Part 60 - Dia kembali
Hari berlalu dengan cepat, bergulir seiring dengan jarum jam yang berdetak setiap detik. Banyak cerita yang tertulis bertintakan takdiri. Masa lalu telah berlalu, hari ini harus dihadapi, dan masa depan terlihat abu-abu.
Nara menghirup udara kebebasan. Hari terakhir Ujian Nasional telah ia lewati susah-susah gampang. Selamat tinggal masa SMA. Nara siap memasuki gerbang dunia yang sesunguhnya, walau Nara sendiri tidak tahu ke mana dia akan melangkah.
"Buat lo," seseorang mengulurkan kotak kecil pada Nara.
Senyuman Nara mengembang lebar. Dia raih kotak kecil tersebut, membukanya pelan dan ternyata sebuah kancing berwarna putih ada di sana.
"Itu kancing dua teratas seragam SMA gue," beritahu Barra.
Nara tatap dengan intens. "Lalu?"
"Di Jepang, ada tradisi kalau lulus sekolah bakalan lepas kancing. Biasanya kancing kedua dari atas bakal dilepas sama siswa cowok. Terus, dikasih ke cewek yang disukainya," Barra tersenyum malu.
"Gue baru tahu," respon Nara apa adanya.
"Kancing kedua dari atas merupakan kancing yang letaknya paling dekat dengan hati, sementara seragam adalah sesuatu yang dipakai setiap hari selama tiga tahun bersekolah. Jadi lo udah paham dong arti dari kancing itu," jelas Barra.
Nara menatap Barra dengan dalam dan penuh binar. Jujur dia merasa tersanjung, merasa dihargai dan dicintai oleh mantanya sendiri.
"Makasih," jawab Nara penuh haru. Ia simpan kotak kecil itu ke dalam tas ranselnya.
"Dan ya, selamat! Lo satu-satunya mantan gue selama masa SMA! Bangga dong, ya?" Barra menaik turunkan alisnya.
Nara terkekeh, namun memilih untuk tidak menanggapi masalah perasaan lebih jauh. Dia nyaman dengan hubungan seperti ini dengan Barra.
"Habis ini lo mau ke mana?" Nara mengalihkan pembicaraan.
"Gue mau coret-coret bareng teman satu kelas. Lulus SMA cuma satu kali seumur hidup. Nggak boleh dilewatkan," Barra tampak antusias.
"Gue mau pulang aja," Nara coba untuk tersenyum lebar.
"Lho, kenapa?" tanya Barra.
Nara mengangkat bahunya pertanda tidak memiliki jawaban atas pertanyaan Barra. Dia memang tidak memiliki minat untuk ikut coret-coret seragam ala anak SMA pada umumnya. Kelas Nara tentu punya rencana untuk merayakan kelulusan, dan Nara tidak punya alasan yang kuat untuk ikut.
"Ya udah, ayo, biar gue antar lo pulang."
"Tadi katanya mau pergi coret-coretan," Nara bingung dengan keputusan Barra yang tiba-tiba berubah.
"Tiba-tiba gue nggak mood buat ikutan. Lagi pula itu acara yang nggak ada faedahnya sama sekali. Lebih baik gue pulang terus mikirin mau masuk universitas mana kalau-kalau gagal SBMPTN."
Nara tahu bahwa Barra coba membesarkan hatinya karena tidak ikut acara kelulusan yang memang ilegal tersebut. Tidak mungkin keinginan Barra yang begitu besar sebelumnya mendadak hilang. Barra terlalu banyak berkorban untuknya.
"Lo bisa ikut kalau memang lo mau, Bar. Lo nggak perlu mikirin gue, lo juga perlu menikmati hidup. Cukup masa SMA gue aja yang abu-abu kayak warna rok gue," ujar Nara tulus.
Barra tertawa renyah, hei, Nara sedang tidak melucu di sini. Kenapa harus tertawa.
"Lo banyak berubah dari apa yang terjadi. Gue salut," Barra menepuk bahu Nara.
"Gue serius! Lo boleh pergi."
"Tapi, gue nggak mau pergi." Barra memilih untuk memutar tubuh, berjalan meninggalkan Nara yang bingung akan keputusannya.
"Ayo, gue antar pulang!" ajak Barra tanpa menoleh.
Nara berdesis sambil menatap punggung Barra yang semakin jauh. "Cih, dasar bucin!"
-o0o-
"Masuk, jangan?"
Nara tampak berpikir untuk menjawab pertanyaan Barra. "Yuk, masuk!"
