Part 61 - Lebih baik

Aku bertemu banyak orang,
Tetapi hanya tersesat padamu.
---

Kenan memasuki kamar hotel yang terletak di pusat ibu kota. Kamar yang ia tempati berada di lantai paling atas, dari sini pemandangan suasana malam ibu kota terhampar luas. Lampu-lampu berkelap-kelip. Dan gedung-gedung berlomba untuk mencapai langit.

Besok Kenan berencana untuk mencari kos-kosan yang akan ia tempati sampai wisuda nanti. Ibu kota dan segala permasalahannya. Hampir satu tahun Kenan meninggalkan kota yang menjadi kota kelahirannya.

Tidak banyak berubah, bahkan tidak ada yang berubah termasuk perasaan Kenan. Hanya sikap Nara saja yang berubah padanya, perempuan itu dingin dan menjauh.

Ponsel yang di atas nakas bergetar, Kenan bergerak untuk meraih ponsel mahal itu. Notifikasi dari Dini mengiasi layar ponsel Kenan.

Dini: kak Kenaaan, rindu. Meet up yuk malam ini

Senyuman kecil terbit di bibir Kenan. Sejak menghirup udara  ibu kota dia belum menemui Dini sama sekali, perempuan itu sudah banyak membantu selama ia jauh dari Nara.

Untuk memenuhi permintaan Dini, Kenan meyanggupi permintaan perempuan itu dan kini menunggu jemputan Dini di lobi hotel. Selang lima menit Dini mengabari bahwa dia sudah sampai di sekitaran hotel. Saat ini Kenan tidak memiliki kendaraan, Dini sendiri yang berinisiatif untuk menjemputnya menggunakan motor.

"Nggak masalah kan kalau kita naik motor matic?" tanya Dini saat melihat Kenan datang menghampiri.

Tatapan Kenan menilai motor Dini yang berwarna hitam. Kenan tampak berpikir sejenak. "Nggak masalah! Gue tetap kelihatan ganteng sekalipun naik vespa."

Dini mencibir. "Songong! Oleh-oleh buat aku mana, Kak? Nggak mau tahu, pokoknya aku mau yang mahal."

"Tanya kabar dulu kek atau apa? Ini justru ditodong oleh-oleh," Kenan menyerahkan paper bag pada Dini. "Buka oleh-olehnya di rumah aja!"

"Siap, Bosque," Dini dengan sumringah mengantung paper bag pemberian Kenan di bagian depan motor.

Kenan menepuk pelan helm yang dikenakan Dini. Helm itu pemberian Kenan, masih membekas dalam ingatan Kenan saat Nara mengambil helm Dini dan dia segera menggantinya dengan yang baru. Kejadiaan sudah satu tahun yang lalu.

"Silakan," Dini memberikan kemudi motor pada Kenan. Ia bergeser ke bagian boncengan, lalu Kenan mengambil ahli kemudi. "Abang ojolnya ganteng, euy."

Kenan tertawa. "Ke mana nih kita?"

"Cari jajan dong!" jawab Dini semangat.

Motor Dini membelah jalanan ibu kota malam ini. Di bawah langit hitam dan di antara lampu-lampu ibu kota Dini melewati dinginnya malam bersama Kenan. Keduanya tertawa dan membagi canda di atas motor.

Dini mengeratkan pegangannya pada sudut kiri dan kanan jaket Kenan saat laki-laki itu sengaja membuat laju motor semakin cepat. Dini mengerang sebal sesekali, lalu memukul bahu Kenan dengan pelan. Kemudian keduanya tertawa bersama.

"Gimana sama Nara?" tanya Dini setengah berteriak. Jalan cukup ramai malam ini.

"Dia marah," sahut Kenan lesuh.

"Masih mau berjuang lagi?"

Kenan melirik Dini melalui kaca spion. Senyuman penuh arti mengembang di wajah Kenan. "Tentu!"

-o0o-

Hari pertama libur setelah ujian nasional, Nara menghabiskan waktu dengan berbaring di ranjang miliknya. Mata Nara tidak lepas dari dua helm yang terletak di atas meja belajar, helm itu pemberian Kenan. Nara bangun dari posisinya, berjalan lemas menuju meja belajar. Nara raih kedua helm tersebut.

"Helm ini cuma bikin gue tambah galau," gumam Nara pada dirinya sendiri. Nara bermaksud menyingkirkan dan memilih untuk menyimpan helm tersebut ke gudang.

