PART. 21 - STRUGGLE WITHOUT FIGHT

2.485 kata untuk part ini.
Awas aja kalau masih bilang kurang 🤣

Kedepannya bakalan lebih banyak dan cukup ribet yak, makanya aku butuh bantuan Bang Ian untuk rapihin naskah yang POV Liam dan scene ehem-ehem mereka. 🙈

Mungkin alur terkesan lambat (maksudnya kok nggak nganu2 gitu)🤣
Cuma ini butuh waktu buat bangun chemistry dan bonding antara dua tokoh biar ugh gitu. Haha.

Happy reading. 💜



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



“Papa senang kalau akhirnya kita bisa makan malam sebagai keluarga malam ini,” ujar Harry Sutanto, ayah dari Chelsea, yang menatap Liam dan Chelsea secara bergantian.

Momen kebersamaan dengan Liam saat berkuda adalah menyenangkan, Chelsea akui itu. Tapi suasana menjadi berbeda saat keduanya mendapat telepon dari ayah masing-masing untuk makan malam bersama secara tiba-tiba.

Perubahan Liam terlihat drastis jika itu menyangkut tentang ayahnya. Chelsea meyakini jika hubungan ayah dan anak itu begitu buruk sampai terkesan seperti musuh bebuyutan. Lain halnya dengan Chelsea yang sudah mati rasa melihat sikap orangtuanya yang terlalu ramah dan berlebihan. Penuh drama, batinnya.

Dilahirkan di keluarga berada bukanlah sebuah keuntungan bagi Chelsea. Jika semua orang terkesan menginginkan posisi dirinya, maka Chelsea lebih memilih untuk menjadi orang biasa saja. Tekanan, tuntunan, juga ekspektasi orangtua menambah jumlah beban hidup seolah apa yang dialaminya tidak cukup berat untuk diembani.

Menempati meja bundar, Liam dan Chelsea duduk bersebelahan, dimana sisi kanan Chelsea adalah kedua orangtuanya, Harry dan Kelly. Sementara di sisi kiri Liam adalah ayahnya, Purnawan Setyadi, beserta istrinya, Laura.

Meski duduk bersama, tapi Chelsea tidak bisa merasakan adanya kebersamaan, apalagi kekeluargaan. Semua yang ada disini seolah dipaksakan dan dituntut harus ada, tidak alami, juga membuat Chelsea semakin tidak nyaman.

“Jadi, apa kabar kalian? Apakah dengan menikah, kalian jadi lebih bahagia dari sebelumnya?” tanya Purnawan kemudian, lalu menyesap wine-nya sambil menatap Liam dengan tajam.

Chelsea bisa mendengar dengusan napas kasar Liam dan spontan menoleh pada pria itu. Sedaritadi, Liam terus bersikap dingin dan memberi ekspresi datar, mengingatkan Chelsea saat melihat Liam untuk pertama kalinya. Sangat berbeda dengan Liam yang berkuda dengannya tadi siang.

“Kami masih dalam proses mengenal satu sama lain, Om,” jawab Chelsea untuk mengambil alih.

Degup jantungnya bergemuruh cepat saat semua tatapan tertuju padanya. Chelsea berinisiatif untuk memberi jawaban karena Liam sepertinya enggan menjawab pertanyaan itu.

You should call me with Papa, Chelsea,” koreksi Purnawan sambil tersenyum hangat.

Uhm, sorry,” balas Chelsea sambil mengerjap cepat, terlihat tidak enak hati karena melupakan panggilan seperti itu.

It’s okay, Dear. Papa maklum karena kamu belum terbiasa,” balas Purnawan ramah. “Tapi kalau kalian dalam proses pengenalan, itu sebuah kemajuan! Karena Liam bukan orang yang mudah diajak untuk berkenalan, juga cukup keras dan tidak ramah pada semua orang. Bukan begitu, Liam?”

