PART. 3 - THE GOOD MORNING

Kita kembali ke Om Liam dulu.

Hai, apa kabar?
Happy Reading. 💜



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Satu hal yang masih membuat Chelsea geram adalah tidak terima dengan sikap angkuh seorang pria bernama Liam, yang sialnya adalah suaminya sendiri. Bergidik ngeri, Chelsea tidak menyukai kata suami yang terbersit dalam pikirannya. Masih merasa orangtuanya begitu tega telah menjual anak perempuannya sendiri pada pria tua yang sangat angkuh.

Setelah pembicaraannya dengan Liam, Chelsea semakin enggan untuk keluar dari kamarnya, dan menyesali hidupnya seharian itu. Tapi hari ini, Chelsea memutuskan untuk segera keluar dari penjaranya dan memilih untuk bekerja.

Bangun lebih awal, Chelsea berencana untuk membuat menu sarapan yang sudah terbiasa dilakukan sebelum berangkat kerja. Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, Chelsea segera keluar dari kamar dan bergegas turun. Dia berjalan berkeliling sambil mempelajari isi rumah yang terdekorasi dengan apik dan rapi.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan rumah itu. Desain interiornya terkesan unik mengingatkan Chelsea dengan suasana rumah country khas perkebunan milik Tamara, teman kuliahnya saat di London, saat mengajaknya berlibur dirumah kakeknya di Leeds. Cozy. Menyenangkan. Tenang. Damai. Cantik. Tapi terasa kosong dan dingin. Persis seperti pemiliknya, batin Chelsea sambil merengut.

Demi menjaga ketenangan jiwa yang sudah tidak karuan, Chelsea akan mengalihkan perhatiannya dalam memasak. Melakukan apa yang disukainya adalah terapi untuk dirinya dalam mengalihkan perhatian atau sekedar melarikan diri dari kenyataan.

Masih terlalu pagi, Chelsea tahu itu, tapi jam lima subuh sudah termasuk siang bagi Chelsea yang terbiasa untuk melakukan persiapan sebelum dirinya bekerja. Baru saja hendak memulai, seseorang membuatnya tersentak kaget dari arah belakang.

"Maaf, Nyonya, ada kebutuhan apa datang ke sini?"

Segera berbalik dan mendapati seorang ibu tua yang selalu membawakan makanan ke kamarnya selama tinggal di rumah itu. Mbok Marsih, itu namanya, dan dia adalah asisten rumah tangga yang bekerja di rumah sebesar ini.

"Saya mau buat sarapan," jawab Chelsea sambil menghela napas.

"Maaf, Bu, saya bikin kaget. Ibu mau makan apa? Biar saya buatkan," balas Marsih sambil membungkuk sebagai permintaan maaf.

"Nggak apa-apa, Bu, saya udah biasa masak. Jadi, urusan memasak kasih ke saya aja mulai hari ini," balas Chelsea sambil hendak meraih sesuatu dari meja pantry, tapi Marsih langsung menghalangi.

"Maaf, Bu, saya takut nanti Bapak marah kalau..."

"Kalau dia marah, bilang aja saya yang mau biar Mbok nggak dimarahin," sela Chelsea tegas.

Marsih tertegun, lalu menunduk sambil bergumam maaf, dan menyingkir dari hadapannya. Menghela napas, Chelsea mencoba menenangkan diri untuk tidak tenggelam dalam emosi yang sia-sia dengan kembali pada rencananya untuk membuat sarapan.

Dalam hidup, Chelsea banyak belajar tentang hidup lewat makanan. Lucu, tapi benar adanya. Bahwa makanan harus dihargai karena memiliki nyawa didalamnya, juga dibuat dengan hati dan penuh cinta. Makanan tidak hanya sekedar mengisi perut, tapi juga memberi energi dalam tubuh berupa protein dan vitamin yang terkandung dalam setiap bahannya.

Tentu saja, hal itu membuat Chelsea belajar untuk menghargai mahkluk hidup yang ada di bumi, setidaknya menjadi manfaat untuk orang lain. Dalam hal ini adalah Liam, si pria tua yang angkuh dan menjadi sumber kekesalannya saat ini. Apa yang dilakukan bukan untuk mencari perhatian melainkan demi dirinya sendiri.

Prinsipnya adalah cukup oranglain saja yang berbuat jahat, dirinya hanya perlu melakukan porsinya untuk melakukan yang terbaik, dan biarkan saja Tuhan yang membalas.

Mengulum senyum geli, Chelsea merasa lucu dengan pikirannya barusan. Alangkah menyenangkan jika Liam dibalas oleh Tuhan dan tentunya dia sangat menunggu saat itu tiba.

