PART. 5 - THE BASTARD LIAM
Astaga, Sheliu, hari ini produktif banget halunya. 🤣
Kembali dengan Om Liam kesayangan Sheliu di sini.
Happy Reading. 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Begitu tiba di ruang kerjanya, Chelsea langsung membuang tasnya begitu saja ke sembarang arah sambil menjerit kesal karena kejadian hari ini yang membuatnya geram. Dia benar-benar dikerjai oleh pria tua itu. Membuang dua jam untuk menunggu kedatangan supir yang datang bersama seorang montir ke rumah perkebunan itu.
Aki mobilnya mati, begitu juga dengan dua ban yang bocor. Menurut keterangan supirnya, sebelum membawa mobil itu, dia sudah mengecek dan memastikan jika mobil itu layak pakai. Tentu saja, pertanyaan basa basi dan senyuman licik dari Liam membuat Chelsea yakin jika pria tua itu mengerjainya.
Akhirnya, Chelsea harus meminta bantuan Marsih untuk memanggilkan taksi agar dirinya bisa segera tiba di restonya yang sudah tidak dikunjungi selama satu minggu. Mencoba mencari pembelaan, Chelsea mengadu pada ibunya dan berakhir dengan dirinya yang semakin dongkol. Ibunya menyalahkan dirinya yang tidak menelepon Liam saja untuk menyelesaikan hal itu. Damn.
"Lu bikin gue kaget, Chels," terdengar suara kaget dari arah samping yang sukses membuat Chelsea menoleh dan mendapati sahabatnya sedang duduk di mini bar. Itu Claire.
Mengerjap bingung, lalu memejamkan mata sambil menghela napas kasar karena sudah melupakan janji temunya dengan Claire hari ini. Dia yakin jika Claire sudah menunggunya berjam-jam di sana.
"Sorry, gue telat. Duh, lu udah makan?" ucap Chelsea sambil bergerak untuk menghampiri Claire yang mulai beranjak dan memeluknya erat.
Sahabatnya itu sedang hamil dan kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh. Meski begitu, tubuhnya tidak berubah selain perutnya yang semakin membuncit. Berbanding terbalik dengan dirinya, Claire menikah dengan pria pilihannya dan hidup bahagia.
Bersahabat sejak mereka sama-sama mengambil pendidikan di sekolah kuliner, Le Cordon Bleu, keduanya sudah menjadi teman satu flat dan berbagi hidup dalam suka dan duka bersama. Claire masih menjadi executive chef di hotel ternama, sedangkan Chelsea lebih memilih untuk membuka restonya sendiri.
"Gue udah makan dan baik-baik aja di sini, ruang kerja lu komplit banget, jadi gue udah tidur-tiduran di sofa bed, nonton drama, dan baru aja bikin teh bunga," jawab Claire sambil melepas pelukan dan memperhatikan Chelsea dengan seksama.
"Good then, make yourself home," balas Chelsea.
"Lu lagi nggak baik-baik aja," komentar Claire dengan ekspresi cemas. "Seminggu abis nikah, lu jadi nggak bisa dihubungi. Gue beneran takut lu kenapa-napa."
"Gue memang nggak baik-baik aja, tapi gue nggak akan kenapa-napa," tukas Chelsea cemberut, lalu bergerak untuk menuju kulkas dan mengambil sebotol air mineral.
"Kenapa? Dia jahatin lu?" tanya Claire cemas.
Chelsea membuka botol sambil menatap Claire. "Kenapa lu nanya kayak gitu?"
"Karena mukanya kayak orang jahat," jawab Claire jujur dan spontan membuat Chelsea tersedak.
Ucapan Claire membuat Chelsea merasa geli dan sedih secara bersamaan. Setidaknya, sahabatnya itu memiliki satu suara dengannya bahwa suami tuanya adalah bentuk nyata dari orang jahat.
"Lu kenapa? Emang beneran dia jahatin lu? Dia mukul lu, gak? Kalau main tangan, sini gue laporin, nanti gue minta Juno yang urus!" seru Claire yang tahu-tahu sudah berada di belakangnya untuk menepuk punggungnya.