Kaki Nara yang bergerak menuju gudang berhenti melangkah kala ia melewati ruang tamu. Ternyata ada Kenan di sana bersama ibunya yang asik berbincang. Ketika menyadari kehadiran Nara, Kenan tersenyum lembut. Mata laki-laki itu juga menyoroti helm yang Nara bawa.

"Nah, Nara udah keluar. Nara, temani Kenan ngobrol. Mama mau siapkan makan siang dulu," ibu Nara beranjak dari sana, sengaja memberi ruang untuk Kenan dan Nara.

Dengan gerakan malas Nara menghampiri Kenan, duduk di sofa yang sama dengan laki-laki itu. Kenan masih saja memasang wajah tidak bersalah dengan senyuman lebar, sementara Nara kesal bukan kepalang. Selama pergi Kenan tidak pernah memberinya kabar, lalu setelah kembali laki-laki itu terlihat sangat santai.

Lucu sekali!

"Gimana liburnya?" Kenan membuka percakapan.

"Biasa aja. Ini, gue balikin," Nara meletakkan kedua helm pemberian Kenan di atas  meja tamu. Niat untuk membawa helm itu ke gudang Nara urungkan, lebih baik mengembalikan pelindung kepala tersebut langsung kepada pemiliknya.

"Lho, kenapa?" tanya Kenan.

Nara memilih untuk diam dan tidak menjawab.

"Kamu masih marah?" Kenan kembali bertanya.

"Pikir aja sendiri. Punya otakan?" sinis Nara.

"Iya, aku salah. Aku minta maaf. Sekarang aku udah ada di sini," Kenan coba untuk membujuk.

"Terus apa untungnya buat gue kalau lo ada di sini?! Sakit hati gue bisa sembuh gitu aja? Kak Kenan, paham nggak sih soal hubungan kita? Gue ngerasa nggak punya harga diri saat Kak Kenan lebih milih untuk menghubungi Dini!" Nara berhenti sejenak.

"Aku bertanya-tanya sendiri, aku bodoh sendiri dan aku bingung sendiri. Kenapa Kak Kenan lebih milih untuk mengubungi Dini? Dimana salahku? Apa yang salah? Kenapa nggak ada kabar? Atau, jangan-jangan aku dibohongi?" Nara menumpahkan rasa sakit hatinya. Mata Nara menyalah penuh amarah.

"Aku cuma nggak mau kita berantem kalau komunikasi secara langsung," bela Kenan.

Nara berdecak sinis, pembelaan Kenan terlalu mengada-ada menurutnya.

"Aku minta maaf," ulang Kenan.

"Mungkin kita memang nggak bisa bareng-bareng. Kita terlalu jauh berbeda. Setelah dipikir-pikir aku ini memang terlalu kekanakan. Aku nggak bisa mengimbangi sikap Kak Kenan. Entahlah, mungkin sikapku saat ini juga kekanakan. Tapi di sini aku ngerasa dipermainkan," Nara coba untuk mengontrol emosi.

Kenan menggeleng. "Nara, bukan itu maksud aku. Aku nggak niat untuk mempermainkan kamu."

Nara menunduk, ia meremas kedua tangannya. Sudut mata Nara berair. "Kak Kenan, jangan ganggu aku lagi. Aku mau sendiri sekarang."

"Nara," panggil Kenan dengan nada memelas.

"Kak Kenan, pernah bilang aku boleh mencari seseorang yang lebih baik dari Kakak. Kalau aku ketemu orang itu dan lebih memilih dia, maka nggak masalah. Kak Kenan bilang begitu sebelum pergi."

Mendadak wajah Kenan berubah pias. Ya, dia memang pernah mengatakan hal itu pada Nara. Kenan tidak mungkin melupakannya. Dan untuk pertama kalinya Kenan merasa menyesal akan keputusan yang dia ambil sendiri.

"Maksud kamu apa, Nara?" tanya Kenan dengan nada ragu.

Nara angkat kepalanya dengan sisa keberaniaan yang ada. Ia cari bola mata Kenan dan melabuhkan pandangan di sana. Nara menyelami rasa yang ada di kedua telaga jernih Kenan, hambar yang Nara dapati.

"Nara," lirih Kenan.

"Aku udah ketemu, Kak. Seseorang yang lebih baik dari Kak Kenan," tandas Nara.

Tbc

Yuhuuuu~ ada yang nungguin cerita ini up? Coba mana suaranya??

Maap kan akuh up nya lama. Cari inspirasi sana-sini dan dapatnya cuma segini. Susah banget buat ngebangun mood sama satu cerita huhuhu makanya jadi update cerita ini agak lama :(

Coba kasih komentar di sini 👉

💐 Awas ada typo 💐

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top