03. Cahaya


18 September 2007

BRAKK

"ADA GUE GANGGU-GANGGU PRIVASI LO?"

"PRIVASI APAAN SIH BANGSAT?! YANG KAYAK GINI WAJAR LAH GUE CURIGA. LO SENDIRI YANG BILANG HABIS NIKAH GAK ADA YANG NAMANYA PRIVASI-PRIVASIAN LAGI."

"YA TAPI HARUSNYA LO TAU DIRI LAH, INI UDAH MASUK LINGKUP PRIVASI GUE."

"EMANG ITU APAAN? BERANI GAK LO NUNJUKKIN?! SURAT APA ITU? SURAT DARI SIMPENAN?? IYA?"

"APASIH??!"

Kriett....

Cahaya menutup pintunya pelan dengan perasaan takut. Kaki kecilnya itu melangkah ke ranjang sang ibunda yang terisi bayi perempuan kecil, adiknya. Dia masuk ke dalam selimut yang sama dengan sang adik lalu memeluknya erat. Suasana malam ini kacau. Di luar rumah sedang hujan petir, di dalam rumah sedang ada keributan. Kalau sudah seperti ini, ke mana Cahaya harus bersinggah? Tidak ada tempat. Oleh karena itu, dirinya hanya merengkuh sosok kecil menggemaskan yang belum mengerti apa-apa.

"Enak ya Cher... Cher nggak ketakutan karena belum ngerti apa-apa...." Cahaya memajukan bibirnya dengan rasa sedikit sebal―sebal karena hanya dia yang ketakutan di sini, sebal karena orang tuanya tidak pernah bisa saling jujur satu sama lain.

Perlahan, bayi kecil itu sedikit menggeliat kala tangan Cahaya iseng menekan pelan pipinya. Dia terbatuk sebentar sebelum akhirnya kembali tenang dan diam. Untung saja, adiknya ini tidak mudah terbangun hanya karena suara. Setidaknya, Cahaya jadi sedikit tenang. Bayangkan saja jika Cher bukanlah sosok yang tenang. Duh, pasti akan sangat mengerikan. Di luar rumah ada hujan petir, dan di dalam rumah ada keributan serta suara bayi menangis tak henti-henti. Astaga, membayangkannya saja Cahaya tidak sanggup.

―――

11 Agustus 2011

"Ih Cahaya udah gede aja, lucunyaaa. Sekarang udah umur berapa?"

Hari ini ada acara keluarga besar, yang mana itu artinya enam saudara ayahnya datang semua ke acara ini. Sesuai dengan dugaan Cahaya, Gempa akan datang menemuinya dan berbasa-basi padanya di awal. Terakhirnya? Ah, Gempa akan bertanya tentang kondisi keluarganya.

"... 10 tahun."

Gempa hanya tersenyum, dia menepuk pundak Cahaya pelan sebelum kembali berbicara, "Berarti Cheryna sekarang 5 tahun, ya?" Pertanyaan itu hanya diangguki oleh Cahaya.

"Unik ya nama adikmu." Cahaya hanya terkekeh, memang benar, nama adiknya ini sangat unik. Itu dibuat karena dulu waktu sedang mengandung, [Name] mengidam buah ceri terus-terusan. Saat ingin lahiran, [Name] berpesan pada semua orang, "Pokoknya namanya harus ada unsur cerinya! Gapapa aneh biarin!" Sedangkan di sisi lain, Solar ingin nama yang lain. Akhirnya terbentuklah gabungan nama itu, Cheryna.

Astaga, waktu itu dia sebagai anak kecil berusia lima tahun hanya bisa geleng-geleng kepala, yang penting adiknya lahir dengan selamat saja, deh.

"... Oh, ya... Cahaya."

Nah, mulai.

"... Gimana?" Gempa hanya bertanya seperti itu, tapi Cahaya tau ke mana arah pembicaraannya. Laki-laki muda itu hanya menggeleng pelan dan memalingkan wajahnya. Paham dengan maksud Cahaya, Gempa langsung kembali menepuk pundaknya.

"... Kamu nggak mau tinggal sama GemGem aja sementara?"

Memang, ponakan-ponakan Gempa memanggil Gempa dengan sebutan 'GemGem' dibanding 'Om Gempa'. Oleh karena itu pula, Gempa jadi lebih akrab dengan anak-anak saudaranya.

