02. [Name]


27 Februari 2006

"Solar, kamu sibuk?" Suara lembut dan tenang itu memasuki indra pendengaran Solar, membuatnya menoleh dan mendapati istrinya yang malu-malu kucing bersembunyi di balik pintu. "Kenapa?" Tanyanya.

[Name], istri Solar, terkekeh sebentar sebelum dia memutuskan untuk masuk ke dalam ruang kerja suaminya. Tangannya melingkari pinggang suaminya dari belakang, bermaksud untuk memeluknya erat.

"Aku cuma kangen,"

Solar tertawa kecil mendengarnya. Dia memutar tubuhnya dan menangkup wajah mungil istrinya, "Sama, aku juga kangen." Katanya, diiringi dengan nada mengejek.

"Oh? Jadi sebenarnya gak kangen, nih?"

"Gak, gak salah lagi."

Tepat setelah itu juga, tinjuan cukup keras melayang ke perut Solar, membuat pria itu reflek meringis dan memegangi perutnya. "Aduh! Kenapa, sih, [Name]?! Aku cuma bercanda tau."

"Najis banget aku-kamu."

"Hah...? HAH APAAN SIH?? JELAS-JELAS LU DULUAN YANG MULAI AKU-KAMU."

"YA TAPI HABIS ITU ELU NGEJEK BEGITU NADANYA! GIMANA GAK NAJIS."

"EMANG ITU KETENTUAN NAJIS?"

Yah, berantem lagi, deh.

[Name] tak berkata-kata lagi sehabis itu. Benar juga, itu bukan najis. Wanita itu menghela napasnya pelan dan mundur satu langkah ke belakang dari suaminya.

"Ya enggak, sih ... aduh, niat gue ke sini kan buat ngasih tau sesuatu gitu, siapa tau bikin happy. Eh tapi elunya ngejek gitu responnya. Gimana gak emosi gue?"

Solar terkikik, "Emang mau ngasih tau apasih? Kayak penting banget gitu." Ujarnya.

"Emang penting!"

"Yaudah apa?"

Kini [Name] yang tersenyum puas, dia merogoh sesuatu di kantongnya. Sebelum akhirnya menunjukkan sebuah dua garis biru yang sudah dia plastikkan.

"Kita bakal jadi orang tua buat dua anak," Katanya, sambil menampilkan senyum paling lebarnya kepada si suami.

"... Kamu hamil lagi?"

"Iya―HEH AWAS YA ELU GAK TERIMA ANAK INI LAGI KAYAK ELU GAK TERIMA CAHAYA WAKTU ITU! INI KAN JUGA GARA-GARA ELU GAK PAKE PENGAMAN PAS NG―*sensor*." Maaf, ya, kalau sudah emosi perempuan ini akan jadi sedikit frontal.

"YA SANTAI DONG,"

"YA ELU RESPONNYA GITU!" [Name] menatapnya sebal. Dia pikir responnya akan lebih baik daripada respon saat Solar tahu kalau dirinya sedang mengandung Cahaya, ternyata, sebelas dua belas.

"Yaaa emang harus respon gimana lagi sih? Ya udah alhamdulillah."

"YAELAAAH, SENENG DIKIT KEK!"

"INI MUKA GUE SENENG???"

"NGGAK ADA MUKA SENENG KAYAK GITU!"

Sudahlah, Cahaya juga sudah capek.

―――――

11 Januari 2007

"Selamat ulang tahun, Cahaya! Gantengnya Mami ini udah becall aja utututu cini cinii Mami peluk dulu!" Cahaya―yang kini usianya  enam tahun―hanya tertawa geli ketika tubuhnya ditarik ke dalam pelukan sang ibunda dan digelitik. Ia tidak merasa tidak nyaman, justru hal seperti ini yang ia butuhkan dari orang tuanya.

"Mamii!"

"Apacihh bocil Mamii?" [Name] bertanya, sembari tangannya masih menggelitik si sulung yang mana terus membuat si sulung tertawa, "MAMIII! GELII!" Katanya. Dia tahan tangan [Name] agar berhenti menggelitiki dirinya.

"Duh, duh, shuut! Biarin Mami peluk kamu seharian ini. Kamu udah mau gede soalnya."

[Name] memeluk putranya sekali lagi, sebelum dia melirik dan menyadari jikalau wajah putranya semakin mirip dengan suaminya, Solar. Ditambah, wajah Cahaya semakin ke sini semakin matang juga, tampannya mulai kelihatan.

"Duhhh, anak Mami!"

