PART. 19 - DENIAL
Merdeka buat kita semua!
Happy reading. 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
"Dengan lu kayak gini, itu nggak menyelesaikan masalah," ucap Claire untuk kesekian kalinya pada Chelsea yang masih enggan untuk beranjak dari posisinya.
Sejak kejadian menangkap basah Liam dengan wanita lain, juga balasan Liam yang dilakukan di tangga darurat kemarin, Chelsea geram dan menjalani aksi protesnya dengan menginap di tempat Claire dari semalam.
"Gue tuh kesel banget, Claire. Kok bisa-bisanya jadi cowok egois kayak gitu. Mau amit-amit, tapi itu laki gue. Omaigat, kok gue merinding pas sebut dia laki gue, ya? Haishhh," racau Chelsea sambil bergidik dan mengacak rambutnya karena kesal.
"Lu kesel karena nggak suka dia terciduk sama mantan," komentar Claire kalem, dan itu semakin membuat Chelsea kesal.
"Gue kesel karena dia main belakang! Coba kalau ngomong di awal, gue juga nggak bakalan merasa dibohongi!" ralat Chelsea.
"Kalau ngomong di awal, lu juga nggak akan terima dan merasakan hal yang sama. Dan lu tahu apa artinya?" balas Claire.
"Apa?" tanya Chelsea ketus.
"Artinya lu udah suka sama dia," jawab Claire enteng.
Chelsea menggelengkan kepala sambil menenggelamkan kepala ke bantal, lalu memekik tidak terima di sana. Suka sama Liam? batin Chelsea tidak terima. Membayangi hal itu saja tidak sanggup, apalagi sampai memiliki perasaan seperti itu, demikian pikiran skeptis Chelsea.
"Nggak usah denial lagi," tambah Claire masam.
Chelsea kembali menegakkan tubuh untuk menatap Claire tidak senang. "Gue nggak suka!"
"Kalau nggak suka dan nggak ada rasa, harusnya biasa aja waktu liat dia lagi sama mantannya. Lagian, itu bisa jadi alasan utama buat lepas dari dia. Lu bisa protes sama bokap atau mertua, case closed!" ucap Claire yang sukses membuat Chelsea bungkam.
Berpikir kembali tentang apa yang diucapkan Claire yang memang benar adanya. Dalam hal ini, justru dialah yang berusaha untuk mempertahankan pernikahan dengan dalih menikah sekali seumur hidup. Sebaliknya, Liam yang pertama kali mengajukan persyaratan dan rencana untuk perceraian.
Chelsea pun tidak tahu tentang perasaannya pada Liam, hanya saja, ada rasa tidak suka saat melihat tante genit bernama Jasmine yang hendak mendekati Liam kemarin dan itu membuatnya melakukan hal di luar kendalinya.
"Menurut lu gitu?" tanya Chelsea memastikan.
Claire mengangguk. "Gue liat lu kayak gini, jadi kayak liat diri sendiri waktu masih denial soal perasaan gue sama Juno."
"How?" tanya Chelsea lagi.
Claire menarik napas sambil menegakkan tubuh, terlihat berat dengan perutnya yang membuncit. Wanita itu sudah memasuki bulan terakhir kehamilannya dan hanya tinggal menghitung waktu untuk melahirkan.
"Cowok itu selalu lakuin apa yang menurutnya benar, bertindak sesuai insting dan logika. Sedangkan kita? Udah pasti pake rasa dulu. Niat mereka itu membangun hubungan dengan bersikap lebih baik dari sebelumnya, terus kitanya suka kayak denial dengan merasa nggak banget kalau mereka kayak gitu, ya caper lah, ya norak lah, padahal kita senang karena ada perubahan," jawab Claire kemudian.
"Dan bagi mereka, saat udah mutusin untuk berubah, itu berarti mereka udah memilih, yang artinya nggak usah diomongin pun harusnya kita udah paham kalau mereka serius tanpa perlu ucapin kata-kata cinta atau suka," lanjut Claire.
