PART. 15.1 - INTRODUCTIONS.
Ciyeeee, yang nungguin kata2
"written by..." tapi yang muncul malah bokisan dari aku. 🤪
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Chelsea mengucapkan terima kasih kepada pedagang setelah mendapatkan satu kotak berisi sosis bakar yang menjadi jajanan favoritnya di setiap kali berkunjung ke Taipei. Berada di Fisherman Wharf Danshui, yaitu dermaga yang berlokasi di tempat pertemuan arus antara sungai Danshui dan selat Taiwan, disitu banyak yang berjualan baik makanan atau cinderamata.
Setelah membuka kotak, Chelsea mengambil satu tusuk sosis dari lima tusuk sosis bakar yang dibelinya, lalu mengarahkan pada Liam, tapi pria itu langsung mengernyitkan dahi dan memberi ekspresi meringis.
"Nggak pernah makan atau nggak mau makan?" tanya Chelsea sambil memutar bola mata, lalu dengan santai menggigit sosis itu, dan langsung memekik senang saat gigitan pertama sudah masuk ke dalam mulutnya.
"Aku nggak pernah," jawab Liam sambil menatap Chelsea heran. "Apa seenak itu sampai kamu girang banget makannya?"
Chelsea mengangguk sebagai jawaban sambil mengunyah dengan antusias. Gigitan kedua, lalu ketiga, sampai satu tusuk sosis bakar itu habis. Dia sangat merindukan jajanan favorit yang sempat menjadi rekomendasi di acara kulinernya bersama Claire dulu.
"Kamu harus coba!" ucap Chelsea setelah berhasil menelan sosisnya, lalu mengambil satu tusuk sosis dari kotak dan kembali mengarahkannya pada Liam.
Alis Liam terangkat, terlihat ragu namun penasaran. Chelsea sangat yakin jika Liam sedang bergumul tentang cara makan sosis yang dinilainya berantakan karena tidak menggunakan sendok garpu. Tipikal sekali untuk orang yang sangat mencintai kebersihan, tapi bagi Chelsea, cara makan yang semakin berantakan justru membuat makanan semakin nikmat, terlebih lagi jika makan pakai tangan.
Menghela napas, Chelsea akhirnya memutuskan untuk menarik kembali sosis itu dan memotongnya dengan garpu kayu yang terselip di sisi kotak, lalu kembali mengarahkannya pada Liam. "You should try this, trust me."
"I don't think so," putus Liam akhirnya.
"No, you should try this!" sahut Chelsea tidak sabaran sambil mendekatkan potongan sosis tepat di depan mulut Liam. "Kamu nggak bakalan mati dengan cobain jajanan pinggir jalan kayak gini, Liam. Ini adalah rekomendasi favorit dari aku dan semua setuju!"
Terdiam sesaat, akhirnya Liam menyerah dengan membuka mulut dan menerima suapan Chelsea. Mulai mengunyah, lalu mata Liam melebar kaget dan membuat Chelsea tersenyum puas saat melihat ekspresi kaget itu.
"Told ya," celetuk Chelsea bangga.
"Can I get more? Aku lapar," ucap Liam kemudian.
Chelsea memutar bola mata dan menyodorkan sekotak sosis bakarnya yang langsung diterima Liam. "Makanya kalau disuruh makan, ya makan aja, nggak usah pake drama nggak mau, eh akhirnya doyan."
"This is the first time I eat street food, Baby," ujar Liam yang sudah sibuk menyuapi diri dengan sosis bakar itu sambil berjalan bersisian dengan Chelsea.
Menaiki jembatan besat berwarna putih yang bernama The Lovers Bridge, konon katanya jembatan itu adalah jembatan paling romantis di Taiwan, oleh karena diresmikan tepat di hari kasih sayang dan dilengkapi rangkaian kata LOVE di mulut jembatan. Pemandangan indah dari atas jembatan pada malam hari menjadi salah satu tempat terbaik untuk dikunjungi bersama kekasih.
