Part 59 - Coba mengerti

Nara memasuki sebuah kafe ditemani Barra, keduanya terlihat bercanda bersama diselingi omelan dari Nara kala Barra menggodanya. Nara duduk di sudut kafe paling bagus untuk berfoto.

"Foto yuk," Nara berpindah kursi di sisi Barra.

Barra tersenyum ke arah kamera ponsel, mereka mengambil gambar beberapa kali. Tersenyum cerah, bahkan terlampau cerah.

Tanpa mereka sadari ada Dini dan Nisa yang ternyata juga berada di kafe tersebut. Dini menatap datar adegan manis antara Nara dan Barra. Senyuman sinis itu muncul tanpa Dini sadari.

"Cih," decak Dini. Dia bangun dari duduknya berjalan cepat tanpa dapat Nisa cegah. Dini menghampiri Nara.

"Nara," suara Dini menarik perhatian keduanya.

Tawa yang semula terdengar indah perlahan hilang. Kebahagiaan Nara leyap saat mendapati Dini berdiri di depannya.

"Gue nggak paham sama jalan pikiran lo, Nara," ungkap Dini tajam.

Nara menautkan alis, pertanda dia tidak paham.

"Sebenarnya lo mau apa? Kalau memang lo suka sama Kak Kenan, kenapa lo terus mempel sama cowok lain? Lo mau kasih harapan ke semua cowok?" Dini berujar tenang, dia tarik kursi untuk dirinya sendiri. Duduk berhadapan langsung dengan Nara.

Nara balas menatap Dini dengan perasaan tidak menentu. Harga dirinya terkoyak lebar.

"Lo terlalu banyak ikut campur. Lo nggak tahu apa-apa soal gue!" balas Nara.

"Gue tahu dan gue cukup paham," Dini tidak mau kalah.

Nara menarik satu ujung bibirnya menciptakan senyuman remeh. "Tahu apa lo soal perasaan gue? Tahu apa lo soal Kak Kenan?"

Pikiran Nara menjurus ke arah yang tidak baik. Dia menerka-nerka berbagai kemungkinan. Kemungkiman terbesar adalah Dini yang tahu banyak hal soal Kenan, perempuan itu bertingkah dengan percaya diri bahkan berani mendatangi Nara dan membahas tentang Kenan.

"Tahu apa lo soal Kak Kenan?" tanya Nara dingin.

"Banyak!"

Hati Nara berdenyut untuk sesaat. Entahlah, Nara merasa seperti dikhianati di sini. Selama pergi mungkin Kenan sering menghubungi Dini, bercerita banyak hal. Atau mungkin setelah berpisah jauh dari Dini, Kenan menyadari bahwa ia menyukai Dini. Membuat laki-laki itu melupakan janji pada Nara.

Oh ayolah, sebenarnya apa yang Nara harapkan di sini? Jika Dini dan Kenan saling berhubungan, apa bedanya dengan dia dan Barra?

"Apa lo tahu kalau setiap hari Kak Kenan ngehubungin gue?"

Pertanyaan Dini kian membuat wajah Nara semakin datar.

"Untuk nanyain lo."

Dan wajah datar Nara berubah pias. Otak Nara bekerja lambat memproses semua perkataan Dini untuk menarik satu kesimpulan. Kebohongan jenis apa lagi ini?

"Dia benar-benar sayang sama lo, Nara. Dia nggak menghubungin lo bukan berarti dia nggak peduli. Cara mencintai Kak Kenan memang unik. Dia biarkan lo bebas, kalau memang lo dapat yang lebih baik. Oke, itu pilihan  lo untuk ninggalin dia. Tapi, bukan bararti dia nggak mau berjuang. Ini bentuk perjuangannya," Dini kini mulai dapat mengontrol emosi.

"Dia egois!" sudut mata Nara berair.

Dini menggeleng. "Ini bukan egois namanya. Tapi dia cuma mau kasih kebebasan sama lo."