Chelsea menahan napas saat kembali mendengar dengusan napas kasar Liam sebagai respon dari ucapan ayahnya itu. Terlihat jelas hubungan ayah dan anak yang begitu dingin, sampai tidak segan untuk menyindir secara terang-terangan seperti itu.

“Kalau begitu, Chelsea jatuh ke tangan yang benar,” komentar Harry santai.

Chelsea menoleh dan menatap ayahnya dengan tatapan tidak suka. Hendak membalas, tapi suara Liam sudah menyela terlebih dulu.

“Jika Anda masih belum memastikan pria macam apa yang menjadi suami Chelsea, kenapa Anda menyodorkan satu-satunya anak perempuan untuk dinikahkan?” tanya Liam dengan alis terangkat tinggi-tinggi.

“Liam!” tegur Purnawan yang langsung membuat Liam mendesis sinis padanya.

Harry tertawa pelan dan menanggapi dengan santai. “It’s okay, nggak apa-apa. Namanya juga anak muda, suka sembarangan kalau ngomong.”

“Papa!” tegur Chelsea dengan nada geram.

Harry mengabaikan Chelsea sambil menatap Liam kembali dengan ekspresi biasa saja. “Saya bukan belum memastikan, tapi saya tahu kamu memiliki potensi baik karena putra dari Purnawan. Btw, kamu bisa memanggil saya dengan sebutan Papa seperti Chelsea barusan, ketimbang kata ‘Anda’.”

Chelsea mulai merasa gusar, juga gelisah. Makan malam belum dihidangkan tapi pembicaraan sudah terlalu banyak ketegangan, juga ketidaknyamanan. Chelsea benar-benar ingin segera keluar dari tempat sialan itu.

Menoleh pada Liam, pria itu terlihat sedang menyesap wine-nya dengan santai, seolah tidak ada siapa-siapa disekelilingnya. Entah sudah terbiasa dengan situasi seperti ini, Liam tampak tidak peduli meski sikapnya sangat dingin. Selain itu, Liam seperti menghindari tatapannya dan menciptakan jarak diantara mereka.

“Jadi, kapan kalian bisa kasih cucu buat kami? Bakalan seru banget kalau ada cucu, soalnya temen-temen Mama udah pada punya dan mereka senang banget,” ujar Kelly dengan sumringah.

“Bisa pinjem cucu sama temennya, nggak perlu minta sama kami,” balas Liam santai, lalu menatap ibu mertuanya sambil tersenyum sinis.

“LIAM!” kembali Purnawan menegur putranya. “Seperti itu cara kamu menghargai mertuamu sendiri?”

“Apa kalian tahu cara menghargai di sini? Lagi pula, apa itu cucu? Selain memaksa, kalian juga menuntut kami untuk menghasilkan keturunan? Kenapa nggak kalian yang buat sendiri aja?” balas Liam dengan begitu tenang tapi tegas.

“Kamu masih belum paham rupanya,” ucap Purnawan dingin.

“Oh, aku sangat paham, jangan kuatir,” tukas Liam sinis. “Tapi perlu diperhatikan agar rencana Papa nggak akan berhasil. Jangan berpikir dengan pernikahan ini, Papa bisa menjebak dan bisa dengan seenaknya mengatur hidupku.”

“Bukan seperti itu, Nak,” timpal Kelly yang berusaha menenangkan. “Mama ingin kalian bisa bahagia dan mempererat keluarga kita dengan kehadiran seorang cucu.”

“Itu nggak akan terjadi kalau kalian yang mau!” desis Liam tajam, dan sukses membuat semua menatapnya kaget, termasuk Chelsea.

“Maksudnya?” tanya Harry dengan kening berkerut.

“Jangan terlalu banyak berharap, karena itu nggak akan terjadi. Soal keturunan, bisa diatur kapan aja dan mau sama siapa, nggak perlu berharap dari hubungan yang sama sekali nggak bisa dibilang pernikahan! Saya nggak sudi dijadikan tumbal oleh kalian, jadi jangan pernah ganggu hidup saya dengan tuntutan konyol semacam itu,” jawab Liam dengan penuh penekanan.