Tapi bukan karena hal itu yang membuat Chelsea ke tempat itu, juga bukan tipikal orang yang sentimental dan mempercayai omong kosong seperti itu, tapi karena dia menyukai hidangan laut terbaik yang memang dimiliki oleh Danshui.
Setelah berjalan melewati jembatan dan turun ke jalan panjang berbatu, mereka berdua duduk di salah satu bangku kayu yang berjejer di sepanjang garis sungai Danshui itu. Chelsea merasa begitu senang karena bisa menikmati momen yang terasa menyenangkan itu.
"Emangnya kamu nggak makan waktu rapat?" tanya Chelsea sambil melihat Liam yang masih sibuk dengan sosis bakarnya.
"Nggak, aku skip aja karena nggak mau kamu nunggu terlalu lama," jawab Liam sambil menggeleng.
"Kenapa?" tanya Chelsea lagi.
"Nanti kamu main kabur," jawab Liam yang membuat Chelsea langsung tertawa pelan.
Meski demikian, dia merasakan sesuatu yang berbeda. Masih membingungkan tapi sangat menyenangkan. Masih mengenakan pakaian kerja berupa kemeja denim yang sudah digulung hingga sampai batas siku dipadukan dengan celana panjang turquoise dan pantofel, Liam tampak memesona dan jauh lebih muda dari usianya.
Chels, you're surely lost your mind. He's older than you more than a decade, and you've been attracted by him now? Seriously? batin Chelsea kesal oleh karena isi pikirannya saat ini.
"Emangnya kenapa kalau aku kabur? Kamu tinggal telepon dan tanya aku ada dimana, gampang, kan?" tanya Chelsea kemudian.
Seperti memang kelaparan, Liam menghabiskan sosis itu. "Aku udah bilang untuk saling tahu tentang apa yang kita lakukan sebagai awal dari pengenalan ini."
"Jalan-jalan bisa dilakuin banyak orang dan itu manusiawi. Kamu nggak usah repot-repot sampai harus tahu apa yang aku lakuin saat jalan-jalan. As you can see, cuma jajan dan nikmatin pemandangan," ujar Chelsea.
"Aku paham, tapi kalau aku nggak ikut, aku nggak akan tahu kalau ada jajanan enak kayak sosis bakar ini," balas Liam sambil tersenyum.
Chelsea ikut tersenyum dan segera mengambil selembar tissue untuk megusap sudut bibir Liam yang tertinggal saus barbeque di sana. Tidak sadar dengan ekspresi tertegun Liam, Chelsea pun mengedarkan pandangan ke sekeliling dan melihat berbagai aktifitas yang terjadi di sekitarnya.
"Jadi, ini yang kamu lakuin buat cari inspirasi untuk resep masakan? Datang ke negara orang, beli jajanan atau makanan, dan langsung dapat ide saat merasakannya?" tanya Liam kemudian.
Chelsea menoleh dengan alis terangkat karena tidak menyangka jika Liam akan memulai topik pembicaraan dengan bertanya seperti itu. "Kamu mau aku buatin sosis ini di rumah?"
Seperti anak kecil, Liam mengangguk sambil memamerkan cengiran lebar. "Kalau kamu mau buatin, aku sih seneng-seneng aja."
"Nothing that I can't do," balas Chelsea hangat. "Just ask if you want something and I'll make it for you."
"Thank you," sahut Liam senang.
"Apa sesederhana ini untuk buat kamu senang? Buatin makanan kesukaan dan siapin buat kamu?"
"Aku suka masakan rumah, nggak ada yang lebih menyenangkan selain bisa menikmati makanan di atas meja makan keluarga," jawab Liam dengan tatapan menerawang.
"Apa Mama kamu sering masakin buat kamu?" tanya Chelsea dengan nada hati-hati.
Liam menoleh sambil menatapnya dengan ekspresi tertegun, lalu menghela napas dan kembali menatap ke arah depan. "Yeah."
Chelsea terenyuh saat menangkap sorot mata Liam yang terluka, dan itu adalah sorot mata yang sama saat Chelsea hampir tenggelam waktu itu. Tidak banyak tahu tentang Liam, Chelsea hanya tahu jika Liam kehilangan ibunya saat masih berumur belasan tahun. Hanya itu.