Chelsea menggeleng sambil memberikan arah tangan agar Claire berhenti. Dia berdiam sejenak untuk menuntaskan rasa gelinya, lalu kembali minum dengan tenang. Setelah itu, dia berbalik dan mengajak Claire untuk duduk kembali di sofa mengingat sahabatnya itu tampak seperti terengah.
"Dia nggak main tangan, cuma udah brengsek banget orangnya. Dia tuh ngerjain gue pagi ini!" ujar Chelsea dan menceritakan kejadian pagi itu dengan semua sisa tenaga yang ada dalam diri karena hari itu sudah cukup menguras emosi.
Claire mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk, lalu ber-oh ria, dan ikut menggeram saat mendengar bagian yang paling menyebalkan.
"Lu tahu, gak?" ucap Claire saat Chelsea sudah selesai bercerita. "Waktu gue datang ke kawinan lu, gue baru keingetan satu hal."
Chelsea mengangguk. "Yes, dia tuh om-om rese yang complain di Ritz."
"Exactly!" seru Claire cepat. "Itu berarti dia udah kenal lu yah sampe niat banget ngerjain."
"Iya, dia mau bales gue karena mangkir dari janjian waktu itu," timpal Chelsea geram.
"Jadi, lu tetep lanjut sama dia?" tanya Claire spontan.
Memejamkan matanya selama beberapa saat, Chelsea membuka mata dan mengembuskan napas perlahan. "Gue udah nggak tahu apa yang harus gue lakuin sekarang. Nikah seminggu yang lalu diluar dari rencana hidup gue, dan jadi janda juga sama sekali nggak ada dalam pikiran gue."
Claire mengusap ringan lengan Chelsea sebagai bentuk dukungan meski ekspresinya masih menampilkan kecemasan. Memiliki kedekatan yang sudah seperti saudara, seringkali Claire jauh lebih emosional dibanding Chelsea yang memiliki masalah. Seperti sekarang. Claire yang terlihat seperti ingin menangis, sedangkan Chelsea justru lebih ingin memaki.
"Trus apa rencana lu untuk tiga bulan ini kalau nggak bisa terima orang kayak gitu? Baru sehari setelah deal aja, lu udah dikerjain kayak gini," tanya Claire kemudian.
"Mikirin nanti lagi aja deh," jawab Chelsea cemberut.
"Lu juga sih pake kabur-kaburan waktu diajakin ketemuan. Senggaknya kalau kalian ketemu, kalian kan bisa kerjasama buat batalin nikah," sewot Claire.
"Gue nggak kepikiran kalau mereka tuh sampe senekat itu nikahin gue, Claire," balas Chelsea. "Gue udah kayak beli kucing dalam karung yang nggak tahu apa-apa soal dia."
"Lu googling dong."
"Gue aja sibuk mikirin nasib hidup, mana ada waktu buat googling?"
Claire menghela napas dan menatapnya penuh simpati. "Ya udah, gue kasih tahu ringkasannya. Suami lu itu seorang Setyadi, anak sulung dari Purnawan Setyadi, dan satu-satunya ahli waris. Dia punya adik tapi bukan kandung, namanya Tiffany, dan baru masuk Yale tahun ini."
"Kok, lu bisa tahu?" tanya Chelsea heran.
"Ya cari tahu lah since lu nggak bisa dihubungi abis nikah. Gue cari tahunya dengan nanya Juno sih, dan ternyata salah satu temennya Juno itu punya sepupu yang adalah pacar dari adik ipar lu. Katanya sih hubungan keluarga mereka kurang bagus, bahkan adik ipar lu juga dibully sama kakaknya sendiri," jawab Claire.
Tertegun, Chelsea sampai tidak habis pikir bagaimana mungkin seorang kakak tega membully adiknya? Saat pernikahannya berlangsung, Chelsea memang melihat bagaimana Liam bersikap dingin dan terkesan menarik diri dari semua orang, termasuk keluarganya. Adik iparnya, Tiffany, justru setia mendampingi dan mengajaknya berbicara layaknya kawan lama.
