01. Solar

Orang gila.

Seumur hidupnya, Solar tidak pernah menyangka dia akan divonis penyakit mematikan yang tidak bisa disembuhkan. Alias, hanya bisa berpasrah dan berdoa untuk yang terbaik. Dia mengusap wajahnya kasar, tidak tahu harus bagaimana memberitahu berita ini kepada keluarganya.

Usia pernikahannya masih dini, anaknya masih berusia lima tahun, dan istrinya sedang hamil besar. Bagaimana bisa di tengah kegembiraan yang akan menyambut Solar malah membawakan berita tidak enak?

Solar akui, dia menyesal. Dia menyesal karena bekerja terlalu berlebihan untuk menghindari istrinya dulu, dia menyesal karena hidup dengan buruk ketika bertengkar dengan istrinya dulu, dia menyesal karena memilih untuk melanjutkan stresnya dibandingkan bangkit untuk olahraga atau ke psikologi. Dia menyesal, karena gaya hidupnya yang dulu lah yang membawa dia kepada penyakit ini.

Rautnya terlihat sedih, bingung, gundah. Dia tidak mau menghancurkan kebahagiaan keluarga kecilnya dengan satu kalimat penuh kesedihan yang ia lontarkan. "Hah...." Dia menghela napas penuh kefrustrasian. Katakanlah sekarang dia stres, duduk di toilet rumah sakit tanpa melakukan apa-apa.

"...." Dia merogoh kantongnya untuk mengambil ponselnya, lalu matanya melirik kepada kontak yang muncul paling atas ketika dia membuka aplikasi chatting atau telepon.

"Oke, latihan dulu." Dengan sebuah hasil lab yang dia pegang di tangan, Solar keluar dari kamar mandi dan menatap kaca kamar mandi, dia membuat raut serius sebelum latihan.

"Halo, [Name]. Aku mau ngomong serius," Dia menampilkan sorot mata penuh keyakinan di depan kaca, menganggap seolah-olah kaca itu adalah istrinya. "Huh...." Sebelum melanjutkan, dia menjeda sebentar untuk mengambil napas, lalu membuat senyum simpul di kaca.

"[Name], aku divonis penyakit jantung."

______

11 November 2006

"Selamat, ya, Solar! Cie sekarang jadi Papi dua anak. Cie jadi Daddy's girl. Ntar kalo ada apa-apa panggil gue aja ya, Lar. Gue udah pro banget jadi Daddy's girl." Blaze merangkul Solar, memberi sebuah energi positif untuk adiknya yang saat ini (dia tahu) sedang pusing sendiri.

Bayangkan saja, tanggal 1 Oktober dia divonis penyakit mematikan lalu pada tanggal 11 November dia menjadi ayah dari dua anak. Kalau Blaze di posisi Solar, dia bisa gila.

"Btw [Name] masih belum tau, ya?" Solar menggelengkan kepalanya, "Gue belum ada nyali buat ngasih tau, Bang. Apalagi [Name] lagi hamil, gue takut pas gue ngasih tau dia malah stres. Itu sih yang gue takutin."

Benar, sulit untuk memberitahu. Apalagi saat ini kondisinya [Name] sedang mengandung. [Name] orangnya cukup sensitif dan mudah kepikiran. Dia tipe orang yang memiliki rasa khawatir berlebihan. Oleh karena itu, lebih baik jangan beritahu [Name] terlebih dahulu. Ini sudah direncanakan oleh satu keluarga besar Solar, keputusan ini mereka ambil dengan sangat hati-hati. Alias, dalam segala rahasia Solar, ada keluarga besar Solar yang ikut andil.

"Sekarang anak kedua lo udah lahir, lo mau ngasih tau [Name]?" Mendengar pertanyaan Blaze, Solar menggelengkan kepalanya.

"Nggak, gue tetep gak bakal kasih tau."

Blaze mengangguk mengerti. Blaze setuju dengan ucapan Solar tadi. [Name] baru kelar melahirkan, dia butuh memberikan asupan ASI kepada anaknya. Kalau semisal [Name] stress karena kabar ini, bisa-bisa ASI-nya tidak keluar, lalu kebutuhan anaknya tak terpenuhi. Bisa juga ia malah fokus pada dirinya sendiri sampai anak keduanya tidak diurusi.

"Terus lo bakal kasih tau keluarga lo kapan?"

"... Nggak tau. Biar waktu yang menjawab aja."

Jawaban Solar tadi mampu membuat Blaze geleng-geleng kepala. "Doa yang terbaik buat lo. Lo nggak apa-apa tapinya?"

"Nggak apa-apa, sih. Gue juga udah bolak-balik kontrol. Ya buat sekarang aman, lah. Seharusnya gue masih bisa hidup lebih lama. Secara usia gue masih muda."

".... Lar, gue jadi sedih."

"... Nggak usah sedih, semua manusia juga bakal mati pada akhirnya."

"Tapi lo masih muda. Anak-anak lo masih muda, Cher baru lahir."

Solar membuat senyum simpul, "Nggak apa-apa, Aya pasti kuat. Gue udah netapin berdikari ke Aya." Mendengar ucapan Solar, Blaze terkekeh. Namun, agak sebal. "Harus banget ya pake kata berdikari?"

".... Emang gue harus apalagi? Harapan gue Aya. Satu-satunya cahaya gue itu Cahaya."

".... Emang bener, ya. Nama itu doa."

――――

11 Januari 2007

"Selamat ulang tahun yang keenam, Cahaya." yang diberi ucapan membuat senyum simpul, dia memeluk ayahnya erat dengan rasa bahagia, sebelum kemudian membalas ucapannya. "Makasih, Papi!"