Mengikuti perasaannya, Chelsea menaruh satu tangan di atas punggung tangan Liam sambil menatapnya penuh simpati. Dia memang tidak pernah merasakan kehilangan seseorang yang penting dalam hidup, tapi dia bisa merasakan kesedihan yang terpancar dari ekspresi datar Liam saat ini.
Mendapat tindakan seperti itu, Liam menoleh dan menatap Chelsea dengan tatapan bertanya.
"Apa masakan Mama yang jadi menu favorit kamu? Mungkin aku bisa coba buatin di rumah," tanya Chelsea pelan.
"Scotch egg with mushroom sauce," jawab Liam tanpa ragu, lalu terkekeh pelan. "Dia tahu aku suka banget sama telor, tapi sebenarnya aku nggak picky."
Chelsea mengangguk sebagai respon. Selama dua bulan ini, dia tahu jika Liam sama sekali tidak pernah protes soal makanan dan menikmati semuanya tanpa sisa. Yeah, Liam adalah pecinta makanan dan telur selalu dihabiskannya di setiap kali Chelsea membuat menu itu.
"Btw, aku penggemar fanatik omelette jamur buatan kamu. Itu omelette terenak yang pernah aku makan," tambah Liam senang.
Spontan, Chelsea tersenyum. Tidak ada yang lebih membahagiakan saat orang lain memberi pujian atas hasil masakannya. "Glad you like it."
"You are very talented, Chelsea. Aku tahu karena aku udah cobain semua masakan kamu dan nggak ada yang nggak enak. Cooking is your passion. Seharusnya, orangtua kamu bisa melihat potensi yang kamu punya, bukannya maksain kehendak hanya karena pilih jalur yang berbeda, lalu dipaksa nikah kayak gini," ucap Liam sambil menaruh satu tangannya yang lain di atas tangan Chelsea yang masih berada di atas punggung tangannya sedaritadi.
Chelsea mencoba mempelajari ekspresi Liam yang masih datar namun terlihat santai. Meski agak ragu dengan ucapan Liam, namun pria itu terlihat serius. Seperti bisa melihat keraguan Chelsea, Liam hanya menghela napas dan menatapnya jenuh.
"Aku serius, Chelsea, sama sekali nggak berniat untuk memanipulasi, apalagi simpati. Jangan lupa kalau kita sama-sama korban di sini," ucap Liam ketus.
"Lalu kenapa kamu ikutin aturan mereka dan bawa aku ke gereja untuk tetap menikah? Kita bisa kabur waktu itu," cetus Chelsea spontan, masih tidak mengerti dengan alasan Liam yang tetap membawanya ke gereja untuk menikah.
"Apa dengan kabur, semua ini bisa dihindari? Nggak, kan?" balas Liam dengan satu alis terangkat.
"Maybe aku bisa dapetin yang lebih mendingan daripada kamu," sahut Chelsea cuek sambil mengangkat bahu.
Ucapannya barusan membuat ekspresi Liam berubah menjadi sinis. "Perlu kamu tahu kalau aku adalah satu-satunya kandidat terbaik yang kamu punya. Yang lain, aku pastiin nggak akan bisa dampingi kamu, layak pun nggak."
Kening Chelsea berkerut sambil menatap Liam heran. "Selain belagu, kamu juga terlalu pede jadi cowok."
"Karena aku memang punya banyak kelebihan," sahut Liam angkuh.
"Kelebihan seperti apa? Nyolong cium anak orang dan nggak pake permisi?" sindir Chelsea.
"Senggaknya, nggak ada penolakan dari anak orang waktu dicium," balas Liam santai dan sukses membuat Chelsea spontan menarik tangannya, lalu memukul sisi lengan Liam yang membuat pria itu tertawa geli.
"Lagian, ini bukan tempat yang cocok buat bahas pengalaman hidup karena terlalu banyak orang di sini," tambah Liam sambil bersandar dan menaruh satu tangan di punggung bangku kayu tepat di belakang Chelsea.