Untuk anak sebaik itu, rasanya sangat tega jika diperlakukan tidak adil. Lagi pula, itu bukan hal yang aneh untuk seorang Liam. Kembali mengingat kejadian hari ini, Chelsea mendengus kesal dan membulatkan tekad untuk membalas Liam dengan cara apapun.
"Gue bener-bener nggak tahu apa yang harus gue lakuin," gumam Chelsea pelan.
Claire menaruh satu tangan di bahunya dan meremas lembut. "Dicoba dulu aja, kalau emang nggak bisa, ya jangan dipaksain. Dimulai dari date night yang dia ajuin."
"Gue bahkan merasa date night itu adalah ajang untuk ngerjain gue, Claire. Dan menurut gue juga, perjanjian itu cuma sekedar basa basi. Intinya, dia nggak mau lanjut dan bikin gue keki, sekalian dia balas dendam sama bokapnya," cetus Chelsea dengan nada getir.
"Kalau gitu, tunjukkin kemampuan lu yang selalu berhasil nahan diri buat stay calm kayak biasanya. Kalau dia niatnya bikin lu kesel, yah lu belaga hepi dan anggap nggak ada apa-apa aja. Palingan dia yang keki sendiri."
"Kalau sama orang lain, mungkin gue bisa. Sama dia? Liat mukanya aja gue udah pengen lempar ulekan, Claire," sewot Chelsea.
Claire tersenyum maklum. "Yeah, sebagai alumni yang kesel sama muka busuk dan jadi emosi kalau dikerjain, gue perlu bilang hati-hati kalau nanti jadinya malah cinta."
Chelsea bergidik. "Lu jangan ngomong sembarangan."
"Liat gue sama Juno aja. Lu aja sendiri kaget pas denger gue mau nikah sama Juno dan hamil anaknya," balas Claire dan membuatnya bungkam.
Benci jadi cinta. Musuh bebuyutan jadi belahan jiwa. Itulah Claire dengan suaminya, Juno. Keduanya tidak pernah akur dan selalu bertengkar dalam berbagai momen. Kenyataan hidup membuat mereka bertemu lagi dan terpaksa berada dalam keadaan yang tidak bisa dibantah, salah satunya adalah keluarga.
Jika tadinya Chelsea ingin memaki, peringatan Claire membuatnya ingin menangis meski tampilan kebahagiaan terpancar jelas di wajah Claire di setiap kali membicarakan Juno saat ini. Baginya, Claire masih jauh lebih beruntung karena mengenal Juno sejak kecil. Sedangkan dirinya? Dia tidak tahu apa-apa tentang Liam.
"Be well, Chels. Like you always do. Gue yakin kalau lu mampu jalanin hidup baru lu yang sekarang," ucap Claire dengan senyuman riang di wajah.
Sejak hari itu, ucapan Claire selalu terngiang di kepala, dan membuat Chelsea semakin bodoh dalam menjalani hari. Tidak ada semangat. Tidak ada harapan. Yang ada hanyalah rutinitas yang membosankan.
Untungnya, Liam adalah orang yang sangat sibuk sehingga jarang terlihat. Chelsea pun merasa terbantu dengan tidak adanya Liam di rumah. Marsih pernah bilang jika Liam jarang pulang, atau bahkan sebulan sekali baru pulang ke rumah itu. Sesuatu yang membuat Chelsea merasa senang karena tidak perlu berhadapan dengan Liam.
Harus Chelsea akui selama tinggal di rumah perkebunan itu, dia merasa nyaman dan tenang. Perkebunan yang mengelilingi rumah itu ditanam oleh berbagai macam jenis bunga, buah segar, dan sayuran. Chelsea sangat menyukai suasana perkebunan yang begitu apik.
Para pekerja akan datang di pagi dan sore hari untuk merawat perkebunan. Mereka dipekerjakan Liam dengan jam yang tidak menentu, juga sangat ramah. Seolah sudah mengenal Chelsea, mereka akan selalu menyapa dengan senyuman hangat dan anggukan kepala padanya.
Setiap paginya, Chelsea akan bangun lebih pagi untuk sekedar berjalan atau berlari kecil mengitari perkebunan sambil melihat sekelilingnya. Setelah itu, Chelsea akan memetik beberapa tangkai bunga segar untuk dibawa dan menaruhnya di vas kaca yang terletak di ruang tengah sebagai penyegaran yang menyenangkan.
