Part 58 - Dengan dia
Hari berganti bersama sang waktu yang terus bergulir. Selalu ada harapan baru di setiap pagi. Nara memiliki dua puluh empat jam dalam satu hari, dan hampir delapan jam ia habiskan di sekolah bersama Barra.
Nara menikmati hari-harinya dengan laki-laki itu. Mereka bermain bersama, belajar bersama dan saling mendukung. Di sore hari keduanya sering kali curi-curi waktu untuk berkeliling kota bersama. Atau sekedar berbagi cerita dan tawa di sudut taman.
Gosip menyebar luas dikalangan warga SMA Panca Dharma yang mengatakan bahwa Nara dam Barra kembali pacaran. Nyatanya tidak seperti itu karena mereka dekat tanpa hubungan. Bukan Barra yang tidak memberi kepastian, namun Nara yang mengantung hubungan mereka di zona pertemanan.
"Barra, ada film bagus tayang hari ini. Bayarin gue nonton," Nara berjalan bersama dengan Barra menuju parkiran sekolah.
"Jam lima gue ada jadwal bimbel. Maaf saya sibuk," tolak Barra songong.
Nara mencibir pelan. "Gue juga sibuk kali! Pulang sekolah ada jadwal rebahan."
"Rebahan mulu! Belajar dong."
"Lo sih enak punya cita-cita yang jelas buat dikejar. Lah, gue? Jangankan cita-cita, lulus SMA aja gue nggak tahu mau ke mana. Buram kehidupan gue," curhat Nara.
Barra merangkul bahu Nara dengan lembut, menyalurkan energi positif. Setiap kali cerita mengenai cita-cita Nara akan merasa kecil hati, beruntung Barra yang memang pada dasarnya bijak memberikan pencerahan. Sekalipun perkataan Barra hanya sebatas angin lewat untuk Nara.
Di saat-saat tersulit Nara hanya Barra yang selalu ada untuknya. Hanya Barra yang bersedia menyediakan bahu tempat Nara bersandar. Hanya Barra yang berdia merelakan indra pendengarannya mendengarkan keluh kesah Nara. Hanya Barra, bukan Kenan.
"Nggak boleh ngomong gitu! Semua orang punya kesempatan yang sama. Lo juga punya masa depan yang cerah. Tuhan tidak pilih-pilih pada hambah-Nya. Tinggal bagaimana cara lo memperjuangkan kebahagian itu. Contohnya memperjuangkan gue sebagai ayah dari anak-anak lo nanti."
Untuk kesekian kali Nara mencibir karena Barra. "Ujung-ujungnya gembel."
"Gombal," ralat Barra.
"Iya, salah," Nara terkekeh sambil memasuki mobil Barra.
"Hari ini masih mau belajar naik motor?" Barra memasuki mobil.
Nara mengangguk dengan semangat, terlampau semangat. Sudah seminggu lebih Nara berlajar mengendarai motor diajari oleh Barra. Dan sudah tiga kali pula Nara menabrak pot bunga milik ibu Barra selama masa pelatihannya mengendarai motor, dan Barra harus merelakan bagian depan motor matic miliknya lecet.
Mobil milik Barra melesat meninggalkan area parkiran, membelah jalanan ibu kota dipenghujung siang. Tujuan mobil mewah itu kediaman keluarga Barra. Barra harus merelakan motor matic-nya menjadi korban keganasan Nara selama berlajar mengendai motor sore ini.
"Hmm, tiap mereka makin dekat!" Dari kejauhan Dini menatap mobil Barra yang perlahan-lahan hilang dari pandangan. Bersamaan mobil Barra yang tidak terlihat lagi, saat itu juga Dini mengakhiri laporannya hari ini pada Kenan.
-o0o-
"Nara, rem!"
"Apa?!" teriak Nara panik. "Arrrrgh."
Bugh!
"Aw!"
"Nah, kan nabrak lagi!" desah Barra seraya menghampiri Nara yang tergeletak bersama motor dan pot bunga yang pecah.
Nara cemberut, ia singkirkan motor yang menimpah kaki bagian kirinya. Barra hanya menatap dengan pandangan prihatin tanpa berniat membantu. Kaki Nara terasa pegal setelah berhasil bangun dari kejatuhannya yang, ya... tidak menggenaskan sama sekali.
"Kasihan motor gue sama pot bunga mama," desah Barra.
Nara mendelik sebal seraya menepuk-nepuk bagian bagian tubuhnya yang kotor. Cih, Barra lebih prihatin pada keadaan si motor dari pada dirinya.