"Tapi kalau bokap lo ada di rumah habislah gue dibabat sama beliau. Minggu kemarin aja gue kena semprot karena nganter lo terlambat pulang. Padahal kita terlambat karena belajar bareng," kenang Barra.
Kejadian itu seminggu yang lalu saat Barra mengantar Nara pulang ke rumah hampir malam hari. Barra mendapat amukan dari ayah Nara yang hanya ia balas dengan senyuman kalem.
"Takut nih ceritanya?" ledek Nara.
"Ya, enggaklah! Ayo, biar gue antar lo sampai masuk ke dalam rumah," Barra keluar dari dalam mobil. Berjalan memasuki rumah keluarga Nara dengan langkah yang terlihat sok yakin.
Nara terkekeh pelan dan mengikuti Barra dari belakang. Terdengar suara tawa ibu Nara dan seorang laki-laki saat mereka akan mencapai pintu utama. Ini baru pukul 3 sore, suara tawa laki-laki yang terdengar jelas bukan milik ayah Nara. Masih terlalu sore untuk ayah Nara pulang dari kantor.
Nara dan Barra saling pandang sejenak. Menatap bingung, dan kembali memasuki rumah.
"Ma, Nara--" ucapan Nara terhenti. Bibirnya terkatup rapat. Nara kehilangan kata-kata. Dunianya berhenti saat melihat siapa yang duduk menemani sang ibu.
Nara tatap laki-laki itu tidak percaya, detak jantung Nara menandakan bahwa sejujurnya dia tidak siap dengan pertemuan ini.
"Nara, kamu sudah pulang, Sayang? Bagaimana ujiannya?" Indah -ibu Nara- buka suara.
Nara tidak fokus, perhatiannya hanya tertuju pada laki-laki itu. Yang sialnya dibalas dengan tatapan santai oleh si laki-laki.
Kenan, sedang apa dia di sini?
"Nara," suara yang sudah lama hilang dari indra pendengaran Nara, kini mengalun indah. Namun, entah kenapa terdengar menyakitkan.
Kenan bangun dari duduknya, tersenyum lebar pada Nara. "Gimana kabar kamu?"
Mata Nara memanas. Dia bertanya tengang kabar? Apa itu penting sekarang? Kenapa Kenan bisa sesantai ini setelah menghilang tanpa jejak?
"Nara, dijawab dong pertanyaan Kenan," sela Indah.
"Nara," Nara merasakan sentuhan di pundaknya. Sentakan Barra menyadarkan Nara dari keterpakuan. Hampir saja Nara melupakan keberadaan laki-laki yang satu ini.
"Gue balik dulu kalau gitu. Tante, Barra pamit," Barra undur diri dari sana. Ya, dia harus tahu diri pada posisinya saat sudah ada Kenan. Sengaja Barra memberi ruang pada mereka, dia hanya orang asing di sini.
"Sayang, Kenan sengaja mau kasih kejutan sama kamu. Lihat dong dia bawa banyak oleh-oleh buat kamu," Indah menunjukkan beberapa paper bag yang ada di atas meja tamu. Nara tatap barang-barang itu dengan datar.
"Nara," panggil Kenan.
"Aku capek habis ujian! Aku mau istirahat sekarang," ungkap Nara dingin, tanpa memandang siapapun.
Indah menatap Kenan tidak enak hati. Kemarin Kenan baru sampai dari Australia dan menginap di hotel. Beasiswa yang diterima Kenan hanya satu tahun, kemudian dia kembali ke kampus lamanya dan menyelesaikan tugas akhir sebelum wisuda. Sementara orangtua Kenan yang sudah terlanjur nyaman di Australia tidak memiliki rencana untuk kembali dalam waktu dekat.
Keluarga Nara, bahkan Dini sendiri mengetahui kepulangan Kenan. Tidak memberitahu Nara bukan berarti perempuan itu tidak penting. Kenan ingin memberi kejutan. Awalnya Kenan mengira kepulangannya akan disambut bahagia oleh Nara, nyatanya tidak. Perempuan itu bersikap dingin dan terlihat membenci.
Ya, Kenan tahu Nara marah padanya.
"Jangan datang kalau hanya berniat ingin singgah," ujar Nara sebelum melangkah meninggalkan ruang tamu.
Tbc
Mendekati akhir cerita.
Maunya Nara sama siapa? Kenan atau Barra?
Komen sesuatu di sini 👉
🍁Awas ada typo 🍁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top