"MAMIII!" Dia berteriak kecil, sampai akhirnya matanya menangkap sosok sang ayah yang sedang turun dari lantai atas dengan adiknya di gendongannya. "PAPII! Papi! Tolong Aya, Aya mau digigit Mamii." Wah, fitnah.

Ayahnya yang ikut melihat langsung tertawa kecil, dia dengan buru-buru turun ke bawah dan menaruh putrinya di ranjang bayi. "Aya mau Papi nolongin Aya?" Pertanyaan itu langsung diangguki oleh Cahaya.

"Toloong!"

Solar terkekeh, dia menarik Cahaya dari pelukan [Name] dan secara paksa memeluknya erat, lebih erat dari pelukan [Name]. Namun, belum ada satu menit dia ikut bermain dengan istri dan anaknya, tiba-tiba batuknya kambuh lagi, membuatnya mau tak mau melepaskan Cahaya agar batuknya tidak kena padanya.

"Lar?"

"Aman, gapapa."

[Name] menatap bingung suaminya, ada rasa mengganjal dalam hati. Memang akhir-akhir ini Solar jadi lebih sering batuk, agak lemas, dan lebih banyak berpikir. Namun, akhir-akhir yang [Name] maksud itu sudah hampir lima bulanan. Bagaimana [Name] tidak khawatir?

"Nggak mau ke dokter aja?"

"Nggak perlu, batuk doang."

"Tapi udah lama, loh. Sudah lebih dari dua bulan. Kamu batuk bukan sekali batuk, tapi batuk terus."

Solar menghela napasnya pelan, "Gue nggak apa-apa, [Name]. Kita juga udah sering bahas ini. Kan gue sendiri yang bilang kalo ada apa-apa gue bakal ngomong ke lu."

Dari cara Solar yang menggunakan gue-elu, [Name] sadar kalau Solar sedang tidak ingin membahas ini, apalagi di depan Cahaya.

"Yaudah, janji loh kasih tau aku atau keluarga yang lain kalau ada apa-apa. Janji, ya?"

"...."

"Heh! Jawab, janji."

"Haduh... Iya-iya, janji."

Tidak, Solar tidak sepenuhnya bohong. Di dalam ucapan [Name] itu terdapat kata-kata 'keluarga yang lain' yang mana itu artinya dia tidak perlu memberitahukan kepada [Name], tapi memberitahu keluarga besarnya.

"Ya sudah, aku urus Cher dulu. Cahaya sama kamu sebentar,"

――――――

13 Juli 2009

"Solar?" [Name] mengerjapkan matanya bingung kala melihat suaminya terlihat tidak seperti biasanya. Matanya tampak lelah, tangannya memegang dada kirinya dengan rasa lemas.

"Kenapa? Kamu ngerasa apa? Ngomong! Nggak usah ditahan sakit gitu!"

Solar menggeleng pelan, tangannya masih memegang dada kirinya dengan lemas, mencoba menetralkan rasa sakitnya dengan menyembunyikan wajah di atas meja.

"Nggak apa-apa, cuma capek."

[Name] mendengus sebal, dia membantu Solar merapikan pekerjaannya, lalu kembali melirik ke arah Solar yang masih terlihat lemah.

"Kamu sudah minum obatmu?"

Solar menggeleng, yang mana membuat [Name] kembali menatapnya sebal dan segera mengambil obat. Solar ini penderita diabetes dari sejak umur dua belas tahun, [Name] tahu sekali itu. Oleh karena itu, tiap kali diajak ke toko kue atau manisan yang lain, Solar akan menolak. Selain itu, diabetes ini juga salah satu alasan Solar menderita penyakit mematikan ini.

Kalau Solar diabetes sejak kecil, kalau Halilintar itu asma. Hanya saja, Halilintar pandai menutupi dan menjaga dirinya lebih baik daripada Solar, sampai-sampai tidak banyak yang tahu terkait Halilintar asma. Oleh karena itu juga, Gempa termotivasi untuk menjadi seorang dokter.

Kalau mau bahas tentang kesehatan anak-anak Amato, yang paling sehat itu Gempa, dilanjut dengan Duri lalu Taufan. Mereka bertiga itu hidup sehat (dalam artian masih mending daripada yang lain).

"Nih, minum dulu obatnya."

"Makasih,"

"Sama-sama. Kalau masih sakit, tiduran aja dulu di kasur. Nggak usah dipaksain, aku gak mau cepet-cepet jadi janda karena suamiku penyakitan."

Mendengarnya, Solar langsung diam.

"... Maaf, ya."