Solar terkekeh, dia balas peluk erat anak laki-lakinya dengan rasa bercampur aduk, "Tahun ini pun, tolong tetap berdikari ya?" ketika Solar berkata seperti itu, raut wajah Cahaya sedikit berubah. Ia tampak tidak suka, tapi tetap mengiyakan ucapan ayahnya.

"Tapi Aya ndak mau berdikari banyak-banyak. Dikit aja ya, Papi? Aya juga mau main kayak Adekk Cel." Mendengar ucapan Cahaya, Solar membuat senyum simpul, "Tapi jangan terlalu lengah, ya? Adikmu itu perempuan, ibumu juga perempuan. Kamu harus bisa jadi cahaya untuk mereka."

"Kenapa nggak ayah aja yang jadi cahaya?"

"Cahaya Ayah udah redup, tapi kalau Cahaya kesayangan Ayah, dia masih ada di depan Ayah. Sinarnya masih terang."

"... Tapi kan Ayah itu Solar."

Solar terkekeh, "Memangnya kenapa? Solar itu kan cuma bensin." candanya. Sebuah candaan yang sering digunakan oleh teman semasa sekolahnya.

".... Solar itu kan berhubungan sama matahari langsung, kan? Cahayanya gedeeee daripada cahaya yang lainn."

"Ngawur kamu," ujarnya sambil terkekeh. Tak lama kemudian, Solar merasa sesak, dia terbatuk-batuk berulang kali; membuat Cahaya merasa khawatir dan dengan cepat mengambilkan Solar minum tanpa disuruh.

"Papi, minum dulu."

"Makasih, Aya."

Cahaya tidak tahu apa-apa. Namun ia memperhatikan ada yang aneh dari ayahnya. Ayahnya ini jadi lebih sering batuk, tidak nafsu makan, dan terkadang keringatnya seringkali berlebihan.

"... Papi ndak apa-apa?"

"Hm? Nggak apa-apa, dong."

Cahaya tampak khawatir, dia kembali menatap Solar dalam sebelum menyembunyikan wajahnya di bahu Solar.

"Papi kalo ada apa-apa bilang aja. Aya mau dengerin Papi."

"...." senyum tipisnya muncul di wajah tampannya. Dia merengkuh anak laki-lakinya erat, sebelum mengecup rambutnya dan meneteskan air mata. Tidak tahu, jangan tanya Solar, dia sendiri bingung kenapa air matanya tiba-tiba jatuh.

"Maaf, ya, Aya."

"Buat apaaa? Papi ndak ada salah sama Aya."

"Ada. Suatu saat nanti pasti ada."

―――

26 Agustus 2008

"Solar.... Kamu kok nggak bilang kalo dinas keluar kota? Aku khawatir tau! Kemarin kamu gak pulang ke rumah, aku tanya ke Kak Hali ternyata lagi dinas."

[Name] memegang teleponnya sebal, setelah seharian suaminya tidak bisa dihubungi, akhirnya kini teleponnya diangkat dan mereka bisa berbicara.

"Maaf, ya. Kemarin Kak Hali dadakan."

"Duh, emang ya nyebelin banget Kakakmu! Suka dadakan gitu. Berapa hari?"

Solar terkekeh mendengar istrinya, "Kurang tau... Mungkin seminggu?"

"Oh, gitu, ya? Ya sudah, hati-hati. Eh tapi bajumu gimana? Kamu kan kemarin dadakan banget."

"Kemarin aku sempet mampir ke rumah buat ambil baju, kok."

"Oh, ya sudah. Sehat-sehat, loh. Awas kamu aneh-aneh selama dinas. Dah, aku mau jemput Cahaya di Daycare, dadah."

Setelahnya, telepon diputus begitu saja oleh [Name]. Membuat Solar bernapas lega.

Bohong. Dia tidak sedang dinas. Dia sedang berada di rumah sakit, diinfus. Kemarin dia pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit. Halilintar membantunya membohongi [Name] dengan berkata dia dinas mendadak keluar kota selama satu minggu. Solar bersyukur [Name] percaya begitu saja. Secara ia tahu Halilintar itu memang suka dadakan.

"Gila... Ini harus banget gue diopname?" tanyanya sebal ke arah Gempa yang sedang berada di kamar inapnya. Gempa bertugas hari ini, tapi ia sempatkan mampir ke kamar inap Solar untuk melihat keadaannya.

"Kamu harus siap, Lar. Mungkin seterusnya kamu bakal sering keluar-masuk rumah sakit."

"Yah, jadi bestiean nih gue sama rumah sakit? Gue kira elu doang yang bakal bestiean sama rumah sakit."

Gempa hanya terkekeh, sebelum ia maju dan mengecek infus yang ada di tangan Solar, "Gimana ceritanya kemarin bisa pingsan?"

"Nggak tau juga gue,"

"Kamu serius gamau ngasih tau [Name] tentang ini?"

"Bukan gamau, tapi belum waktunya."

"Memangnya kapan kamu mau ngasih tau?"

"...." Solar diam sesaat, membuat Gempa ikut diam dan fokus melihat keadaan adiknya. Setelah dirasa cukup dan dia harus kembali untuk bekerja, barulah Solar membuka suara kembali.

"Delapan belas,"

"... Hah, apanya yang delapan belas?"

"... Gue bakal kasih tau semuanya kalo Aya sudah delapan belas tahun."

"... Solar,"

______

EAAA SOLAR AKHIRNYA UPP 😍✋ gimana guys, sudah terpecahkan belum? Atau masih merasa ada yang belum? 🤭

Heheheh iya, begitu ya ges. 🥳
Nggak banyak bawang kok (harusnya), jadi buku ini cukup membuat mental tetap aman

Ada yang mau ditanya? Karena ini time skipnya tiga kali

See u next chap!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top