"Jadi, dia suka sama gue?" tanya Chelsea langsung.
Claire memutar bola mata dan menatapnya jenuh. "Dia mau berubah kayak yang lu ceritain, buat gue itu udah termasuk usaha yang patut diapresiasi. Intinya, dia mau mencoba dan berusaha menjaga pernikahan kayak yang lu mau."
Chelsea tertegun, juga merasa ucapan Claire semakin membuatnya merasa kekanakan dengan pikiran dan tindakan seperti yang dilakukannya saat ini.
"Ya, gue juga merasa dia udah suka sama lu. Sama-sama suka, ya ngegas aja sekalian! Ribet banget sih hidup lu? Nggak mau cerai, tapi jual mahal dengan denial soal suka sama laki lu. Dia juga nggak jelek kok, malah high quality banget," tambah Claire.
Chelsea merengut cemberut dan masih terdiam. Setelah meninggalkan Liam, dia langsung mencari Claire dan enggan untuk kembali pulang ke rumah perkebunan itu. Pria itu pun tidak mencari atau meneleponnya seolah tidak peduli. Lagi pula, untuk apa Liam peduli padanya? Pria itu berhak marah atas apa yang sudah dilakukannya sebab pertengkaran mereka masih belum terselesaikan dan ditambah lagi dengan masalah baru.
Pintu kamar terdengar diketuk, lalu dibuka dan muncul Juno dengan ekspresi dinginnya seperti biasa. Pria itu masih memakai pakaian kerja dan selalu pulang untuk makan siang bersama dengan istrinya. Claire langsung menyambut kedatangan Juno dengan mengulurkan dua tangan agar suaminya membantunya beranjak berdiri. Dasar tukang pamer, batin Chelsea sebal.
"Kamu pulang cepet?" tanya Claire ramah.
Juno mengangguk. "Udah masak?"
"Udah, aku bikin sop buntut kesukaan kamu," jawab Claire senang.
Juno mengangguk lagi, kemudian menoleh pada Chelsea yang menatap ke luar jendela karena malas melihat adegan suami istri yang sedang kasmaran.
"Ada yang datang buat jemput lu," ujar Juno kemudian.
Merasa seperti berbicara dengannya, Chelsea menoleh dan menatap Juno yang memang sedang menatapnya dengan tatapan malas di sana. Entah kenapa setiap pria harus memiliki ekspresi dan tatapan yang membuat Chelsea bersungut karena terlihat begitu menyebalkan.
"Siapa?" tanya Chelsea judes.
"Ya laki lu lah, siapa lagi?" balas Juno cuek, dan langsung mendapat teguran dari Claire yang membuatnya berdecak pelan.
Terkesiap, Chelsea mengerjap bingung. Dia sangat yakin jika tidak pernah memberitahu kediaman Claire, juga tidak memberi tahu dimana dirinya berada saat ini. Lagi pula, untuk orang seperti Liam yang memantau pergerakannya dengan mengirim penjaganya, harusnya Chelsea tidak perlu heran namun tetap saja membingungkan.
"Lebay banget," gerutu Chelsea sambil beranjak dan merasa kesal karena Liam yang bertindak semaunya.
"Serba salah jadi cowok. Nggak disamperin, baper. Disamperin, lebay. Maunya apa sih?" celetuk Juno sambil menatap Chelsea judes.
Chelsea melirik tajam pada Juno. "Makanya jadi cowok nggak usah kebanyakan gaya! Kalau ada apa-apa, ngomong! Cewek nggak bisa baca pikiran!"
"Nggak bisa baca pikiran, tapi dibawa perasaan. Ckckck," ejek Juno.
"Juno!" tegur Claire tegas sambil melotot padanya.