"Mereka bahkan nggak ngerti bahasa kita," sahut Chelsea.
"Tapi aku nggak nyaman. Nanti aja kalau mau tanya, karena kita punya waktu seumur hidup untuk bercerita apa aja," ujar Liam santai, tapi tegas.
Alis Chelsea terangkat dan mengarahkan posisi duduk ke arah Liam. "Serius boleh nanya apa aja?"
"Tergantung apa yang kamu tanya nantinya karena aku kelaparan, bisa kita jalan untuk cari makan sekarang?" tanya Liam sambil beranjak berdiri dan mengedarkan tatapan ke sekeliling dengan sorot matanya yang tajam.
Bukan hal mudah untuk memancing Liam berbicara dan waktunya memang tidak tepat karena sepertinya pria itu memang kelaparan. Chelsea pun beranjak sambil menatap Liam. "Mau makan apa? Makanan berat atau jajanan kayak tadi?"
"Apa aja dan aku bisa makan lima porsi sendiri," jawab Liam sambil tertawa pelan.
Chelsea menyukai bagaimana Liam lebih banyak tertawa hari ini. Pria yang selalu terlihat dingin, kali ini bisa lebih santai dan mengobrol dengan hangat. Hal baru yang menambah jumlah penilaian yang berubah terhadap Liam.
"Kita bisa ke pasar malam Shihlin, disitu banyak makanan enak, tempatnya cozy, dan..."
"Aku nggak peduli suasana atau tempatnya, Chels, yang aku butuh makanannya," sela Liam halus.
Chelsea mengangguk sambil tersenyum, lalu menarik tangan Liam untuk mengikutinya berjalan menyebrang menuju ke sebuah pasar malam terkenal Taiwan dengan plang besar bertuliskan Shihlin Market.
Chelsea merasakan Liam menggenggam tangannya erat saat mempercepat langkah, kemudian mendesis pelan saat dirinya tidak sabaran untuk menerobos kerumunan, lalu begitu sigap dalam membuka jalan untuk Chelsea sambil mendelik tajam ke sekelililngnya.
"Nggak bisa santai, ya? Perlu banget lari-lari kayak gitu?" sewot Liam.
"Tadi ada yang ribut lapar," balas Chelsea sambil nyengir.
"Bukan berarti harus lari kayak gitu! Kamu tadi hampir nabrak orang di depan," sahut Liam ketus sambil membuka jalan untuk Chelsea dan terlihat tidak suka dengan banyaknya orang yang berlalu lalang.
Chelsea hanya bisa tersenyum sambil berpikir jika berdamai dengan pria dingin itu tidak ada salahnya. Justru, Chelsea merasa tenang dengan Liam yang cukup menyenangkan saat ini.
Mempunyai seorang kenalan yang memiliki sebuah restoran di sana, tentu saja Chelsea sudah memberitahu kedatangannya lewat pesan singkat sejak semalam. Seperti biasanya, restoran yang menyajikan hidangan laut itu menjadi pilihan banyak orang dan tidak pernah sepi. Dengan mengenal pemilik resto memudahkan Chelsea untuk mendapatkan meja tanpa harus mengantri.
"Aku nggak nyangka kalau kamu bisa-bisanya ngobrol sama orang yang nggak dikenal selama hampir sepuluh menit sampai aku harus nunggu kayak orang bego di sini," desis Liam saat sudah menempati meja yang dipersiapkan untuk mereka.
"Kalau nggak basa basi kayak gitu, kita nggak bakalan dapet tempat dan harus antri sejam buat makan di sini," balas Chelsea dengan alis terangkat.
"Masih ada banyak tempat makan tanpa harus antri," sahut Liam sengit.
"Yang lain nggak seenak ini," tukas Chelsea tidak kalah sengit.
"Bukannya tadi kamu bilang kalau banyak tempat makan yang enak? Kenapa harus ngotot buat makan di sini? Kayak nggak ada tempat lain aja," sahut Liam lagi.