"...?? APASIH, KOK MINTA MAAF. GUE CUMA BERCANDAA, BIASANYA ELU MARAH BALIK, KOK MALAH MINTA MAAF SIH??"

Mengamuklah, [Name].

――――――

14 April 2013

"Solar, diabetesmu makin parah, ya? Perasaan kamu udah sering kurangin makanan manis dan diet. Kok malah kayaknya kamu makin parah makin ke sini?"

"Nggak tau, menurutku ini udah mendingan, kok. Lebih baik aja gitu."

"Masa sih? Nggak mau cek ke dokter aja?"

"... Udah cek, kok."

"Masa? Mana suratnya atau apanya gitu, yang bisa jadi bukti kamu beneran udah cek."

"Ada di kamar, di laci sebelah kiri." Mendengarnya, [Name] langsung mengiyakan. Dari cara Solar berbicara, dia seperti sedang tidak berbohong, alias jujur. Habisnya, lelaki ini dengan lantang dan yakin mengatakan seperti itu tanpa pikir panjang.

"Haish ... oke, nanti aku cek. Cuma kalo ada apa-apa ngomong ya."

"Iya,"

――――

23 Mei 2016

Katakanlah [Name] memiliki rasa khawatir berlebihan, karena kini kepalanya penuh dengan rasa khawatir terhadap suaminya. Semakin hari, suaminya semakin aneh. Semalam dia sampai bertengkar lagi karena membahas keanehan suaminya ini. Tidak hanya itu, lagi-lagi, kedua anak mereka yang masih kecil harus melihat mereka bertengkar.

Hari ini pun, Solar tidak pulang. Ini sudah jadi kebiasaan mereka tiap kali mereka bertengkar. Solar akan pergi entah ke mana dan [Name] akan tetap di rumah bersama anak-anak. Kejadian ini juga sudah seperti acara serial televisi bagi anak-anak mereka, karena saking seringnya mereka seperti ini.

[Name] benar-benar tidak mengerti, kenapa sekarang Solar sangat sensitif tiap kali dia ajak pergi ke dokter bersama? Pria itu lebih memilih untuk pergi ke dokter sendirian dibanding pergi dengannya, membuat dirinya ikut stres dan pusing sendiri.

"AH! SOLAR ORANG GILA! NGAPAIN SIH GUE NIKAH SAMA ORANG GAK JELAS KAYAK DIA?!"

Ketika bertengkar, ini sudah menjadi kebiasaan [Name] menyumpah serapahi Solar tanpa peduli anak-anaknya mendengar atau tidak. Dia benar-benar sebal.

"Bodo amat dah, lu gue urusin biar diabetes lu bisa lebih baik dan berkurang malah kayak begini, najisss. Terserah lu dah mau hidup kayak gimana."

Tahun 2016, pertahanan [Name] untuk memahami Solar runtuh begitu saja.

――――

11 Januari 2019

"Mami...." [Name] yang mendengar suara putranya langsung menoleh, mendapati sesosok laki-laki yang mirip dengan suaminya itu. Hari ini hari ulang tahun Cahaya yang ke-18. Namun, suaminya tidak pulang entah karena apa. [Name] sendiri sudah ogah memikirkannya. Toh sejak dua tahun lalu pria itu lebih sering menghabiskan waktu di luar dan jarang pulang ke rumah. Entah ke mana dia sebenarnya.

"Kenapa, Aya?"

"... Ada surat."

"Dari? Emang masih zaman ya surat-suratan kayak gini?" Tanya [Name], yang ditertawakan oleh Cahaya. "Mungkin? Lagian ini dari Papi."

"...."

Kini, atensi [Name] seluruhnya milik Cahaya. Dia dengan kebingungan menatap Cahaya seperti meminta penjelasan, yang mana hal itu langsung dimengerti oleh Cahaya. Cahaya mendekati [Name], ibundanya, dia duduk di sebelah dan mengeluarkan sebuah surat yang bertuliskan 'Semestaku'.

"Mami mau baca?"

"...." [Name] mengangguk. Lantas, surat itu diambil oleh [Name] dan mulai ia baca.

Untuk semestaku, yang suatu saat bukan lagi semestaku, [Name].

Halo, [Name]. Ini aku, suamimu, Solar. Aku minta maaf karena selama ini aku hanya memperumit keadaan, tak pernah jujur, dan selalu menghindar. Oh, atau lebih tepatnya aku minta maaf kalau suatu saat nanti aku memilih untuk bersikap seperti itu (karena aku sendiri tidak tau akan bagaimana diriku bersikap sampai usia Cahaya menyentuh 18 tahun).