Chelsea tidak menggubris Juno dan berjalan melewatinya untuk keluar dari kamar tamu, lalu mendapati Liam sedang berdiri di ruang tengah dengan posisi membelakangi. Pria itu berdiri menghadap jendela besar yang menampilkan bangunan-bangunan kota di sana. Tidak memakai setelan jas, tapi kali ini Liam memakai kemeja linen yang digulung sampai batas siku yang dipadukan dengan celana jeans.
Deg! Degup jantung Chelsea berdegup kencang melihat sosok Liam di sana dan membuatnya hanya mampu diam terpaku tanpa melakukan apa-apa. Sampai akhirnya, Liam berbalik untuk melihatnya, bersamaan dengan Juno dan Claire yang menyusulnya keluar.
"Kenapa diam aja?" celetuk Juno cuek dan berhenti tepat diantara posisi berdiri Chelsea dan Liam. "Kalian bisa pergi sekarang juga karena kami mau makan siang bareng. Tenang aja, kalian nggak diajak."
"Juno!" seru Claire gemas sambil menarik Juno menjauh. 'Kamu tuh yah, nggak ada sopan-sopannya sama tamu!"
"Bukan nggak sopan, tapi pengertian. Mereka butuh berduaan buat ngomong banyak hal dan aku nggak mau liat lebih banyak. You two, just get off!" tukas Juno datar sambil mengarahkan dagu ke arah pintu.
Liam mengangguk. "Thanks for let me in."
Chelsea mendengus sambil meraih tasnya dan berpamitan dengan Claire, lalu mengikuti Liam keluar dan menuju ke pintu lift. Tidak ada pembicaraan, Chelsea juga enggan untuk memulai pembicaraan karena tidak tahu apa yang harus diucapkan.
"Masih ngambek?" tanya Liam saat mereka sudah berada di dalam lift.
Chelsea melirik singkat dan kembali menatap angka lift yang merambat turun. "Ngapain pake jemput segala?"
"Kalau nggak jemput, aku pasti salah dan dibilang nggak pengertian jadi cowok," jawab Liam yang langsung membuat Chelsea memutar tubuh untuk sepenuhnya berdiri berhadapan dengannya.
"Jadi karena itu?" seru Chelsea tidak terima.
"Nggak juga," balas Liam tenang sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku. "Aku merasa sepi aja kalau rumah nggak ada kamu."
"Tapi kamu nggak cari aku semalam," sahut Chelsea.
"Karena kamu butuh waktu buat maki-maki, dan temen kamu adalah pilihan yang tepat buat nampung semua itu, bukan aku," ujar Liam lagi.
"Kok kamu nyebelin?" seru Chelsea gemas.
"Kalau aku nyebelin karena ngomong yang sebenarnya, maka seterusnya kamu akan terus nggak terima. Jadi, kapan dewasanya?" tukas Liam yang membuat Chelsea bungkam.
"Aku tahu kamu masih muda, suka labil dan masih beradaptasi untuk keadaan ini. Aku nggak mau maksain kamu untuk bisa berpikir kayak aku karena itu nggak mungkin, jadi aku coba untuk mengerti dan kasih kamu waktu untuk jalanin proses ini sambil belajar, antara kamu menerima atau kamu menyerah, itu aja," lanjut Liam tenang dengan ekspresi datar sekali.
Ting! Pintu lift terbuka dan Liam mengarahkan tangan untuk Chelsea melangkah terlebih dulu. Dia langsung segera keluar dari lift dengan perasaan tak menentu, juga tidak tahu apa yang harus dilakukan karena merasa telak dengan ucapan Liam.
Tersentak, satu tangan Liam merangkul bahunya untuk membimbingnya keluar dari lobby gedung apartemen dan mengarahkannya untuk segera masuk ke dalam mobil yang terparkir tepat di depan sana.
Duduk bersebelahan dengan Liam di kursi belakang membuat Chelsea merasa salah tingkah dan kebingungan dengan degup jantung yang masih tidak beraturan. Tidak nyaman, juga gelisah, Chelsea menjadi kesal sendiri dengan dirinya yang konyol seperti ini.
