kali, nggak usah bawa-bawa mawar! Lihat sendiri hasilnya, tangan kamu jadi berdarah," tegur Liam sambil mengangkat tatapan untuk melihat Chelsea yang menatapnya dengan ekspresi tidak suka.

Kening berkerut, alis bertautan, mata menyipit tajam, dan bibir menekuk dari Chelsea adalah paduan menyebalkan tapi cukup menggelikan bagi Liam.

"Lain kali, nggak usah pulang trus marah-marah kayak om-om rese. Bikin emosi terus!" balas Chelsea ketus.

Terdiam, meski dalam hatinya sudah tersenyum, Liam hanya bisa menahan diri untuk tidak tertawa dengan mempertahankan ekspresi datarnya. Sangat kekanakan sekali, pikirnya.

"Masih ada yang sakit?" tanya Liam kemudian.

Chelsea mengangguk sambil menunjuk dadanya. "Sini. Sakit banget sampe kepengen lempar ulekan ke muka orang."

"Maksudnya muka aku?" balas Liam masam dan Chelsea mengangguk tanpa ragu.

Liam mengangguk dan memanggil Marsih untuk membawakan barang yang diinginkan Chelsea. Tentu saja, wanita muda itu kebingungan dan menatapnya dengan tatapan seolah dirinya gila. Liam tidak peduli. Mungkin saja apa yang sudah dilakukannya menyakiti Chelsea, dan sudah sepantasnya dia mendapat ganjaran sesuai dengan keinginannya.

"Kamu tuh gila, ya!" seru Chelsea saat Liam menyodorkan ulekan yang disebutnya tadi.

"Kenapa? Bukannya tadi kamu bilang mau lempar ulekan ke muka aku? Nih, lempar aja," balas Liam dengan nada seolah tidak ada yang perlu dipermasalahkan saat ini.

Chelsea tertegun dan menatap Liam tidak percaya. Merasa bahwa wanita itu sudah membuang waktu, Liam meraih satu tangan Chelsea untuk memegang ulekan dan mengarahkannya untuk segera melakukan apa yang diinginkannya. Tapi, Chelsea justru menahan tangannya sambil meringis menahan sakit.

"Jangan mulai lagi, yah, ini sakit," ujar Chelsea dengan suara gemetar.

"Siapa yang mulai? Kamu yang mau dan aku penuhin."

"Tapi nggak beneran juga kali!"

"Kenapa nggak? Kalau ngomong, itu harus dibuktiin."

"Biar apa?"

"Biar nggak penasaran karena udah mencoba."

"Tapi nggak gitu konsepnya!"

"Jadi seperti apa konsepnya? Ulekan diganti bibir? Boleh! Sini, aku contohin!"

Tangan Chelsea yang masih dalam genggaman Liam ditarik pelan hingga posisi Chelsea sedikit maju dan disambut Liam untuk mendekatkan wajahnya, lalu mendaratkan sebuah kecupan ringan di bibir Chelsea dengan santai.

Tentu saja, Chelsea memekik histeris sambil menjauh dan menutup mulutnya, melotot galak pada Liam yang tampak begitu santai seolah tidak terjadi apa-apa. Tangan Chelsea pun dilepaskan dan dia sudah beranjak berdiri karena waktu bermain sudah habis.

"Kamu bener-bener keterlaluan! Kamu lupa perjanjian kita!" seru Chelsea sambil menunjuknya tidak terima.

"You said no sex," balas Liam sambil mengangkat bahu. "And it's... not even a kiss."

Chelsea mengambil satu bantal sofa dan melemparnya ke arah Liam. Meski melihat lemparan itu, tapi Liam tidak menghindar dan membiarkan bantal sofa itu mengenai kepalanya. Setidaknya, hal konyol itu bisa meredakan sedikit kelabilan anak muda seperti Chelsea yang mudah meledak.

"Fair enough. Congrats, you're the winner," ujar Liam datar.