Hati Chelsea mencelos, sama sekali tidak menyangka jika Liam akan mengeluarkan ucapan seperti itu. Jika memang Liam tidak menyukai pertemuan keluarga ini, Chelsea bisa memaklumi karena dirinya juga tidak nyaman dengan situasi ini. Tapi saat mendengar jawaban Liam, meski belum berpikir sampai sejauh itu, tapi ada rasa sakit yang terasa dalam hati.

Menikah memang membutuhkan komitmen, jika sudah memiliki hal itu, maka keinginan untuk memiliki keturunan sudah pasti ada. Chelsea sangat menyukai anak kecil, tapi jawaban Liam membuatnya berpikir jika pria itu tidak menginginkan adanya kehadiran anak dalam keluarga. Apa mungkin Liam memang tidak ingin pernikahan ini terus berlanjut? pikir Chelsea dalam hati.

“Terserah kamu, Liam, yang pasti kami akan menunggu kabar baik itu. Marah boleh, tapi tetap harus pikir panjang. Nggak semua bisa sejalan sesuai yang kamu inginkan, jadi terimalah itu. Juga jangan lupa kalau ada hati yang tersakiti saat kamu ngomong sembarangan sekarang,” ucap Purnawan sambil memperhatikan Chelsea dari kejauhan, lalu menatap tajam pada Liam.

“Apa seperti ini yang Papa rencanakan?” tanya Liam sambil memicingkan matanya pada Purnawan.

Purnawan mengangkat satu alisnya, memperhatikan Liam dengan tatapan tidak terbaca, lalu menggelengkan kepala seolah Liam sudah gila.

“Silakan berasumsi, tapi itu nggak seperti yang kamu pikirkan. Ingat baik-baik, kalau kamu berani macam-macam, Papa nggak akan segan untuk bikin kamu hancur,” tukas Purnawan dengan nada biasa saja, tapi penuh penekanan.

Chelsea merasa jika dirinya sedang dibicarakan. Apa mungkin dirinya dijadikan tumbal dan menjadi korban atas hubungan ayah dan anak yang tidak baik itu? Ayahnya yang menekan anaknya untuk tunduk dengan pernikahan yang diinginkan, sedangkan anaknya berusaha untuk membalas dengan menjadikan dirinya sebagai sandera sebagai ancaman untuk ayahnya.

Menatap Liam dengan sorot mata lirih, juga berpaling pada Purnawan dengan isi kepala yang sudah penuh sekali, Chelsea merasa tidak diterima dimanapun saat ini, baik oleh keluarga sendiri, ataupun oranglain, termasuk Liam.

Kini dia mengerti kenapa Liam bersikap dingin, terkadang lembut, terkadang kasar, juga semaunya. Perubahan yang ditampilkan pun seolah kamuflase untuk membuatnya terlihat yakin tapi ada rencana dibalik semua itu.

Pada intinya, tidak ada yang benar untuk sebuah paksaan. Tekanan pun diterima tanpa mampu menolak atau mengelak, seperti berjuang tanpa pertarungan, demikian Chelsea menggambarkan dirinya saat ini.

Makan malam berjalan alot, tidak ada pembicaraan, hanya sekedar basa basi dari kedua ayah, juga kedua ibu yang lebih banyak diam. Baik Liam ataupun Chelsea pun tidak bersuara, juga tidak ada interaksi karena Chelsea sudah terlalu tenggelam dalam pikirannya.

Sampai akhirnya, pertemuan itu berakhir dan Chelsea sudah duduk di kursi belakang bersebelahan dengan Liam di sana. Merasa lelah, untuk menahan diri selama pertemuan saja sudah mengikis energi tubuh sampai tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.

“Kalau kamu mau tanya, langsung tanya aja. Karena inilah yang kita dapatkan kalau ketemu dengan orang tua seperti mereka,” ucap Liam datar, dan membuat Chelsea langsung menoleh padanya.