Jangan protes karena caraku menulis berbeda dengan caraku berbicara. Aku hanya berusaha untuk mempercantik isi surat ini, Jelek. Sudah, ya, aku langsung saja ke intinya.

Mungkin kamu bertanya-tanya apalagi yang aku sembunyikan darimu (saking banyaknya yang kusembunyikan darimu, padahal kamu istriku). Namun, masalah kali ini kupikir lebih baik aku simpan sendiri di dalam hati daripada mengungkapkannya kepadamu dan membuatmu bersedih. Hanya saja, umur Cahaya kini sudah mencapai 18 tahun, kupikir sudah cukup aku menyembunyikannya darimu.

Jangan tanya aku atau salahkan aku kalau ternyata surat ini baru sampai di tanganmu setelah aku mati; alias umurku tidak panjang. Jangan protes kamu, Jelek. Namun, kalau surat ini sampai di tanganmu ketika aku masih hidup, maka aku sangat bersyukur.

[Name], aku hanya ingin mengakui satu hal; yang selama ini aku sembunyikan dan tak pernah kuungkapkan. Beberapa hari yang lalu aku divonis menderita penyakit jantung. Aku masih belum tau pasti bagaimana detailnya, karena masih baru. Namun, yang harus kamu ketahui pasti: hidupku tidak akan panjang.

Kalau semisal surat ini sampai di tanganmu ketika aku masih hidup, maka aku hanya ingin berkata satu hal:

“Tinggalkan saja aku kalau kamu merasa menjadi istriku adalah hal yang begitu berat. Jika kamu beranggapan aku bukan lagi pasangan yang baik, yang kamu impikan, yang kamu butuhkan, maka kurelakan kamu pergi. Kamu di sini sebagai istriku, yang kuinginkan darimu hanya melakukan semua yang kamu mampu sebagai istriku, bukan merawatku karena simpati. Kita ini pasangan suami-istri, kita bersama karena rasa cinta, bukan karena rasa simpati. Kalau setelah ini kamu masih ingin bertahan denganku hanya karena simpati, lebih baik kita berpisah. Aku tidak lagi bisa menjadi suami yang kamu damba-dambakan. Kamu juga berhak bahagia, semestaku.

Maaf, ya, andai saja kalimat panjang itu bisa kuucapkan langsung padamu. Terima kasih karena sudah merawat anak-anak dengan sepenuh hati, [Name]. Terima kasih karena sudah menjadi istri paling membahagiakan di dunia ini, [Name].

Sekali lagi aku minta maaf.

― Solar
17 Oktober 2006

Setelah membaca itu, [Name] hanya diam, dengan matanya yang sedikit demi sedikit mengeluarkan air mata. Seumur hidupnya, dia tidak pernah terbayang kalau suaminya akan menderita penyakit mematikan seperti ini.

"... Solar benewran orangw giwlah." Ujarnya, dengan air mata dan suara yang bergetar. Dia bangun dari sofa, meninggalkan Cahaya yang masih ikut terdiam; mencoba berpikir, walau matanya melirik ke arah sang ibu yang terlihat mulai emosional.

Sejak ulang tahun Cahaya yang ke-18, [Name] akhirnya mengetahui segala hal dari Solar yang ingin ia ketahui.

――――

EAAA NAME UDAH KELAR, jiakh, chap kali ini kepanjangan kayaknya. nyentuh hampir 2k. Maaf ya, padahal niatku gak nyampe 1k biar kalian enjoy dan gak bosen 😭 atau kalian lebih suka panjang-panjang?

also, bagian surat solar aku terinspirasi dari buku funiculi funicula 1: bab kedua AAAAA omsgdgsh aku nggak bisa nahan diri buat nggak masukin rasa cintaku pada buku itu ke sini 😭😭✋ kalian harus baca sih, itu seru dan sangat nyaman untuk dibaca pas lagi hujan.

AKU JUGA PUNYA REKOMENDASI BUKU KALO KALIAAN SUKAA TENTANG KASUS PEMBUNUHAN GITU aku punya buku penance buat direkomendasikan ✋✋

kalo kalian suka buku klasik kayak little women/anne with an e, aku punya nobody's boy untuk direkomendasikan. shshsh itu heartwarming banget! cuma agak boring karena klasik.

mmaaf ak hanya ingin merekomendasikan bbrp buku underrated favku kepada klian (butuh tman/heh)

ada yang mau ditanyain gak btw? tanyain aja yaw! see you di cahaya chapter.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top