"Berdarah lagi," Nara menunjukkan siku dan mata kakinya yang tergores. Ia meminta perhatian Barra.
Barra mengela napas. "Ikut gue!"
Dengan gerakan lesuh Nara mengikuti Barra memasuki rumah laki-laki itu. Nara belajar mengendarai motor di rumah Barra dan menggunakan motor milik Barra juga. Di hari pertama Nara jatuh saat belajar menaiki motor jelas Barra khawatir. Jatuh kedua kalinya, Barra juga khawatir. Dan pada kali berikutnya Barra mulai jengah sendiri.
"Setiap gue kasih instruksi itu seharusnya lo ikuti dengan benar. Diingat baik-baik. Jangan masuk telinga kiri terus keluar telinga kanan. Belum ke jalan raya saja lo udah jatuh berapa kali, gimana kalau lo benar-benar bawa motor ke jalanan. Kasihan motornya," omel Barra seraya membersihkan luka Nara. Lalu ia mengoleskan salap agar luka itu cepat mengering.
"Iya, kasihan motornya," Nara cemberut.
"Nyawa kamu itu cuma satu, bukan sembilan. Makanya harus dijaga baik-baik," Barra meletakkan salap di atas meja ruang tamu. Dia tatap Nara dengan tegas.
Nara mengangguk patuh dan tidak ingin mendebat. Dipasangnya wajah polos agar Barra luluh dan berhenti mengomel.
Barra mengehala napas. Harus Barra akui dia tidak bisa benar-benar marah pada Nara. "Lo lapar?"
Nara mengangguk, kali ini dengan semangat. Sejak pulang sekolah Nara tidak memakan apapun. Nara langsung menuju rumah Barra dan belajar naik motor. Bahkan Nara tidak sempat ganti seragam khas SMA Panca Dharma yang sudah dikenakannya sejak pagi.
"Ayo, kita cari makan," ajak Barra. Diraihnya kunci motor.
"Katanya lo mau pergi les jam lima. Ini udah hampir jam lima. Emangnya sempat?" tanya Nara.
"Besok aja lesnya," jawab Barra santai. Dia berdiri di hadapan Nara yang masih duduk nyaman di sofa.
Nara mendongak menatap laki-laki itu. Wajah bule khas Barra terlihat berkali lipat lebih tampan dari sudut pandang Nara. Kaos berwarna putih dan celana potong pendek sebatas lutut, Barra dengan gaya kasual seperti ini memiliki daya pikat yang hebat. Ditambah tatanan rambutnya yang sedikit acak-acak. Ya, Barra definis sempurna sesungguhnya.
"Lo bisa kena marah Tante kalau ketahuan bolos," beritahu Nara.
"Nyokap sama bokap gue lagi kerja. Mereka nggak bakal tahu," Barra angkat bahu dengan cuek.
Nara tersenyum senang. "Lo keren banget kalau dilihat-lihat."
"Ya, gue tahu itu," Barra memutar bola mata dengan malas. Sudah jutaan orang yang mengatakan itu. "Udah tahu gue tampan tapi masih juga digantung. Diembat orang baru tahu rasa lo," cibir Barra sambir berjalan terlebih dahulu.
Nara tatap punggung Barra yang berjalan menuju pintu utama. Apa Nara sudah terlalu jahat pada laki-laki itu?
"Gue nyaman sama lo, tapi gue masih perlu waktu untuk memastikan perasaan gue," kata Nara pada dirinya sendiri.
Tbc
Spam komen di sini 👉
Mampir ke cerita terbaruku yang judulnya SMA
Ini penggalannya.
👇
"Gue kan masuk grup chat lambe SMA Panca Dharma, di sana gosip-gosip terpanas muncul pertama kali. Dan dengan bangga gue menggatakan kalau gue adalah salah satu admin grup itu," Arum tersenyum sumringah.
Kali ini giliran Faris yang mencibir. Dasar perempuan, pikirnya.
"Jadi grup itu benaran ada?" Chaca memang pernah mendengar grup WA yang dikhususkan untuk para tukang gosip kelas kakap yang ada di SMA Panca Dharma. Chaca pikir itu hanya isapan jempol semata.
"Ada dong! Dan gosip yang sedang hangat saat ini adalah--" Arum sengaja menggantungkan kalimatnya, membuat Chaca dan Faris menanti dengan tidak sabaran.
"Aiden dan Laras pacaran," tandas Arum.
Tubuh Chaca membeku sebentar. Ia tertengun dan refleks menyentuh kotak bekal yang dikhususkan untuk Aiden.
Awas ada typo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top