PART. 10 - LATE LUNCH

Halo, apa kabar?
Cuaca lagi nggak menentu, jadi jaga kesehatan biar tetap fit.

Happy reading. 💜



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Chelsea sudah jelas adalah gangguan, pikir Liam. Sudah berusaha keras untuk mengabaikan sosok Chelsea yang berada satu atap bersamanya dengan bersikap seperti orang brengsek yang mengganggu kenyamanan, yaitu berdalih membutuhkan ketenangan. Meski itu benar adanya, tapi saat Chelsea menepati janjinya untuk tidak bersuara, justru membuat Liam seperti orang tolol yang bangun lebih pagi untuk mencari sosok wanita itu yang selalu sudah pergi bekerja.

Merasa tidak senang, Liam sampai mengerjai Chelsea dengan menyuruh semua cabang perusahaan untuk memesan catering pada restorannya di hari yang sama, demi mencari celah untuk memberi komplain yang membuat wanita itu kewalahan. Nyatanya? Chelsea memenuhi semua pesanan dengan sangat baik, tapi tidak memperhatikan kesehatannya sendiri.

Menjadi kesal dengan dirinya sendiri, Liam tidak menginginkan adanya urusan dengan membiarkan Chelsea pergi dan pulang seorang diri. Oleh karena itu, dia mengatur beberapa penjaga untuk mengikuti Chelsea supaya tidak terjadi hal yang tidak diperlukan. Dan kekuatiran Liam terbukti saat melihat Chelsea tumbang karena kelelahan. Shit.

Liam tidak pernah memiliki masalah tentang pribadi, tidak sampai Chelsea datang dalam hidupnya. Sekarang, dia terpaksa harus berjuang untuk tetap menjaga pikiran pada apa yang penting dalam hidupnya, yaitu masa depan. Salah satunya adalah membalas ayah yang dibencinya karena sudah menjerumuskan dirinya dalam situasi seperti ini.

Berpikir jika menerima pernikahan itu bisa mempermulus rencana untuk mempermalukan ayahnya dengan menyakiti siapapun yang terpilih menjadi istrinya, tapi ternyata Chelsea begitu kuat, cerdas, dan sialnya begitu cantik. Bahkan, wanita itu seolah tahu bagaimana harus berhadapan dengannya dan menjadi lawan yang cukup tangguh. Dia sangat tahu jika Chelsea berusaha berdamai dengan situasi dan mati-matian menahan diri, tapi justru itu menjadi masalah untuk Liam.

Menarik napas sambil melihat sekeliling, sudah sejam lebih dirinya duduk di sebuah kafe dengan didampingi asisten pribadi yang menemui kolega Taiwan untuk membahas proyek baru dengan negosiasi yang berjalan alot dan membosankan. Sudah dua cangkir kopi hitam dihabiskan, tapi itu tidak membantu sama sekali.

Tidak tahan lagi, Liam beranjak dan mengundurkan diri sambil mengarahkan asistennya untuk melanjutkan pembahasan tanpa dirinya, lalu keluar untuk menghirup udara segar. Lapar, tentu saja, dirinya belum menikmati makan siang dan sudah tidak mendapatkan bekal yang selalu disiapkan Chelsea semenjak aturan keheningan itu dilayangkan.

Sebelum kembali ke kantor, Liam berpikir untuk mencari makan siang dan mulai berjalan menyusuri pinggir jalan yang cukup ramai dengan beberapa toko dan restoran di situ. Hendak memilih restoran secara acak, tatapan Liam terpaku pada sosok familiar yang berdiri di sebrang jalan atau tepat di depan sebuah restoran. Itu Chelsea.

Mengerjap pelan, Liam mengedarkan pandangan sekeliling, lalu mengumpat pada dirinya sendiri karena baru tersadar jika dirinya sedang berada di area dekat restoran yang dimiliki Chelsea. Tatapannya kembali pada Chelsea yang sedang mengobrol dengan dua orang di hadapannya dengan ramah.

Dengan pakaian chef serba hitam dan rambut yang diikat sederhana, Chelsea tampak cerah dan menawan di sana. Tanpa sadar, Liam menyebrang untuk menghampirinya, membuat wanita itu tidak sengaja menoleh dan senyumnya lenyap seketika saat tatapan mereka bertemu.