Sejam kemudian, Chelsea sudah membuat berbagai macam menu sarapan berupa omelette, tumis jamur dengan sosis, juga sayuran rebus, dan pancake. Tidak tahu apakah Liam akan menyukai ide tentang bekal, dan akan sangat menyenangkan jika pria tua itu emosional di pagi hari, maka Chelsea menyiapkan bekal makan untuknya.

Setelah selesai membuat sarapan, Chelsea meminta Marsih untuk menyajikan semua makanan di meja dan dia segera bergegas ke kamar untuk bersiap bekerja. Tidak membawa begitu banyak orang, hanya beberapa barang pribadi yang penting, Chelsea akan mengambil beberapa barang lagi dari apartemennya meski merasa enggan untuk melakukannya.

Sudah memakai outfit kerjanya dan membawa tas tangannya, Chelsea segera ke ruang makan untuk menaruh tasnya di kursi, lalu kembali ke pantry untuk memeriksa chicken pie yang sengaja ditinggalkan di pemanggang. Sudah terpanggang sempurna, Chelsea mengeluarkannya dan memotongnya untuk dimasukkan ke dalam bekal makan yang sudah disiapkan Marsih.

Sudah memastikan makanan beserta pelengkap tertata rapi di dalam kotak makan, Chelsea memasukkan bekal itu ke dalam sebuah tas bekal, lalu menoleh karena merasakan adanya kehadiran seseorang di sana. Liam, si pria tua yang tampak begitu rapi dengan setelan jasnya. Harus diakui Chelsea jika pria itu tampak menawan dengan penampilan konvensional. Sangat menawan untuk menarik perhatian para tante genit yang sedang duduk menikmati teh sore di kafe, pikir Chelsea geli.

"Good morning," sapanya santai sambil menenteng tas bekal untuk berjalan ke meja makan.

"What are you doing?" tanya Liam dengan ekspresi tidak suka, lalu melirik pada Marsih yang baru saja menaruh secangkir kopi hitam di meja makan.

"Breakfast," jawab Chelsea sambil mengarahkan tangan ke arah meja makan yang sudah tersedia sarapan yang dibuatnya.

"Disini ada Marsih yang bisa..."

"Aku yang maksa, dan Marsih nggak salah apa-apa," sela Chelsea cepat. "Dan aku yakin kamu tahu kalau aku itu tukang masak, kan?"

Liam mengangkat satu alisnya sambil menatap Chelsea dengan ekspresi yang membuatnya ingin menumpahkan segelas air ke wajah sialan itu. Seperti sengaja untuk memberi kesan mengejek atau meremehkan, entahlah. Chelsea tidak mendapat kesan baik dari pria tua itu.

"Well, okay, jika kamu nggak keberatan untuk ngelakuin kerjaan kayak gini," ujar Liam sambil menarik kursi dan duduk di sana.

Menempati kursi utama, Liam memperhatikan apa yang tersaji dan menoleh pada Chelsea yang baru saja duduk di kursi sebelah kanannya. Berbagai macam varian sarapan dibuat oleh Chelsea hanya untuk semacam input baginya karena tidak tahu apa yang disukai Liam.

"Nggak salah bikin sarapan sebanyak ini?" tanya Liam sambil menunjuk apa yang tersaji di hadapannya.

"Karena aku nggak tahu kamu sukanya apa, juga sengaja masak banyak biar bisa bagi ke mbak dan supir kalau ada. Misalkan nggak abis, bisa aku bawa buat karyawan di resto," jawab Chelsea tanpa menoleh ke arahnya.

"Wow, that's a very nice of you," gumam Liam pelan.

Dalam diam, keduanya mulai sibuk mengambil sarapan ke piring masing-masing, lalu menekuni sarapannya dengan tenang. Chelsea yang mulai mengunyah langsung menoleh pada Liam yang terlihat kaget tapi dengan mulut yang penuh, kemudian pria itu menoleh kearahnya sambil menunjuk makanan yang ada di piringnya.

"This is so good!" ucap Liam dengan mulut penuh. "Aku makan apa aja, nggak milih-milih, kecuali udang dan kerrang karena aku alergi."

Satu sudut bibir terangkat, Chelsea mengangguk dengan ide brilian yang muncul saat Liam menyebutkan dua hal yang sepertinya akan menyenangkan jika sesekali pria tua itu berulah.

"Well noted," balas Chelsea dan melanjutkan sesi sarapannya.

"Jadi, ini yang kamu lakuin setiap pagi?" tanya Liam dan membuat Chelsea kembali menoleh padanya. "Bikin sarapan buat orang rumah dan pembantu sekalian?"