"Cukup, Dini! Jangan limpahkan semua kesalahan sama Nara. Kak Kenan juga salah di sini. Apa lo bilang? Cara mencintai dia unik?! Justru gue beranggapan kalau cara mencintai dia itu salah. Cara dia justru buat hati semua orang sakit. Pura-pura nggak peduli? Nggak kasih kabar? Dia pikir dia hebat? Hati orang bisa berubah kapan saja, jadi bilang padanya jangan terlalu percaya diri!" tanda Barra kesal, ya, dia kesal dengan sikap Kenan.

"Ayo, kita pergi!" Barra meraih pergelangan tangan Nara, menuntun perempuan itu untuk meninggalkan Dini.

"Jangan bikin semua menjadi semakin rumit, Barra! Karena Kak Kenan bakal balik ke sini! Lo yang terlalu percaya diri," ungkapan Dini masih dapat di dengar dengan baik oleh Barra dan Narra sebelum mereka meninggalkan kafe tersebut.

-o0o-

"Haaah," Barra menghela napas untuk kesekian kali. Coba untuk menguragi beban yang menggerogoti hatinya.

"Haaah," Barra melakukan itu sekali lagi. Tetap saja dia merasa sesak.

"Apaan, sih? Lo udah buang napas berapa kali. Kayak beban hidup lo berat aja," Nara akhirnya angkat bicara. Sudah lima menit lebih mereka di dalam mobil Barra, dan hanya itu yang dilakukan laki-laki itu, menghela napas. Nara jengah mendengarnya.

"Puyeng gue!" Barra melempar pandangannya pada area parkir kafe.

"Bukan cuma lo yang pusing. Gue juga sama. Menurut lo Kak Kenan memang salah, kan? Masa di ngehubungin Dini tapi nggak kasih kabar ke gue. Sekalipun itu untuk nanyain kabar gue, tapi tetap aja gue merasa nggak suka. Harga diri gue yang dipertaruhkan di sini, dan hati gue juga," cerita Nara.

"Sekarang lo mau gimana?" Barra menoleh pada perempuan yang duduk di sisinya. Ia tatap Nara dengan dalam, meneliti ekspresi perempuan itu yang terlihat coba untuk baik-baik saja.

"Dia kasih gue kebebasan. Apa sebaiknya gue pilih untuk bebas aja?"

"Nara, gue tahu nggak akan semudah itu," sanggah Barra.

"Kenapa? Gue udah terbiasa tanpa dia sekarang. Awalnya sakit, tapi semakin ke sini gue semakin terbiasa. Ya udahlah, jodoh nggak akan ke mana," Nara membuang pandangan jauh ke depan.

Hening untuk sesaat. Keduanya sama-sama mencari hal terbaik yang bisa diambil hikmahnya dari kejadiaan ini. Perkara melupakan dan dilupakan. Mana yang lebih sakit? Tidak keduanya, karena yang lebih sakit itu adalah pura-pura lupa saat hati masih mengingat dengan baik.

"Mungkin Kak Kenan juga ketemu orang yang lebih tepat di sana, Kak Novi misalnya," Nara coba untuk berbesar hati.

Barra tersenyum gemas, ia acak rambut pada puncak kepala Nara. "Semua bakal baik-baik saja. Jalani apa yang harus memang dijalani. Masa depan masih belum pasti, tapi tidak ada salahnya untuk hati-hati hari ini."

"Jadi?"

"Ya, jalani saja," tandas Barra.

"Ih, qoute apaan tuh?! Nggak jelas banget," tawa Nara terdengar sumbang.

"Mau cari makan di tempat lain?" tawar Barra sambil menghidupkan mesin mobilnya.

"Nggak, deh. Aku mau langsung pulang aja," Nara menolak halus.

"Yakin? Pura-pura bahagia itu butuh engergi, lho."

"Apaan sih?! Nggak lucu," Nara pura-pura mengerang kesal. Ia pukul lengan Barra dengan halus, membuat si pemilik bahu meringis pelan sambil tertawa.

Ya, Barra tetaplah Barra yang selalu ada untuk Nara. Laki-laki yang dulunya kaku, dan selalu mencoba membuat Nara tertawa dengan candaan garing.

Lalu, Kenan apa?

Tbc

Masih ada yg baca nggak ya? 😁

Komen sesuatu di sini 👉

💫Awas ada typo💫

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top