Sudah beberapa hari sejak kejadian malam itu, Chelsea semakin menarik diri dan berusaha keras untuk tidak bertemu dengannya. Seharusnya, Liam mensyukuri hal itu karena tidak perlu membuang waktu, tapi yang dia rasakan justru sebaliknya. Liam merasa tidak senang.

"Aku sama sekali nggak nyangka kalau kamu bakalan nguntit orang terang-terangan kayak gini," ujar Chelsea sambil bersidekap setelah dua orang yang tadi mengobrol dengannya sudah beranjak pergi.

"Aku meeting sama kolega di kafe sana," ujar Liam menjelaskan sambil menunjuk ke kafe yang tadi disambanginya. "Trus bosen, niat mau cari makan, dan ternyata kamu ada di sini. Emangnya restonya ada di sini?"

Liam tahu jika sikap brengseknya kali ini tidak akan ditolerir oleh Chelsea karena suasana tidak akan membaik dilihat dari ekspresi dingin yang masih ditampilkan wanita itu. Sialnya, dia memaki diri sendiri sampai harus memberi penjelasan yang tidak perlu dilakukan.

"Oh, kebetulan banget ya," celetuk Chelsea dengan nada menyindir.

Liam hanya terdiam dan tidak memberi respon karena balasan apapun tidak akan berarti selama Chelsea sudah menghakiminya dari sindirannya seperti itu. EastWest.Dish, itu adalah nama restoran Chelsea dimana Liam tidak pernah sekalipun datang untuk menikmati makanan yang ada di resto itu.

"Terserah apa yang kamu pikir, aku sama sekali nggak berniat untuk cari masalah di sini," ujar Liam akhirnya.

"Terus cari apa? Cari gara-gara?" balas Chelsea ketus.

"Cari makan," sahut Liam sinis. "Aku lapar dan belum makan. Apa aku nggak boleh makan di sini? Apa ada larangan untuk aku datang dan makan siang di sini? Emang niatnya pilih random kok, mana aku tahu kalau resto kamu ternyata ada di sini."

"Ketemu orang dan belum makan, what a joke," gumam Chelsea sambil menggelengkan kepala dengan tatapan tidak percaya.

Liam memutar bola mata dan menatap masam. "Fine, I'll go to another place."

Hendak berbalik, tapi cengkeraman lembut mendarat di pergelangan tangan yang membuatnya kembali menoleh untuk mendapati Chelsea yang menahannya.

"Follow me," ucap Chelsea sambil mengarahkan dagu ke restorannya. "I'll make it for you."

Seperti orang tolol, Liam mengikuti Chelsea saat wanita itu melingkari lengan Liam dengan satu tangan dan membimbingnya untuk mulai berjalan masuk ke restoran. Entah kenapa, ada rasa senang dalam hati ketika mendapat tindakan Chelsea saat ini.

"Di resto ini, aku nawarin varian menu, paduan antara Western dengan Asian. Menu favorit adalah King Prawn, tapi karena kamu alergi udang, aku akan buatin menu favorit lain dengan bahan yang lain, gimana?" tanya Chelsea santai.

Dengan warna beige sebagai dasar dan furniture bergaya vintage, restoran itu mengusung tema minimalis namun tetap elegan. Saat ini, resto itu cukup ramai dan hampir semua meja sudah terisi, juga para pelayan yang sibuk melayani tamu dan membawakan pesanan.

"Meski kamu cuma siapin telor dadar pun, aku akan makan dan sama sekali nggak keberatan," balas Liam.

Balasan itu spontan membuat Chelsea menoleh ke arahnya dengan ekspresi tidak percaya, lalu terkekeh sambil menggelengkan kepala. Manis, pikir Liam. Dia membiarkan Chelsea menarik Liam untuk mengikutinya ke lantai atas dimana terdapat beberapa ruang yang sepertinya adalah ruang VIP untuk tamu.

Kembali menaiki tangga, Chelsea membawanya ke lantai tiga dan berjalan menuju ke satu-satunya pintu yang ada di lantai itu. Saat pintu dibuka, Liam mengedarkan pandangan sekeliling dan melihat isi ruangan itu dengan seksama.