Pria itu menatap ke depan dan masih bersikap dingin padanya. Menjaga jarak seperti biasanya, dan itu membuat Chelsea merasa apa yang diusahakannya menjadi sia-sia.

“Apa alasan kamu menerima pernikahan ini? Aku sangat yakin kalau kamu bisa ngelawan dilihat dari interaksi kamu dengan papa kamu,” tanya Chelsea tanpa ragu.

“Kenapa kamu mau tahu?” tanya Liam balik.

“Nggak adil rasanya kalau kamu tahu alasan aku, tapi aku nggak tahu alasan kamu. Dan kamu masih belum jawab pertanyaan yang aku yakin udah pernah tanya saat pertama kali kita sepakat. Kita bisa kabur waktu itu, tapi kamu malah bawa aku balik untuk tetap nikah,” jawab Chelsea datar.

“Itu berarti kamu nggak pernah mau tahu dan mencari tahu sampai harus merasa diperlakukan nggak adil karena kamu yang nggak tahu,” balas Liam tengil.

“Aku nggak punya bakat buat nguntit orang, apalagi sampai sewa stalker atau bodyguard kayak kamu. Lagian, untuk tahu jawaban seperti itu, apa yang aku lakuin itu normal dengan tanya langsung sama orangnya. Bukan kayak kamu,” sahut Chelsea geram.

“Memangnya jawaban seperti apa yang kamu harapkan, Chelsea? Aku jatuh cinta pada pandangan pertama lalu berubah pikiran untuk nikahin kamu? Jangan terlalu delusional!” tukas Liam sengit.

Jika biasanya, ucapan Liam terdengar biasa saja, tapi kali ini tidak. Rasa nyeri dalam hati sudah menyesakkan dada, merasa bahwa ucapan Liam terdengar semakin menyakitkan.

“Buat orang kayak kamu, itu sangat mustahil,” balas Chelsea dengan suara gemetar. “Aku bahkan nggak pernah mikir sampai sejauh itu, selain kamu terlalu jahat dan bisa tega buat lakuin semua ini dengan orang yang nggak kamu kenal, juga orang yang sama sekali nggak tahu siapa kamu.”

Liam bungkam dan menatap Chelsea dengan ekspresi tidak terbaca. Tidak memberi balasan, juga tidak merespon lebih selain bergeming seperti itu.

“Aku bisa lihat kalau kesepakatan kita itu cuma sekedar basa basi. Kamu manfaatin komitmen aku untuk jadi pembalasan buat papa kamu, gitu kan? Aku tahu kamu nggak suka terikat, kayak yang kamu bilang kalau nikah nggak ada dalam rencana hidup kamu. Kita punya pemikiran yang berbeda. Aku mau nikah, punya pernikahan impian, pengen dapetin suami idaman, juga mau punya anak-anak yang lucu, dan bangun keluarga yang bahagia,” ucap Chelsea parau, tidak sadar jika dirinya sudah terisak pelan.

Liam masih bergeming sambil memperhatikan Chelsea dengan sorot mata yang dalam. Tidak menenangkan, tidak memeluk, juga tidak berusaha untuk menyuruh Chelsea berhenti.

“Kamu terlalu naif, tapi...”

“Iya! Aku terlalu naif untuk kamu yang obsesif!” sela Chelsea tajam. “Untuk orang yang nggak punya hati kayak kamu, tentang hal disakiti, dikhianati, atau nggak dianggap bukan masalah buat kamu! Karena kamu selalu merasa kalau itu bukan urusan kamu, juga nggak merasa perlu bertanggung jawab!” sela Chelsea tajam sambil mengusap pipinya yang basah, merasa kesal dengan diri yang bisa-bisanya menangis di depan Liam.