Hari ini, Chelsea berlari pagi sambil memeluk sebuah kantong coklat berisi makanan hangat dan berhenti tepat di sebuah ranch. Hal yang membuat rumah perkebunan itu menarik adalah adanya sebuah peternakan kuda yang katanya Liam memiliki hobi berkuda.
Sambil tersenyum lebar, Chelsea memasuki kawasan ranch saat sudah bisa melihat kepala ranch menyambutnya. Namanya Asep, dia adalah suami dari Marsih, pengurus rumah.
"Pagi, Bu," sapa Asep ramah.
"Pagi, ini sarapan buat kalian. Hari ini saya bikin roti isi ayam," balas Chelsea sambil menyodorkan kantong coklat yang dibawanya.
"Makasi banyak, Bu, kami senang banget dikasih sarapan tiap hari sama Ibu," ucap Asep hangat.
Yeah, Chelsea sangat menikmati momen dimana semua orang menyukai masakannya. Untuk semua pekerja, dari tukang kebun, pengurus ranch, keamanan, sampai pengurus rumah, Chelsea membuatkan sarapan ringan di setiap paginya. Dia sangat suka bereksplorasi dan bersosialisasi, juga melihat orang senang.
"Sama-sama , Pak," ujar Chelsea sambil melihat beberapa ekor kuda dikeluarkan dari kandang oleh para pekerja dan tali kekang dikaitkan pagar kayu pembatas ranch. "Kuda-kudanya mau dimandiin?"
"Baru aja selesai mandi, Bu. Sekarang mau dijemur," jawab Asep sambil mengarahkan jalan pada Chelsea untuk melihat-lihat sekitar ranch.
"Semuanya kuda pacu, Pak?" tanya Chelsea ingin tahu.
"Yes, Lady. Mereka adalah kuda pacu yang bersertifikat dan lulus uji kelayakan untuk ikut lomba kalau mau," jawab seseorang dari balik bahu Chelsea dan membuatnya langsung menoleh ke belakang.
Deg! Chelsea tertegun selama satu detik. Dua detik. Tiga detik. Lalu berkedip pelan untuk melihat sosok tampan yang begitu menyenangkan di hadapannya. Terkesan ramah, murah senyum, dan membuat Chelsea menahan napas. Cakep banget yalord, batin Chelsea.
Pria itu sedang memegang seekor kuda berwarna hitam yang kokoh dan sadis. Hal itu membuatnya terlihat semakin menarik dan gagah. Chelsea yakin jika pria itu selisih belasan tahun darinya, tapi entah kenapa justru terlihat seksi dengan gayanya sendiri.
"Pagi, Pak Dylan, udah mau jalan?" sapa Asep sambil membungkuk hormat.
"Iya, Sep, udah lama saya nggak naik Phantom," balas pria yang dipanggil Dylan itu.
Chelsea mengerjap cepat saat tatapan pria itu kini sepenuhnya menatap padanya tanpa ragu, membuatnya spontan melirik pada Asep dengan ekspresi bertanya.
"Temannya Bapak, Bu," jawab Asep seolah bisa membaca pertanyaan Chelsea dalam diam.
"Jadi, ini yang namanya Chelsea, primadona yang jadi topik utama di perkebunan dan ranch ini karena terkenal baik banget buat sarapannya tiap pagi," celetuknya sambil melebarkan senyuman dan menampilkan sepasang lesung pipi yang menambah keindahan senyumannya itu.
Menarik napas, diam-diam Chelsea sudah menahan napas sedaritadi dan berusaha terlihat tenang. Senyumnya cakep banget, pekik Chelsea dalam hati.
Karena Chelsea masih belum memberi respon yang berarti, pria itu mengambil satu langkah lebih dekat sambil mengulurkan tangannya tanpa mengalihkan tatapan.
"Hai, namaku Dylan," sapanya ramah.
Dengan ragu, Chelsea membalas uluran tangannya dan menjabat singkat. "Chelsea."