"... Nggak usah, kalo Aya di situ, Cher sama siapa? Cher nggak bisa sendirian ... Mami sama Papi pasti gak izinin Cher tinggal di rumah GemGem karena takut ngerepotin...."

Ah, benar juga.

ーーー

5 Maret 2017

"Mami sama Papi kenapa nggak cerai aja?"

Pertanyaan itu dilontarkan oleh Cher ketika Cahaya sedang fokus belajar. Dia memandang adik perempuannya bingung, sedikit terkejut juga karena tiba-tiba adiknya berkata seperti itu.

".... Kamu tau kata cerai dari mana?"

Cher memutar bola matanya malas, "Ya aku bukan anak kecil lagi, Kakakkk. Aku udah 11 tahun sekarang! Aku udah mau gedeee. Aku juga paham situasi kali."

Ah, benar. Cahaya lupa kalau adiknya ini semakin bertambah umur, semakin pula dia memahami situasi.

"... Mami sama Papi gak bisa cerai karena ada kita. Mereka juga pasti mikirin kita."

"Mereka berantem terus tiap hari, kata siapa mikirin kita?"

"Cher, hush."

"Lagian! Aku lebih milih mereka berdua cerai dibanding ribut terus kayak gini. Aku gak masalah mau ikut Papi atau Mami, atau kita hidup sendiri berdua juga gak masalah!"

Cahaya hanya geleng-geleng kepala mendengar adiknya mengoceh dan terlihat marah. Cahaya mewajari, karena Cher masih terlalu kecil untuk memahami rumitnya dunia rumah tangga dan hal dewasa lainnya. Pun, ia juga begitu. Umurnya kini 16 tahun, tapi sedikit demi sedikit Cahaya mencoba memahami situasi orang tuanya.

"Cher,"

"Apaaa?"

"Mau Kak Aya kasih tau sesuatu, gak?"

Mata Cher mengerjap beberapa kali. Nampaknya, dia tertarik dengan ucapan Cahaya. Habisnya kalau Cahaya berucap seperti ini pasti itu sesuatu yang luar biasa.

"Apa itu?"

"... Papi pernah ngasih surat buat kita semua. Cuma Papi ngasih pesan, lebih tepatnya amanah."

"Hah? Apaan?"

"... Kak Aya juga nggak tau isinya apa, tapi yang pasti Papi minta buat kita semua buka itu pas umur Kak Aya udah delapan belas tahun."

Mendengar ucapan Cahaya, Cher mengerutkan keningnya bingung. Kenapa harus saat berusia delapan belas tahun?

"... Aneh banget. Kenapa Kakak gak buka sekarang aja suratnya? Ngelanggar dikit gak ngaruh, kan? Kita bisa rahasiain juga kalo kita udah buka."

"Nggak bisa, Cher. Kak Aya kan dikasih amanah. Kakak nggak mau hilangin rasa percaya Papi ke Kakak."

"Ya sekarang aja Papi hilangin rasa percaya kita ke dia. Masa kita nggak bisa? Emang yang bisa egois cuma Papi? Emang Papi siapa? Penguasa? Kok cuma Papi yang bisa egois? Ih aneh."

"Cher!"

――――

3 Januari 2019

"..."

Cahaya tidak mengerti, kenapa dia diajak jalan oleh ayahnya. Namun, ada satu hal yang hingga kini menganggu pikirannya. Yaitu ucapan Mio bulan lalu. Iya, Cahaya ingat, waktu itu Mio berkata kalau ayahnya memiliki sebuah penyakit¹. Namun, tidak tahu itu penyakit apa. Apa ini ada hubungannya dengan surat yang diberikan oleh Solar? Cahaya tidak mengerti.

"Aya," Entah ini efek karena tidak dekat dengan Solar atau bagaimana, tapi Cahaya merasa suara Solar berbeda. Agak lemah.

"Iya?"

".... Surat yang Papi kasih,"

Ah, kan.

".... Iya? Masih Aya simpen, kok."

Solar mengangguk, dia menepuk bahu Cahaya pelan dan memeluknya sebentar.

"Terima kasih, ya, Cahaya. Terima kasih karena sudah mau berdikari sampai detik ini. Terima kasih karena sudah mau bertahan sampai detik ini. Terima kasih, ya. Selanjutnya, tolong hidup lebih lama lagi."

