Part 9 - Ingin dimengerti
"Papa minta kamu putus dari pacar kamu itu! Kamu itu di sekolahkan untuk belajar, bukan pacaran!" amuk Ayah Nara.
"Nara udah dewasa, Pa. Jangan terlalu mendikte Nara tentang ini dan itu," jawab Nara. Sejujurnya dari hati yang paling dalam ia takut melawan pada ayahnya.
"Nara! Sudah berani melawan kamu?!" Emosi sang ayah semakin naik.
"Papa, nggak ngerti perasaan Nara. Nara cuma ingin diberi sedikit kebebasan. Nara ingin seperti teman-teman yang lain," adu Nara.
"Kebebasan seperti apa yang kamu mau? Kamu ingin jadi berandalan?" debat sang ayah.
"Nara sudah dewasa, Om. Biar dia menikmati masa remajanya. Kenan janji akan mengawasi Nara dengan baik," Kenan menyela dan coba meyakinkan Ayah Nara.
Nara duduk kaku di kursi ruang tamu. Benar, begitu pulang ke rumah Nara langsung menerima kemarahan dari sang ayah. Laki-laki berusia hampir emput puluh tahun itu marah besar ketika mengetahui Nara pacaran.
"Pacar Nara cowok baik-baik. Namanya Barra, dia ketua OSIS di sekolah Nara. Om Rudi, jangan khawatir." Dan sejak tadi Kenan berusaha untuk meredam kemarahan ayah Nara, Om Rudi.
Nara melirik pada Kenan. Laki-laki itu masih saja membelanya setelah apa yang telah Nara lakukan. Nara sudah melukai harga diri laki-laki itu sebelumnya.
Ayah Nara mengehela napas. "Om percayakan Nara pada kamu," ujarnya sebelum berlalu pergi menuju ruang kerja.
Nara menunduk dalam dan tidak berani menatap sang ayah lagi. Nara takut.
"Tante susul Om kamu dulu, ya. Dia terlihat sangat kecewa," ujar ibu Nara pada Kenan.
Selepas kepergian orangtuanya, barulah Nara melemaskan bahu. Air mata di sudut matanya menggenang. Nara sedih, tapi rasa egois sebagai remaja tetap melambung tinggi dalam dirinya.
Nara sudah dewasa, begitu pikirnya.
"Orangtuamu kecewa. Aku tahu bukan ini yang kamu harapkan, Nara!" ujar Kenan.
Nara melirik pada laki-laki itu. Lalu bibir Nara berujar kesal, "gue nggak butuh pendapat lo!"
Dan ya, Nara memilih untuk melampiaskan emosinya pada Kenan. Nara tahu ia salah, dan tidak mau mengakui itu. Karena ada rasa gengsi ketika berhadapan dengan Kenan. Nara memilih beranjak pergi dan memasuki kamar. Meninggalkan Kenan begitu saja.
Kenan menatap kepergian Nara dalam diam. Perempuan itu benar-benar keras kepala. Nara sungguh tidak mengerti rasa khawatir Kenan. Dan Nara juga tidak mengerti rasa khawatir orangtuanya.
_o0o_
"Kak Ken." Nara berlari mengejar Kenan.
Langkah Kenan yang akan bergerak pulang terpaksa terhenti di depan rumah Nara. Kenan diam, dan hanya memberikan tatapan tajam pada Nara. Well, Kenan mengira Nara masuk ke dalam kamar untuk merenungi segala sikapnya.
"Makasih udah bela gue di depan papa," ungkap Nara.
Gue? Kenan tersenyum sinis. Telinga Kenan selalu berdengung setiap kali Nara memanggilnya dengan kata itu.
"Ya, sama-sama!" jawab Kenan. Ia berniat kembali melangkah, namun lagi-lagi langkahnya dihentikan oleh suara Nara.
"Gue harap mulai sekarang Kak Kenan berhenti ikut campur. Jujur saja, sikap Kak Kenan ini terlalu berlebihan untuk ukuran seorang tetangga. Kak Kenan nggak berhak mengatur melebihi batas yang seharusnya," tambah Nara.
Kenan tatap Nara dengan pandangan tidak percaya. Kata-kata perempuan yang berdiri di hadapannya saat ini sungguh menyakitkan. Harga diri dan hati Kenan terluka.
"Gue udah cukup dewasa untuk tahu mana yang baik dan salah," suara Nara terdengar dalam.
"Ini bukan tentang kamu paham mana yang baik dan salah. Ini bukan tentang kamu yang sudah dewasa. Ini tentang rasa peduli, Nara. Ya, aku peduli sama kamu. Aku cuma nggak mau kamu disakiti," Kenan akhirnya memberi respon. "Bukan hanya aku, tapi orangtua kamu juga! Kami bukan bermaksud mengekangmu, kami ingin menjagamu."