"I know you," balas Dylan langsung setelah mereka melepas jabatan. "Satu dari duo chef cantik yang bawa acara kuliner di cooking channel Asia. Liam is the most luckiest bastard who had this gorgeous wife like you."
Wajah Chelsea memanas saat mendengar kalimat terakhir dan spontan membuang muka untuk merutuk sikap salah tingkahnya yang tidak diperlukan. Kalau Liam itu serigala, Dylan itu buaya, rutuk Chelsea dalam hati.
"Pak Dylan ini adalah teman baik Bapak, Bu. Mereka sering ikut pacu kuda bersama," tambah Asep.
"Oh," respon Chelsea singkat.
Tak lama kemudian, Asep mengundurkan diri untuk lanjut bekerja dan meninggalkan dirinya dengan Dylan saja.
"Tiap pagi suka jalan pagi sampai ke sini?" tanya Dylan kemudian, masih dengan kesan ramahnya di sana.
Chelsea mengangguk. "Emangnya kamu suka ke sini?"
"Kadang-kadang, maybe tiga minggu atau sebulan sekali," jawab Dylan sambil mengarahkan Chelsea untuk mengikutinya untuk mengaitkan tali kekang kuda ke pagar kayu.
"Jadi, kamu teman baik Liam?" tanya Chelsea ingin tahu.
Dylan tersenyum hambar sambil menoleh pada Chelsea. "Tadinya, sekarang udah biasa aja. Kita sama-sama sibuk."
"Oh."
"Aku bener-bener nggak percaya waktu Asep bilang kalau Liam udah nikah. Dan waktu lihat kamu lagi ngobrol sama tukang kebun di sana, aku nggak heran kalau dia mau nikah karena istrinya itu secantik ini," ujar Dylan sambil terkekeh.
"Kamu nggak datang waktu itu?" tanya Chelsea dengan kening berkerut.
Katanya teman dekat tapi tidak diundang. Meski itu pernikahan paksaan, tapi orangtua sudah pasti tahu siapa teman anaknya. Seperti contohnya adalah Claire, ibunya mengundang sahabatnya tanpa sepengetahuannya.
"Ada urusan kerjaan," jawab Dylan singkat.
Sudah pasti hubungan mereka nggak baik tapi orang ini masih punya muka buat datang berkuda, pikir Chelsea.
"Okay, Dylan, nice to meet you. Aku harus balik sekarang," ucap Chelsea karena merasa kurang nyaman untuk mengobrol dengan Dylan saat ini. Entahlah. Ada perasaan yang mengatakan jika apa yang dilakukannya saat ini akan menjadi masalah.
"The pleasure is mine, Chels. Kebetulan aku akan datang seminggu sekali karena lagi ada urusan selama beberapa bulan di sini. Kalau kamu mau belajar berkuda, aku bisa ajarin kamu," sahut Dylan dengan hangat.
Tawaran yang sangat menggiurkan tapi Chelsea semakin merasa jika itu hanyalah basa basi.
"Thanks, Dylan. Have a good ride with your Phantom. Bye," tukas Chelsea sambil berbalik dan berjalan tanpa melihat ke belakang lagi, meskipun Dylan menyerukan 'see you later' padanya.
Tentu saja, itu membuatnya tersenyum sambil berlari kecil menuju kembali ke rumah. Sebelumnya, seperti biasa dia akan memetik beberapa kuntum bunga segar untuk dibawanya pulang. Kali ini, dia memetik bunga mawar.
Begitu dirinya hampir tiba di rumah, senyum dan langkahnya terhenti saat melihat sosok Liam sedang berdiri di depan dengan tatapan dingin yang menusuk ke arahnya. Shit.
Pria itu mengenakan sweater berbahan bludru dengan warna gelap dan celana hitam yang membalut pas di kaki panjangnya. Tentu saja, dia tidak memakai setelan di terakhir kali Chelsea melihatnya. Mungkin saja pria itu baru menyelesaikan perjalanan bisnisnya dari luar kota atau bermain dengan perempuan lain diluaran sana.
"Kok pake balik?" tanya Chelsea spontan, yang tentu saja membuatnya kaget tapi tidak menyesal karena ekspresi Liam yang semakin tidak senang.