Liam mendengus pelan dan menatap keluar jendela. “Hal terkonyol yang aku lakukan dalam hidup adalah menikah, Chelsea. Lalu kamu yang memutuskan untuk tetap jalanin pernikahan ini diluar rencana! Jadi, nggak usah berharap apalagi menuntut macam-macam.”

Chelsea langsung menoleh dan menatap Liam dengan seluruh amarahnya. Tidak menyangka jika Liam akan mengeluarkan ucapan seperti itu disaat dia berpikir jika pria itu sudah berada di jalur yang sama dengannya.

“Apa rencana kamu sebenarnya, Liam?” tanya Chelsea sambil menggeram pelan.

Liam menoleh dan membalas tatapannya dengan ekspresi yang membuat darah Chelsea seolah mendidih. Liam yang ada di hadapannya adalah Liam yang pertama kali ditemuinya, bukan Liam yang bersamanya selama beberapa minggu terakhir.

“Kamu yang kabur-kaburan waktu itu bikin aku merasa perlu membuat perjanjian tentang pernikahan kontrak selama satu tahun. Itu rencanaku. Tapi ternyata kamu menolak dan aku juga nggak menyangka bisa jalanin hidup sampai sejauh ini sama kamu. Aku...”

Penjelasan Liam membuat kepala Chelsea terasa pening, seiring dengan rasa sesak yang kian menghimpit dadanya. Tidak berpikir sampai sejauh itu, juga tidak menyangka jika dirinya akan mengalami hal seperti ini.

Seharusnya, Chelsea merasa biasa saja dan sama sekali tidak aneh. Tapi ucapan Claire tentang dirinya yang sudah menyukai Liam terus mengganggu pikirannya dan sudah diyakini jika apa yang diucapkan Claire sepenuhnya benar. Bahwa Chelsea sudah menyukai Liam entah sejak kapan, juga sudah berharap lebih dari apa yang terjadi sampai sesi berkuda tadi siang.

Namun hal itu tidak bertahan lama karena Liam kembali pada sikapnya seperti semula ketika mendapatkan telepon untuk menghadiri makan malam keluarga yang tidak diinginkan. Tampaknya hubungan mereka sudah sedemikian rusak sampai tidak tertolong lagi, juga Liam sepertinya menyamakan posisi dirinya dengan orangtua yang tidak disukainya, yaitu sasaran kebencian yang tidak pada tempatnya.

Dalam hidupnya, Chelsea tidak pernah merasa ragu sedikitpun. Tapi tidak untuk kali ini. Keputusannya untuk berdamai dengan Liam rasanya menjadi satu kesalahan yang tidak bisa dia tebus dengan kembali ke masa lalu. Dan dia benar-benar telah berusaha untuk sesuatu yang semu dimana pria angkuh seperti Liam bahkan hanya berniat menjalani pernikahan dengan jangka waktu satu tahun seperti yang dikatakannya. Lantas untuk apa dia bersedia menerima keputusan dirinya menjalani pernikahan seumur hidup kalau itu bertentangan dengan keinginannya?

Pada intinya, usaha yang dilakukannya memang sia-sia dengan sikap Liam yang tidak sanggup dihadapinya. Untuk apa dirinya berdamai dengan keadaan di saat dia tahu bahwa Liam tidak akan pernah menerimanya, apalagi mencintainya? Tertawa getir dalam hati, Chelsea membuang tatapan ke luar jendela oleh karena pikirannya barusan dan berusaha menerima kenyataan pahit yang dialaminya.

Bahwa Liam hanya berniat untuk menyakitinya, mengintimidasi dan membuatnya menyerah. Sampai batas waktu yang ditentukan, lalu setelahnya akan dibuang begitu saja. Chelsea benar-benar sudah berurusan dengan pria dingin yang tidak memiliki hati dan sukses mengacaukan hidupnya.

“Kalau memang itu yang terbaik buat kita berdua, aku rasa nggak perlu tunggu sampai satu tahun,” ucap Chelsea dengan suara tertahan.