"Apa kamu paham gimana perasaan kami saat kamu pergi keluyuran nggak jelas? Apa kamu tahu arti khawatir yang kami rasakan? Tentu saja kamu nggak paham, Nara! Karena apa? Karena kamu egois!" tekan Kenan.
"Kamu -- maksudnya lo. Lo cuma peduli dengan kesenangan lo, kebebasan lo. Apa lo paham gimana rasa khawatir orangtua lo?" Kenan berhenti sejenak.
"Dan apa lo juga paham rasa khawatir gue?" tambah Kenan
Nara membisu. Ya, dia memang tidak paham! Nara tidak paham bagaimana rasa khawatir itu. Nara tidak paham bagaimana orang-orang begitu menjaganya.
"Banyak hal-hal baik yang sangat sulit untuk dimengerti, karena memang kebanyakkan orang hanya ingin dimengerti tanpa ingin mengerti. Termasuk lo," lirih Kenan.
"Lo ingin bebas? Silakan! Mulai sekarang gue berhenti peduli!" Kenan menutup pembicaraan mereka. Berlalu pergi dan menyisakan rasa yang ganjal di hati Nara.
Kenan tidak bisa memaksa Nara. Laki-laki itu tidak mungkin tetap tinggal jika Nara sendiri tidak menginginkannya.
"Kak Kenan," cicit Nara pelan. Angin malam berhembus membawa suaranya yang pelan.
_o0o_
Nara menangis sendiri di balik selimutnya. Hanya lampu tidur yang menemani di kamarnya yang sepi. Nara sedih, ia merasa terluka atas sikap orang-orang yang ada di sekitarnya.
Tangan Nara bergerak meraih ponsel yang ia letakkan di samping bantal. Benda canggih itu bergetar, ada pesan masuk via WA.
Barra: Nara gue khawatir
Nara membersihkan air matanya. Nara tatap dengan serius layar ponselnya. Pesan dari Barra mengisi kesunyian hati Nara.
Nara letakkan kembali ponsel tersebut. Nyatanya pesan dari Barra tidak mampu mengatasi kesedihan hati Nara.
Paginya suasana sarapan di meja makan keluarga Nara terasa dingin. Kedua orangtua Nara bungkam tanpa suara. Nara sendiri tidak berani membuka percakapan. Ia tahu orangtuanya masih sangat marah.
"Nara berangkat sekolah," pamit Nara. Nasi goreng masih tersisa setengah di piringnya.
"Hati-hati," sahut Indah, ibu Nara.
Nara menghela napas. Ayahnya seperti tidak memiliki minat untuk mengantar Nara sekolah. Dengan lesu Nara keluar dari dalam.
Ia berhenti sebentar di depan pintu, lalu melirik ke arah rumah Kenan. Tampak sepi, pandangan Nara terhalang oleh pagar besi.
Hari ini sungguh terasa berbeda. Langit sangat cerah, tapi berbanding terbalik dengan suasana hati Nara. Ia merasa sepi di tengah-tengah orang-orang terdekatnya.
Ponsel yang ada di saku rok Nara bergetar. Ia raih benda persegi itu, ada telpon masuk dari Barra.
"Halo?" Nara membuka percakapan mereka.
"Lo nggak perlu jemput gue. Gue udah terlanjur naik angkutan umum," dusta Nara.
"Gue nggak bohong!" Nara berujar dengan nada meyakinkan, Barra tidak percaya perkataannya.
"Lo ada di depan pagar rumah gue?" Dengan cepat Nara melihat ke arah pagar. Benar saja, Barra berdiri di sana. Laki-laki itu melambai
Nara matikan sambungan telpon. Buru-buru ia menghampiri Barra sebelum orang-orang rumah mengetahui keberadaan laki-laki itu.
"Barra, kenapa lo ada di sini?" tanya Nara sembari menarik Barra dari depan pagar rumahnya.
"Gue khawatir sama lo," jawab Barra, tangannya di tarik Nara. Dengan pasrah Barra mengikuti langkah pacarnya itu. Senyuman Barra terbit melihat tangan mereka yang saling mengenggam.
"Lain kali lo nggak perlu jemput gue. Mobil lo di parkir di mana?" tanya Nara serius.
"Lo kena marah? Apa ada masalah?" Barra menghentikan langkah.
Nara ikut berhenti. Ia alihkan pandangannya pada Barra. "Jujur gue dilarang pacaran sama bokap gue. Jadi kalau lo masih tetap mau kita jalan sama-sama, jangan datang seenaknya ke rumah."
"Gue nggak sepengecut itu, Nara. Gue bisa minta izin dari orangtua lo," debat Barra. Di sini Nara seolah memintanya untuk menjadi lelaki pengecut.
"Apa lo sayang sama gue?" Nara terlihat semakin serius.
Dan Barra jawab dengan anggukan serius.
"Kalau begitu jangan tambah masalah gue!" tandas Nara.
Tbc
Gimana sama part ini?
Suka?
Suka dong!
Harus suka 😁
Makasih udah mampir😍😗😗
🛇awas ada typo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top