"Kenapa? Merasa terganggu karena asik mesra-mesraan sama cowok lain? Atau merasa udah jadi nyonya rumah dengan baru tinggal dua minggu di sini?" balas Liam sinis sambil mengangkat satu alisnya.
Memutar bola mata, Chelsea merasa tidak ada gunanya jika bertengkar dengan Liam saat ini. Kebahagiaan yang sebelumnya dirasakan kini menguap begitu saja karena kehadiran Liam yang membuatnya tidak nyaman.
Tanpa berkata apa-apa, Chelsea kembali berjalan dengan mengabaikan salam dari beberapa penjaga dan melewati Liam seolah pria itu tidak ada. Tanpa menoleh, dia tahu jika pria itu mengikutinya dari belakang.
"Kamu nggak diperkenankan untuk bicara sama orang asing di rumah ini. Kamu juga nggak perlu siapin sarapan atau apapun untuk cari muka sama semua karyawan yang ada di sini," ucap Liam yang sukses membuat Chelsea berhenti dan menoleh untuk menatapnya kaget.
"Kamu ngomong apa barusan?" desis Chelsea.
"You heard me!" balas Liam dingin.
"Denger ya, kalau kamu nggak tahu apa-apa, jangan ngomong sembarangan!" ucap Chelsea dengan penuh penekanan.
"Aku nggak akan sembarangan ngomong kalau aku nggak tahu apa-apa," sahut Liam sambil tersenyum meremehkan.
"Apa sih maunya kamu?" pekik Chelsea kesal.
"Kamu udah denger apa yang aku ngomong tadi!"
Chelsea merasakan darahnya sudah naik ke kepala bersamaan dengan kedua tangannya yang mengepal erat pada tangkai bunga mawar yang tadi dipetiknya untuk menahan diri.
"Asal kamu tahu, nggak ada yang bisa ngatur hidup aku selain diri sendiri. Kamu bukan siapa-siapa dan nggak berhak untuk..."
"Do you think I care? All I know is you live in my house and you have to follow my rules," sela Liam tajam.
"Dan kalau aku nggak mau, lantas kamu akan lakuin apa?" tantang Chelsea dengan alis terangkat tinggi-tinggi dan nada suara yang gemetar karena menahan emosi.
Ekspresi dingin Liam berubah saat dia melihat sesuatu di bawah dan kembali menatap Chelsea dengan ekspresi yang tidak terbaca.
"Chelsea," ucapnya sambil melangkah untuk mendekat dan terlihat waspada.
"Apa? Kamu mau ancam aku pake..."
Chelsea tersentak saat Liam tiba-tiba meraih kedua tangannya untuk melepas kepalan tangan yang begitu kuat. Mengerjap bingung, dia meringis pelan saat bunga-bunga mawar yang tadi dikepalnya terlepas dan menyisakan jejak merah yang basah di telapak tangannya.
Sepertinya Chelsea terlalu kuat dalam menggenggam mawar itu sampai kedua tangannya berdarah dan sangat banyak hingga darahnya menetes. Dan hal yang sangat mengherankan adalah Liam yang berteriak seperti orang gila memanggil pekerjanya untuk mengambil obat sambil mengangkat Chelsea ke dalam gendongan, lalu membawanya ke ruang tengah untuk didudukkan ke sofa guna melihat kedua telapak tangan Chelsea yang berdarah dengan wajah yang begitu cemas.
Tidak memiliki energi lebih untuk sekedar menghentikan teriakan Liam yang berbau perintah pada pekerjanya sampai memekakkan telinga, Chelsea hanya pasrah dengan aksi berlebihan pria tua yang seolah dirinya mengalami patah tangan.
Nasib gue jelek banget nikah sama Om lebay, batinnya lelah.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Para pecinta Ahjussi, mari merapat! 🤣
Chelsea adalah aku kalau berhadapan dengan Ahjussi cem Gong Yoo.
Gemes ya sama foto ini seolah Liam dan Chelsea lagi bareng. 💜
Semoga kalian senang dengan update hari ini. 💜
20.06.22 (21.35 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top