"Rese!" seru Chelsea yang masih terlihat tidak terima.

Liam menggelengkan kepala dan menatap Chelsea heran. "Bisakah kita selesai main-mainnya? Aku lapar."

Chelsea merengut tapi langsung beranjak saat mendengar Liam mengucapkan kata terakhir. Mengulum senyum tipis, Liam mengikuti Chelsea yang berjalan menuju ke ruang makan dimana sudah tersaji beberapa menu di sana.

"Kamu belum makan?" tanya Liam sambil duduk di kursi utama.

"Belum," jawab Chelsea yang duduk di sisi kanan tanpa melihat kearahnya.

Marsih datang dan menyiapkan alat makan beserta kopi pagi untuk Liam dan sari buah untuk Chelsea.

"Jadi, kamu siapin makanan buat orang tapi malah sendirinya belum makan, ckckck. What is the point?" komentar Liam sambil meraih cangkir untuk menyesap kopinya, lalu menoleh pada Chelsea yang menatapnya sinis.

"The point is I can accompany you to eat more, Baby," balas Chelsea dengan nada mengejek.

Tersedak, Liam langsung menaruh cangkir dan mengambil serbet untuk mengusap mulutnya. Sial, makinya. Ejekan wanita muda itu membuat otaknya lumpuh seper sekian detik. Benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada dirinya saat ini.

Mengabaikan Liam, Chelsea kembali dengan sarapannya dan menikmati dalam diam. Sama sekali tidak mengobrol selama sesi sarapan berlangsung dan cukup membuat Liam kagum dengan ketenangan yang diinginkan.

"So, hari ini kamu mau apa?" tanya Liam kemudian.

Chelsea menoleh dengan ekspresi bertanya. "Hari ini?"

"Seperti yang pernah aku bilang untuk date night dan hari ini weekend," jawab Liam.

Chelsea tidak langsung menjawab tapi memperhatikannya dengan penuh penilaian, seperti tidak percaya atau mencurigainya. Cerdas, batin Liam. Kembali mengakui kepiawaian ayahnya dalam memilih wanita sebagai lawannya yang setara.

"Kalau boleh jujur, kamu bukan orang yang asik buat diajak jalan," cetus Chelsea kemudian.

"Karena?'

"Kayak jalan sama tembok gimana sih? Kamu itu pendiam, introvert, dan semua karyawan pada bilang kamu nggak pernah ngomong, kecuali bayar gaji. Aku nggak bisa gitu. Buat apa aku jalan sama orang tapi orangnya nggak asik buat diajak ngobrol, kaku, trus bikin emosi?"

Liam memejamkan mata untuk mengingatkan diri agar kembali bersabar dalam menghadapi kelabilan Chelsea, lalu membukanya dan menatap tajam.

"Kalau kamu terus kayak gitu, untuk apa kita sepakat mencoba selama tiga bulan?" sahut Liam sinis.

"Aku kayak gini yah karena kamu," tegas Chelsea.

"No, kamu yang cari-cari. Kalau memang kamu nggak mau keluar hari ini, fine. Kita bisa cari waktu minggu depan," ucap Liam.

Chelsea terdiam. Dia seperti bergumam sambil menunduk untuk melanjutkan sisa sarapannya dengan enggan. Dalam hatinya, Liam sudah menyesali keputusannya untuk kembali ke rumah ini. Seharusnya, dia menempati salah satu rumahnya di Jakarta, atau di kota lain saja.

"Aku suka sama rumah kamu," ujar Chelsea yang membuat Liam kembali menoleh padanya. "Aku pikir hari ini lebih baik di rumah sambil keliling perkebunan. Tadi aku lihat ada spot yang bagus buat piknik karena deket danau."

"Disitu memang spot yang bagus buat healing, tapi agak jauh dan deket hutan," tambah Liam.

"Iya, makanya aku takut kalau sendirian ke sana," sahut Chelsea.