Memutar bola mata, Chelsea mengabaikan Liam dengan memanggil pelayan untuk segera memesan menu favoritnya tanpa perlu bertanya pada pria yang sedang kesal karena kelaparan itu.
"Fyi, Chef Gongli bukan orang asing," lanjut Chelsea setelah memesan makanan, merasa perlu memberi penjelasan. "Aku lebih kenal dia ketimbang kamu."
Ucapan Chelsea membuat Liam tidak senang. "Jadi, kamu mau bilang kalau aku adalah orang asing?"
"Nggak gitu, Liam. See? Aku salah lagi sekarang."
"Aku nggak nyalahin kamu."
"Tapi nuduh."
"Aku nggak nuduh."
Chelsea merasa tidak ada gunanya berdebat dengan pria yang labil karena kelaparan. Bisa dipastikan jika pria itu belum mendapatkan asupan makanan yang cukup dan merasa terganggu dengan keramaian yang ada disekitarnya.
"Dia salah satu senior chef yang ngajar waktu aku masih kuliah. Tadi ngobrol dan tanya kabar, trus dia kasih kita diskon," kembali Chelsea berusaha menjelaskan.
"Untuk beli restoran ini pun aku mampu, Chels. Do I look like I care for that damn discount?" ucap Liam ketus.
Chelsea tidak mampu membalas ucapan Liam yang semakin konyol. Tidak ingin melanjutkan perdebatan, Chelsea memilih untuk terdiam dan Liam pun demikian. Mereka terdiam sampai pesanan tiba dan disajikan di meja.
"Btw, aku belum secara resmi buat nanya," ujar Chelsea sambil menyendokkan makanan ke dalam mangkuk kecil dan menyodorkannya pada Liam. "Umur kamu berapa sih?"
"Emangnya kamu nggak tahu?' balas Liam sambil menerima mangkuk berisi sup dari Chelsea.
"Aku cuma tahu kalau kita beda 12 tahun. Dan kalau emang bener, berarti kamu umurnya 35 tahun?" sahut Chelsea.
Liam mengangguk. "Yes."
"Terus pernah pacaran, gak?" tanya Chelsea lagi.
"Terus kamu mau bilang kalau aku gay karena umur segini malah dipaksa kawin?" tembak Liam sambil melirik malas pada Chelsea.
"Nggak juga," jawab Chelsea santai. "Aku heran aja buat cowok yang dewasa, mapan, dan berkelas, tapi kenapa nggak ada satu cewek pun yang berhasil ngambil hati kamu buat dijadikan istri."
"Bukan nggak ada tapi aku yang nggak mau," balas Liam kalem. "Lagipula, menikah nggak ada dalam daftar hidupku."
"Maksudnya, dipaksa nikah itu ada dalam daftar hidup kamu?" tanya Chelsea yang membuat Liam berdecak pelan.
"Kalau kamu masih penasaran dengan alasan kenapa aku nggak bawa kamu kabur dan malah jadi nikah waktu itu, ngomong aja," cetus Liam sinis.
"Ah, you got the point, so, tell me," seru Chelsea sambil bertepuk tangan karena Liam akhirnya mengerti dengan maksud dari pertanyaannya.
"Aku udah bilang sejak awal kalau kabur itu bukan jalan keluar. Dengan kasih apa yang mereka mau, maka mereka akan berhenti untuk ganggu hidup kita berdua," tegas Liam.
"Tapi aku merasa kalau kamu sangat kenal aku, sedangkan aku nggak," tuntut Chelsea karena tidak puas dengan jawaban Liam.
"Kalau kamu nggak minat dan kerjaannya suka menghindar, jangan langsung berasumsi jelek dan lempar kesalahan ke orang lain. Selagi kamu sibuk menghindar dari janji temu, aku coba cari tahu tentang cewek pilihan bokap yang katanya kandidat terbaik itu," ujar Liam.
Chelsea merengut cemberut sambil sibuk menyiapkan makanan ke piring Liam. Pria itu segera mengambil sendok dan garpu, lalu menikmati makanan dengan lahap. Begitu lahap sampai tidak bersuara dan fokus pada makanannya.