Ruangan yang memiliki dua fungsi. Di sisi kiri, terdapat sofa bed dengan TV flat raksasa yang terpasang, juga ada sebuah meja kerja yang begitu rapi. Di sisi lainnya, terdapat dapur pribadi yang lengkap dengan kitchen set, dan meja makan minimalis yang menyatu dengan pantry.

"Make yourself home," ujar Chelsea sambil melepas lengan Liam dan langsung berjalan menuju ke dapur untuk meraih apron yang tergantung di sisi kulkas. "Ini adalah ruang kerja sekaligus ruang pribadi. Kalau ada keluarga atau temen yang dateng, biasanya aku bawa mereka dan masak di sini."

"It's been my pleasure, thanks," ucap Liam sambil berjalan dan duduk di salah satu kursi yang kosong tepat di depan pantry, memperhatikan Chelsea yang sedang bersiap untuk memasak.

Wanita itu mengambil beberapa bahan dari kulkas dan menaruhnya di atas meja pantry. Tatapan Chelsea begitu serius dan tampak fokus dalam melakukan apapun yang dikerjakannya saat ini sehingga hal itu menarik perhatian Liam. Tampak begitu tenang, namun bekerja sangat cepat seolah tangannya memang tercipta untuk memegang peralatan yang digunakannya saat ini. Terlatih dan sangat cekatan.

Suasana begitu tenang dan sunyi, tidak ada pembicaraan apapun, hanya suara seperti memotong, dentingan peralatan masak, juga desisan masakan yang berbaur di dalam minyak panas. Liam begitu menikmati apa yang dilihatnya saat ini sampai menu pertama disajikan tepat di hadapannya.

"Crispy Salmon Spring Rolls," ujar Chelsea sambil memberikan sepasang sumpit pada Liam.

"Thanks," balas Liam sambil menerima sumpit itu dan mulai mencapitnya.

Mata Liam terbelalak lebar ketika menikmati makanan sejenis lumpia yang berisi potongan salmon dan kepiting di dalamnya. Jangan lupakan saus asam pedas sebagai pelengkap untuk makanan itu yang membuat Liam tidak sanggup berkata-kata selain menikmatinya dengan tekun dan menghabiskannya tidak lebih dari lima menit.

"Easy, Old Man," terdengar celetukan Chelsea yang membuatnya mendongak dan mendapati wanita itu sedang tersenyum lebar.

"This is so good," ujar Liam jujur.

"I know," sahut Chelsea sambil melebarkan senyuman dengan sorot mata bangga di sana, meski kedua tangan masih sibuk untuk membuat makanan.

Tidak harus menunggu terlalu lama, makanan kedua sudah disajikan setelah Chelsea menyingkirkan piring kotornya tadi.

"Fillet beef with black pepper sauce," ucap Chelsea memperkenalkan makanan kedua itu.

Mengambil pisau dan garpu yang ada di sisi kanan, Liam segera menikmati makanan itu. Tidak perlu dijelaskan lagi, makanan kedua ini lebih nikmati dari yang pertama. Seperti ada sensasi yang berbeda dimana makanan pertama sebagai pembuka, dan makanan ini sebagai penyeimbang.

Belum selesai menghabiskan makanan kedua, menu ketiga disajikan Chelsea di depannya. "Last one, Lemon Chicken with Egg Fried Rice."

Baiklah, makanan terakhir sebagai penutup yang memuaskan dan Liam menyukai semua makanan buatan Chelsea untuk makan siangnya hari ini. Masih belum ada pembicaraan, Liam meneguk air putih dan Chelsea membersihkan piring kotor dalam diam.

"Kamu nggak makan?" tanya Liam akhirnya.

Chelsea menggeleng pelan. "Tadi udah. Lagian, ini udah jam dua lewat, yang artinya udah lewat dari jam makan siang."

"Yeah, rapatnya membosankan dan aku cuma sempet minum kopi," sahut Liam yang membuat Chelsea mengangkat tatapannya.

"Ini yang kamu lakuin tiap hari? Sibuk, telat makan, dan minum kopi?" tanya Chelsea kemudian.

"Not really," jawab Liam sambil menggeleng. "Kalau ada kolega datang kayak hari ini, jadinya yah gitu."