"Lalu?"

"Aku mau bikin makan siang dan piknik di sana."

Liam mengangkat satu alisnya sambil memperhatikan Chelsea, cukup takjub dengan keinginan yang sangat jarang diinginkan dari wanita muda sepertinya. "Really? Lebih memilih piknik di deket danau ketimbang shopping di mall?"

"I'm rare and one in a million, Dude," balas Chelsea sambil mengangkat alisnya.

"Kenapa kamu masih aja cari ribut kayak begini?"

"Karena kamu masih belum minta maaf sama aku soal kemarin."

"Soal?"

"Apa itu perlu ditanya? Siapa yang ngerjain mobil aku?"

Ah, masalah itu, batin Liam. Dia bahkan melupakannya dan merasa itu bukan masalah melainkan berbagi pengalaman untuk Chelsea agar tahu apa yang harus dilakukan saat keadaan tidak berjalan sesuai dengan keinginan.

"Aku nggak tahu kalau mobil kamu ada masalah. Kamu tahu jelas kalau kita keluar bareng waktu mau berangkat," ujar Liam santai.

"Kamu!"

Liam tertawa pelan. "Oke, kita piknik hari ini dan siapkan apapun yang perlu kamu bawa. Jam tiga sore aja biar nggak terlalu terik."

Ekspresi wajah Chelsea berubah menjadi ceria dan tersenyum begitu lebar hingga menampilkan lesung pipinya yang dalam. Liam cukup menikmati senyuman itu sambil menyesap kopi dan perasaannya menjadi tenang seketika.

"Dan ada satu hal yang mau aku sampaikan," tukas Liam tiba-tiba.

Chelsea langsung menoleh padanya dengan tatapan bertanya. "Apa?"

"Aku suka suasana tenang, jauh dari keramaian dan bising, jadi tolong jaga ketenangan di rumah ini karena kegiatan kamu di pagi hari itu berisik. Having someone in the house while I'm sleeping or working are problemativ. I like it quiet," jawab Liam datar.

"Yeah, I guessed that much. Personally, I don't know how you can stand it. Too much quiet can make you crazy," balas Chelsea sambil mengangkat alisnya.

Bukan tanpa alasan Liam mengatakan hal seperti itu. Dia pernah mendengar Chelsea bersenandung saat memasak di dapur, belum lagi derap langkahnya yang cepat menambah kebisingan dan merusak ketenangan di rumah itu.

"Kamu harus terbiasa karena memang begitu keadaannya sebelum kamu di sini," ujar Liam dengan nada tidak ingin dibantah.

Chelsea mengangkat bahu sambil meraih cangkir dan piringnya, lalu beranjak dari kursi tanpa membalas apapun.

"Hey, kamu mau kemana? Aku belum selesai," seru Liam heran sambil melihat Chelsea yang sepertinya hendak menuju ke backyard.

"Aku nggak punya tenaga lebih buat berantem lagi sama kamu dan aku masih lapar, jadi mendingan sarapan di gazebo aja, toh juga kamu maunya tenang, kan? Aku mah cuma tukang gaduh," balas Chelsea cuek sambil terus berjalan menuju backyard.

Liam hanya memutar bola mata dan kembali pada sarapannya. Sedetik, dua detik, tiga detik, lalu dia menggeram pelan dengan keheningan yang terjadi. Dengan enggan, Liam beranjak sambil meraih cangkir dan sarapannya, lalu menyusul Chelsea menuju ke backyard untuk makan bersama.

Well...




🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Dah lah, kelar dah aku. Kelar!
Halu yang terlalu manis kek gini tuh bikin pusing tahu gak?
Ngerti, kan? Ngerti dong.
Masa gitu aja nggak ngerti 🤣

Lanjut kepohin pikniknya mereka berdua nggak, nih?

Ahjussi, kamu terlalu tampan. 😍

21.06.22 (17.25 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top