Satu tangan besar Liam mendarat di atas dua tangan Chelsea yang sedang bertautan, membuatnya menoleh cemas dan mendapati Liam menatapnya tajam namun penuh arti. Kini, degup jantungnya sudah tidak karuan.
"Aku minta maaf kalau ada kesalahpahaman yang harus kamu lihat kemarin," ucap Liam dengan ekspresi serius. "Namanya Jasmine, temen deket waktu kuliah dan sempet pacaran sebentar, lalu nggak pernah ada kontak lagi sampai kemarin. Papaku temenan sama papanya, jadi ada project baru dan dia dipilih sama Papa untuk jadi project manager. Aku juga baru tahu kemarin."
"Kamu nggak perlu jelasin kayak gitu," balas Chelsea pelan, merasa tidak suka pada mulutnya yang terus mengeluarkan ucapan yang tidak terkendali.
"Buat aku perlu supaya kamu tahu. Supaya kamu nggak marah dan berasumsi yang nggak-nggak, walau sebenarnya bukan urusan yang penting karena ini bukan masalah sama sekali. Tapi karena udah jadi masalah, makanya aku jelasin," sahut Liam tenang sambil meremas lembut tangan Chelsea dalam genggamannya.
Kalau tadi degup jantung Chelsea sudah tidak karuan, kini napasnya memberat dan terasa sesak. Membuang muka untuk menghindari tatapan, Chelsea mengerjap cepat sambil berusaha menenangkan diri untuk tidak terus bersikap konyol seperti ini. Apa mungkin apa yang dikatakan Claire itu benar, bahwa dirinya sudah menyukai Liam? Demikian batinnya bersuara.
"Dan soal rumah sepi nggak ada kamu, itu serius. Aku juga belum sarapan makanya jemput kamu supaya kita bisa makan bareng. Tinggal pilih, mau masak di rumah atau makan di resto deket sini? Aku bebas aja selama bareng sama kamu," ujar Liam yang semakin membuat napas Chelsea memberat sampai harus menarik napas panjang.
"Jadi, kamu mau pilih yang mana?" tanya Liam saat masih belum mendapat respon Chelsea.
Menggeram pelan, Chelsea mendelik tajam pada Liam. "Bisa diem sebentar nggak sih? Aku tuh lagi mikir!"
"Oh, harus pake mikir yah kalau disuruh milih? Kirain pake rasa," celetuk Liam sambil menahan senyum dan terlihat geli di sana.
Chelsea langsung memukul lengan Liam dengan gemas. "Rese!"
"Oke, aku yang mutusin aja! Aku udah suruh orang untuk masak makan siang, lalu habis itu, kita berkuda," ujar Liam sambil menyilangkan kaki dengan santai.
"Berkuda?" tanya Chelsea dengan mata berbinar.
Selama ini, yang dilakukan Chelsea hanyalah melihat setiap kali mendatangi peternakan kuda yang ada di rumah perkebunan itu. Salah satu keinginannya adalah mencoba untuk berkuda namun tidak berani karena tidak ingin menjadi masalah dan harus berhadapan dengan Liam.
Liam mengangguk. "Thunder, itu nama kuda kesayanganku. Agak liar tapi terkendali, nanti kita coba sehabis makan siang."
"Iya, aku mau! Aku mau coba naik kuda!" seru Chelsea girang.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Chelsea adalah aku kalau lagi ngambek dan Liam adalah beliau yang menerimaku dengan sabar hati dalam meladeni kelabilan ini hahahaha...
Dialognya sengaja bikin gemas biar nyebelinnya terabaikan.
Kalau ngadepin Om galak tapi gemesin gini sih, aku yes aja karena bikin seneng. 🤪
Salam merdeka dari aku buat kalian.
17.08.22 (22.10 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top