Chelsea mengangguk. "Tentative sih. Kalau ada yang banyak bikin kesel, kebanyakan buang waktu di dapur biar hepi."

"Jadi, kamu masak sebanyak ini karena lagi kesel? Jangan-jangan, kamu masukin sesuatu ke dalam makanan," sahut Liam dengan alis terangkat.

"Pengennya sih gitu, tapi sayang sama diri sendiri," balas Chelsea lantang.

"Maksudnya?"

"Masih terlalu muda buat jadi janda soalnya."

Chelsea mengulum senyum senang saat melihat Liam menggertakkan gigi seperti menahan diri untuk tidak mengumpat. Mungkin saja Liam bermaksud baik untuk mencairkan suasana dengan mencari topik obrolan tapi tidak bagi Chelsea. Baginya, pria tua itu memiliki niat jahat yang terselubung dan dirinya tidak akan cepat menyerah untuk menghadapinya.

Seperti tidak terpengaruh dengan ucapan Chelsea barusan, Liam mencoba bersikap santai sambil memotong pancake. "Keliatan banget kamu senang jadi tukang masak, apa kamu nggak menyesal karena itu?"

Chelsea menggeleng. "This is my passion."

"Meski harus dijodohkan karena sesuatu yang kamu sebut passion itu?" tambah Liam sambil mengunyah dan menatap Chelsea datar.

"Soal itu bukan karena passion, tapi peruntungan nasib yang nggak bagus soal jodoh yang katanya ada di tangan Tuhan, nyatanya di tangan Papa yang nggak sayang sama anak perempuannya," cetus Chelsea dengan selera yang mulai hilang.

"Pada intinya, kamu menyesal," ujar Liam dengan nada santai tapi ada tuduhan didalamnya.

Chelsea terdiam sejenak, lalu mengangkat bahu. "Mau menyesal juga nggak guna karena semua udah terjadi, tinggal dijalanin aja."

Liam tidak memberi balasan dan hanya melanjutkan sarapannya dalam diam. Sementara itu, Chelsea menatapnya sambil memicingkan mata seolah mengingat sesuatu. Masih tidak begitu yakin dengan apa yang diingatnya, Chelsea mengubah posisi untuk menghadap Liam sambil mendekatkan wajah agar melihat Liam lebih jelas.

Merasa terganggu, Liam menoleh dan menatapnya kaget sekaligus tidak suka, lalu menjauh sedikit seolah Chelsea adalah sumber penyakit. Nggak salah lagi, batin Chelsea kesal. Bibirnya merengut cemberut dengan napas memburu kasar karena kesal.

"Apa kamu lihat-lihat?" tanya Liam galak.

"Kamu!" hardik Chelsea sambil menunjuknya kasar. "Kamu tuh om-om yang komplain makanan di Ritz, kan? Yang ngatain aku sama Claire bukan chef yang kompeten padahal kamu pesennya menu makan siang di jam sarapan? Iya, kan?"

Seolah apa yang dikatakan Chelsea bukan masalah, Liam mengangkat bahu dengan santai. Bahkan, dia melanjutkan sarapannya dan membuat Chelsea merasa geram karena diabaikan.

"Aku tuh udah yakin kalau kamu tuh punya niat jahat buat ngerjain waktu kita udah susah payah masak dan kamu main pergi aja. Chicken banget!" sewot Chelsea yang membuat Liam menghentikan sarapannya dan kembali menatapnya dengan tatapan dingin.

"Chicken?" desis Liam sinis. "Untuk orang yang nggak tahu etika dengan terus kabur dari janji temu berkali-kali, kamu masih merasa pantas untuk ngatain orang? Tuduhan itu lebih pantas buat kamu!"

"Bukan aku yang suruh janjian buat ketemu! Lagian, buat apa pake ketemuan kayak gitu kalau udah tahu akhirnya kayak apaan," balas Chelsea tidak kalah sinis.

"Oh, yeah? Dengan akhir cerita berupa nikah sama orang yang kamu panggil om-om yang ngerjain di restoran, gitu? Congratulations, Woman, you just got your jackpot!" sahut Liam sambil menyeringai sinis.

Untuk pertahanan yang sudah sangat diusahakan, juga pengalihan yang sudah dilakukan, akhirnya roboh sudah. Chelsea menumpahkan emosinya dengan menggeram sambil menusuk-nusuk omelette yang ada di piringnya dengan sugesti bahwa makanan itu adalah Liam.

Dia benar-benar tidak menyukai pria tua itu.



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Kalau nggak ada halangan, nanti malam aku update Adrian.

Happy weekend.
10.06.22 (17.30 PM)



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top