"...." Cahaya tidak menjawab, dia hanya menatap ayahnya dengan perasaan campur aduk. Namun, tangan kanannya meraih pergelangan tangan Solar.

"Harusnya Aya yang bilang gitu ... Makasih, karena sudah mau jadi 'papi' buat Aya walau di awal Papi nggak nerima kehadiran Aya.² Tolong, ya, selanjutnya, hidup lebih lama lagi dan hidup dengan sehat."

"... Iya, Papi bakal hidup lebih lama lagi buat kalian bertiga."

――――

11 Januari 2019

Ulang tahun. Iya. Hari ini dia ulang tahun. Cahaya ulang tahun. Ulang tahun ke-delapan belas. Ini masih pukul 00.00 tapi Cahaya sudah membuka keramik di bawah ranjangnya dan mengambil surat itu. Namun, ada yang aneh. Kenapa... Suratnya terlihat seperti sudah dibuka?

Ah, masa bodoh. Siapa yang memikirkan itu sekarang? Cahaya hanya butuh jawaban, jawaban dari segala masalah keluarganya selama ini. Dia membuka amplop itu, di dalamnya, hanya ada dua. Satu untuk ibunya, [Name] dan satu untuk Cahaya. Huh... Cahaya pikir akan ada satu untuk Cher.

Sudahlah, Cahaya tidak peduli. Dia membuka surat yang harusnya untuknya dan bersiap membacanya. Namun ... surat itu singkat.

Papi sayang Aya, terima kasih sudah bertahan sampai sekarang. Selamat ulang tahun yang ke-18. Jaga-jaga, siapa tahu Papi sudah mati.

Gimana? Senang? Sekarang semua yang kamu tunggu udah terjawab belum?

Papi nggak tahu kamu tahu tentang penyakit ini sebelum atau sesudah baca surat ini, tapi Papi tahu Aya itu pintar. Jadi kalau memang Aya sudah tahu sebelum baca surat ini, Papi mau minta maaf lagi karena selama ini cuma diam. Kalau kamu belum tahu dan baru baca surat ini, Papi cuma mau bilang,

Papi kena penyakit jantung.

― Papi Solar
(jangan jijik sama Papi sendiri)
18 Oktober 2006

"...."

Di jam segini, Cahaya dibuat terkejut oleh sebuah surat. Segera Cahaya kembali menaruh suratnya dan menyimpannya di amplop, dia berniat memberikan kepada ibunya agak telat, ketika hari akan berganti menjadi tanggal 12 Januari. Agar Cher tidak merasa iri karena tidak dapat surat. Ya, itu pemikiran Cahaya.

ーーーーーーーーーーー

2006.

Setiap bulannya, sekolah Cahaya mengadakan program menggambar. Jadi, satu hari penuh siswa-siswi TK hanya menggambar saja. Untuk temanya sendiri, sudah diberi tema dari guru mereka.

Tema menggambar hari ini adalah keluarga, rata-rata mereka menggambar ayah, ibu, dirinya sedang bergandengan tangan. Namun, milik Cahaya unik. Membuat perhatian sang guru hanya padanya.

"Wah, ini apa Cahaya?"

"Ini gelas pecah ... telus ini Mami."

"... Loh, Ayahnya di mana?"

"Nggak ada Ayah, kalena Ayah nggak pulang."

"Terus gelas pecah ini apa...?"

"Ayah pecahin gelas, telus ini Mami belesin."

Dari situ saja, guru Cahaya bisa memahami maksudnya. Membuatnya merasa kasihan. Apalagi guru ini guru baru. Belum begitu terbiasa dengan murid yang memiliki masalah keluarga seperti ini.

"... Cahaya suka melukis nggak?"

"... Suka... Tapi lukis yang Aya mau aja."

"Oh... Kalo gitu, gimana kalo Aya nuangin apa yang ada di pikiran Aya ke dalam lukisan? Ibu mau liat."

Sejak saat itu, lukisan adalah satu-satunya tempat singgah Cahaya.

________

[1] ini ada di Satu-Kesatuan, chapter Kepingan Puzzle.
[2] ini ada di Solar: Mistake, chapter Prolog.

Iyah, Cahaya agaknya stres. Trus kenapa tuh udah kebuka suratnya? 🤭🤭

Yh, nantikan yh guys ak tidak tau mau ngetik apalagi ini jadi kita bay bay kan saja di sini 😭

Oh iya, happy holiday ya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top