Liam tertegun, hendak menyampaikan sesuatu tapi suara ponselnya berbunyi, dan perhatiannya teralihkan sepenuhnya pada panggilan yang dilakukan dalam bahasa asing dengan nada serius dan kosakata yang tidak umum bagi Chelsea.

Semenit. Lima menit. Sepuluh menit. Telepon selesai tapi tidak membuat Liam melanjutkan obrolan, melainkan sudah sibuk dengan iPad dan begitu serius di sana. Chelsea didiamkan sepanjang perjalanan atau sampai mereka tiba di rumah perkebunan itu.

Tidak ada harapan lagi, Chelsea harus menerima semua itu dengan lapang dada. Pekerjaan adalah yang terpenting bagi Liam, dan Chelsea tidak termasuk dalam daftar hidupnya, bahkan diluar rencana seperti yang Liam ucapkan.

Membuka pintu, lalu keluar, Chelsea berpikir untuk segera meninggalkan Liam dengan menuju ke kamarnya tapi langkahnya tertahan saat Liam mencengkeram sikunya.

Menoleh dan mendapati Liam sedang menatapnya tajam, juga ada sirat kecemasan di sana, mereka berdua saling melempar tatapan dalam diam selama beberapa saat.

“Aku ada urusan dan harus pergi selama seminggu. Jaga diri baik-baik dan gunakan waktu ini untuk saling intropeksi diri, oke? Kita akan lanjut obrolan tadi setelah aku pulang,” ujar Liam kemudian.

Setelah itu, Liam mengecup keningnya begitu dalam, lalu meninggalkan Chelsea dengan kembali ke kursi belakang dan diikuti beberapa mobil penjaga yang menyusul dari belakang.

Menghela napas dalam, Chelsea berbalik untuk segera menuju ke kamarnya, menutup pintu dan menguncinya, melempar tas ke sembarang arah, lalu menaiki ranjang dan menenggelamkan kepala di atas bantal.

Sedetik kemudian, Chelsea terisak dalam diam dan melewati malam dengan tangisan tanpa henti seorang diri.

Untuk perjuangan tanpa pertarungan yang dilakukan, juga untuk diri yang tidak diinginkan, dia sudah menyerah dan memutuskan untuk berhenti berjuang.




🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Maafin Om Liam yah, teman2. 🤣

Pernah gak sih kalian tuh kalau lagi mumet atau emosi, otak sama mulut sering nggak nyambung?
Udah gitu, lawan bicara kita akan salah paham dan mikirnya udah kemana2 padahal niatnya nggak gitu.

Juga, asumsi seringkali membuat kita terlalu cepat untuk memutuskan mana yang baik atau nggak, padahal asumsi itu semu, belum valid.

Untuk cowok dewasa kek Liam, akan sulit beradaptasi sama cewek yang masih labil kek Chelsea.
Chelsea itu masih 23, rite?
And yes! I have to admit that 17-23 was the most stupidity moment of being youth. 🤣

Sotoy tapi kurang pengalaman gimana sih? Iya, itu aku dulu.
Seringnya impulsif malah. 🤣
Sedangkan untuk para dewasa itu selalu berpikir lebih dulu sebelum lakuin sesuatu.
Jadi paham kan kalau perbedaan itu yang bikin satu sama lain seringnya salah kaprah, juga cekcok nggak jelas karena beda penempatan otaknya?

Yang satu udah sampe sejauh mana.
Yang satu malah nggak nyampe.
Jalan keluarnya apa?
Salah satu kudu ngalah.
Kalau sama2 kepala batu, yauda capek.

Kesannya pengalaman banget ya? 🤣
Iya dong. Pernah disakitin, dibohongin, sama dikhianati itu jadiin pengalaman.
Ciyeee, yang alumni. Hahaha.

Happy weekend, Genks.
Borahae. 💜

Rasa2nya foto ini cocok banget jadi cover cerita ini. 🤪🙈


 
19.08.22 (23.40 PM)


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top