"Kenapa sih harus lewatin jam makan terus? Nggak kasihan sama perutnya?" tanya Chelsea heran.
"Aku udah jawab pertanyaan kamu waktu makan sosis tadi," jawab Liam dengan mulut penuh dan mengangkat tatapan untuk melihatnya. "Kamu nggak makan?"
"You have to be balance with anything," balas Chelsea sambil meraih sumpit dan mencapit salmon teriyaki.
"Kalau gitu, kamu yang atur pola makanku sekarang," ucap Liam yang sukses membuat Chelsea tersedak dan menatapnya tidak percaya.
Liam menyodorkan segelas air pada Chelsea dan menyuruhnya minum. "Kenapa sih harus kaget kayak gitu?"
"Bukan kaget!" desis Chelsea setelah menghabiskan segelas airnya. "Aku tuh nggak mau dibilang ikut campur, trus nanti dikasih kado sebagai permintaan maaf."
Liam tidak menanggapi ucapan Chelsea dan terus menikmati makanannya dengan tenang. Pria itu benar-benar lahap dan menghabiskan semua makanan yang tersaji, bahkan menambah jumlah pesanan dalam porsi besar. Tentu saja, Chelsea sampai tertegun melihat semua menu yang tersaji di meja.
"Kamu bisa ngabisin semuanya?" tanya Chelsea sambil meringis.
"Famished," jawab Liam yang masih asik mengunyah.
Chelsea tersenyum sambil menopang dagu dengan satu tangan dan menatap Liam yang begitu menikmati makanannya. Hanya di jam makan saja, Chelsea bisa memandang pria itu dengan seksama. Dia menilai Liam bersikap apa adanya saat makan, itu saja. Lebih dari itu, dia kembali menjadi pria yang dingin.
"Boleh aku tanya lagi?" tanya Chelsea kemudian.
Liam menatap Chelsea masam. "Kenapa jadi banyak nanya sih?"
"Namanya juga cewek, suka penasaran."
"Mau nanya apa?"
"Kenapa kamu jadi berubah dan bersikap kayak gini?" tanya Chelsea.
"Seperti yang kamu bilang kalau hubungan kita nggak kayak kebanyakan orang, dan kita masih belum kenal satu sama lain, jadi nggak ada salahnya untuk mencoba, kan?"
Tertegun, Chelsea menatap Liam tidak percaya, lalu mengangguk sebagai respon untuk jawabannya yang disampaikan dengan nada tegas dan ekspresi yang begitu serius. Meski begitu, ada kehangatan yang menjalar dalam hati saat melihat kesungguhan Liam yang masih asik dengan makanannya di sana.
"Karena aku yang paling inisiatif di sini, gimana kalau kita kenalan? Anggap aja, ini adalah date pertama kita," ucap Chelsea sambil melebarkan senyuman.
Alis Liam terangkat saat Chelsea mengulurkan tangan, meski bingung tapi dia membalas uluran tangan Chelsea dengan menjabatnya erat.
"Kenalin, namaku Chelsea, umur 23 tahun dan berulang tahun di setiap tanggal dua November. Aku suka segala sesuatu yang berhubungan dengan seni dan paling benci sama orang sombong. Kayak kamu," ujar Chelsea geli.
Liam ikut tersenyum dan mengeratkan jabatan tangan mereka. "Namaku Liam, umur 35 tahun dan berulang tahun di setiap tanggal 15 September. Aku suka alam dan hobiku berkuda. Hal yang paling aku benci adalah orang cerewet, kayak kamu."
Dan mereka berdua saling melempar tawa geli sambil melanjutkan sesi makan mereka dengan obrolan ringan mengenai menu makanan yang tersaji.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Bagian kedua dari part ini ditulis oleh CH-Zone dan aku update besok ya. Udah ngantuk. 😵
Pokoknya, kita halu sebanyak mungkin kalau di sini. 🤣
Happy weekend.
PS. Ini adalah bangku kayu yang diduduki Liam dan Chelsea.
Hai, salam kenal. 💜
29.07.22 (23.00 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top