"No wonder you're hungry, terlalu sibuk kerja sampai lupa makan dan lewatin jam makan," komentar Chelsea sambil mengeringkan tangan dan kemudian berjalan mengitari meja pantry untuk menghadap Liam.

"Been my luck today. Kebetulan bisa ketemu kamu dan ternyata restonya ada di sini, juga bisa makan makanan yang enak. Thanks," ujar Liam.

"I'm glad you like the food. Kalau kamu butuh bantuan soal makanan, cukup ngomong aja, aku nggak masalah soal itu," tukas Chelsea.

"Memang seharusnya nggak masalah, tapi ada yang mendadak mogok bikin sarapan dan buatin bekal, lalu pulang malam terus," celetuk Liam dengan satu alis terangkat.

"Kalau kamu nggak cari gara-gara, itu nggak akan terjadi," balas Chelsea sambil mengangkat dagunya.

"Senggaknya, aku udah nikmatin makan siang kayak tadi," ujar Liam.

"Maksudnya itu besok, lalu besoknya lagi. Masih tetep mau dibuatin bekal makan siang? Kalau iya, aku bisa buatin dari sini karena akan sibuk di resto sampai minggu depan, lalu kirim ke kantor kamu. Kantornya ada di mampang, kan? Deket kok dari sini," ujar Chelsea kemudian.

Bad code, batin Liam. Ucapan Chelsea itu seperti mengandung perhatian dan seharusnya tidak menjadi masalah baginya, tapi kenapa dirinya merasa jika hal itu membuat perasaannya menjadi berat? Seperti ada beban yang harus dipikul. Tidak, batinnya lagi. Dia tidak boleh terpengaruh dan sudah seharusnya menghindar dari sekarang.

"Thanks buat tawarannya tapi nggak perlu. Hanya karena nggak sengaja ketemu di sini, lalu telat makan, nggak berarti kamu harus ikut campur sampai urus bekal dan kirim ke kantor," tukas Liam dengan datar dan dingin.

Shit! Dia mengutuk dirinya dalam hati saat melihat ekspresi kaget bercampur bingung dari wajah Chelsea. Tapi itu hanya beberapa saat karena Chelsea sudah kembali dengan kesan biasa saja.

"Tawaran itu berbeda dengan ikut campur, Liam," ucap Chelsea dengan pelan namun tegas. "Kalau kamu nggak mau, itu bukan masalah karena aku nggak memaksa."

Rasa bersalah datang saat Liam berpikir jika dia tidak harus merasa bersalah. Sialnya, dia semakin tidak nyaman dengan ucapan yang tadi dikeluarkan. Terlebih lagi saat melihat Chelsea mulai beranjak sambil melepas apron dan menaruhnya di sebuah keranjang dekat sudut dinding.

"Aku harus balik ke bawah untuk cek dapur. Kalau kamu masih mau di sini, silakan. Kalau udah kelar, tolong tutup pintunya," ujar Chelsea sambil berjalan menuju ke pintu tanpa menoleh ke arahnya.

BLAM! Dan Liam hanya melihat kepergian Chelsea tanpa berkata apa-apa dengan rasa bersalah yang semakin membingungkan dan menyudutkan dirinya.





🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Terkadang, mulut dan hati suka nggak nyambung kalau udah pake rasa.
Terlalu logic, juga capek mikirnya.
Terlalu baper, juga capek hatinya.
Ibarat seperti garam, secukupnya aja.🙃

Nggak semua hari itu indah.
Ada kalanya sedih, ada kalanya hepi.
Ada kalanya gelisah, ada kalanya tenang.
Ada kalanya tawa, ada kalanya tangis.
Merasakan semua emosi itu adalah manusiawi, jadi nggak ada yang salah dengan itu.

Tapi yang pasti, emosi2 itu nggak permanen karena berubah2 seiring dengan kondisi yang kita alami.
Jadi jangan terlalu cepat untuk memutuskan sesuatu di saat kita merasakan emosi yang nggak permanen.

Semangat untuk jadi lebih baik.
Belajar lebih banyak untuk kenal dan sayangi diri sendiri.
Borahae. 💜

Kenapa ya, si Om ini makin tua makin mateng? 😩


05.07.22 (20.40 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top